Friday, September 26, 2008

Breaking News (5)

MAHASISWA HUKUM HARUS "MELEK TEKNOLOGI"

Sejumlah mahasiswa peserta program magang di Mahkamah Konstitusi dari Universitas Sriwijaya, Universitas UIN Makassar, dan Universitas Kristen Dwipayana, Rabu (24/9), melakukan tatap muka dan bincang-bincang dengan Hakim Konstitusi RI, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Diterima dengan penuh kehangatan di ruangannya, Jimly Asshiddiqie memberikan motivasi khusus kepada para calon sarjana hukum tersebut.

“Selain memperdalam ilmu hukum, mahasiswa hukum sebaiknya juga turut terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi. Sehingga, ketika lulus nanti para sarjana hukum tidak hanya berpikir tentang pasal-pasal saja, tetapi juga mempunyai bekal mengenai praktik-praktik yang terkait dengan manajemen administrasi, keuangan, dan kemampuan berdiplomasi”, tuturnya.

Apabila belum dapat memaksimalkan potensi di banyak bidang, lanjutnya, mahasiswa sebaiknya melakukan konsentrasi dan pengembangan pada salah satu bidang saja. “Sehingga pada nantinya di lingkungan masing-masing, kalian dapat menjadi manusia yang bergelar “ter” (paling -red), misalnya terpintar di bidang agraria”, ungkap pria kelahiran Palembang, kota dimana Universitas Sriwijaya berdiri.

Di luar dugaan, tepat di tengah-tengah berlangsungnya diskusi, Guru Besar Hukum Tata Negara UI ini mengundang para mahasiswa untuk melakukan simulasi penggunaan internet dari meja kerjanya secara langsung. “Perpustakaan terbesar di dunia saat ini terletak pada jaringan internet. Kalau kalian tidak paham bagaimana cara menggunakan internet, maka kalian termasuk mahasiswa yang ketinggalan jaman,” candanya yang disambut dengan tawa renyah dari para mahasiswa.

Peraih penghargaan Bintang Mahaputera Utama ini memang dikenal kalangan luas sebagai seorang Negarawan yang ‘melek teknologi’. Kiprahnya selama lima tahun dalam menciptakan Mahkamah Konstitusi dengan basis teknologi tingkat tinggi telah menjadikannya sebagai salah satu pelopor pengadilan modern pertama di Indonesia.

Lebih dari itu, di tengah-tengah kesibukannya Jimly juga masih menyempatkan diri untuk menahkodai situs pribadinya sebagai media interaktif pertama di Indonesia yang menyajikan metode pengajaran hukum dan Konstitusi secara online dan gratis. Selain terdapat forum pertanyaan yang selalu dijawabnya secara langsung, setidaknya hingga berita ini diturunkan telah terdapat 18 kuliah online dan 10 buku ajar yang dapat diunduh (download) secara bebas oleh siapapun.

“Di Indonesia, buku-buku pelajaran masihlah menjadi barang yang mahal. Sedangkan, apabila konsep intellectual property laws kita terapkan secara total pada ilmu pengetahuan, khususnya terhadap buku bacaan, tentunya akan menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang amat membutuhkan buku-buku tersebut tetapi sangat kesulitan untuk membelinya. Oleh karenanya, buku-buku tersebut saya ikhlaskan demi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia,” ujar penulis lebih dari 30 buku ilmiah di bidang hukum ini.

Namun demikian, kini yang menjadi pertanyaan adalah seberapa banyak mahasiswa dan kalangan luas yang telah memanfaatkan kemudahan sumber pengetahuan yang tersedia tersebut? Menurut catatan yang masuk ke meja Redaksi, setiap harinya terdapat sekitar 1.000 pengunjung website www.jimly.com yang sebagian besar di antaranya merupakan pengguna aktif forum tanya-jawab. “Kita berencana untuk mengembangkan website ini menjadi portal penting bagi para dosen-dosen di berbagai perguruan tinggi hukum, karena kuliah online saya sudah dipakai sebagai bahan ajar dan diskusi di ruang-ruang kelas mereka,” jelas Jimly.

