Friday, January 25, 2008

Perbandingan Hukum (3)

PERKEMBANGAN ILMU PERBANDINGAN HUKUM
Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sistem hukum yang dianut. Dalam hal ini, seseorang akan menemukan kerangka ekspresi dan tingkah laku dasar mengenai hukum; apakah hukum itu, apakah yang harus dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimana suatu sistem hukum bekerja atau bagaimana seharusnya suatu sistem beroperasi. Melalui pendidikan hukum, budaya hukum terus dialirka dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Pendidikan hukum memberi peluang kepada kita untuk dapat turut menentukan arah dan masa depan dari suatu masyarakat. Mereka yang akan menjadi penentu sistem hukum dan mengisi posisi-posisi penting kepemimpinan di dalam pemerintahan dan sektor privat, pada umumnya akan jatuh terutama kepada para ahli hukum, setidaknya hal ini terjadi pada masyarakat dunia barat, atau mereka yang lulus dari sekolah hukum. Apa yang mereka pelajari dan bagaimana hal tersebut diajari kepada mereka sedikit banyak telah memberikan efek dan nuansa terhadap tujuan akhir mereka, tingkah laku mereka dan cara-cara bagaimana mereka mengambil peran penting di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Suatu sistem hukum merupakan komponen (bagian sistem) dari sistem sosial; dan sistem pendidikan hukum merupakan komponen (sub-bagian sistem) dari sistem hukum. Sistem dan bagian sistem tersebut pada dasarnya saling terkait dan memberikan arti satu sama lainnya.[1]

Para pemuda-pemudi di seluruh dunia yang kini berstatus sebagai mahasiswa hukum, pada masa yang akan datang besar kemungkinan akan melanjutkan pos-pos penting sebagai pengacara, hakim, legislator, dan aktivis sosial. Dengan demikian, pendidikan hukum mereka akan sangat relevan hanya apabila hal tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk karakter yang dapat menangani permasalahan sosial di masa depan secara konstrukif. Dikarenakan untuk saat ini kita tidak dapat banyak memprediksi konstelasi dan seberapa tajam permasalah tersebut akan terjadi, maka hal ini menguatkan bahwa pengembangan dasar pendidikan hukum akan sangat dibutuhkan dan dihindari agar tidak sekedar berkutat secara ekslusif seputar permasalahan yang sarat dengan kepentingan sosial dan politik.[2]

Dalam beberapa bidang ilmu hukum, pada suatu subyek di mana setiap permasalahan terkait erat dengan tingkah laku manusia secara individu dan kolektif, serta subyek tersebut begitu hidup dan penuh dengan preposisi, termasuk dijadikan pijakan dasar, maka pada umumnya suatu bidang tersebut akan penuh dengan dramatisasi dan perdebatan yang kadangkala tidak berhujung. Sedangkan, permasalahan di bidang metodologi dan presentasi terfokus terkadang menjadi lebih disederhanakan. Untuk lebih jauh menyatakan bahwa dilema metodologi pada pendidikan hukum seringkali menjadi hambatan hampir di setiap subyek kurikulum sekolah hukum. Hal ini terjadi pada khususnya dalam hal subyek ilmu perbandingan hukum.[3]

Sebagian besar sekolah hukum di seluruh penjuru dunia saat ini mulai memperkenalkan mata kuliah perbandingan hukum. Terlebih lagi, pesatnya pengembangan pengajaran ilmu perbandingan hukum dapat dikatakan sebagai perkembangan yang sangat luar biasa dalam pendidikan hukum pasca berakhirnya perang dunia kedua (World War II). Pengembangan ilmu perbandingan hukum biasanya akan memperoleh kendala utama ketika sekolah hukum dituntut untuk menyediakan pengajar perbandingan hukum yang berkualitas serta besarnya biaya bahan perpustakaan pada bidang di mana orientasi praktik perbandingan hukum dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan hukum.[4]



