Monday, June 18, 2007

Visi Indonesia 2030

MENEROPONG VISI BANGSA:
Analisa Kritis Visi Indonesia 2030 vis-a-vis Visi India 2020
[1]
Oleh: Pan Mohamad Faiz[2]

A. Pendahuluan

Setiap bangsa memerlukan sebuah pernyataan visi yang jelas dengan perpaduan antara fakta dan kemampuan yang ada dengan imajinasi di masa yang akan datang guna mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk bekerja dan berusaha lebih keras lagi dari saat ini. Hal ini sangatlah penting dalam membangun konsensus politik dalam satu strategi pengembangan nasional, yang meliputi, inter-alia, peranan dan tanggung jawab dari berbagai institusi terkait dengan perekonomian, seperti Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, korporasi di sektor privat, sektor usaha menengah dan kecil, organisasi masyarakat, dan lain sebaginya. Sebuah visi juga harus dapat mengidentifikasi potensi kerugian dan kegagalan rencana serta solusi yang paling memungkinkan dalam rangka memobilisasikan usaha disertai dengan fokus utama.

Indonesia yang berpenduduk kurang lebih 250 juta jiwa dengan mendiami sekitar 11.000 pulau dari 17.504 pulau di seluruh Nusantara, tidak bisa tidak harus memiliki Visi Bangsa yang jelas jika ingin keluar dari krisis multidimensi yang berkecamuk sejak akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara-negara di Asia. Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan, pendidikan, pengangguran, kependudukan, korupsi dan lain sebagainya. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa oraganisasi dunia telah menunjukan posisi Indonesia yang sangat tertinggal dari negara-negara lainnya, sebagaimana tertuang dalam tabel berikut:

  • Indeks Pembangunan Manusia (United Nations): Peringkat 108 dari 177.

  • Indeks Kualitas Hidup (The Economist): Peringkat 71 dari 111.

  • Indeks Kebebasan Ekonomi (Heritage Foundation/The Wall Street Journal): Peringkat 110 dari 157.

  • Indeks Persepsi Korupsi (Transparancy International): Peringkat 130 dari 163.

Guna mengatasi berbagai masalah tersebut di atas, pada tanggal 22 Maret 2007 yang lalu, Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelontorkan sebuah Visi Bangsa yang disebut dengan Visi Indonesia 2030 atau Visi 2030 yang dikembangkan oleh Yayasan Indonesia Forum (YIF). Visi ini tidak tanggung-tanggung dalam menentukan empat target pencapaiannya utamanya, yaitu:

Pertama, pada tahun 2030 nanti, dengan jumlah penduduk sekitar 285 juta jiwa, Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia akan mencapai US$ 5,1 triliun atau bila kita hitung dengan formulasi pendapatan perkapita mencapai US$ 18.000 per tahun (Rp. 13.500.000 per bulan). Maka dengan pencapai an tersebut Indonesia diperkirakan akan berada pada posisi kelima ekonomis terbesar setelah China, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kedua, terciptanya pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan; Ketiga, terwujudnya kualitas hidup modern dan merata; serta Keempat, mengantarkan sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk dalam daftar “Fortune 500 Companies”.

Tentunya ‘Visi Bangsa’ yang dikemukakan oleh Presiden SBY telah menjadi wacana yang amat menarik untuk didiskusikan. Pasalnya, menurut Pormadi Simbolon, wacana tersebut muncul di saat hampir seluruh aspek kehidupan temasuk birokrasi kurang efektif dan berdisiplin dalam kerjanya. Perilaku dan sikap sebagian besar para elit bangsa dan partai politik masih lebih memikirkan kepentingan kekuasaan dan kelompoknya. Ditambah lagi dengan lemahnya sistem pendidikan saat ini, maka akan sangat sulit mendukung pencapaian Visi Indonesia 2030 tersebut.

Keluhan sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa pendidikan kita hanya bisa dinikmati oleh kalangan mampu. Di lain pihak, hasil riset Data Bank Dunia November 2006 menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia sebanyak 149 juta jiwa atau sebesar 49 persen dari total penduduk Indonesia 200 juta jiwa. Berdasarkan laporan pembangunan manusia (HDR) 2005, kondisi Indonesia pun masih sangat memprihatinkan. Angka kematian ibu 310 per 100.000 kelahiran hidup atau nomor dua tertinggi di Asia Pasifik, sedangkan angka kematian bayi 31 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu 26 persen anak balita kurang gizi serta akses air bersih, listrik dan pelayanan publik belum memadai.

