Wednesday, October 25, 2006

Happy Eid ul-Fitr 1427 H

HAPPY EID MUBARAK
Assalamualaikum Wr. Wb.

Our holy friend and visitor Ramadhan is packing his bags up now and doing farewell aforetime.
Insya Allah it is being a wonderful and successful Ramadhan for all.

On this Special Eve
I would like to take this opportunity to wish all my Blawg Visitors:

Taqabbalallahu minna wa minkum kullu ‘amin wa antum bi khoir
Minal ‘aidin wal faidzin

Forgive me for the indiscretions of the body and spirit

Happy Ied ul-Fitr 1427 H

May Allah accept deeds from us,
together with the victory and peace

Wassalamualaikum Wr. Wb


Pan Mohamad Faiz

New Delhi

1 Syawal 1427 H / October 24, 2006


“I thank God for His abundant mercy, guidance, and endless favors upon humanity”

Wednesday, October 18, 2006

Indonesia dan Dewan Keamanan PBB

INDONESIA, SELAMAT DATANG DI DUNIA NUKLIR !
Oleh: Pan Mohamad Faiz *
Indonesia patut berbangga sekali lagi. Usaha yang digalang oleh perwakilan Indonesia sejak tahun 1999 kini kembali membuahkan hasil. Secara beruntun, setelah ditetapkan menjadi anggota Dewan HAM PBB pada bulan Mei yang lalu, kali ini Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), setelah terakhir kalinya pada masa menteri luar negeri Adam Malik di tahun 1970-an.

Dengan duduknya Indonesia dalam anggota DK PBB, maka otomatis Indonesia akan pula menjadi sorotan seluruh negara di dunia. Sebab, badan terkuat di PBB ini mempunyai tugas utama dalam menjaga perdamaian dan keamanan antar negara, di mana keputusannya harus dilaksanakan oleh seluruh anggota di bawah Piagam PBB.

Akan tetapi, rasa bangga tersebut haruslah secepat mungkin disurutkan dan segera fokus pada apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Pasalnya, di saat yang bersamaan, issue mengenai pengembangan program senjata nuklir telah menimbulkan ketegangan dalam perdamaian dan keamanan di tingkat internasional.

Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa hari yang lalu Korea Utara telah melakukan uji coba senjata nuklirnya pada suatu fasilitas bawah tanah di Provinsi Hamgyong Utara. Akibatnya, masyarakat internasional secara serentak mengecam keras tindakan Korea Utara yang dianggap dapat menyulut terjadinya konflik keamanan di wilayah Asia Pasifik, khususnya di kawasan semenanjung Korea.

Begitu pula dengan PBB melalui Dewan Keamanannya yang secara tegas telah menjatuhkan sanksi berdasarkan Bab VII Piagam PBB berupa embargo ekonomi dan desakan pelucutan serta pemusnahan senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara. Nampaknya krisis nuklir Korea Utara ini akan menemui jalan terjal, sebab selepas keluarnya sanksi yang dimuat pada Resolusi 1718, petinggi Pyongyang justru menyambutnya dengan mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan isyarat perang bagi Korea Utara, terutama terhadap Amerika Serikat yang dianggapnya menjadi sumber malapetaka bagi krisis ekonomi dan pangan di negaranya tersebut.

Akankah peristiwa ini menjadi pemicu dimulainya perlombaan program senjata nuklir bagi Iran, Pakistan, India, atau negara-negara lainnya? Peran DK PBB, khususnya Indonesia yang mewakili Asia dan negara-negara dunia ketiga, akan menjadi sangat penting dalam meredakan ketegangan dan pencapaian misi mulia perdamaian dunia.

Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir

Pada tanggal 1 Juli 1968, bersandar pada pengalaman buruk Perang Dunia I dan II, sebenarnya telah diciptakan suatu perjanjian di antara negara-negara dunia yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Perjanjian ini dikenal dengan istilah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty/NPT). Pada dasarnya perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi, pelucutan, dan hak penggunaan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.

Seiring dengan meredanya stabilitas konflik horisontal antar negara-negara dunia pasca perjanjian NPT, maka perjanjian tersebut mulai memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir untuk kepentingan damai. Dikarenakan tumbuh suburnya model pembangkit tenaga nuklir yang menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian tersebut juga menyatakan bahwa pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar internasional diperbolehkan.

Akan tetapi yang menjadi kecemasan negara-negara penandatanganan perjanjian tersebut adalah tidak semua negara ternyata ikut terlibat dalam perjanjian itu. Bahkan kepada kelima negara anggota tetap DK PBB, mereka diberikan keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi itu sendiri, sehingga mereka dikenal dengan sebutan negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS).

Walaupun kelima negara NWS tersebut telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya terhadap negara-negara Non-NWS, tetapi tetap saja mereka memberikan pengecualian untuk merespon jikalau terdapat serangan nuklir atau serangan konvensional yang ditujukan kepadanya. Hal ini berarti mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang terbebas dari ancaman serangan nuklir. Diperparahnya lagi, Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan senjata nuklirnya untuk membalas penyerangan non-konvensional yang dilakukan oleh negara-negara yang mereka anggap “berbahaya” sesuai dengan tafsiran mereka sendiri. Jikalau demikian, bukankah hal ini berarti telah terjadi monopoli nuklir dengan berkedok suatu Perjanjian?

Setidaknya itulah salah satu penyebab mengapa mundurnya Korea Utara dari keanggotaan NPT. Demikian pula dengan India, Pakistan, dan Israel yang sama sekali tidak pernah berpikir untuk ikut bergabung menjadi anggota NPT tersebut. Belum lagi doktrin “pre-emptive attack” yang nyata-nyata bertolak belakang dengan Pasal 2 dan 51 Piagam PBB, akan tetapi selalu dijadikan justifikasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam melancarkan agresi-agresinya selama ini. Sudah pasti apa yang dilakukan oleh sebagian negara NWS akan semakin “menggoda” negara-negara non-NWS untuk berpikir berulang kali guna meninjau keberadaannya sebagai anggota NPT. Hal ini dikarenakan, baik institusi resmi PBB melalui Dewan Keamanannya maupun desakan dunia internasional, tidak lagi sanggup membendung keganasan sang Paman Sam yang mengklaim dirinya sebagai “polisi dunia”.

Independensi dan Konsistensi

Dengan kondisi seperti ini, selaku salah satu anggota DK PBB, maka Indonesia harus bersiap memeras otak dan memainkan teknik diplomasi tingkat tingginya guna mencegah pecahnya perang konvensional, perang nuklir, ataupun mencegah melebarnya konflik bersenjata.

Kiranya Indonesia akan menjadi ujung tombak dalam menciptakan perdamaian dunia dalam masa 2 (dua) tahun keanggotaanya. Sebab selain merupakan salah satu anggota GNB, Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, akan juga dianggap sebagai wakil negara-negara ketiga yang tergabung di dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), di mana beberapa diantaranya sedang mengalami konflik senjata yang tak kunjung selesai, sebutlah misalnya Palestina, Lebanon, atau Irak. Selama ini, tidak ada perwakilan anggota DK yang dianggap mampu menyuarakan aspirasi mereka di forum-forum PBB. Kini harapan itu hadir ditengah-tengah keberadaan Indonesia yang terpilih menjadi salah satu anggota DK PBB.

Mulai saat ini Indonesia akan berhadapan dengan negara-negara anggota DK PBB dalam suatu forum resmi bersekala internasional, bukan lagi sekedar mengirimkan pasukan perdamaian internasionalnya ke titik-titik terjadinya konflik. Oleh karena itu, sikap independensi dan konsistensi Indonesia di dalam penerapan hukum dan kebiasaan internasional akan semakin diuji pada setiap forum perdebatan yang terjadi di dalamnya.

Tantangan terbesar yang akan dihadapi adalah bersikap sesuai prinsip yang terkadang akan terbentur dengan kondisi dan kemampuan yang ada, misalnya ketika secara tegas harus bersebrangan dengan pendapat dari Amerika Serikat dan sekutunya yang seringkali menerapkan standar ganda antara apa yang dikemukakan di dalam forum DK dengan kenyataan kebijakan luar negerinya.

Jika hal itu tidak terlaksana, bukan saja wibawa dan legitimasi PBB semakin menurun di mata negara-negara dunia, tetapi juga akan terjadi erosi kepercayaan terhadap Indonesia dari negara-negara yang telah mendukungnya selama ini. Dua tahun bukanlah waktu yang cukup lama, tapi kita semua tentunya berharap, Wakil Indonesia yang duduk di dalam DK PBB akan mampu berbuat banyak demi menciptakan perdamaian dunia sebagaimana founding fathers negara ini mengamanahkannya sebagai tujuan nasional berdirinya negara Indonesia. Semoga saja.


*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi.