Selepas pertemuan tersebut, Erza, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, merasa semakin bersemangat untuk mempelajari ilmu hukum di dalam kehidupannya. Tidak tanggung-tanggung, untuk lebih memotivasi dirinya dia meminta tanda-tangan langsung dari Jimly Asshiddiqie. “Saya mau taruh tanda-tangan Pak Jimly ini di depan buku saya, karena saya sudah nge-fans dengannya sejak semester II yang lalu”, ungkap Erza dengan wajah berbinar-binar.

Weleh, ternyata kini Prof. Jimly Asshiddiqie sudah menjadi idola baru bagi para intelektual muda Indonesia. Selamat yah Prof.! [PMF]

Sumber: www.jimly.com

Breaking News (4)

DEMOKRASI MEMPUNYAI CACAT BAWAAN

Walaupun masih tergolong sebagai lembaga negara yang baru, namun dari sudut ide, pembentukan fungsi Mahkamah Konstitusi telah muncul pada masa didirikannya BPUPKI di tahun 1945. Adalah Muhammad Yamin yang menggelontorkan ide mengenai perlunya diadopsi sistem pengujian undang-undang terhadap UUD (judicial review), hanya saja pada saat itu dia menggunakan istilah “membanding UU” kepada Balai Agung (Mahkamah Agung -red).

Akan tetapi, ide tersebut ternyata ditentang oleh Soepomo yang berpendapat bahwa selain Indonesia tidak menganut teori trias politika murni Montesquieu, sistem pengujian undang-undang tidaklah cocok dengan paradigma yang telah disepakati sebagai substansi yang terkandung di dalam UUD 1945.

Demikian uraian yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Hakim Konstitusi RI, ketika menyambut sekaligus memberikan kuliah umum kepada para Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Ruang Konferensi, Gedung MKRI, Kamis (11/9).

Dalam kesempatan temu wicara tersebut, sekitar seratus Mahasiswa Baru (Maba) FHUI angkatan 2008 dihadirkan oleh Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FHUI dalam rangka pelaksanaan rangkaian kegiatan Bulan Pembinaan Mahasiswa Baru (BPMB).

“BPMB ini diadakan dengan tujuan untuk lebih mengenalkan para mahasiswa hukum UI, baik kepada lingkungan FHUI maupun lembaga dan instansi hukum di luar FHUI,” jelas Amel, Mahasiswi semester lima yang saat itu menjadi moderator diskusi.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi saat ini memang dirasakan bukan saja sekedar sebagai lembaga negara yang berkutat dalam hal urusan persidangan ketatanegaraan saja, namun juga telah menjelma sebagai tempat “pariwisata intelektual” yang menarik minat banyak pihak. Beberapa diantaranya seperti mahasiswa hukum, organisasi sosial-kemasyarakatan, partai politik serta para aktivis kepemudaan, datang secara silih-berganti untuk menimba ilmu pengetahuan, khususnya di ranah hukum dan ketatanegaraan Indonesia kontemporer.

Dalam kesempatan tersebut, Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara UI, menjelaskan pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan empat hal, yaitu sebagai: (1) pengawal konstitusi (guardian of the constitution); (2) pengontrol demokrasi dan pelindung hak kaum minoritas (the controller of democracy and protector of minority’s rights); (3) pelindung hak warga negara dalam konstitusi (the protector of constitutional citizen’s rights); dan (4) penafsir final atas konstitusi (the final interpreter of constitution).

Dalam konteks demokrasi yang dijalankan secara umum terdapat prinsip-prinsip utama seperti “rule of majority” dan “one man one vote”. Namun demikian, majority rules tersebut tidaklah selalu identik dengan constitutional truth. Untuk itu perlu dilakukan kontrol terhadap demokrasi dan harus pula diimbangi dengan prinsip rule of law.

Undang-undang yang telah disepakati merupakan cermin kehendak rakyat, akan tetapi tidak pula selalu identik dengan kehendak seluruh rakyat. Sedangkan, Konstitusi merupakan suatu konsensus kebangsaan dan telah menjadi perjanjian kolektif antar sesama warga negara dan antara warga negara dengan negara, sebagaimana J.J. Rousseau menjabarkannya dalam konsep du contract social.