B. Pro-Kontra Visi 2030

Oleh karena target yang diusung oleh Visi 2030 dianggap terlalu tinggi, maka timbulah sebuah keraguan akan Visi tersebut. Secara garis besar, setidaknya kita dapat menelaah dari tiga sudut pandang yaitu analisa Politik, Hukum, dan Ekonomi, sebagai berikut:

Analisa politik yang diungkapkan oleh Pengamat Politik UI, Arbi Sanit, bahwa pencanangan Visi 2030 oleh Presiden Yudhoyono bagi suksesnya pertumbuhan ekonomi nasional menuju sebuah negara maju, hanya akan berupa mimpi jika tidak diimbangi reformasi fundamental sistem politik negara. Pemilu 2009 mendatang akan menjadi barometer sukses-tidaknya perubahan sistem politik Indonesia yang secara tidak langsung juga akan menentukan prospek Visi 2030.

Menurutnya, kalau tidak cukup matang prakondisi politik Indonesia, maka jangan terlalu berharap visi pertumbuhan ekonomi bisa diwujudkan. Prakondisi politik itu mencakup tiga faktor utama. Pertama, kesiapan para pemimpin untuk melakukan perubahan mendasar. Kedua, penyempurnaan sistem kepartaian, yaitu dengan menciptakan sistem partai yang kuat dalam pengertian mayoritas di samping ada minoritas untuk menjadi oposisi sebagai fungsi kontrol. Ketiga, sistem politik itu sendiri, yaitu sistem politik yang konsisten kepada satu sistem, dan bukan sistem yang beraneka ragam dan rupanya.

Dari analisa hukum setidaknya menemukan adanya gejala ‘krisis konstititusional’ yang mengakibatkan tidak tersedianya ruang yang nyaman untuk terwujudnya Visi 2030 tersebut. Salah satunya disebabkan masih diperdebatkannya landasan hukum dan konstitusional bangsa Indonesia hingga detik ini. Pasca amandemen UUD 1945, sedikitnya terdapat ada tiga kelompok di kalangan elite bangsa ini yang masih memperdebatkan keberadaan UUD 1945 pasca amendemen. Bila dikaitkan dengan Visi 2030, menurut H.R. Siregar, "mimpi" tersebut terkesan tidak realistis karena tidak didukung konstitusi yang mapan.

Selama konstitusi masih terus diperdebatkan dalam tataran sah-tidaknya amandemen, Visi 2030 dimaksud tergolong beresiko karena tidak ditopang realitas hukum dasar yang matang. Begitu pula apabila peraturan perundang-undangan selalu berubah-ubah, hal itu jelas akan membuat setiap orang merasa tidak mempunyai kepastian hukum, baik itu di bidang usaha, profesi, dan lain sebagainya. Dampak lebih lanjut dari kondisi seperti itu bukan tidak mungkin akan mengancam stabilitas politik dan pemerintahan. Padahal seyogyanya stabilitas politik dan pemerintahan tersebut merupakan syarat mutlak bagi pencapaian Visi 2030.

Dari analisa ekonomi, Jhon Tafbu Ritongan, seorang pengamat dan praktisi ekonomi, mendasari rasa pesimismenya terhadap Visi 2030 dengan mengkalkulasikan rumusan ekonomi yang sederhana. Menurut data World Development Indicator 2006, total pendapatan Indonesia tahun 2004 adalah US$ 248 miliar. Dengan jumlah penduduk 218 juta jiwa, Bank Dunia memperkirakan pendapatan per kapita adalah US$ 1.140. Sementara dengan metode PPP (purchasing power parity) total pendapatan nasional bruto adalah US$ 757 miliar dan pendapatan per kapita adalah US$ 3.480.

Dengan pendapatan nasional bruto (US$ 287 miliar), posisi Indonesia berada pada urutan ke-22. Jika kita menggunakan metode PPP (US$ 3.480), Indonesia berada pada posisi ke-140. Jadi, selama 23 tahun ke depan Indonesia harus mampu melompati 18 negara atau bahkan 135 negara. Adapun pendapatan negara lain yang harus dilompati ternyata sudah jauh lebih tinggi dari Indonesia, seperti Australia, Brazil, Russia, India dan Korsel. Menurutnya, satu-satunya cara agar Visi 2030 masuk akal ialah dengan menggunakan asumsi klasik, yakni “ceteris paribus”, hal-hal lain tidak berubah dan target PDB bukan US$ 5,1 triliun. Maksudnya, supaya Indonesia bisa masuk menjadi jajaran lima besar, negara-negara lain yang disebutkan tadi tidak berusaha meningkatkan produksi. Sementara ekonomi Indonesia harus tumbuh rata-rata 24 persen atau bertambah sekitar US$ 70 miliar per tahun. Namun faktanya, selama lima tahun terakhir petumbuhan ekonimi tidak bisa mencapai 6 persen. Oleh karena alasan tersebutlah Visi 2003 dianggapnya tidak masuk akal, karena jelas tidak mungkin negara lain hanya “tidur” saja.