Monday, October 16, 2006

Hukum Tata Negara

KAJIAN HUKUM TATA NEGARA:
PERGESERAN ORIENTASI POLITIS KE TEKNIS

JUDUL BUKU : Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I & II
PENULIS : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
PENYUNTING : M. Ali Safa'at dan Pan Mohamad Faiz
PENERBIT : Konstitusi Press

“Walaupun judul buku Prof. Jimly adalah Pengantar akan tetapi apabila dilihat, dibaca, dan ditelaah ternyata bukan hanya sekedar pengantar, karena isinya sebenarnya sudah merupakan materi lanjutan dari HTN”

-- Winarno Yudho, Kepala Pusat Penelitian MKRI --

Abstraksi:

Selama lebih dari 50 tahun sejak Indonesia merdeka, atau tepatnya dari tahun 1945 sampai tahun 1998 ketika terjadinya reformasi nasional (53 tahun sejak kemerdekaan), bidang ilmu hukum tata negara atau constitutional law agak kurang mendapat pasaran di kalangan mahasiswa di Indonesia. Penyebabnya ialah bahwa selama kurun waktu tersebut, orientasi bidang studi hukum tata negara ini sangat dekat dengan politik, sehingga siapa saja yang berminat menggelutinya sebagai bidang kajian yang rasional, kritis, dan objektif, dihadapkan pada risiko politik dari pihak penguasa yang cenderung sangat otoritarian. Selama masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, siklus kekuasaan mengalami stagnasi, sehingga dinamika demokrasi tidak dapat tumbuh dengan sewajarnya untuk memungkinkan berkembangnya pandangan-pandangan kritis mengenai persoalan-persoalan politik ketatanegaraan.

Risiko kedua adalah bahwa bidang kajian hukum tata negara ini dianggap sebagai lahan yang kering, tidak begitu jelas lapangan kerja yang dapat dimasuki. Itulah sebabnya setelah kurikulum fakultas hukum menyediakan program studi hukum ekonomi, rata-rata mahasiswa fakultas hukum di seluruh Indonesia cenderung memilih program studi hukum ekonomi atau hukum perdata umum daripada program studi hukum tata negara. Di samping kedua risiko tersebut, para dosen dan guru-guru di bidang ini di tingkat sekolah menengah juga kurang berhasil membangun daya tarik keilmuan yang tersendiri, baik karena penguasaan mereka terhadap masalah yang memang kurang atau karena ketidakmampuan ilmu hukum tata negara sendiri untuk meyakinkan mengenai daya tarik ilmiah dan kebergunaan praktisnya, maka studi hukum tata negara di mana-mana menjadi kurang diminati.

Namun kini, setelah terjadinya gelombang reformasi di ranah konstitusi, paradigma hukum tata negara berangsur-angsur telah bergeser dari orientasi politis menjadi teknis. Terlebih lagi dengan munculnya lembaga (tinggi) negara baru di bidang pengadilan ketatanegaraan yaitu Mahkamah Konstitusi. Berbagai kajian mengenai hukum dan konstitusi ibarat cendawan di musin hujan, tumbuh dan menjamur hampir di seluruh pelosok negeri ini. Oleh karena itu, sebuah pedoman utuh mengenai aspek-aspek hukum tata negara, kembali menjadi sangat relevan untuk dijadikan dasar bagi setiap warga negara Indonesia, khususnya kalangan akademisi dan terpelajar. Apalagi, perkembangan konstitusi di seluruh penjuru dunia sudah sangat pesat, seperti munculnya fenomena bentuk negara baru European Union ataupun semakin runtuhnya teori klasik trias politica dari Montesquie.

Sebuah buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebagai hasil pengembaraan intelektual dari belantara pemikiran-pemikiran mondial yang bersifat universal dipadukan dengan pemikiran-pemikiran lokal dengan sifat partikularistis mencoba memberikan jawaban dan pemahaman mengenai berbagai persoalan di atas. Gagasan monumental dan penyempurnaan pemikiran seputar Hukum Tata Negara dan Konstitusi di abad millenium ketiga ini, dengan cermat dan teliti telah dituangkan secara sistematis dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I & II”.

Semoga buku yang telah diterbitkan ini, bersama dengan pembacanya, dapat membantu meretas jalan untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan Indonesia yang semakin kokoh, yang pada waktunya nanti juga akan menjadikannya sebagai negara hukum yang adil dan makmur.

Akhirnya, sebagai Penyunting, saya ucapkan Viel Spaβ beim Lesen!

--- END ---

Baca juga : Bedah Buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I dan II

Sunday, October 15, 2006

Resolusi 1718 Dewan Keamanan PBB

RESOLUSI 1718:
SANKSI DEWAN KEMANAN PBB TERHADAP KOREA UTARA
Setelah mengalami penundaan pengambilan keputusan, akhirnya Dewan Keamanan PBB memilih dengan suara bulat untuk menerapkan sanksi terhadap Korea Utara karena klaimnya yang menyatakan bahwa negara itu telah melakukan uji coba nuklirnya. Resolusi 1718 menerapkan sanksi senjata dan keuangan namun tidak didukung oleh ancaman militer.
Resolusi tersebut pada intinya berisi:
  1. Menuntut Korea Utara menghancurkan semua senjata nuklirnya, senjata pemusnah massal dan rudal-rudal balistik.
  2. Mengharuskan semua negara anggota PBB mencegah penjualan atau pemindahan bahan-bahan terkait dengan program-program senjata Pyongyang yang tidak konvensional, selain juga peralatan militer seperti tank-tank, rudal dan helikopter.
  3. Menuntut agar semua negara membekukan rekening orang-orang atau berbagai perusahaan yang memiliki kaitan dengan program nuklir dan balistik Korea Utara.
  4. Membolehkan berbagai negara memeriksa kargo yang masuk dan keluar dari Korea Utara untuk mencari senjata-senjata yang tidak konvensional.
  5. Resolusi ini tidak mencantumkan ancaman penggunaan militer.
  6. Seruan bagi Pyongyang agar kembali, "tanpa syarat", ke meja perundingan dalam pertemuan enam negara yang membahas program nuklirnya.
Pemungutan suara yang dilakukan secara intensif selama berjam-jam tersebut juga meninggalkan insiden kecil berupa walk out-nya utusan Korea Utara Pak Gil Yon dari ruang sidang. Utusan Korea Utara tersebut mengatakan bahwa Pyongyang "menolak total" resolusi yang dianggapnya tidak dapat dibenarkan. Dia juga menambahkan bahwa resolusi itu tak ubahnya seperti "kelompok penjahat", karena Dewan Keamanan seakan-akan mengeluarkan resolusi yang dipaksakan dengan mengabaikan tekanan yang dihadapi oleh Korea Utara.

Melihat perseteruan yang kian meruncing ini, hemat saya, krisis semenanjung Korea nampaknya tidak akan cepat selesai dalam waktu dekat ini. Terlebih lagi dengan keluarnya statement Korea Selatan yang disampaikan tidak lama setelah pemungutan suara diambil dengan menyatakan bahwa apabila Amerika Serikat terus berupaya meningkatkan tekanan atas Republik Rakyat Demokratik Korea Utara (DPRK), maka mau tidak mau DPRK akan juga berupaya terus untuk mengambil tindakan balasan fisik dan menganggapnya sebagai pernyataan perang.

Akankan hal ini menyulut untuk terjadi perang regional? Semoga saja tidak.

Saturday, October 14, 2006

Krisis Nuklir Korea Utara

UJI COBA NULKIR KOREA UTARA:
KEGAGALAN DIPLOMASI BUSH
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Beberapa hari yang lalu, Korea Utara mengeluarkan statement yang mengklaim keberhasilannya dalam melakukan uji coba nuklir, meskipun pada waktu yang bersamaan sebenarnya Korea Utara telah mendapat tekanan dari dunia international agar Korea Utara segera meninggalkan program persenjataan nuklirnya.

Ledakan kuat atas uji coba nuklir tersebut disinyalir terjadi di sebuah fasiltas bawah tanah di Provinsi Hamgyong Utara, Korea Utara. Berbagai ahli analisis pertahanan mempercayai bahwa Korea Utara tidak mungkin mempunyai kemampuan untuk dapat melakukan hal tersebut, tetapi sepertinya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Korea Utara hanya sekedar melakukan gertakan politik. Baik ahli dari Russia maupun Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka percaya klaim yang telah diumumkan secara terbuka oleh Korea Utara sangat akurat dan ledakan maha dahsyat yang terjadi tersebut diperkirakan mempunyai daya ledak sekitar 15 kilo ton TNT, yang secara sepintas dapat dikatakan mendekati dengan daya ledak pada bom Hiroshima di tahun 1945.

Para pemimpin dunia mengutuk keras tindakan Korea Utara tersebut, karena apa yang dilakukannya dianggap telah mengancam ketentraman dan stabilitas keamanan. Oleh karena itu, mereka meminta kepada Dewan Kemanan PBB agar Korea Utara dijatuhkan sanksi berdasarkan Bab Tujuh dari Piagam PBB yang mengatur mengenai “ancaman terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan agresi”.

Perwakilan Energi Atom International melaporkan bahwa uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah mengancam rezim anti pengembangbiakan bahan nuklir dan juga telah menciptakan konflik keamanan yang cukup serius, tidak hanya pada kawasan Asia Timur tetapi juga untuk seluruh masyarakat International.