“Demokrasi terkadang mempunyai cacat bawaan. Undang-undang itu merupakan produk kompromi politik, oleh karenanya tanpa disadari dapat menabrak ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar. Padahal, seluruh ketentuan hukum haruslah mengacu pada referensi yang paling tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar,” jelas Jimly yang meraih gelar sarjana hukumnya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1982.

Sebelum menutup acara diskusi tersebut, para peserta memperoleh kesempatan untuk mengajukan berbagai pertanyaan terkait dengan isu hukum ketatanegaraan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Di akhir acara, kepada para penanya diberikan kenang-kenangan berupa buku hukum yang diterbitkan atas hasil kerjasama antara BEM FHUI Periode 2007/2008 dengan Mahkamah Konstitusi RI yang memuat kumpulan tulisan dan artikel ilmiah karya para mahasiswa hukum Indonesia. [PMF]

Sumber: www.jimly.com

Breaking News (3)

INDONESIA BUTUH REVOLUSI PERPUSTAKAAN

Bertempat di ruang kerjanya, Jumat (5/9), Jimly Asshiddiqie bersama dengan Pengurus Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) melakukan silaturahmi sekaligus berdiskusi mengenai perkembangan sistem perpustakaan di Indonesia. Berulang kali istilah “revolusi” mencuat di tengah-tengah pertemuan tersebut. “Itu baru revolusi namanya”, ujar Jimly dihadapan Ketua PNRI, Dadi Rahmanata. Ada apa sebenarnya?

Rupanya gagasan yang dibawa oleh PNRI untuk melakukan digitalisasi perpustakaan sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Jimly selama ini. Menurutnya, hanya dengan mengembangkan perpustakaan yang berbasis digital dengan didukung perangkat internet, kapasitas data dan dokumen yang disimpan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan perpustakaan dengan sistem konvensional fisik.

PNRI saat ini memang sedang mengembangkan sistem perpustakaan terintegrasi dari tingkat propinsi hingga tingkat desa. Untuk menuntaskan program tersebut dianggarankanlah sekitar Rp 100 milyar yang akan diperuntukan kepada 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun demikian, menurut Dadi, program tersebut masih terkendala oleh rendahnya kualitas SDM yang akan mengelola perpustakaan tersebut.

“Kita pun sudah coba dengan melakukan rangkaian training kepada mereka, khususnya yang terkait dengan keahlian IT. Tetapi biasanya setelah mereka mempunyai skill yang cukup, pengelola tersebut akan ditarik oleh lembaga atau perusahaan yang lebih besar. Sehingga selalu terjadi kekosongan posisi di perpustakaan”, ujar Woro Titi, Kepala Pusat Pelayanan Jasa PNRI.

Pusat Informasi Hukum Terlengkap

Terkait dengan bidang hukum, Jimly Asshiddiqie yang juga pernah menjadi motor gerakan gemar membaca, menyoroti tentang perlunya akses memperoleh keputusan negara secara bebas. Menurutnya, jenis-jenis keputusan negara yang mempunyai sifat mengikat ke masyarakat secara langsung harus dapat diketahui dan diakses oleh siapapun.

“Keputusan negara seperti peraturan (regeling), keputusan pengadilan (vonis), Surat Keputusan (SK), dan aturan kebijakan (policy rules) harus dapat diakses semata-mata untuk kepentingan publik. Misalnya, Rencana Tata Ruang Kota yang dibuat oleh Pemda harus bisa diakses oleh siapapun warga yang membutuhkannya,” jelasnya.

Belum adanya satupun perpustakaan hukum lengkap, baik yang bersifat fisik maupun digital, yang memuat seluruh dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah, membuat Guru Besar Hukum Tata Negara UI tersebut tidak habis pikir.

Oleh karenanya, kesempatan baik itu dimanfaatkan pula untuk mengajak PNRI untuk merancang bangun sistem terbaik untuk mewujudkan ide dan gagasannya mengenai penguatan Pusat Informasi Hukum terlengkap yang dapat diakses secara bebas oleh siapa saja, khususnya para praktisi hukum.