Sementara beberapa tokoh nasional juga ikut ambil bagian dalam menanggapi Visi 2030 tersebut, diantaranya yaitu Salahuddin Wahid, mantan calon wakil presiden, dengan menyebut Visi 2030 merupakan visi yang “tidak masuk akal”. Begitupula dengan Sukardi Rinakit dari Sugeng Sarijadi Syndicate yang menyindir dengan halus bahwa Visi 2030 akan terlaksana kalau saja pada tahun 2020 kita menjadi bagian Negara Eropa Utara dan Amerika Serikat. Komentar yang cukup keras disampaikan oleh Kwik Kian Gie dalam salah satu tulisannya bahwa mereka yang menyusun bukanlah orang yang mempunyai visi melainkan sebagian pedagang, lulusan universitas dan teknokrat yang miskin falsafah. Sementara Gus Pur, di salah satu episode acara Republik Benar Benar Mimpi (BBM) mengatakan, “Paling hanya beda tipis kalau tidak tercapai 2030, yah akan tercapai pda tahun 3030”.

Namun demikian, tidak semua orang merasa pesimis atas Visi 2030 tersebut. Pengamat Ekonomi Djisman Simanjuntak, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Hadiningsih, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bun Bunan Hutapea, Mantan Perwira Tinggi TNI Letjen Pur. Sayidiman Suryohadiprodjo, dan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfuddzidiq percaya bahwa Visi Indonesia 2030 akan tercapai dengan beberapa syarat. Hanya saja syarat yang disampaikan, seperti misalnya reformasi perpajakan, reformasi birokrasi, reformasi sistem hukum, dan lain sebagainya, merupakan konsep yang masih mengawang-awang tanpa sistematika pencapaian yang jelas

B. Vis-a-Vis Visi India 2020

Suatu visi yang jelas memegang peranan teramat penting dalam suatu pencapaian. Bahkan teramat pentingnya, bangsa besar seperti Jepang mengatakan bahwa “Action without vision is a nightmare”. Sebagai sebuah landasan pacu, Visi Bangsa akan menentukan ke mana dan di mana suatu perahu bangsa akan berlayar dan berlabuh. Jika suatu bangsa berangkat dari visi yang kurang tepat, maka jangan terlalu berharap bahwa visi tersebut dapat membawa perubahan yang berarti.

Oleh karena itu, penulis mengajak untuk melihat perbandingan Visi Indonesia 2030 vis-a-vis Visi India 2020. Pilihan perbandingan ini diambil dengan dua latar belakang utama. Pertama, kedua negara tersebut (Indonesia dan India) mempunyai kondisi dan karakter yang serupa, selain sama-sama merupakan kategori ‘The Third World Countries’, kemiskinan dan kependudukan menjadi permasalah utama ke dua negara tersebut. Kedua, saat ini India diprediksi oleh para pakar dunia akan tumbuh menjadi negara dengan ekonomi super power dalam 20 hingga 30 tahun mendatang. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, India mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5 persen. Pertumbuhan ini merupakan yang tercepat kedua di dunia setelah China dengan pertumbuhan rata-rata 9,7 persen. Bahkan Goldman Sach memprediksikan bahwa India akan mampu menggeser Amerika Serikat untuk memiliki perekonomian terbesar kedua di dunia setelah China pada tahun 2040.

Dengan kondisi yang demikian maka sangatlah patut jika kita membedah karakteristik dan visi dari negeri Gandhi guna mengkritisi Visi 2030 yang baru saja tersusun. Adapun perbandingan akan dilakukan pada substansi yang terkait dengan orisinalitas penyusun, target pencapaian, distribusi informasi, dan harmonisasi.

1. Orisinalitas Penyusun

Walaupun peluncuran Visi Indonesia 2030 dilakukan di Istana Negara dan dihadiri oleh jajaran menteri dan pimpinan lembaga negara, namun sebenarnya visi tersebut bukanlah gagasan yang berawal dari Presiden SBY, melainkan dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Awalnya visi ini digagas di Manado pada bulan Juli 2006 dalam kongres XVI ISEI, beberapa saat setelah Chairul Tanjung terpilih sebagai ketua Yayasan Indonesia Forum yang baru. Bahkan bila dilihat dari pengakuan dari Ishadi S.K, pembicaraan awal hanya dilakukan di sebuah restoran sea food antara Chairul Tanjung, Raden Pardede, dan dirinya.