Pre-emptive Attack

Belum lama pula, tepatnya pada bulan Juli tahun ini, Korea Utara juga telah melakukan uji coba tujuh buah misilnya, termasuk satu kali kegagalan terhadap misil jarak jauh Taepodong-2 yang dapat menjangkau wilayah Amerika Serikat. Itulah sebabnya, di samping telah membuka babak baru yang cukup berbahaya di dalam pengembangbiakan senjata nuklir, uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara dianggap telah menciptakan ancaman sangat serius bagi Amerika Serikat dan sekutunya yang sedang mencoba untuk menguasai negara-negara yang tidak tidak berpihak kepadanya. Akibatnya, petinggi garis keras di Washington telah merencanakan untuk menggunakan “pre-emptive attack” terhadap tempat-tempat pembuatan nuklir di Korea Utara dalam jangka waktu dekat ini jika uji coba tersebut dianggap telah dan akan menimbulkan ancaman.

Meskipun motif dalam menggunakan “pre-emptive attack” mempunyai tujuan yang mulia, tetapi secara pribadi penulis sangat tidak setuju jika seandainya tindakan tersebut ditempuh. Sebab, bagaimanapun juga, memberikan legitimasi dengan menyebutnya sebagai hak bagi setiap negara untuk menggunakan “pre-emptive attack” sebagai tindakan membela diri, maka hal tersebut sama saja degan memberikan perizinan yang pada nantinya tidak mungkin lagi dapat kita dikendalikan. Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan kesempatan luas untuk melegitimasi penyerangan yang membabi-buta secara bersama-bersama oleh negara adikuasa guna menghancurkan negara-negara lemah di dunia ini. Terlebih lagi, tindakan tersebut secara tidak langsung akan pula melanggar ketentuan Piagam PBB yang nyata-nyata mendahului tindakan masyarakat internasional di mana setiap tindakan haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui melalui instrumen Dewan Keamanan PBB.

Lagipula, sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan Asia Timur telah serta merta memberikan sanksi dalam waktu yang cukup lama yang akibanya telah menimbulkan permasalahan utama di bidang ekonomi yang cukup serius yang hingga saat ini masih diderita oleh Korea Utara. Tentu saja, analis dari Seoul, Beijing dan Washington menyakini bahwa kemarahan Pyongyang terhadap sanksi yang telah dijatuhkan kepadanya adalah satu dari sekian alasan utama yang melatarbelakangi uji coba nuklir yang terkesan memberikan satu bentuk perlawanan baru. Hal senada telah nyata diungkapan oleh para petinggi Pyongyang bahwa tindakan yang dilakukan adalah sebuah tanda dari titik kulminasi selama dua dekade perlawanan Korea Utara terhadap Amerika Serikat, perseteruan abadi terhadap negara yang mempunyai kekuatan ekonomi terkuat di dunia.

Oleh karenanya, China dan beberapa negara lainnya merasa enggan untuk memberikan dukungan penuh terhadap sanksi ekonomi kembali yang akan dijatuhkan oleh PBB terhadap klaim keberhasilan uji coba nuklir Korea Utara, sebab draft sanksi tersebut sepenuhnya dibuat oleh Amerika Serikat. Mereka tidak mengharapkan Pyongyang akan mengambil langkah keras dengan tindakan balasan yang justu dapat memperburuk hubungan dengan negara-negara disekitarnya apabila sanksi tersebut terkesan dipaksakan.

Maka dari itu, berdasarkan sudut pandang spektrum politik lain, Taylor Marsh berpendapat bahwa uji coba Korea Utara adalah sebuah bukti lebih lanjut dari kegagalan administrasi dan diplomasi dari Bush, di mana pertama kali dimulai dengan kebijakan politik Bill Clinton dan kemudian diperparah dengan menghina Pyongnyang dengan menghubungkan Korea Utara bersama Iran dan Iraq sebagai bagian dari “Axis of Evil”. Kini Korea Utara telah memetik pelajaran berharga dari kehancuran Iraq bahwa mereka harus juga mampu bersikap kasar kepada siapapun guna menghindari terjadinya berbagai bentuk invasi kenegaranya.

Dari Iran hingga Korea Utara kemudian sampai dengan Venezuela, mereka mulai membangun strategi anti pemimpin-pemimpin negara barat guna memberikan ancaman di tengah-tengah menguatnya harga minyak dunia atau sekedar untuk memperlemah jangkauan militer Amerika Serikat dengan cara mengurangi daya pengaruh publik terhadap dukungan atas penggunaan “pre-emptive action” oleh kekuatan militer Amerika Serikat dan sekutunya.

Tentu saja kita setuju dan mengecam keras tindakan pengembangbiakan senjata nuklir, dan sudah sepatutnya pula hal tersebut harus segera dimusnahkan. Namun demikian, jika Amerika, Inggris, dan negara lainnya mengingkan negara-negara lainnya menghentikan pembuatan senjata nuklir, maka hemat penulis mereka seharusnya dapat pula memimpin dengan memberikan contah terlebih dahulu dalam membina hubungan baik dengan negara manapun, dan bukan justru menciptakan tindakan sebaliknya yang saling bermusuhan.

[Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Master of Comparative Law pada Faculty iof Law, University of Delhi dan Program Master of Political Science pada IGNOU, New Delhi. Penulis dapat dihubungi melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau log on pada http://www.jurnalhukum.blogspot.com]

Note : Artikel ini telah dimuat pada H.U. Jawa Pos, 16 Oktober 2006)

Wednesday, October 11, 2006

Penelitian Hukum: Pengujian Undang-Undang Perjanjian Internasional

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
YANG MENSAHKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERHADAP UUD 1945 DI HADAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Abstraksi:

Pemerintah Republik Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya diantaranya adalah dengan membuat suatu perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum lainnya. Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu Ratifikasi (ratification), Aksesi (accesion), Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval), dan hasil perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Menurut Undang Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian sekilas mata maka perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang, sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2000, dapat diajukan ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk di uji apakah sesuai dengan UUD 1945. Maka dapat dimungkinkan undang-undang yang mengesahkan perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah, dibenarkankah UU yang mensahkan perjanjian Internasional dimana mempunyai karakteristik khusus dapat di-judicial review-kan di hadapan Mahkamah Konstitusi? Jika memungkinkah, maka dampak apa saja yang ditimbulkan, baik itu secara nasional maupun internasional, bilamana UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Penelitian Hukum yang pernah dimuat pada Jurnal Konstitusi Vol. 3 Nomor 1 (1 Februari 2006) ini menjawab dan menguraikan secara sistematis mengenai tata cara pengajuan apabila suatu saat terjadi pembatalan atas UU yang mensahkan perjanjian internasional termasuk konsekuensi hukum apabila terdapat putusan yang membatalkan UU tersebut.
Bagi anda yang membutuhkan hasil penelitian ini dapat mengubungi tim penulis dengan mengirimkan email kepada pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengirimkan pesan pada Blawg http://jurnalhukum.blogspot.com / http://faizlawjournal.blogspot.com.

Penelitian Hukum: Semi Autonomous Social Field

SEMI AUTONOMOUS SOCIAL FIELD:
STUDI KOMUNITAS PASAR KAGET DI AREA
KOMPLEK PEJABAT TINGGI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Abstraksi:

Hasil Penelitian di bidang Hukum Antropologi ini menggarisbawahi mengenai Semi Autonomus Social Field (SASF) yang begitu signifikan dalam memainkan peranannya dalam menciptakan ketertiban dan kepatuhan di tengah-tengah masyarakat.

Apabila kita tarik kepada hal yang lebih mendalam, berdasarkan pola-pola terbentuknya SASF tersebut, dan bila kita kaitkan dengan pembahasan mengenai pembentukan hukum, bahwa terciptanya hukum yang ideal menurut peneliti adalah hukum yang berasal dan terletak dari jiwa dan kesadaran masyarakat itu sendiri, bukan berasal dari penguasa semata yang tiba-tiba dijalankan begitu saja.

Salah satu SASF yang ada dan terbentuk dalam komunitas Pasar Kaget di area kompleks Pejabat Tinggi Negara RI telah memeberikan suatu hal yang nyata, bahwasanya telah terbentuk berbagai macam pola SASF di setiap sudut negeri ini.

Jika anda ingin mengetahui secara lengkap hasil penelitian hukum ini, anda dapat mengirimkan permohonan kepada penulis melalui email pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengisi buku tamu pada Blawg http://jurnalhukum.blogspot.com.

Tuesday, October 10, 2006

Penelitian Hukum: Islam dan Persaingan Ideologi di Parlemen

STUDI KASUS:
PRO KONTRA PEMASUKAN "TUJUH KATA" PIAGAM JAKARTA
KE DALAM KONSTITUSI PADA MASA REFORMASI
Abstraksi:

Indonesia yang termasuk ke dalam bangsa-bangsa dari dunia Islam dihadapkan kepada soal asas-asas pokok yang harus dijadikan dasar pemerintahan negerinya supaya terjamin kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyat. Masalah ini bukan saja bersangkutan dengan efisiensi dalam tata usaha pemerintahan tetapi juga dengan ideologi. Sebagai suatu negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, tidaklah sama artinya dengan suatu Negara Islam. Negara disebut dengan Negara Islam apabila negara tersebut dengan sadar menerapkan ajaran-ajaran sosio-politik Islam kepada kehidupan bangsa itu dan dengan sadar dimasukkan ajaran-ajaran itu ke dalam Undang-Undang Dasar Negara tersebut.