Semoga saja rencana ini bisa segera diwujudkan, sehingga benar apabila nantinya kita mengatakan bahwa awal terjadinya revolusi hukum akan dimulai dari ruang perpustakaan. [PMF]

Sumber: www.jimly.com

Breaking News (2)

KANDIDAT PESERTA PEMILU DIHIMBAU PELAJARI
BERBAGAI ASPEK HUKUM


Memasuki bulan suci Ramadhan, segenap pimpinan dan unsur Pemerintahan Daerah Kabupaten Cirebon memperoleh ‘siraman konstitusi’ dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. pada hari Minggu (24/8) di Asrama Haji, Cirebon, Jawa Barat. Di hadapan para peserta dan undangan acara “Sosialisasi Mahkamah Konstitusi RI dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Jimly mengingatkan akan arti pentingnya UUD 1945 sebagai sistem hukum tertinggi yang harus ditaati oleh seluruh aparatur dan warga negara Indonesia.

“Hingga kini masih banyak terjadi pengamalan Pasal-Pasal UUD 1945 yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan bukan pada tataran substansi yang implementatif, namun hanya sebatas pertimbangan formalitas belaka”, ujar Jimly kepada ratusan peserta yang memadati ruang pertemuan.

Sosialisasi yang berlangsung cukup interaktif tersebut dirasakan oleh banyak pihak sedikit lebih spesial dibandingkan dengan acara-acara sejenis sebelumnya. Pasalnya, pertemuan yang diadakan pada hari libur itu juga berbarengan dengan kegiatan Parade Obor Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Nusantara. Para pelajar SMP dan SMA dari seluruh Kabupaten Cirebon turut pula hadir untuk memperoleh ilmu dan wawasan tentang sistem ketatanegaraan kontemporer dan nilai-nilai kebangsaan. Melihat banyaknya peserta yang berasal dari kalangan pelajar, Jimly segera mengaitkan paparannya antara amanat konstitusi tentang pengalokasian 20% anggaran pendidikan dari APBN /APBD dengan kebijakan Pemkab Cirebon di bidang pendidikan.

“Pemkab Cirebon pun sekarang harus bisa mengalokasikan anggaran pendidikan 20% lebih dari APBD. Dengan begitu putra-putra terbaik daerah Cirebon bisa semakin unggul dari wilayah-wilayah lainnya,” papar Jimly yang disambut tepuk tangan meriah, baik dari Bupati Cirebon yang sedang duduk di sebelahnya maupun dari para guru dan siswa yang hadir.Saat ini, Kabupaten Cirebon yang dipimpin oleh Bupati Dedi Supardi memang menjadi salah satu Kabupaten yang masuk dalam kelompok 10% dari 483 Kabupaten di Indonesia yang telah berhasil mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari APBD. Salah satu program pendidikan andalan yang dilaksanakannya yaitu program dana abadi sejumlah Rp. 10 miliar yang dipergunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan dari TK sampai dengan SMA dan pemberian beasiswa terhadap mahasiswa berprestasi dari Cirebon.

Sengeketa Pemilu semakin Rumit

Di saat yang bersamaan, materi terkait dengan Pilkada dan Pemilu Nasional juga menjadi bahan sosialisasi yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie. Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia ini menjelaskan bahwa pada Pemilu 2004 yang lalu, Mahkamah Konstitusi hanya mengadili obyek sengketa Pemilu terhadap perselisihan suara yang mempengaruhi perolehan bangku.

Akan tetapi, lanjutnya, obyek sengketa Pemilu 2009 diperkirakan dapat semakin meluas jika tidak diantisipasi jalan keluarnya dari sekarang. Menurutnya, selain perselisihan suara yang mempengaruhi perolehan bangku, ketentuan parliamentary trashhold dan sistem perolehan suara berdasarkan nomor urut atau suara terbanyak akan menjadi isu sentral dalam obyek sengketa Pemilu 2009.

Terkait dengan hal tersebut, Jimly menghimbau kepada para peserta yang berniat untuk menjadi kontestan Pemilu mendatang untuk mempelajari segala aspek yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan Pemilu, termasuk juga mengenai tata cara berperkara di Mahkamah Konstitusi apabila diperlukan.