Tim perumus yang menyusun kerangka dasar Visi Indonesia 2030 terinspirasi dari laporan United Bank of Switzedland (UBS) yang menyebutkan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di masa yang mendatang. Adapun tim perumus tersebut terdiri dari wakil pengusaha, ekonom, dan birokrat. Di antaranya yaitu Bambang P.S Brojonegoro dan M. Chatib Basri (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia). Ainun Na’im (UGM), Suahasil Nazara (Institut Pertanian Bogor), John Prasetyo, TP Rachmat dan Darwin Silalahi (kalangan bisnis) serta Anny Ratnawati (birokrat).

Hal ini berbeda dengan Visi India 2020 yang pada awalnya memang merupakan sebuah visi yang dibuat oleh A.P.J Abdul Kalam, Presiden India saat ini, bersama dengan Y.S. Rajan. Visi tersebut dirangkum dalam sebuah buku berjudul “India 2020: A Vision for the New Millennium” yang mengupas tentang kekuatan dan kelemahan India saat ini sebagai pertimbangan guna menggapai pencapaian utamanya yaitu menjadi salah satu dari lima negara dunia dengan kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 2020. Kerangka Visi inilah yang kemudian digunakan oleh Committee on India Vision 2020, Planning Commission of India untuk menguraikan secara panjang-lebar dan terperinci terhadap visi yang akan dicapai pada tahun 2020.

Dalam laporannya, tim penyusun tersebut terdiri lebih dari 30 anggota tetap dan dibantu puluhan anggota tidak tetap. Mereka berasal dari berbagai bidang ilmu kemasyrakatan dan merupakan perwakilan ahli-ahli pada bidang disiplinyan masing-masing. Guna menyelesaikan Visi 2020 tersebut mereka menghabiskan waktu hampir dua tahun dengan pertimbangan agar tidak tergesa-gesa dalam mendulang berbagai ide dan pemikiran yang datang dari seluruh masyarakat. Tim perumus memberikan kesempatan kepada siapapun untuk mengirimkan makalah dan catatan-catatan guna mendukung perancangan visi tersebut dan kini kesemuanya itu telah menjadi landasan utama dari Visi 2020 yang telah dikodifikasi menjadi 957 halaman.

Oleh karenanya, Visi India 2020 dapat dikatakan sangat membumi di hampir seluruh lapisan masyarakat di India. Visi tersebut menjadi cita-cita dan mimpi bersama rakyat India. Hal ini sama halnya dengan Visi Malaysia 2020 yang digagas oleh Mahathir Muhammad. Malaysia melibatkan sekitar 120 pakar dari berbagai disiplin ilmu yang mewakili komunitas-komunitas dari beragam masyarakat di seluruh negeri Malaysia. Sebelum menjadi visi bersama, rumusan para pakar tersebut didiseminasikan dan disosialisasikan kurang lebih dua tahun lamanya dengan menggelar rangkaian seminar di seluruh negeri.

Maka sangatlah beralasan bila dikatakan bahwa Visi 2030 dilakukan tanpa kajian mendalam karena tidak melibatkan banyak pihak yang heterogen keahliannya. Sehingga apa yang menjadi mimpi dalam visi tersebut bukanlah mimpi rakyat Indonesia, tetapi hanyalah mimpi dari sebagian kalangan saja. Seharusnya visi Indonesia harus dirancang dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Jika hal tersebut dilaksanakan maka visi tersebut otomatis akan menjadi cita-cita, semangat, dan energi bersama untuk mewujudkannya.

2. Target Pencapaian

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, target pencapaian yang lebih diutamakan oleh Visi Indonesia 2030 adalah di bidang dengan ekonomi, yaitu pendapatan perkapita US$ 18.000 per tahun, pengelolan alam yang berkelanjutan, perwujudan kualitas hidup modern dan merata, serta sejumlah 20 perusahaan Indonesia yang akan masuk dalam daftar “Fortune 500 Companies”. Hal ini sangat dimaklumi bahwa latar belakang utama tim penyusun adalah mereka yang tergabung di dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Oleh karena itu, hemat penulis, pencapaian Visi 2030 masihlah terlalu umum dan tidak menyeluruh.