Namun, ada beberapa pihak yang menghendaki Islam menjadi dasar negara Indonesia. Kehendak tersebut salah satunya dilakukan dengan cara memasukkan kata “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” yang lebih dikenal sebagai tujuh kata dari Piagam Jakarta ke dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Usaha pemasukan ini ternyata menimbulkan pro kontra di kalangan nasionalis sekuler yang keberatan dengan rumusan tujuh kata tersebut. Pro-kontra tersebut mengakibatkan hilangnya tujuh kata Piagam Jakarta. Hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan agama lain jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Karya tulis ini berusaha untuk memaparkan secara utuh mengenai pergumulan ideologi di Parlemen sekaligus mengisahkan secara runtun proses pembahasan dan perdebatan pemasukan kata “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” ke dalam Konstitusi Indonesia, serta kaitannya fenomena keislaman yang tengah marak di setiap sendi kehidupan masyarakat.

Hasil Penelitian ini pernah dimuat di dalam “Jurnal Hukum dan Pembangunan” Edisi Februari 2005. Untuk memperoleh hasil penelitian ini secara lengkap, anda dapat langsung menghubungi penulis melalui email pm_faiz_kw@yahoo.com atau log on pada Blawg http://jurnalhukum.blogspot.com.

Sunday, October 08, 2006

Penafsiran Konsep Penguasaan Negara

PENAFSIRAN KONSEP PENGUASAAN NEGARA
BERDASARKAN PASAL 33 UUD 1945 DAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz
I. Pasal 33 UUD 1945 dan Konsep Penguasaan Negara
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia , karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas:
  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS 1950. Berarti dalam hal ini, selama 60 tahun Indonesia Merdeka, selama itu pula ruang perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga memperoleh tafsiran yang seragam.

Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:
  1. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum.[1] Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).
  2. Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.[2] Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.[3]
Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.
Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:
  1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
  2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
  3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
    Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.

Berikut ini adalah beberapa rumusan pengertian, makna, dan subtansi “dikuasi oleh negara” sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara antara lain yaitu:

  • Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.[4]
  • Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.[5]
  • Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:
    (1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; (2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan pemerintah;(3) Tanah … haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan tambang yang besar … dijalankan sebagai usaha negara.[6]
  • Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut:
    (1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, (2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.[7]

Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:[8]

  1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.
  2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.

II. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD 1945 juga dapat kita cermati dalam Putusan MK mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA) menafsirkan mengenai “hak menguasai negara (HMN)” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad).

Dengan demikian, makna HMN terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.

Seperti penafsiran Dr. Mohammad Hatta yang kemudian diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan perusahaan negara dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing.[9]

Conditionally Constitutional: Catatan Bagi UU SDA

Khusus mengenai perkara judicial review UU SDA yang diajukan oleh sekelompok warga negara Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, terdapat suatu pertimbangan khusus di dalam putusannya yaitu ketentuan mengenai conditionally constitutional[10]. Ketentuan ini tentunya masih asing di telinga kita, karena memang secara ekplisit keberadaan ketentuan conditionally constitutional, yang merujuk pada perkembangan hukum dunia, baru pertama kali diterapkan di dunia hukum peradilan Indonesia .[11]

Secara garis besar, ketentuan tersebut mempunyai pengertian bahwa apabila undang-undang a quo, dalam hal ini UU SDA, dalam pelaksanaannya ditafsirkan berbeda dengan apa yang ditafsirkan MK dalam pertimbangan hukum putusanya, maka terhadap UU tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk dapat diajukan pengujian kembali. Dengan adanya pertimbangan ini, sepertinya dapat kita artikan bahwa MK tidak saja menilai atas segala sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sebagai pertimbangan hukumnya, tetapi juga mencoba untuk membuat pertimbangan sehingga mengeluarkan putusan yang bervisi ke masa depan, khususnya dalam mengawal pelaksanaan UU tersebut agar tetap sejalan dengan UUD 1945.[12]

Terlepas dari isi putusan Mahkamah tentang SDA yang menyatakan bahwa permohonan pemohon ditolak, yang jelas keberadaan ketentuan tersebut sempat menjadi perdebatan hangat. Toh sebagai konsekuensi logis atas putusan MK dalam permohonan judicial review UU SDA tersebut, berbagai peraturan pemerintah (PP) yang harus dan akan dibuat atas perintah dari dan untuk melaksanakan UU SDA harus betul-betul memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan dimaksud. Sebab apabila tidak, besar kemungkinan akan terkena conditionally constitutional warning dari Mahkamah, yang untuk kedua kalinya akan “berijtihad” (setelah menyatakan Pasal 50 UU MK tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat) dengan membuka kemungkinan dapat diajukannya kembali pengujian UU SDA dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 60 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.

Penulis

Pan Mohamad Faiz, S.H.

(http://www.jurnalhukum.blogspot.com)

[1] Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 99.

[2] R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum (Jakarta: PT Pembangunan, 1958), hal. 176.,

[3] Undang-undang dasar negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.

[4] Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Mutiara, 1977), hal. 28.

[5] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta: Djembatan, 1954), hal.42-43.

[6] Mohammad Hatta, loc. cit.

[7] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 12.

[8] Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, ( Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hal. 17.

[9] Prof. A. Mukthie Fadjar, “Pasal 33 UUD 1945, HAM, dan UU SDA,” Jurnal Konstitusi Volume 2 Nomor 2 (September 2005) : 7.

[10] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian undang-undang Sumber Daya Air.

[11]Yong-joon Kim, “Constitutional Adjudication System: Experience of Korea”, http://www.fas.harvard.edu/~asiactr/haq/200001/0001a002.htm, diakses 19 Desember 2005.

[12] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dalam Temu Wicara “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ” di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada tanggal 11 Desember 2005.

Hukum dan Pers Mahasiswa

PERS MAHASISWA DAN PENDIDIKAN HUKUM[1]
Oleh : Pan Mohamad Faiz[2]

PENDAHULUAN
Pers Mahasiswa merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran segar guna mengaktualisasikan diri dalam merespon permasalahan keumatan. Keberadaan pers kampus dalam realita empiris sangat signifikan untuk mensosialisasi alternatif pemikiran-pemikiran terhadap permasalahan-permasalahan yang tengah berlangsung di tengah mahasiswa maupun masyarakat.
Pers mahasiswa dalam pengertian sederhana adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa. Pers mahasiswa pada umumnya dalam fungsi dan persyaratannya yang harus dipenuhi pada dasarnya tidak berbeda. Perbedaan yang lahir adalah karena sifat kemahasiswaannya yang tercermin dalam bidang redaksional dan kepengurusannya. Sifat kemahasiswaan ini lahir karena ia merupakan sekelompok pemuda yang mendapat pendidikan di perguruan tinggi.
Pada dasarnya fungsi pers mahasiswa sama seperti fungsi pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial. Posisi mahasiswa sebagai artikulator antara pemerintah dan masyarakat, menjadikan ia sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh dalam negara yang berkembang.
Pers Kampus atau Pers Mahasiswa harus peka terhadap perubahan kondisi sosial politik yang terjadi di tanah air sekarang ini. Sebelum reformasi, pers mahasiswa dapat tampil sebagai media alternatif. Saat itu pers mahasiswa masih dapat menyajikan berita atau tulisan yang pedas, keras, dan kental dengan idealismenya.
Sayangnya, meski kini sudah ada di era reformasi, industri pers umum Indonesia belum bisa membangun suatu kultur jurnalisme yang baik dan kode etik yang baik. Dibandingkan dengan pers umum, pers kampus akan lebih mudah dalam mengakomodasi nilai-nilai idealis yang sebagian di antaranya tertuang dalam kode etik wartawan Indonesia. Namun demikian, bukan berati bahwa pers kampus bebas dari intervensi. Ada kalanya, pers kampus mendapat intervensi dari pihak rektorat atau pun pihak lainnya.
Intervensi yang demikian amat sulit dihindari karena pengelolaan pers kampus berada dalam lingkungan kampus di mana penghuninya bukan mahasiswa saja. Apalagi, selama ini, pembiayaan pers kampus juga mendapat donasi dari pihak rektorat.
Masalah keterbatasan dana bukan menjadi penyebab tunggal kurang berkembangnya pers kampus di negara ini. Masalah manajemen juga menjadi faktor penting kemandegan perkembangan sejumlah pers kampus di negara ini, sebagaimana pernah diungkapkan oleh dosen jurnalistik Fikom Unisba, Septiana Setiawan. [3]
Tidak heran apabila disebutkan bahwa pers adalah pilar keempat dari demokrasi. Jadi beralasan pula, jika kita mengatakan bahwa yang diturunkan oleh pers kampus bukan berita tetapi sikap demokratis.