“Jangan sampai sengketa Pemilu nanti menjadi konflik antar kandidat atau antar pendukung kandidat yang justru dapat merusak sistem demokrasi yang telah terbangun baik. Para peserta Pemilu diharapkan dapat siap secara mental dan intelektual untuk menemukan jalan keluar yang sudah disediakan sesuai dengan koridor hukum dan konstitusi negara Indonesia”, ujarnya. [pmf]

Sumber: www.jimly.com

Breaking News (1)

KAMMI ‘TAUSHIYAH KONSTITUSI' BERSAMA JIMLY ASSHIDDIQIE

Paska amandemen UUD 1945, jiwa kesadaran berkonstitusi nampaknya semakin tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, tidak terkecuali dengan para mahasiswa dan generasi muda Indonesia. Melihat begitu pentingnya dalam memahami konstitusi sendiri, para pengurus dan anggota KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dari seluruh nusantara melakukan taushiyah konstitusi dengan mendatangi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Guru Besar Tata Negara Fakultas Hukum UI, di kediamannya, Kamis (21/8).

“Kami semua ingin mengetahui perjalanan dan praktik konstitusi di Indonesia yang secara langsung maupun tidak langsung akan turut mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Agung Andri, Ketua Badan Pekerja Konstitusi KAMMI, di sela-sela acara taushiyah dengan tema “Peran Penting Konstitusi dalam Kehidupan Bernegara.

Dalam pertemuannya dengan 60 anggota KAMMI yang berasal dari seluruh penjuru tanah air, Jimly menyampaikan bahwa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi menjadi teramat penting untuk dipahami oleh setiap warga negara. Sebab, materi pokok UUD 1945 memuat tentang kewajiban dan perlindungan hak-hak asasi manusia seluruh rakyat Indonesia.

“Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J itu salah satu materi pokok dari amandemen UUD 1945 yang memuat tentang hak dan kewajiban warga negara”, papar Jimly kepada peserta taushiyah yang baru saja melaksanakan Rapimnas dan Pra-Muktamar VI KAMMI dengan mengusung tema “Muslim Negarawan, Spirit Kebangkitan Indonesia” di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

Saling tukar pikiran dan gagasan antara para fungsionari KAMMI dan Hakim Konstitusi itu berlangsung cair namun cukup serius. Kompleksitas masyarakat, mulai dari penegakan hukum, arah demokrasi, isu pendidikan hingga sistem perekonomian menjadi pembahasan yang sarat dengan nilai-nilai yang konstruktif. Terhadap adanya pendapat yang meragukan fleksibilitas nilai yang terkandung di dalam konstitusi dengan kitab suci beragama, Jimly menegaskan bahwa antara UUD 1945 dan kitab suci, baik itu Al-Quran, Al-Kitab, dan kitab-kitab suci lainnya, sudah seharusnya tidak lagi dipertentangkan.

“Al-Quran itu harus digunakan sebagai landasan paling mendasar dalam menjalankan keyakinan bagi para penganutnya. Sedangkan, konstitusi digunakan sebagai sumber dan kesepakatan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, keduanya harus berjalan harmonis dan tidak perlu dipertentangkan lagi”, jelasnya.

Pakar hukum ketatanegaraan yang sudah puluhan tahun malang-melintang di berbagai forum nasional maupun internasional ini, menurut salah satu petinggi KAMMI yang hadir, rupanya akan diusulkan sebagai anggota kehormatan KAMMI dalam Muktamar VI mendatang yang akan dilangsungkan di Makassar pada awal bulan November. Kecerdasan dan wawasan di bidang hukum ketatanegaraan, sosial-politik, pendidikan, kepekaan terhadap kepentingan rakyat, menjadi kriteria utama mereka dalam menentukan sosok yang pantas duduk sebagai Anggota Kehormatan KAMMI.

“Menurut sebagian peserta Pra-Muktamar, Ustad Prof. Jimly sangat pantas untuk menyandang gelar sebagai Muslim Negarawan,” ungkap Sujatmiko, salah satu pengurus KAMMI wilayah D.I. Yogyakarta.