Bandingkan dengan Visi 2020 yang dibuat oleh India, mereka tidak sekedar mematok angka pertumbuhan pendudukan atau pendapatan per kapita sebagai target utamanya. Diilhami oleh Rabindranath Tagore’s Vision, mereka lebih melihat tingkat kemakmuran sebagai dasar pencapaiannya yang kemudian mereka namakan sebagai “Nodal Points of Indian Prosperity”. Secara garis besar, pencapaian tersebut terdiri dari:

  1. Perdamaian, Keamanan dan Kesatuan Nasional - Keamanan fisik dari ancaman eksternal maupun internal, pertahanan nasional yang kuat, penegakkan hukum nasional dan hamonisasi nasional;

  2. Ketersediaan Bahan Pangan dan Nutrisi - Sebuah semangat dan produktivitas tinggi dari sektor pertanian yang dapat menjamin persediaan bahan pangan dan nutrisi, meningkatkan kesempatan bekerja, menstimulus industrialisasi, dan memperbaharui sumber daya energi melalu ‘biomass’ dan ‘fuel crops’;

  3. Lapangan Pekerjaan untuk Semua - Komitmen konstitusi untuk memberikan jaminan dan hak kepada seluruh rakyat untuk memperoleh mata pencaharian dan kehidupan yang berkelanjutan dengan mempersiapkan mereka agar memiliki daya jual yang dibutuhkan sehingga dapat secara bebas memilih pekerjaan;

  4. Ilmu Pengetahuan - Seratus persen melek huruf dan pendidikan di sekolah, serta pelatihan kejuruan bagi seluruh peserta baru untuk menjadi tenaga kerja siap pakai, melengkapi generasi muda dengan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang dalam ketatnya persaingan dunia. Program pendidikan dewasa untuk menggantikan usia kerja yang putus sekolah karena minimnya pendidikan, dan melanjutkan investasi di bidang ilmu pengetahuan guna meningkatkan produktivitas, kualitas hidup dan lingkungan;

  5. Kesehatan - Pengembanganan infrastruktur untuk kesehatan publik dan perawatan kesehatan guna menjamin kesehatan bagi seluruhnya;

  6. Teknologi dan Infrastruktur - Pengembangan yang berkelanjutan dalam infrastruktur secara fisik untuk transportasi massal dengan biaya murah dan komunikasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi yang pesat dan persaingan internasional. Aplikasi komputer untuk meningkatkan akses memperoleh pengetahuan dan informasi guna meningkatkan kecepatan, efisiensi dan kenyamanan dalam beraktivitas di seluruh sendi kehidupan;

  7. Globalisasi - Menyukseskan terintegrasinya India dengan perekonomian dunia;

  8. Pemerintahan yang Baik - Kepemimpinan yang mempunyai visi jauh ke depan dan dinamis agar memaksimalkan kesejahteraan nasional, kebebasan individu, dan kewajaran sosial melalui responsif, transparansi, dan administrasi yang akuntabel guna menghilangkan seluruh hambatan pada pengembangan ekonomi;

  9. Nilai Pekerjaan - Penggiatan seluruh poin di atas memerlukan ketegasan dan ketaatan dalam setiap keputusan sebagai suatu nilai utama, termasuk membuat keputusan dengan cepat, pelaksanaan yang disiplin, implementasi yang sistematik, koordinasi yang harmonis, ketahanan dan usaha yang tidak pernah berhenti

Perlu penulis garis bawahi di sini, sebagaimana juga diungkapkan oleh Amartya Sen, bahwa pendekatan di India terhadap tingkat kesejahteraan, khususnya dalam mengkategorisasikan masyarakat miskin tidaklah semata-mata mengikuti indikator penghitungan yang dikeluarkan oleh badan atau ekonom internasional dengan hanya menggunakan tingkat pendapatan per kapita dan nutrisi yang dikonsumsi per hari. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Operation Research Group, Baroda India pada tahun 1995, untuk mengkategorisasikan tingkat kemiskinan maka harus pula dilakukan melalui indikator sosial-ekonomi lainnya yang dalam hal ini melibatkan penggunaan lahan, rumah, pakaian, pangan, keamanan, sanitasi, ketahanan konsumen dan kepemilikannya, melek huruf, tenaga kerja, mata pencaharian, status anak, jenis hutang, migrasi dan bantuan yang dibutuhkan secara alami.

Oleh karenanya, Visi yang disusun pada India 2020 tidaklah selalu berhujung mengenai materi dan pendapatan ekonomis semata, karena bagi mereka target tersebut tidaklah seluruhnya tepat untuk digunakan terhadap negara ketiga yang mempunyai jumlah penduduk sangat besar dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi. Pendapatan per kapita tidak mutlak dapat menggambarkan bahwa suatu masyakarat memiliki kesjahteraan yang sama dan merata, karena faktanya hingga saat ini disparitas kesejahteraan antara mereka yang sangat berkecukupan dengan masyarakat miskin sangatlah lebar. Sehingga sebenarnya, berdasarkan data, mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan tertopang oleh mereka yang mempunyai tingkat kekayaan sangat besar. Namun dalam kesehariannya, hidup mereka tidaklah ikut berubah sebagaimana hitungan matematika per kapita yang telah ditentukan.