MEDIA PERGERAKAN

Pergerakan mahasiswa tidak bisa dipungkiri, telah melibatkan pers kampus di dalamnya. Sebab, sebagai wadah aspirasi mahasiswa, pers kampus merupakan perwujudan dari sikap mahasiswa yang ingin menata sebuah sitem dinamis, dan bebas dari bentuk interfensi apapun. Setiap pergerakan mahasiswa mempunyai jalur dan bentuk yang berbeda. Sebuah forum pergerakan mahasiswa tentunya menjadikan ajang demonstrasi sebagai media untuk melakukan pergerakannya. Namun, pers kampus mempunyai jalur dan bentuk tersendiri, bukan melalui demonstrasi lapangan, tapi pemberitaan dan penelusuran .
Meski sering disebut bermain di balik layar dari sebuah pergerakan mahasiswa, namun kerja pers kampus sama beratnya dengan pergerakan dan aksi lapangan semacam demonstrasi. Apalagi, dengan tuntutan harus menyampaikan informasi sejernih dan seakurat mungkin, pers kampus harus peka dan lebih berani daripada semua elemen pergerakan mahasiswa umumnya. Seperti kata pepatah, mata pena lebih tajam dari mata pedang, mungkin itulah yang menjadi kelebihan pers kampus.
Pers Mahasiswa, apapun bentuk dan formatnya, hadir dengan muatan nilai‑nilai dan ciri khas tertentu terentu. Pada masa pra kemerdekaan, berkala semacam "Jong Java", "Ganeca", "Indonesia Merdeka", "Soeara Indonesia Moeda", "Oesaha Pemoeda", ataupun "Jaar Boek", lahir dengan semangat kental untuk menjadi alat penyebaran ide-ide pembaharuan clan perjuangan akan arti penting kemerdekaan. Demikian haInya dengan pers mahasiswa yang lahir pada masa paska kemerdekaan.
Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (1945­1959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa atau kita kenal dengan sebutan nation building. Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya.
Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Artinya, kehidupan mereka benar‑benar tergantung pada kemampuan mereka untuk dibeli oleh masyarakat di luar kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang terbit di luar kampus menjadi pers umum. Sedang pers mahasiswa yang berada di kampus diberi bantuan secara finansial oleh universitas untuk mendukung kehidupannya. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.
Tidak dapat disangkal, perjuangan pers kampus pada masa itu menuai sejumlah pujian dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, sejumlah media ternama di luar negeri pun menggunakan pers kampus sebagai narasumber berita. Salah satunya yaitu mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut Pers Kampus sebagai salah satu "pendukung yang tak terduga".
Di bawah judul "Behind the Scenes" mingguan itu pernah menulis, kini kampus-kampus di Indonesia sudah saling terhubung melalui Internet, yang praktis tidak mudah dikendalikan oleh penguasa. Dengan mudah dan cepat segala macam informasi bisa disebarkan atau di-share bersama-sama. Jaringan informasi, yang dibentuk oleh pers mahasiswa itulah yang merupakan "pendukung tak terduga" dari aksi-aksi unjuk rasa di berbagai kampus Nusantara.
Pers Kampus seperti harian Bergerak! dari Universitas Indonesia (UI) Depok, juga sempat menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca Negara. Hal ini pun kemudian terjadi pada beberapa Pers Kampus yang terkenal vokal menyuarakan fakta pergerakan yang terjadi seperti Teknokra (Unila), Ganesha (ITB), Manunggal (Universitas Diponegoro), Balairung dan Gugat (UGM), Suara Airlangga (Unair) dan Arrisalah (IAIN Sunan Ampel), sampai Identitas (Universitas Hasanuddin Ujungpandang) - dengan pendahulu mereka yang besar seperti Harian KAMI (Jakarta) atau Mahasiswa Indonesia Edisi Jawa Barat (Bandung).
Bagi Mahasiswa Universitas Sendiri sejak 10 Maret 1998 kampus UI di Depok, Jawa Barat, 'hanya' memiliki Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa Universitas Indonesia. Terbitnya dua bulan sekali, 66 halaman, kertasnya bagus, punya izin terbit dari SK Rektor, pengurusnya OK - Pelindung: Rektor, Penasihat: Purek III, dan Penanggung jawab: Ketua Senat Mahasiswa -, punya nomor rekening di Lippo Bank, dan isinya cukup beragam: dari serius sampai santai. Namun, ketika banyak aksi mahasiswa marak menjelang Sidang Umum MPR, Suara Mahasiswa tampak sulit berbuat sesuatu. Terjadinya gap informasi antara mereka yang aktif dalam aksi-aksi mahasiswa dan mereka yang tidak. Bersama para alumni pers kampus, redaksi mulai mendiskusikan bentuk media baru guna menginformasikan dan menyebarkan kesadaran politik di kalangan mahasiswa. Muncullah gagasan menerbitkan sebuah harian sederhana, sebagai "tukang pos" penyadaran. Tanggal 10 Maret 1998 akhirnya terbit edisi perdana harian Bergerak!. Terbit Senin sampai dengan Jumat dengan empat halaman dan masih gratis.[4]
Pers mahasiswa, menjadi apa yang oleh Nugroho Notosusanto disebut sebagai community press sebagaimana hidup di negara‑negara yang sudah maju.[5] Pers mahasiswa hanya untuk melayani komunitas mereka saja, yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Fungsi mahasiswa sebagai pelaksana aksi sosio‑kebudayaan ataupun perjuangan politik sebagaimana telah dilakukan oleh para aktivis "Mahasiswa Indonesia" (dalam Raillon,1989) kini hanya tinggal mitos belaka. Betulkah demikian halnya? Bagaimana dengan pers mahasiswa di masa reformasi sekarang ini?
Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan­-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui "Bergerak", Yogyakarta melalui, "Gugat" ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet
Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.

PERS KAMPUS SEBAGAI CIVIL SOCIETY

Civil society disini dimaksudkan sebagai wilayah‑wilayah kehidupan sosiai yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain oleh kesukarelaan (voluntaty), keswasembadaan (self‑generating), dan keswadayaan (self‑supporting).[6]
Sebagai salah satu bentuk khusus dari lembaga pers, pers mahasiswa juga mempunyai peluang besar untuk membantu terciptanya suatu ruang publik yang bebas bagi terjadinya dialog idiologis diantara berbagai kepentingan politis yang ada di lingkungan mahasiswa sendiri. Mengapa tidak? Dengan kebebasan yang dimilikinya, pers mahasiswa bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi sosiologis ataupun ideologisnya. Hal ini disebabkan pers mahasiswa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai‑nilai tertentu di masyarakatnya. Hal itu tampak dari fungsi yang dijalankannya, yaitu sebagai alat untuk pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan bagian-­bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), transmisi warisan sosial (transmission of the social heritage), dan hiburan (entertainment). [7]
Keberhasilan pers mahasiswa dalam membantu menumbuhkembangkan civil society di Indonesia akan dapat berhasil dengan baik apabila ia mampu menampilkan dirinya sebagai pers mahasiswa yang benar-benar mampu memenuhi validitas kesahihannya Habermas . Artinya pers mahasiswa harus mampu tampil secara profesional sebagaimana pers umum. Tanpa profesionalitas itu, pers mahasiswa memang hanya akan menjadi laboratorium jurnalistik belaka.

IDEALISME DAN IDEOLOGI PERS KAMPUS

Pers kampus, sebagai bentuk organisasi mandiri idealnya harus lembaga yang mampu memberikan informasi yang jernih dan akurat. Tanpa ada manipulasi sedikit pun, sekaligus menghapus bayang-bayang kediktatoran penguasa yang selama ini mengintervensi segala bentuk kekritisan. Baik di dalam tataran universitas maupun di lingkungan masyarakat luas umumnya.
Permasalahan signifikan yang dihadapi pers kampus dalam perjuangannya, tidak bisa dipungkiri masalah modal dan ruang. Adanya modal, akan tercipta ruang untuk berkreasi. Modal adalah unsur sentral di dalam perjalanan sebuah media penerbitan, di manapun. Modal berkaitan dengan uang (money), dan uang adalah suatu bentuk kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri, uang telah menjadi titik penentu sebuah kekuasaan dewasa ini, dibuktikan dengan sebuah realita di masyarakat yang menjadikan uang sebagai jangkar untuk menyambung kehidupan.
Pers kampus harus membakar lidahnya sendiri ketika pemodal (rektorat) membatasi kinerja. Demi kelangsungan hidupnya sebuah pers kampus banyak yang menodai ideologinya sendiri, sangat disayangkan. Tidak ada uang, maka ruang pun terancam.
Sebagai organisasi yang bisa dikatakan independen, modal utama sebenarnya bukan uang semata, tapi sebuah pemikiran yang logis dan kritis, kerja keras menuju sebuah perubahan ke depan. Sebuah pergerakan yang dinamis dan keinginan yang kuat, itulah modal utama yang sebenarnya. Dan dari situ pers kampus dapat mengembangkan dirinya sesuai kreativitasnya, untuk keluar dari bayang-bayang penguasa kampus.
Masuk ke dalam dunia bisnis media, adalah salah satu jalannya, jelasnya dengan memperbanyak iklan dan sponsor. Namun, permasalahan utamanya akan kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai pers mahasiswa menjadi pers komersial. Ini umumnya yang selalu menjadi pertimbangan dari kawan-kawan pers kampus, yang ingin mencoba terjun ke dunia bisnis media.
Sekali terjebak dalam dunia bisnis, ideologi akan dipertaruhkan. Ideologi yang menekankan, pers kampus adalah sebuah media mahasiswa alternatif dan pergerakan yang menjauhkan diri dari segala bentuk interpensi, terutama pihak pemodal dan kaum kapitalis. Solusinya, sebagian tidak bisa menutup diri terhadap dunia bisnis. Namun penetapan batasan yang jelas menjadi kuncinya, selama tidak mengubah dan merusak tatanan dalam pers kampus itu sendiri. [8] Kekuatan pers ini hanyalah loyalitas dan dedikasi pengelolanya saja. Biaya yang kita keluarkan ibarat, biaya hidup sehari-hari saat kuliah saja. Namun untuk urusan keberanian, dengan tutup mata pun dapat didalilkan, pers umum kalah dibanding pers mahasiswa. Lebih-lebih di zaman reformasi seperti ini. Tak peduli amburadul-nya manajemen, tata tulis, logika pikir, atau argumentasi, namun statement paling lugas dan vulgar tentang fakta politik nasional - yang seandainya dipampang di pers umum pasti langsung kena bredel - bisa dengan enteng muncul di pers mahasiswa.
Sulit untuk tidak mengatakan pers mahasiswa tidak signifikan. Mustahil pula untuk mengesampingkan peran pers mahasiswa dalam proses berkembangnya aksi-aksi mahasiswa akhir-akhir ini. Dalam kondisi seperti itu daya hidup pers mahasiswa kemudian justru terpelihara karena keunikan posisinya. Mereka antara tergantung dan tidak tergantung. Jika ada dana fakultas atau jurusan mereka tergantung. Tapi disebut tergantung sama sekalipun tidak. Buktinya, jika dananya kurang, para pengelolanya akan melakukan apa saja, termasuk mencari utang. Kalau perlu sebagian dana kos yang diperoleh dari orangtua, atau sisa penghasilan dari penyelenggaraan seminar yang mereka selenggarakan, dialihkan untuk biaya penerbitan.[9]