Pertemuan yang berlangsung sekitar dua setengah jam itu ditutup dengan ungkapan terima kasih dari Sekjen KAMMI, Rahmantoha Budhiharto, S.T. dengan memberikan buku buah karya anggotanya, Rijalul Imam, S.Hum., M.Si., kepada sang pemberi taushiyah. Di akhir acara, Jimly Asshiddiqie sempat berseloroh, “Jika ingin lebih mendekatkan diri pada konstitusi, ubah saja judul AD/ART kalian dengan istilah Konstitusi.” Kontan, riuh tawa dan acungan jempol dilemparkan sebagian peserta taushiyah yang memberikan sinyal spontan tanda persetujuannya. (PMF)

Sumber: www.jimly.com

Wednesday, September 24, 2008

Breaking News...

Setelah kembali pada rutinitas keseharian di Jakarta, maka waktu yang biasanya saya miliki dengan leluasa kini tersita oleh tugas-tugas yang silih-berganti berdatangan. Oleh karenanya, tulisan artikel saya pada blog ini kini seakan menjadi berkurang frekuensi keluarannya. Salah satu hal yang menyebabkanya yaitu tersitanya waktu saya dikarenaan adanya penambahan mandat dalam melakukan “pendampingan” penuh kepada salah satu Hakim Konstitusi RI, setidaknya dapat saya katakan hingga hari ini.

Buat saya pribadi yang masih terlalu hijau, hal ini merupakan suatu amanah yang cukup berat. Namun, hikmah yang dapat saya ambil tentunya pendampingan ini akan membawa pelajaran dan pengalaman berharga, bukan saja di ranah hukum, tetapi juga di sistem birokrasi dan arena peradilan Indonesia.

Untuk mengisi dan lebih memberi warna kembali pada Blog ini, maka saya akan mencoba melakukan posting ulang di antara artikel-artikel saya atas ulasan terhadap beragam aktivitas sang founder MKRI dimaksud untuk batas waktu beberapa bulan mendatang. Alasannya: (1) Apa yang akan saya lakukan ini masih dapat dikatakan berhubungan dengan basis "citizen journalism", setidaknya sebagai ladang pembelajaran dan eksperimentasi penulisan berita; (2) Saya dapat mensharing juga berbagai pengetahuan terbaru tentang konstitusi termasuk ide-ide visioner yang seringkali digagas oleh Negarawan kampiun dimaksud kepada para pembaca sekalian.

Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Khairunnas anfa’uhum linnas”, yang artinya sebaik-baiknya manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (H.R. Bukhari dan Muslim). Berangkat dari hal tersebut, maka saya selalu memegang prinsip bahwa segala sesuatu dan apapun yang kita lakukan, sebaiknya pula dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun sesuai dengan kapasitas dan jangkauan kita.

Untuk itu berbagai saran dan kritik terhadap berita terkait pada nantinya, amat sangat saya harapkan demi kenyamanan para pembaca yang budiman.

Salam Hangat,

PMF


Monday, September 01, 2008

Dicari Constitutional Lawyer Probono!

MEMBANGUN PERLINDUNGAN KONSTITUSI SECARA PENUH

Wajahnya tertunduk lesu, tubuhnya terduduk lunglai. Tidak ada satu pun kuasa hukum yang duduk di sebelahnya. Kehadirannya hanya ditemani oleh seorang adiknya dan “didampingi” dua petugas Lapas Cipinang yang bertubuh kekar dari luar arena persidangan. Maklum, Pemohon adalah terpidana kasus korupsi yang masih mendekam di penjara.

Ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi dengan agenda pembacaan putusan menjadi saksi bisu kandasnya permohonan judicial review UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang diajukan oleh Dokter Salim Alkatiri (62).