Berkembangnya Ilmu Perbandingan Hukum

Menjadi pertanyaan kemudian yaitu apakah sebenarnya perbandingan hukum itu sendiri? Pada awalnya, masyarakat hukum menghadapi kesulitan untuk mengartikan penggunaan dari terminologi perbandingan hukum (comparative law). Secara garis besar telah terjadi pembagian ilmu hukum menjadi cabang-cabang tersendiri dari hukum nasional, seperti misalnya hukum keluarga, hukum pidana, hukum perjanjian, dan sebagainya. Namun demikian, perbandingan hukum tidak juga dibedakan sebagaimana ilmu hukum lainnya. Ketidakjelasan ini ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap munculnya kontroversi dan kesalahpahaman yang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya studi perbandingan hukum. Salah satu konsekuensi logisnya, sebagaima dikemukakan oleh Myres McDougal bahwa perbandingan hukum seakan menjadi suatu literatur yang tersimpan rapat, obsesif dan steril untuk jangka waktu yang cukup panjang.[5]

Metode suatu perbandingan dapat kita katakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran dan pengetahuan manusia sehari-hari. Secara sederhana, dalam berbagai tingkatannya, memperbandingkan satu dengan yang lainnya merupakan hal yang pasti terjadi hampir di dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Sebagaimana Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist.”[6]

Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum.

Arti penting dari studi perbandingan sebagai sebuah elemen dasar dalam pendidikan hukum juga telah digarisbawahi dalam berbagai laporan resmi. Salah satu di antaranya yaitu datang dari American Bar Association’s Committee on International dan Comparative Law jauh hari sebelum maraknya perkembangan ilmu perbandingan hukum diperbincangkan. Dalam laporan tersebut, pertama, berbagai langkah disarankan sebagai bentuk praktik dalam mempromosikan penerapan perbandingan sebagai suatu metodologi untuk pengajaran terhadap prinsip-prinsip sistem hukum Common Law.[7]

Kedua, perbandingan hukum memilik posisi sentral untuk memberikan kontribusi khusus bagi para ahli hukum yaitu studi yang memiliki signifikansi dan nilai penting untuk penegakkan hukum dalam bingkai formulasi dan pengembangan konsep maupun gagasan, serta memberikan pengetahuan terhadap tipe-tipe kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Studi terhadap ide dan konsep, serta signifikansinya terhadap hubungan antarmanusia merupakan kajian utama dalam disiplin ilmu sosial, seperti misalnya ilmu hukum, hal mana untuk mencapai maksud dan tujuannya haruslah dikerjakan secara ekstensif verbalisasi.[8]

Para ahli perbandingan hukum dapat pula menyumbangkan kontribusi penting bagi studi ilmu hukum dengan menemukan pengertian konsekuensi umum dari pelaksanaan suatu sistem hukum terhadap pola atau stuktur tertentu dari model kelembagaannya. Sebagai contoh, permasalahan apa yang menjadi kendala utama dalam suatu sistem hukum; dan bagaimana cara menghindarinya ketika suatu sistem mempunyai struktur prosedur dan institusi dari tipe umum yang dijalankan di negara-negara Eropa guna menangani kasus-kasus perdata? Tentunya pertanyaan yang serupa dapat juga diajukan mengenai bagaimanakah sistem dan prosedur hukum yang saat ini digunakan di negara-negara dunia lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris atau India.[9]

Penguasaan teknik perbandingan secara otomatis akan memberikan pengetahuan tambahan bagi para Mahasiswa hukum mengenai pola kerja berjalannya suatu sistem hukum, khususnya sistem hukum pada negaranya masing-masing. Lebih dari itu, ilmu dasar dan lanjutan dari subjek perbandingan hukum di masa yang akan datang tentunya menjadikan paa mahasiswa hukum lebih peduli terhadap interaksi di antara sistem hukum melebihi kepeduliannya pada sistem hukum yang berlaku saat ini. Sebagai contoh, di seluruh Amerika Serikat, mata kuliah perbandingan hukum nampaknya telah dilaksanakan hampir secara keseluruhan dalam bingkai penelaahan berbagai materi kuliah dan diskusi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari mata kuliah sistem common law yang mereka anut. Metode pengajaran ini, di mana pada umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sebelum terjadinya perkembangan metode kasus, sudah semakin menyebar di berbagai Universitas.[10]