PERS KAMPUS ONLINE

Lima bulan setelah Soeharto turun dari kekuasaan, tepatnya pada pertengahan Oktober 1998, Majalah Mahasiswa UGM Balairung mengadakan seminar tentang, Reorientasi Pers Mahasiswa Pasca Soeharto. Maka muncullah pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pers mahasiswa, setelah Indonesia memasuki zaman baru yang lebih terbuka, lebih bebas, dan lebih demokratis? Mengingat selama bertahun-tahun pers mahasiswa justru mengambil peran penting di tengah-tengah situasi yang tertutup dan mengekang. Mereka berani mengungkap fakta-fakta penting.
Pada era terbuka dan bebas, seperti sekarang ini, tentu saja keberanian saja tidak cukup. Soalnya pers umum, apalagi mereka yang baru terbit, jauh lebih berani dan bahkan jauh lebih nekat. Tidak hanya dalam beropini, tetapi juga dalam mengungkap fakta. Tidak bisa dibayangkan sebelumnya, bahwa Soeharto kemudian disebut-sebut sebagai otak peristiwa 30 September 1965. Atau bahkan ia disebut sebagai kader komunis sejati.
Pers mahasiswa sebaiknya menjadi comunity paper. Artinya, ia harus berupaya memenuhi kebutuhan informasi komunitasnya, yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh pers umum. Ia harus peka dan peduli terhadap masalah-masalah yang terjadi di tempat dia berasal. Dengan saran menjadi comunity paper, bukan berarti penulis bermaksud mengabaikan kepedulian pers mahasiswa terhadap masalah-masalah 'besar', masalah-masalah sosial politik nasional. Maksudnya adalah para aktivis pers mahasiswa tidak perlu bersusah payah meliput, apalagi ikut-ikutan mengungkap fakta berskala nasional. Sebab kalau itu yang dilakukan, aktivis pers mahasiswa pasti akan kalah bersaing dengan media umum yang memiliki modal kuat dan ditunjang tenaga yang profesional. Pers mahasiswa cukup menyampaikan opini dengan sudut pandang lokal artinya berdasar pemahaman dan cara pikir komunitasnya terhadap masalah-masalah nasional yang sedang, muncul. Dengan demikian, meski membicarakan problem nasional, pers mahasiswa bisa benar-benar membumi, tumbuh dan berkembang dari komunitasnya.
Kini, ada belasan majalah mahasiswa (berbahasa Indonesia) setiap kali terbit selalu dionlinekan. Fakta ini menunjukkan, bahwa para aktivis pers mahasiswa sangat cepat mengantisipasi perkembangan teknologi internet. Hanya saja, kecepatan dan kesigapan belumlah cukup. Yang tak kalah panting adalah bagaimana secara tepat memanfaatkan perkembangan internet. Tanpa ketepatan, maka penggunaan teknologi internet akan sia-sia. Paling maksimal hal itu sekadar menjadi gaya hidup saja.
Internet sebagai sarana media informasi, memiliki dua kelebihan, yaitu kecepatan dan daya jangkau. Dengan hanya membuat situs web yang diisi oleh materi edisi cetak maka aktivis pers mahasiswa hanya memanfaatkan daya jangkaunya saja. Itu pun kalau alamat situs diketahui oleh banyak orang. Sadang faktor kecepatan, sama sekali bdak disentuh. Padahal kalau faktor kecepatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh mahasiswa, maka efek dari produk pemberitaan mahasiswa akan terasa benar. [10]
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi apabila mahasiswa (Indonesia) di seluruh dunia bisa mengikuti peristiwa tertembaknya seorang demontsran di sebuah kampus, dari situs web yang terus-menerus di-update. Hal ini sebetulnya bukan baru sama sekali di lingkungan aktivis mahasiswa, sebab saat menggerakkan demo untuk menurunkan Soeharto, mereka sudah memanfaatkan e-mail sebagai sarana komunikasi dan tukar informasi yang cepat. Hanya saja sifatnya yang belum massal, maka efeknya pun masih terbatas dan tak serentak.
Lewat internet manusia memang tengah 'memperkecil' dunia. Tentu aktivis pers mahasiswa tidak ingin ketinggalan dalam proses tersebut. Paling tidak, mereka, dengan internet, bisa 'menyatukan' dunia mahasiswa dan kampus yang bertebaran di berbagai kota. Bukankah hal ini merupakan cita-cita setiap aktivis (pers) mahasiswa? Dalam proses inilah para aktivis pers mahasiswa bisa menjalankan tugasnya secara maksimal, tanpa dihantui oleh perasaan takut, karena hasil kerjanya tidak bisa diterbitkan karena terbatasnya dana.
Masalahnya adalah bagaimana membuat orang tertarik untuk terus-terusan untuk membuka suatu situs web? Jawabnya, pertama situs ini selalu menampilkan informasi baru. ini artinya harus di-update terus-menerus. Yang kedua, tentu saja menyajikan informasi yang menarik. Tentu ini adalah pekerjaan berat bila hanya dilakukan oleh sekelompok aktivis mahasiswa dari satu atau dua kampus. Karena di samping keterbatasan waktu para aktivis pers mahasiswa untuk membuat karya jurnalistik, kenyataannya tidak setiap hari terjadi peristiwa yang menarik di satu kampus.
Untuk mengatasi masalah ini. maka lembaga-lembaga pers mahasiswa yang ada, bisa secara bersama-sama membuat satu situs yang berisi tentang berita kampus. Dengan banyaknya lembaga yang terlibat dalam pengisian situs tersebut, maka updating berita bisa terjaga. Masalahnya apakah lembaga-lembaga pers mahasiswa mau secara bersama-sama membangun satu situs web buat menyalurkan berita-berita kampus yang mereka bikin sendiri? Sejauh pantauan penulis, keinginan untuk itu sudah ada, namun tetap jangan berharap bahwa semua lembaga pers mahasiswa akan terlibat dalam proses ini