Dalam permohonannya, Alkatiri sebagai pencari keadilan (justice seeker) mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 3 UU PTPK yang didakwakan oleh Jaksa terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Ambon. Pensiunan dokter yang didakwa melakukan korupsi pada waktu terjadi kerusuhan di Maluku ini divonis secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Merasa dewi keadilan tidak berada di pihaknya, Alkatiri berusaha menempuh berbagai cara mulai dari pengajuan banding di Pengadilan Tinggi Ambon hingga permohonan kasasi di Mahkamah Agung. Pasalnya, dia merasa bahwa keadaan darurat sipil pada masa situasi gawat akibat terjadi kerusuhan di Maluku dari tanggal 19 Januari 1999 sampai dengan pertengahan 2003 membuat dirinya melakukan tindakan cepat dan efisien dalam rangka menyelematkan puluhan nyawa masyarakat di daerah terjadinya konflik. Menurutnya, apa yang dia lakukan semata-mata untuk melaksanakan tugas kemanusiaan demi kepentingan umum, bahkan tidak jarang nyawanya sendiripun ikut terancam pada saat bertugas memberikan pengobatan hingga ke pedalaman dan pelosok-pelosok daerah Maluku.

Walaupun demikian, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sama sekali tidak bergeming mendengar argumentasi sang Dokter. Putusan Pengadilan Tinggi Ambon No. 41/PID/2006PT. MAL dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 2349 K/Pid/2006 justru turut mengantarkan Alkatiri menuju persinggahan sementaranya di balik jeruji.

Jalur Konstitusional

Naluri bertahan hidup Alkatiri dalam berjuang dan menyelamatkan dirinya selama bertugas di medan konflik, rupanya masih terus membara. Setelah berbagai cara telah ditempuh (exhausted), hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai buah reformasi sistem ketatanegaraan RI dimanfaatkannya untuk mengembalikan sinar harapan bagi masa depan Alkatiri bersama keluarganya. Judicial review dijadikan pintu masuk seraya mendalilkan kembali apa yang pernah disampaikannya di depan Pengadilan Umum dilengkapi dengan argumentasi sosial-konstitusional permohonan untuk lebih meyakinkan hakim.

Menyusun argumentasi hukum dalam surat permohonan di hadapan Mahkamah sebenarnya bukanlah perkara yang relatif mudah. Sebab, selain Mahkamah ini belum lama berdiri sehingga teori dan praktik beracaranya belum begitu membumi, merekonstruksi substansi permohonannya pun haruslah cermat dan berlandaskan teori hukum dan Konstitusi yang terbaru. Oleh karena itu, hampir sebagian besar pemohon yang pernah beracara di Mahkamah Konstitusi minimal selalu didampingi oleh kuasa hukum atau pengacaranya. Itu pun kadangkala mereka masih sulit untuk memahami logika beracara di Mahkamah dan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim.

Namun anehnya, Alkatiri justru maju ke hadapan Mahkamah seorang diri tanpa adanya pendampingan dari siapapun, kecuali dari sanak keluarganya sendiri. Benarkah tidak ada kuasa hukum yang mau mendampinginya untuk berperkara di Mahkamah? Benarkah apabila ada anggapan bahwa kasus yang diperkarakannya selain ditaksir tidak punya prospek besar meraih kemenangan, juga tidak “seksi” dalam urusan finansial.

Usut punya usut, sebenarnya sang Pemohon berkeinginan untuk memperoleh pendampingan secara hukum, tetapi terdapat kondisi-kondisi yang menyebabkan dia mengurungkan niatnya. Kesatu, Alkatiri bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang mampu dan berkecukupan, sehingga mengeluarkan uang untuk menyewa seorang pengacara – sebagaimana seringkali dilakukan oleh para terdakwa koruptor kelas kakap – menjadi teramat sulit. Kedua, Alkatiri merasa sudah “kapok” dengan para pengacara yang selama ini mendampinginya dalam proses persidangan di pengadilan umum. Alih-alih ingin membantunya, namun yang terjadi justru dia merasa dipermainkan dan diperas habis hingga harus rela merogoh koceknya sampai puluhan juta rupiah. Hasilnya? Nihil!

Berbekal ‘persenjataan’ seadanya, Alkatiri menaruh harapan terakhirnya pada pundak kesembilan hakim berjas merah. Pada akhirnya, dalam putusannya Mahkamah berkesimpulan bahwa: (1) kerugian yang dialami oleh Alkatiri lebih merupakan norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang diuji; (2) keadaan darurat sipil tidak menegasikan berlakunya Pasal 3 UU PTPK; dan (3) Dalam perkara a quo Pasal 3 UU PTPK tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal UUD 1945. Dengan demikian, permohonan dr. Alkatiri lagi-lagi ditolak oleh Pengadilan.