Namun demikian, untuk mengembangkan ilmu perbandingan hukum perlu juga kita ketahui beberapa hambatan utamanya. Hambatan ini pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dan pengajar ilmu perbandingan hukum, salah satu di antaranya yaitu oleh Profesor Thayer. Menurutnya, perbandingan suatu hukum pada dasarnya lebih tepat digunakan sebagai terminologi deskriptif dan hal inilah yang sebenarnya dimaksudkan apabila kita berbicara mengenai perbandingan hukum, yaitu suatu perbandingan baik secara keseluruhan ataupun suatu bagian hukum tertentu dari dua atau lebih negara dengan membawa perbedaan dan persamaan di antara mereka guna diambil suatu kesimpulan.[11]

Di satu sisi, permasalahan linguistik biasanya menjadi kendala utama yang dialami oleh sebagian besar peneliti bahan perbandingan. Sayangnya, pertanyaan ini tidaklah pernah bisa dijawab melalui pendekatan teoritis semata. Hal ini menjadi penting dan seringkali menjadi faktor penghambat utama karena arti penting dari nilai perbandingan pada dasarnya hanya dapat diselesaikan oleh seseorang yang tidak mempunyai kendala dalam dunia bahasa. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan bahwa berbagai macam studi perbandingan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang dianugerahi atau mempunyai kemampuan di bidang bahasa. Sebagai contoh, terdapat beberapa aspek dari perbandingan hukum yang tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengetahuan terhadap prinsip-prinsip pengetahuan bahasa di Eropa.

Pada sisi lain, hal tersebut menjadi sangat tidak mungkin apabila studi perbandingan hukum terhadap sistem hukum dari negara asal dengan sistem hukum dari negara lain, seperti misalnya negara-negara Timur-Tengah atau Afrika, tidak sedikit pun menemukan kendala bahasa. Sehingga bisa dikatakan bahwa sedikit-banyak kendala ini akan sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan makna dari terimologi hukum yang digunakan. Lebih lanjut, permasalahan bahasa ini juga telah menjadi hambatan utama dari sebagian besar studi pascasarjana dan kegiatan penelitian, sebab sangat jarang ditemukan pada ssat ini studi perbandingan yang hanya menggunakan bentuk dan bahasa yang sederhana dan mendasar.

Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian yang pernah dilakukan, cara untuk mengatasi kendala bahasa, jika hal ini diperlukan, dapat diatasi dengan melakukan kerjasama secara berkelompok. Artinya ketidaktahuan bahasa dapat ditanyakan kepada mereka yang menguasai betul sturktur dan tata bahasa yang sedang ditelitinya. Sehingga, kendala yang dihadapai akan dapat saling ditutupi antara satu dengan yang lainnya.[12]



***



Catatan Akhir:

[1] John Henry Merryman, “Legal Education There and Here: A Comparison” dalam Stanford Law Review, Vol. 27, No. 3. (Feb., 1975), hal. 859-878.
[2] Rudolf B. Schlesinger, “The Role of the ‘Basic Course’ in the Teaching of Foreign and Comparative Law” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 616-623.
[3] Arthur T. von Mehren, “An Academic Tradition for Comparative Law?” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 624-632.
[4] George Winterton, “Comparative Law Teaching” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 23, No. 1. (Winter, 1975), hal. 69-118.
[5] Lihat Myres S. McDougal, “The Comparative Study of Law for Policy Purposes: Value Clarification as an Instrument of Democratic World Order “, 1 Am.J. Comp.L., 1952, hal. 24 dan 29.
[6] Hall, Comparative Law and Social Theory, Baton Rouge, 1963, hal. 9.
[7] H. C. Gutteridge, “Comparative Law as a Factor in English Legal Education” dalam Journal of Comparative Legislation and International Law, 3rd Ser., Vol. 23, No. 4. (1941), hal. 130-144.
[8] Arthur T. von Mehren, An Academic Tradition for Comparative Law, supra note no. 3.
[9] Ibid.
[10] John N. Hazard, “Comparative Law in Legal Education” dalam the University of Chicago Law Review, Vol. 18, No. 2. (Winter, 1951), hal. 264-279.
[11] Edward D. Re, “Comparative Law Courses in the Law School Curriculum” dalam The American Journal of Comparative Law, Vol. 1, No. 3. (Summer, 1952), hal. 233-242.
[12] H. C. Gutteridge, Comparative Law as a Factor in English Legal Education, supra note 7.