KONTRIBUSI PERS KAMPUS BAGI PENDIDIKAN HUKUM

Dengan melihat perkembangan dan peran pers kampus sepanjang sejarahnya, maka sudah tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa pers kampus merupakan suatu sarana bagi pengembangan daya pemikiran dan intelektualitas bagi masyarakat Indonesia. Berbagai tema dan topik yang diangkat sangat kental dan dekat dengan kebutuhan informasi yang diinginkan oleh setiap orang, terlepas dari cara dan etika penulisan yang kurang profesional. Lalu bagaimanakah dengan peran Pers Kampus itu sendiri dalam pencerahan bagi mahasiswa maupun masyarakat dalam bidang hukum? Penulis menyadari bahwa porsi dan muatan berita-berita pers kampus mengenai topik yang bersinggungan dengan hukum sangat lah sedikit.
Untuk menemukan majalah hukum yang benar-benar dikelola dan dicetak oleh mahasiswanya sendiris sebenarnya telah ada, seperti “Mahkamah” yang dibuat oleh Mahasiswa FH-UGM, namun di kampus Universitas Indonesia yang menjadi parameter mahasiswa nasional justru tidak keliahatan tanda-tanda kelahirannya. Padahal materi-materi hukum mulai dari yang ringan sampai yang berat benar-benar sangat dibutuhkan oleh seluruh elemen bangsa ini, mengingat negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Memang sangat disayangkan, bahwa mahasiswa sebagai kasalisator dan agent of change bangsa ini tidak banyak memberikan kontribusinya bagi pengembangan pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat. Penulis mengangap salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah sangat minimnya tingkat keinginan dan inisiatif dari penulis mahasiswa yang mau untuk memberikan tulisan hukumnya untuk digulirkan ditengah-tengah masyarakat. Kemudian yang menjadi kendala berikut adalah sedikitnya tingkat kemampuan dan pengetahuan komunitas pers mahasiswa mengenai berita-berita hukum, mengingat bidang hukum dianggap sebagian kalangan adalah bidang “ekslusif” dari komunitas hukum saja. Sehingga bagi mereka yang berada di luar komunitas tersebut (outgroup) akan segan untuk menulis berita-berita mengenai bidan hukum bahkan cenderung untuk tidak berani. Lalu apa yang sekarang dilakukan oleh mahasiswa hukum itu sendiri? Mereka lebih senang untuk menulis mengenai hal-hal yang berbau bidang sosial-politis, dikarenakan pendapat mengenai hal yang demikian adalah hal yang tidak terlalu terkoridor dengan tatanan-tatanan hukum yang ada, sehingga untuk dikritisi atau didebat sekalipun sangat luas batasannya.
Namun apa yang terjadi setelah mereka menjadi Sarjana Hukum, justru mereka yang sebelumnya tidak pernah sekalipun menggoreskan penanya untuk Pers Kampus menjadi penulis-penulis yang berani mengutarakan opini dan argumentasinya. Penulis coba mengambil contoh di Fakultas Hukum Univerisitas Indonesia, di kalangan mahasiswanya memang terdapat lembaga yang bergerak di bidang pers namun apa yang dihasilkannya barulah berupa selebaran dan bulletin saja, itu pun lebih banyak persentase diluar kerangka hukumnya. Tetapi lembaga hukum di lingkup fakultasnya mampu menghasilkan majalah dan jurnal hukum yang isinya selalu dihiasi oleh mahasiswa yang belum lama menjadi Sarjana dan justru kerap diburu oleh komunitas hukum nasional, seperti Teropong (MaPPI), Hukum dan Pembangunan (Tim Pengajar Bidang Tata Negara), Indonesian Journal of International Law – IJIL (LKHI) dan lain sebagainya.
Refleksi bagi kita semua atas dinamika pers kampus dan dialektika mahasiswanya yang saat ini belum mampu banyak memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan hukum Indonesia, sebab Pers Kampus sebagai media alternatif sebenarnya juga dapat menjadi media advokasi dan transformasi pendidikan hukum bagi masyarakat yang seringkali terbuai dari sistem yang pada hakikatnya sedikit mengkebiri hak-hak mereka sebagai seorang citizen.

Fiat Justitia Et Pereat Mundus!

[1] Disampaikan dalam Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerjasama dengan KOPMA FHUI pada tanggal 30 Maret 2005 di Fakultas Hukum Universitas Indoenesia.

[2] Penulis adalah Mantan Aktivis Universitas Indonesia, pernah menjabat sebagai Ketua Senat dan juga Ketua Dewan Pers Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] “Pers Kampus & Tumbangnya Orba”, <http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/20/ 1101.htm>, diakses 28 Maret 2005.

[4] “Geliat Baru Pers Mahasiswa (Kompas, Minggu, 3 Mei 1998),” <http://pipmi.tripod.com/ berita_geliat_baru_pers_mahasiswa.htm>, diakses 29 Maret 2005.
[5] “Pers Mahasiswa”, <http://pipmi.tripod.com/artikel_persma_persemaian_public_sphere_ civil_society.htm>, diakses 29 Maret 2005.
[6] Sunarto, “Pers Mahasiswa: Persemaian Public Sphere Civil Societ.”Makalah disampaikan pada Seminar Pers Nasional 'Quo Vadis Pers Mahasiswa" dalam rangka Ulang Tahun Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro ke-19 dan pertemuan pertama forum komunikasi pers mahasiswa Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2000 bertempat di Auditorium Undip Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1 Semarang.
[7] Lihat De Fleur dan Dennis, 1985:157; Shoemaker dan Reese, 1991: 24‑25.

[8] Deni Adndriana, “Pers Kampus.” <http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/01/ 1103.htm>, diakses 29 Maret 2005.

[9] “Modalnya Cuma Keberanian dan Loyalitas (Kompas, Minggu 3 Mei 1998),” <http://pipmi.tripod.com/ berita_modalnya_cuma_keberanian_dan_loyalitas.htm>, diakses 29 Maret 2005.

[10] Didik Supriyanto, “Menggagas Media Kampus Online.” Makalah disampaikan pada Seminar Cyber Media : Menuju Media Campus Online, 24 Februari 2000 di Kampus UGM Bulaksumur yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan Majalah Mahasiswa UGM Balarung.

Judicial Review UU SISDIKNAS dan APBN 2005

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL:
Analisa Kritis “Putusan JILID I” Mahkamah Konstitusi

Oleh : Pan Mohamad Faiz
I. PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang menjadi penentu utama bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan nasional kita, tidak lain adalah faktor alokasi anggaran di bidang pendidikan. Ketentuan mengenai anggaran pendidikan telah diamanatkan secara langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945) dalam Pasal 31 ayat (4) yang berbunyi “Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah ditegaskan kembali pada Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Dalam hal ini ketentuan tersebut berarti telah menggariskan bahwa anggaran 20 persen harus benar-benar murni di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan lainnya.

Akan tetapi, semenjak UU Sisdiknas tersebut disahkan pada tanggal 8 Juni 2003, realitas yang terjadi di lapangan justru berkata lain. Penyusunan dan pengalokasian anggaran pendidikan baik di tingkat Pusat maupun Daerah, ternyata tidak sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Oleh karena itu, beberapa warga negara yang merasa hak konstitutionalnya dirugikan, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review UU Sisdiknas dan APBN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

II. PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI JUDICIAL REVIEW UU SISDIKNAS DAN UU APBN 2005

Mahkamah Konstitusi kembali memutus dua perkara Pengujian Undang-undang (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yaitu perkara No. 011/PUU-III/2005 dan perkara No. 012/PUU-III/2005. Dua undang-undang yang dimohonkan oleh pemohon yang sama, yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005, merupakan undang-undang yang menjadi pondasi dasar bagi pengembangan pembangunan berkelanjutan di negari ini. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kedua putusan yang saling terkait erat tersebut, tentunya mempunyai implikasi serta membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan pendidikan dan kehidupan segenap warga negara Indonesia.

A. Perkara No. 011/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU SISDIKNAS.

Dalam perkara No. 011/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU Sisdiknas, Pemohon memohon pengujian secara materiil konstitusionalitas Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), serta Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi sebagai berikut:

  • Pasal 17 ayat (1), ”Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah”;
  • Pasal 17 ayat (2), ”Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”;
    Penjelasan Pasal 49 ayat (1), ”Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap”;

Putusan Mahkamah yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 19 Oktober 2005 yang amarnya “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian”, telah menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut yaitu:

  • Dalil pemohon yang menyatakan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, hanya didasarkan atas asumsi yang tidak didukung alat bukti dan juga tidak didukung oleh keterangan pihak-pihak terkait. Selain itu, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 juga tidak mengatur secara limitatif tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan dasar, tetapi menyerahkan pengaturannya dengan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional. Sehingga dalil pemohon dianggap tidak cukup beralasan;
  • Sedangkan dalil pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dianggap cukup beralasan. Hal ini didasarkan bahwa Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis telah menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-perundangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 dalam permohonan pengujian Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Terlebih lagi pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan di Indonesia yang perwujudannya antara lain adalah pemberian prioritas di bidang anggaran. Adanya Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah untuk tidak memenuhi alokasi 20% anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, sehingga dalil para Pemohon dinyatakan cukup beralasan.
  • Catatan:
    Terhadap Putusan No. 011/PUU-III/2005, terdapat 3 (tiga) Hakim Konsitusi yang mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion).

B. Perkara No. 012/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU APBN 2005.

Untuk perkara No. 012/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU APBN 2005, pemohon mendalilkan bahwa UU APBN Tahun 2005 yang menetapkan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 7% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, serta Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi,

“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”;

Perkara yang mempunyai keterkaitan erat terhadap putusan Judicial Review UU Sisdiknas ini, telah diputus oleh Mahkamah juga pada tanggal 19 Oktober 2005 yang amarnya ”Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard)”. Adapun pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut yaitu:

  1. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa UU APBN bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan, karena seandainya pun benar para Pemohon dirugikan oleh UU APBN, kerugian tersebut bukanlah kerugian konstitusional;
  2. Adanya alokasi anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa anggaran tersebut diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dan tidak dilakukan secara bertahap (Vide putusan Mahkamah No. 011/PUU-III/2005), meskipun telah ternyata bahwa DPR bersama Presiden telah dengan itikad baik memanfaatkan sumber daya secara maksimal serta bertekad untuk melakukan realisasi secara progresif dalam penyusunan APBN seterusnya.
  3. Akan tetapi apabila Mahkamah memutuskan untuk menyatakan UU APBN 2005 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sebagai akibat hukumnya adalah seluruh rencana pendapatan dan belanja negara yang tertuang dalam APBN tidak mengikat lagi kepada Presiden dan seluruh realisasi pendapatan dan belanja negara yang didasarkan atas UU APBN tidak mempunyai dasar hukum lagi, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum pada realisasi belanja yang telah dikeluarkan oleh sektor lain yang anggarannya harus dikurangi.
  4. Apalagi ternyata bahwa anggaran pendidikan tahun sebelumnya lebih sedikit nilai atau jumlah nominalnya daripada anggaran yang sedang berjalan, sekiranya permohonan dikabulkan maka justru para Pemohon dan segenap warga negara yang mempunyai kepentingan yang sama dengan para Pemohon akan semakin dirugikan.

Berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam hal perkara pengujian UU, apabila Mahkamah berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan. Dengan dasar uraian pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, pada intinya Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon adalah beralasan, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan a quo, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara, yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya dapat akan lebih buruk karena anggaran pendidikan pada APBN 2004 lebih kecil jumlahnya daripada APBN 2005, yaitu 6,6 % dari APBN pada tahun 2004 dan 7 % dari APBN untuk tahun 2005.

Catatan:
Terhadap Putusan No. 012/PUU-III/2005, terdapat 2 (dua) Hakim Konsitusi yang mempunyai alasan berbeda (Concurring Opinion), dan 2 (dua) Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion).

III. ANALISA PUTUSAN

A. PUTUSAN MAHKAMAH

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dalam perkara Judicial Review UU Sisdiknas, nyata-nyata telah membawa angin segar bagi iklim perkembangan Pendidikan Nasional. Ketentuan yang menjelaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan harus diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN, tidak dapat lagi dilakukan secara bertahap. Akan tetapi lain halnya dengan putusan Judicial Review UU APBN 2005, telah timbul pro kontra di banyak kalangan yang mempertanyakan kembali alasan dan pertimbangan hukum yang diambil oleh Majelis dalam memutus perkara terebut.

Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa dalam perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, amar putusan Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan:

  1. Permohonan tidak dapat diterima, apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 (sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat vide Putusan MKRI No. 066/PUU-II/2004) dan Pasal 51 mengenai legal standing pemohon.
  2. Permohonan dikabulkan, apabila permohonan beralasan atau pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945. Mahkamah kemudian menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.
  3. Permohonan ditolak, apabila undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik menegani pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.
    Jika kita melihat kembali putusan tentang Judicial Review UU APBN 2005, Mahkamah telah berpendapat bahwa permohonan beralasan. Jika memang Mahkamah konsisten terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 58 UU No 24 Tahun 2004 tersebut, tentunya Putusan akan mempunyai amar yang menyatakan bahwa permohonan dikabulkan. Akan tetapi yang terjadi, Mahkamah justru mengeluarkan Putusan dengan amar menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvantkelijk verklaard. Di sinilah menurut penulis yang menjadikan satu titik kontras timbulnya pro kontra akan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi.

Bagi yang menganut hukum positivisme ataupun legalystem, tentu sulit untuk menerima pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah. Sebab, terlihat dengan jelas bahwa Mahkamah mendasarkan putusannya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar ketentuan hukum positif yang telah digariskan, yaitu mempertimbangkan terhadap faktor perekonomian dan kerugian yang akan diderita oleh negara. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, bolehkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memasukan pertimbangan-pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik kedalam putusannya? Memang selama ini, di pengadilan manapun tidak seyogyanya memasukkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar pertimbangan hukum sebagai dasar pengambilan putusannya. Akan tetapi hemat penulis, harus dapat kita bedakan antara Mahkamah Konstitusi dengan pengadilan-pengadilan lainnya, seperti pengadilan pidana, perdata, TUN, militer, dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar dan utama adalah bahwa pada hakikat perkara di Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara.

Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara peng­ujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. Undang-undang yang digugat adalah un­dang-undang yang mengikat umum terhadap sege­nap warga negara. Oleh sebab itu, perkara yang diaju­kan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permo­honan.

Oleh karena itu tidak bisa tidak, jika dipandang perlu maka Majelis Hakim dapat mempertimbangkan hal-hal lain guna memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi segenap warga negara bangsa ini dan meminimalisir kemungkinan kerugian yang mungkin akan timbul dan diderita oleh pihak-pihak tertentu atas putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah. Selain itu, penulis juga beranggapan bahwa sistem hukum Indonesia yang sebenarnya masih berada pada posisi grey area antara sistem Common Law ataupun Civil Law, maka tidak serta merta Mahkamah dengan sistem pengadilannya yang khas harus selalu menjadi corong dari undang-undang.

Begitu pula dengan perkara yang diputus oleh Mahkamah Konsitusi terkait dengan UU APBN 2005. Suatu kedilematisan para Hakim Konstitusi telah terlihat secara gamblang ketika menguraikan pertimbangan hukum putusan tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya 2 (dua) Hakim yang menyatakan concurring opinion dan 2 (dua) Hakim yang menyatakan dissenting opinion. Tetapi satu hal yang harus digarisbawahi di sini yaitu, semuanya tidak ada satu pun Hakim Konsitusi yang menyatakan bahwa permohonan dapat dikabulkan, bahwasanya pendapat seluruh Hakim Konstitusi bermuara pada amar putusan yang menyatakan putusan tidak dapat diterima dan permohon ditolak.

B. IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI

Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, membawa implikasi bahwa pengalokasian anggaran pendidikan harus mempunyai besaran 20 persen dari APBN dan APBD, dan tidak bisa lagi dilakukan secara bertahap sebagaimana diartikan selama ini oleh berbagai kalangan. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran penulis adalah, sejauh manakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipatuhi oleh pihak-pihak terkait yang dalam perkara ini berarti para legislator yang akan menyusun UU APBN selanjutnya. Ketidakpatuhan melaksanakan putusan Mahkamah oleh pihak-pihak yang terkait dengan suatu perkara pengujian undang-undang, seringkali menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak bermakna.

Hal itupun terjadi kembali tidak lama setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Judicial Review UU Sisdiknas dan UU APBN 2005 dikeluarkan. Belum genap 10 (sepuluh) hari dari dikeluarkannya Putusan tersebut, sebagaimana dilansir di berbagai media massa, tepat pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui Rapat Paripurna para legislator telah menyetujui pengesahan RUU APBN 2006 menjadi UU, padahal alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tersebut hanya berkisar kurang lebih 8 persen dari APBN. Terkait dengan alokasi anggaran pendidikan yang masih jauh di bawah 20 persen dari APBN, Menteri Keuangan Jusuf Anwar memberikan penjelasan bahwa pengesahan RUU APBN 2006 menjadi UU diambil dengan pertimbangan keuangan negara belum memungkinkan, dan bahkan menurutnya keputusan tersebut diambil setelah berkonsultasi terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi.

Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan yang disampaikan oleh para legislator tersebut, satu hal yang harus kita temukan jawabannya yaitu sejauhmanakah sebenarnya politik keputusan yang diinginkan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Sangat mungkin, pemohon yang sama atas perkara Judicial Review kedua undang-undang tersebut, akan mengajukan permohonan kembali dengan materi substansi yang tidak jauh berbeda. Lalu, bagaimanakah putusan yang akan kembali dikeluarkan oleh Mahkamah? Prediksi penulis, putusan yang akan diambli tidak akan jauh berbeda dari putusan sebelumnya. Kecuali pada tahun tertentu, alokasi anggaran pendidikan lebih besar ketimbang anggaran tahun sebelumnya maka permohonan dapat saja dikabulkan, itupun masih sulit dan kecil kemungkinannya untuk dapat dikabulkan.

III. PENUTUP

Amandemen UUD 1945 yang memasukan secara teknis jumlah angka dalam alokasi penganggaran pendidikan telah disepakati. Terlepas dari latar belakang, strategi, ataupun mungkin (dibeberapa kalangan) dianggap suatu kecerobohan, maka ketentuan tersebut tetap harus dilaksanakan. Dilematis memang mempunyai ketentuan dalam konstitusi yang baik dalam segi substansial, namun sangat sulit untuk diimplementasikan pelaksanaanya. Begitulah yang terjadi dengan ketentuan Konstitusi yang mengatur minimal 20 persen anggaran pendidikan di dalam APBN dan APBD. Hingga hari ini, selain Indonesia dan Taiwan, rasa-rasanya hanya negara Brazil yang dalam Konstitusinya berani menentukan jumlah dan kisaran yang wajib dialokasikan untuk anggaran pendidikannya, yaitu minimal 18 (delapan belas) persen untuk anggaran tingkat pusat dan 25 persen untuk tingkat daerah, itupun sebenarnya sudah termasuk termasuk biaya pengelolaan dan pengembangannya, dimana keduanya hanya diambil dari pendapatan pajak penghasilan penduduknya bukan dari APBN ataupun APBD (Article 212 - Constitution 1988).

Lalu, bagaimanakah nasib pendidikan negara Indonesia yang mencita-citakan anggaran pendidikannya berjumlah 20% dalam APBN dan APBD yang tidak boleh dilakukan secara bertahap? Pergulatan untuk mewujudkan cita tersebut telah dilakukan melalui jalur Judicial Review di hadapan Mahkamah Konsititusi selaku salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, tetapi ternyata belum juga memberikan hasil yang memuaskan. Haruskah kita meletakkan harapan dan kepercayaan sepenuhnya kepada wakil-wakil kita di Lembaga Legislatif? Ataukah kita harus mundur untuk mempertimbangkan kembali ketentuan Konstitusi mengenai besaran anggaran pendidikan? Yang jelas, jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, dimana setiap tahunnya anggaran pendidiakan 20 persen tidak pernah terpenuhi, maka jika demikian halnya dapat kita katakan bahwa sebenarnya Konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri (de constitutie snijdt zign eigen vless). Qua Vadis? ۩

Pan Mohamad Faiz
[http://jurnalhukum.blogspot.com/ (c)]