Pengacara Konstitusi Probono

Dari kisah perjuangan keadilan yang dilakukan oleh dr. Alkatiri di meja merah Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat hikmah yang tersembunyi yang dapat dipetik, yaitu:

Pertama, Mahkamah Konstitusi yang baru berdiri 5 (lima) tahun mulai menjadi pusat perhatian para pencari keadilan di tanah air. Keterbatasan wewenang Mahkamah yang sudah jelas diberikan oleh UUD 1945, tidak menghambat pihak-pihak yang ingin berperkara untuk berjuang mengembalikan hak konstitusionalnya, sekalipun mereka harus melakukan eksperimentasi permohonan.

Kedua, semakin berkembangnya permohonan yang diajukan secara individu dari warga Negara ke hadapan Mahkamah Konstitusi, yang sudah tidak didominasi lagi oleh pemohon dari kalangan menengah atas, maka seyogyanya sudah harus mulai dipikirkan mengenai sistem pendampingan terbaik. Selain harus terus dilakukannya sosialisasi dan pelatihan berkala mengenai hukum acara dan penyusunan permohonan di hadapan Mahkamah bagi para calon pemohon baik yang dilakukan oleh Pemerintah, Mahkamah Konstitusi maupun para penggiat hukum lainnya, yang tidak kalah penting adalah mengusahakan penyediaan penyediaan pengacara konstitusi (constitutional lawyer) secara probono (cuma-cuma). Instrumen ini dapat digunakan apabila para pemohon sangat membutuhkan pendampingan hukum, namun tidak sanggup untuk menyediakannya sendiri dikarenakan keterbatasan finansial.

Hal ini teramat penting untuk ditelaah, mengingat bahwa tugas utama seluruh komponen Negara yaitu menegakkan tiang-tiang konstitusi sebagaimana ketika mereka mengucapkan sumpah dan janji setia kepada UUD 1945 pada saat pelantikan. Dengan demikian, Mahkamah pun harus mulai memikirkan kemungkinan terciptanya instrumen ini dengan melihat perbandingan sistem sejenis yang sudah diterapkan di beberapa Negara lain. Hal ini semata-mata ditempuh untuk memberikan perlindungan Konstitusi secara penuh (full of constitutional protection), terlebih lagi apabila kewenangan memeriksa pengaduan konstitusional (constitutional complaint) menjadi salah satu kewenangannya di masa yang akan datang. Pendampingan secara gratis ini bisa digawangi oleh Negara secara utuh ataupun dengan melakukan kerjasama bersama komunitas hukum dan lembaga bantuan hukum baik di tingkat regional maupun di tingkat universitas. Syukur-syukur jika pendampingan probono ini dapat lahir dari masyarakat tanpa harus menunggu inisatif dari Negara.

Ketiga, berapapun besar-kecil diterimanya suatu permohonan serta betapapun manis-pahitnya keputusan yang akan diterima, cara-cara yang ditempuh oleh dr. Alkatiri melalui jalur yang telah disediakan secara konstitusional memberikan pelajaran tersendiri bagi segenap pihak. Namun sayangnya, hal yang demikian tidak mendapat perhatian cukup di hadapan publik sebagai bahan pembelajaran hukum dan kisah hiruk-pikuk perjuangan terhadap pencarian bulir-bulir keadilan yang terserak di lembah reformasi.

Hanya dengan belajar dari pengalamanlah bangsa Indonesia dapat memperbaiki dan membangun sistem hukum dan peradilan yang bermartabat. Sekecil apapun hak yang melekat di dalam diri setiap pihak yang berperkara, sebisa mungkin harus terjaga dan terpenuhi. Dengan kata lain, terlepas dari seorang pemohon itu adalah malaikat atau penjahat, mereka tetap harus dilindungi hak-hak konstitusionalnya. Sebagai wujud peradilan yang modern dan terpercaya, Mahkamah Konstitusi harus kembali menjadi yang terdepan dalam menyikapi persoalan ini.

Keterangan: Unduh Putusan Judicial Review dr. Alkatiri