Tuesday, January 15, 2008

Manifesto Blawgger Indonesia

“KOPI DARAT” DAN RENCANA PELUNCURAN RESMI
INDONESIAN BLAWGGER NETWORK (IBN)

”I was confirmed in my conviction that it was not impossible to practise law without compromising truth. Let reader, however, remember that even truthfulness in the practice of the profession cannot cure it of the fundamental defect that vitiates it”

– Mahatma Gandhi –


New Delhi - Ditandai dengan penetapan “Hari Blogger Nasional” setiap tanggal 27 Oktober yang dicanangkan langsung oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Muhammad Nuh, dalam acara Pesta Blogger 2007, telah menjadikan fenomena World Blogging di Indonesia kian hari kian marak. Menurut catatan terakhir, dari 88 juta Blogger di seluruh dunia, saat ini terdapat kurang lebih 130.000 Blogger Indonesia yang turut meramaikan lalu-lintas dunia maya dari seluruh penjuru belahan dunia.

Perjalanan dalam mengarungi dunia perbloggingan ini pun bagi saya pribadi belumlah lama, yaitu baru akan menginjak tahun ketiga pada akhir Februari mendatang. Namun demikian, manfaat dan perkembangan informasi pengetahuan dan jaringan yang saya peroleh dapat dikatakan jauh lebih besar dibandingkan dengan waktu yang saya luangkan dalam mengelola blog ini.

Demi memperoleh manfaat yang lebih maksimum dan terarah, maka saya sengaja mendedikasikan blog ini khusus sebagai spesialisasi Blog Ilmu Hukum dan seputarnya. Mulai dari perkembangan Hukum Tata Negara (HTN), Hak Asasi Manusia (HAM), Hukum Internasional, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Hukum Acara, Perbandingan Hukum, Politik Hukum, Pendidikan Hukum, Info Hukum, hingga hal-hal terkait hukum yang dapat dijadikan kebanggan bangsa Indonesia atas peran dan prestasinya di level internasional, kerap kali menjadi tema sentral dalam tiap-tiap artikelnya.

Oleh karena itu, penamaan Blog ini telah termodifikasi menjadi Blawg (Law Blawg) yang berarti Blog Hukum, sebagaimana digunakan oleh negara-negara maju yang telah terlebih dahulu memanfaatkan fasilitas ini sebagai sarana saling menimba dan mengail ilmu hukum melalui dunia maya. Dengan demikian, penamaan terhadap pengguna blog atau biasa disebut dengan Blogger, secara otomatis berubah menjadi istilah Blawgger (Law Blogger).

Blawgger Campaign

Ajakan - atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai sebuah bentuk kampanye - untuk memanfaatkan blog sebagai sarana pendidikan dan kemajuan reformasi hukum di Indonesia terhadap mereka yang giat, tertarik dan/atau terlibat dengan bidang hukum, telah dikumandangkan pada peringatan satu tahun berjalannya Blawg ini. Memang awalnya terasa sangat janggal apabila kita membaca tulisan, artikel, atau penelitian tentang ilmu hukum yang justru dapat mengerutkan kening kita sendiri.

Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu dengan mencoba untuk tetap bertahan di tengah-tengah pusaran isu seputar pemahkotaan blog selebritis (celebrity blog), akhirnya apresiasi terpendam terhadap kehadiran blog hukum mengemuka. Berbagai tanggapan yang cukup serius melalui email, pesan singkat, maupun diskusi online yang mendarat di layar komputer saya terhadap berbagai topik hukum yang dihadirkan di dalam Blawg ini, menjadi bumbu insipirasi dan memupuk kepercayaan diri untuk terus mengembangkan media ini. Sebagai sebuah blog hukum yang berpakaian cukup sederhana, namun jika dilihat dari jumlah pelanggan tetap blog ini, ternyata menunjukan suatu bukti bahwa minat masyarakat Indonesia terhadap hukum terbilang cukup tinggi, khususnya datang dari kalangan mahasiswa, peneliti, dan akademisi kampus.

Tumbuhnya para Blawgger Indonesia belakangan ini ibarat cendana di musim hujan. Komunikasi yang terbentuk antara saya secara personal dengan beberapa Blawgger lainnya telah menumbuhkan suatu ikatan erat dengan tumpuan minat dan bidang yang sama, yaitu hukum. Adalah Anggara yang selama ini telah menjadi rekan setia saya dalam mendiskusikan hal-hal seputar atmosfer blog hukum di Indonesia (Indonesian Blawgosphere). Namun disayangkan tepat pada Juni tahun lalu, ketika saya berada di Indonesia, pertemuan semi-formal dengannya terpaksa tidak dapat dilakukan mengingat keterbatasan dan padatnya waktu masing-masing.

Kini, dengan tebentuknya formasi Indonesian Blawgger Network (Jaringan Blawgger Indonesia) sebagai upaya untuk mengunifikasikan para Blawgger Indonesia yang terserak, serta kehadiran dua Profesor Blawg Indonesia, menjadikan komunitas Blawgger Indonesia kian berwarna. Forum diskusi terbuka melalui mailing list ”IndoBlawgger” antara para Blawgger Indonesia guna membahas hal-hal seputar blog dan hukum telah pula dikembangkan. Bahkan dalam waktu dekat ini, atas inisatif dari rekan Anggara, untuk pertama kalinya para Blawgger Indonesia akan bertemu secara langsung untuk ”kopi darat” guna saling mengenal lebih jauh dan membicarakan masa depan Indonesian Blawgger Network (IBN).

Pertemuaan ini direncanakan akan diselenggarakan pada tanggal 2 Februari 2008 mendatang bertempat di salah satu meeting point di Jakarta. Adapun hingga saat ini, sebagian besar Blawgger Indonesia sudah dipastikan akan hadir guna memenuhi pertemuan tersebut, baik mereka yang berprofesi sebagai Pengacara, Notaris, Jurnalis, maupun Mahasiswa Hukum. Jika persiapan dan kesedian para Blawgger Indonesia ini cukup besar, maka kami berencana pula untuk menghadirkan Profesor Blawg Indonesia dalam pertemuan tersebut.

Akankah beberapa hal di atas menjadi cikal bakal terbentuknya cita negara hukum Indonesia yang ditopang penuh oleh keberadaan para Blawgger Indonesia? Semoga saja kontribusi kecil ini dapat menjadi oase di tengah tandusnya alam hukum Indonesia di era global village sekarang ini.

Indonesian Blawg Review

Untuk menambah informasi keberadaan para Blawgger Indonesia bagi para penggiat hukum lainnya, maka mulai saat ini saya akan mencoba untuk meluangkan waktu guna memberikan ulasan sekaligus memperkenalkan sang Blawgger kepada khalayak ramai. Hal ini dimaksudkan semata-mata selain sebagai bentuk apresiasi khusus juga dapat dipergunakan untuk memudahkan semua pihak dalam pencarian informasi dan materi-materi seputar hukum.

Adapun kriteria ulasan ditujukan kepada para Blawgger yang memiliki dominan isi Blawg mengenai hal-hal yang tekait dengan hukum dan mampu memberikan pencerdasan dan pengetahuan seputar hukum kepada masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional, baik itu disampaikan dalam bahasa formal maupun informal. Ulasan dapat dilakukan terhadap Blawg yang bersifat akademis murni hingga coretan ringan seputar hukum; ataupun terhadap mereka yang berprofesi sebagai Juris hingga mereka yang masih berstatus Mahasiswa hukum sekalipun.