4. Distribusi Informasi

Pendistribusian informasi mengenai Visi India 2020 di seluruh lapisan masyarakat India patut menjadi contoh bagi kita semua. Baik sebelum maupun sesudah terwujudnya Visi 2020, pemerintah India melakukan sosialisasi secara gencar kepada semua elemen bangsa. Hal tersebut dilakukan malalui seminar dan kampanye yang melibatkan media cetak maupun elektronik secara terus-menerus dan berkesinambungan.

Hal yang sangat menarik di sini bahwa sumber buku utama peyusunan Visi 2020 karya Presiden Abdul Kalam dapat dengan mudah ditemukan hampir disetiap toko buku, baik dalam kios-kios resmi maupun kios jalanan yang dibuka oleh para pedagang kaki lima. Maka bukanlah hal yang mengherankan apabila sebagian besar masyakarat India, jika belum membaca setidaknya mereka tahu dan pernah mendengar sekilas akan substansi buku tersebut. Begitu pula dengan Visi 2020 yang sudah dikodifikasikan oleh Planning Commission of India, siapapun dapat memperolehnya hanya dengan men-download pada website resminya. Oleh sebab itu, setiap rakyat India dapat dengan mudah mengakses informasi yang ada di dalam Visi tersebut, baik dalam rangka mengkritisi maupun menjadikannya sebagai pedoman pelaksanaan programnya masing-masing semata-mata guna menunjang pencapai Visi India 2020.

Bagaimana halnya dengan Visi Indonesia 2030? Peluncuran kerangka dasar Visi 2030 pun sudah menjadi pro-kontra, karena tanpa “tedeng aling” tiba-tiba masyarakat disuguhkan dengan sebuah Visi yang dirasakan teramat ‘bombastis’. Bagai petir yang menyambar di siang hari yang cerah, Visi 2030 pun disambut dengan kepala panas dan hati dingin oleh berbagai kalangan sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya. Buktinya, memasuki bulan ketiga sejak peluncuran Visi tersebut, sangat jarang ditemukan media yang kembali mengupas dan memberitakan mengenai Visi 2030 tersebut.

Begitu pula dengan pemerintah maupun sang pengusung gagasan itu sendiri, insiatif untuk mendistribusikan cita-cita bangsa jangka panjang tersebut belum juga terlihat hingga saat ini. Hanya mereka yang berada dalam lingkaran elit saja yang mampu mengakses informasi tersebut. Padahal informasi itu sangat fundamental bagi segenap rakyat Indonesia sebagai pemenuhan hak dasarnya (basic right) untuk mengetahui kemana masa depan mereka akan diarahkan. Mengutip pendapat Pudjo Tahardjo, bahwa Visi Indonesia 2030 merupakan simulasi dengan sejumlah asumsi, oleh karena itu sudah seharusnya Visi tersebut lebih dibumikan lagi dalam program yang lebih konkret.

4. Harmonisasi

Visi Bangsa seyogyanya dijadikan sebagai sumber inspirasi, imajinasi, pedoman dan pegangan dalam gerak dan langkah setiap komponen bangsa. Namun apa yang terjadi jika suatu negara mempunyai Visi Bangsa lebih dari satu dan kesemuanya itu timbul-tenggelam mengikuti arus jaman? Kira-kira inilah yang kini sedang terjadi pada bangsa Indonesia.

Hasil penelusuran penulis, Visi 2030 bukanlah visi bangsa yang pertama dilahirkan dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini. Setidaknya terdapat pula Visi Indonesia 2020 yang telah disahkan dengan Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, yang di dalamnya termuat tentang Tantangan Menjelang Tahun 2020 dan Visi Indonesia 2020.

Terdapat pula Visi Indonesia 2025 yang mempunyai payung hukum berdasarkan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Jika TAP MPR tersebut sama sekali tidak disinggung—atau mungkin telah dilupakan—dalam peluncuran Visi 2030, UU No. 17 Tahun 2007 beberapa kali sempat diuraikan oleh Presiden SBY. Namun demikian, menurut Forum Rektor Indonesia, UU No. 17 Tahun 2007 pada dasarnya tidak bisa dipahami secara menyeluruh oleh segenap unsur bangsa karena perumusannnya dilakukan secara top-down oleh Pemerintah.