Dengan demikian, diseminasi terhadap permasalahan dan materi hukum akan menjadi lebih mudah diperoleh oleh siapa pun di masa yang akan datang, khususnya bagi mereka yang sedang berada di luar Indonesia sebagaimana keluh-kesah yang menjadi pengalaman banyak pihak selama ini.

Menutup tulisan ini, saya menyampaikan ucapan selamat atas rencana peluncuran Indonesian Blawgger Network secara resmi pada awal Februari mendatang. Tentunya kita semua berharap agar pertemuan tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan dan perbaikan hukum di tanah air.

Maju Terus Blogger Indonesia; Blawgger Indonesia, Bersatu!

“Jus est norma recti; et quicquid est contra normam recti est injuria”.

Salam Hangat,

Pan Mohamad Faiz
Blawgger Indonesia

# Baca juga Artikel terkait lainnya: #

1. Satu Tahun Peringatan Blog Hukum
2.
Ketika Profesor Blawg Indonesia Ikut Turun Layar

***

HADIRILAH: ”Kopi Darat Blawgger Indonesia”:

  • Hari/Tanggal: Sabtu, 2 Februari 2008
  • Tempat: Meeting Point di Jakarta (info terbaru akan diupdate)
  • Acara: Perkenalan, Ramah-Tamah, Diskusi Ringan, dsb.
Bagi mereka yang membutuhkan informasi lebih lanjut, berminat hadir atau sekedar ingin memberikan dukungan, dapat menghubngi Contact Person berikut ini:
  1. Perwakilan Dalam Negeri: Anggara
  2. Perwakilan Luar Negeri: Pan Mohamad Faiz
Kegiatan ini didukung oleh para Blawgger Indonesia sebagai berikut:


Wednesday, January 02, 2008

Perjanjian Internasional (2)

PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.[3]
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
  1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;

  2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;

  3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

  4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:
  1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;

  2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11]

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:
  1. Perjanjian Internasional;

  2. Kebiasaan Internasional;

  3. Prinsip Hukum Umum;

  4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.[15]

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
  1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

  2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

  3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.

  4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

  5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
  • Ketentuan Umum

  • Pembuatan Perjanjian Internasional

  • Pengesahan Perjanjian Internasional

  • Pemberlakuan Perjanjian Internasional

  • Penyimpanan Perjanjian Internasional

  • Pengakhiran Perjanjian Internasional

  • Ketentuan Peralihan

  • Ketentuan Penutup[20]
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:
  1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;

  2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

  3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;

  4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25]
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
  • masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

  • perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

  • kedaulatan atau hak berdaulat negara;

  • hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  • pembentukan kaidah hukum baru;

  • pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

***
Catatan: Tulisan ini merupakan resume dari salah satu hasil penelitian yang dibuat penulis bersama tim lainnya dalam "Pengujian Undang-undang yang Mensahkan Perjanjian Internasional".
Endnotes:

[1] Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pasa kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai pemikiran ilmu hukum di Eropa pada abad ke 19.

[2] Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Akhir dari puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori Objektivis ini.

[3] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56

[4] I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan Anziloti.

[5] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 57-56.

[6] Loc. cit.

[7] Ibid, hal 65.

[8] Op. cit., hal 61

[9] Ibid

[10] Ibid, hal 62, Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross)

[11] Ibid, hal 114

[12] Shearer, hal 29

[13] Op. cit., hal 117

[14] Vienna Convention on the Law of Treaties, Vienna 1969

[15] Op. cit., hal 119

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.

[19] Loc. cit. Lihat: Catatan Kaki No. 5.

[20] Indonesia (a), Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185.

[21] Ibid, Pasal 7.

[22] Ibid, Pasal 8

[23] Ibid, Pasal 9

[24] Ibid, Pasal 10

[25] Ibid, Pasal 11

[26] Ibid, Pasal 10