Meskipun Presiden SBY telah menghimbau agar kedua Visi Bangsa ini dijalankan secara selaras dan bersamaan, namun setidaknya kita dapat melihat bahwa belum terdapatnya harmonisasi pola pikir untuk menentukan visi bangsa yang sesungguhnya. Semakin banyak gagasan memang baik, tetapi jangan sampai terlalu banyak gagasan lalu kita hanya sibuk memilah mana yang sesungguhnya harus kita lakukan sehingga menyebabkan habisnya waktu hanya dalam tahapan perencanaan saja. Ibarat pepatah mengatakan, “One day I'll do this and I'll do that, but while they say it, time goes by and they don't put any of their plans to action.”

Berbeda dengan India, sejak awal hingga saat ini hanya satu Visi resmi yang mereka usung, yaitu “Indian Vision 2020”. Adapun mereka yang ingin mempunyai visi lainnya, cukup menyesuaikan dan menyempurnakan dalam pelaksanaan program kerja dan kegiatannya masing-masing di dalam kehidupan sehari-hari.

C. Kesimpulan dan Saran

Visi 2030 mau tidak mau harus kita akui memiliki sejumlah kekurangan. Perumus Visi Indonesia 2030 pun secara jujur mengakui bahwa apa yang mereka buat mengandung cita-cita, imajinasi sekaligus mimpi. Visi itu sengaja dibuat agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, lebih dari sekedar mewujudkan business as usual.

Oleh karena itu, dalam banyak keterbatasannya Visi 2030 tidak perlu kita anggap sebagai prediksi ‘harga mati’. Sebab bila Visi 2030 tetap dipergunakan, setidaknya tetap akan sangat berharga sebagai rancangan atau cita-cita yang menuntun semua aparat pemerintah dan swasta untuk bekerja bersama. Namun demikian, agar bisa bekerja bersama, asumsi yang dipergunakan dalam model tersebut mutlak untuk dijelaskan secara luas dan terperinci, sebab Visi 2030 tersebut barulah kerangka dasar.

Dengan demikian, Visi 2030 pada dasarnya dapat direvisi kembali karena alasan-alasan yang telah diulas sebelumnya. Bahkan para ahli bisa juga mengembangkan Visi pembanding dengan mempergunakan variabel-variabel lain, termasuk kesepakatan dunia yang makin memperhitungkan kesejajaran antara upaya pembangunan ekonomi dengan pembangunan bidang sosial kebudayaan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan bangsa yang lebih luas. Pemerintah tentunya juga harus mengambil pengalaman dari negara-negara lainnya dalam penyusunan Visi Indonesia mendatang yang lebih terencana, sistematis, dan lebih membumi dengan melibatkan seluruh komponen bangsa Indonesia. Bahkan jika perlu, bagi mereka yang akan mencalonkan diri menjadi kandidat Presiden RI pada Pemilu 2009 mendatang, hendaknya mulai saat ini berusaha menyusun Visi Bangsa yang jelas dan orisinil, sebagaimana pengalaman kepemimpinan di India telah menunjukkan keberhasilannya secara berulang kali.

Niat dan tekad kuat harus pula diteruskan untuk menjadikan Visi Indonesia 2030 menjadi kenyataan. Sebab, jikalau Visi Indonesia 2030 tidak diperjuangkan menjadi kenyataan, maka ini kembali menunjukkan bahwa bangsa Indonesia amat pandai membuat gagasan, konsep, dan teori, tetapi amat lemah dalam menjadikan produk pikiran itu sebagai kenyataan yang konkret. Sudah waktunya kita menanggalkan kelemahan tersebut agar tidak dicemooh sebagai bangsa yang hanya pandai beretorika saja. Oleh karenanya, beberapa hal berikut sekiranya patut untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan guna menopang pelaksanaan Visi Indonesia 2030.

Pertama, sukses dari impian Visi Indonesia 2030 mengharuskan pemerintah bersama-sama masyarakat untuk mempersiapkan sumber daya manusia bermutu. Sebagaimana telah penulis nyatakan secara berulang kali di berbagai forum, maka bidang pendidikan dan pelatihan harusnya menjadi prioritas yang utama, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama. Cita-cita ini hanya akan bisa terwujud jika kita semua berkomitmen memberi perhatian yang tinggi terhadap bidang pendidikan, terutama di bidang ilmu murni dan terapan, serta pendidikan budi pekerti dan pengetahuan sekaligus bahasa global.

Kedua, suksesnya transformasi “Visi India 2020” menjadi mimpi bersama seluruh komponen bangsa India tidak terlepas dari peranan lahirnya kebebasan memperoleh informasi yang disandarkan pada the Right to Information Act, 2005. Oleh sebab itu, Pemerintah bersama DPR harus pula memberikan prioritas lebih untuk percepatan pembahasan sekaligus pengesahan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) yang hingga kini masih terhambat. Menurut Dr. Effendi Ghazali, dengan adanya kebebasan memperoleh informasi, tentunya akan memberi ruang bagi publik untuk dapat mengakses informasi yang terkait dalam program percepatan pemberantasan korupsi. Karena keberadaan undang-undang secara otomatis akan memberi implikasi bagi para penyelenggara negara untuk bertindak transparan dan memiliki sistem akuntabilitas yang kuat.

Ketiga, senada dengan istilah yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam forum dengan Kadin beberapa waktu lalu, guna mewujudkan Visi Indonesia 2030 diperlukan semangat “diplomsi total”. Diplomasi total dimaksud di sini yaitu diplomasi yang melibatkan semua komponen untuk memperkuat posisi pasar internasional Indonesia. Diplomasi yang melibatkan semua komponen Indonesia untuk kepentingan Indonesia itulah yang disebut dengan Indonesia Incorporated.

Terkait dengan diplomasi total, salah satu ujung tombaknya tidak lain adalah kedutaan Indonesia yang berada di seluruh dunia. Berbeda dengan Jepang, Korea Selatan dan China, kedutaan Indonesia lebih berkarakter sebagai pejabat politik bukan ‘pedagang’. Namun bukan berarti di sini dimaksudkan agar semua Dubes Indonesia dan stafnya berubah menjadi ‘pedagang’, namun yang dibutuhkan di sini adalah jiwa kewirausahaan. Jikalau mereka memiliki naluri marketing, mengetahui produk melalui informasi yang tersedia dengan mudah, mencari pasar, memfasilitasi pertemuan investor, dan mempromosikannya, tentu swasta Indonesia akan memperoleh amunisi yang sangat memadai. Hanya dengan diplomasi total seperti ini mimpi Indonesia 2030 memiliki basis optimisme.

Sebuah visi ke depan memang amat dibutuhkan sebuah bangsa. Tanpa visi, gerak dan perjalanan sebuah bangsa menjadi tidak jelas dan terarah. Sebagaimana halnya mereka yang sudah memiliki Visi Bangsa yang jelas dan terarah, seperti Singapura, India dan Malaysia, Visi tersebut telah menjadi kebanggaan karena memberikan motivasi bagaimana mereka membangun negaranya ke depan. Hasilnya telah terlihat, mereka yang dulu tertinggal dibandingkan Indonesia, sekarang menjadi negara yang lebih maju dari Indonesia. Eksistensi mereka pun semakin diakui dalam percaturan internasional.

Apa pun realitas hari ini, bangsa Indonesia memang memerlukan impian, namun bukanlah sebuah impian yang bernilai mimpi-mimpi non-fiksi. Bangsa Indonesia juga tidak akan memiliki masa depan yang cerah jikalau kita kering akan cita-cita, gagasan dan idealisme. Visi 2030 setidaknya memberi inspirasi, semangat, secercah harapan dan kepercayaan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Patut kiranya kita mengingat kembali pidato Bapak Bangsa Ir. Soekarno dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 1962 dengan menyatakan, “Only a nation with self-reliance can become a great nation”. Semoga anak dan cucu kita sudah dapat menikmati eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar di tahun 2030 nanti.

Wallahu’alam Bishawab…


[1] Ditulis khusus untuk fit and proper test terbatas PPI India, Juni 2007.

[2] Penulis adalah Wakil Ketua I Dewan Pimpinan PPI India dan Manajer Pengembangan Share-Economy International untuk kawasan Asia Tenggara.

Daftar Pustaka Utama:

  • Gupta, S.P., et .al., India Vision 2020 : The Report, Planning Commission, Government of India, New Delhi, 2007.

  • Kalam, A.P.J. Abdul and Y.S. Rajan, India 2020: A Vision for the New Millenium, Penguin Books, New Delhi, 2002.

  • Narang, A.S., et. al., India : Democracy and Development, School of Social Science, IGNOU, New Delhi, 2003.

  • Pande, B.B, Re-orienting the Rights Discourse to Basic Human Needs, Delhi Law Review, Delhi.

  • Yudhoyono, Susilo Bambang, Sambutan Presiden RI pada Acara Peluncuran Buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030, Lembaga Kepresidenan RI, Jakarta, 22 Maret 2007.

  • Majalah AKSES, Departemen Luar Negeri RI, Volume 4/Maret 2007.

  • Kumpulan Artikel Cetak dan Elektronik.

  • Dsb.