Friday, February 20, 2009

Perjuangan Capres Independen

PERJUANGAN CAPRES INDEPENDEN
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Lika-liku jalan calon presiden independen (perseorangan) untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu Presiden 2009 terhenti sudah. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa frasa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum…” dalam UU No. 42 tahun 2008 (UU Pilpres) tidak inkonstitusional.

Menariknya, putusan MK tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga dari delapan Hakim Konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan pula membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres. Namun demikian, ketiga Hakim tersebut juga mempertimbangkan kepentingan nasional terkait dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 yang semakin dekat, sehingga pendapat tersebut berhujung pada kondisi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, mereka memandang bahwa kesempatan calon presiden perseorangan dalam Pilpres harus sudah mulai dibuka pada Pemilu tahun 2014 atau 2019.

Amandemen Kelima

Setidaknya terdapat dua alasan utama dari perspektif hukum dan politik yang menjadi mainstream ujian terjal belum terakomodasinya capres perseorangan hingga kini. Pertama, para ahli hukum berargumen bahwa kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah menetapkan secara nyata bahwa partai politiklah pemegang hak konstitusional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, para pengamat politik beralasan bahwa calon perseorangan pada sistem presidensiil amat rentan dengan munculnya ketidakstabilan politik dan ketatanegaraan, mengingat Presiden dalam mengelola negara harus pula memiliki dukungan kuat di Parlemen ketika menjalankan kebijakan-kebijakannya.

Akan tetapi, tidak semua ahli hukum dan ahli politik tersebut memilik satu mahzab yang sama. Sebagian pengamat politik beranggapan bahwa tidak ada kaitannya antara sistem presidensiil dengan capres independen. Sebab, sistem presidensiil Indonesia mempunyai karakter yang khas dan berbeda dengan negara-negara lain. Sehingga, tidaklah dapat dipersamakan antara pengalaman negara satu dengan negara lainnya, atau dalam bahasa A.B. Kusuma (2008), tidak ada lagi istilah “presidensiil murni” atau “presidensiil tidak murni”. Sementara itu, sebagian para ahli hukum melihat Konstitusi sebagai organ yang hidup (the living constitution) seyogyanya harus mampu memberikan ruang interpretasi terhadap perkembangan dan kebutuhan rakyatnya. Oleh karenanya, menurut mereka, capres independent harus dapat terakomodasi secara legal-formal.

Keseluruhan “perang pendapat” tersebut setidaknya dapat kita temukan selama pemeriksaan pengujian undang-undang (constitutional review) terkait permohonan capres independen oleh Fadjroel Rachman, dkk. yang berlangsung di hadapan MK. Dari panjangnya proses pembuktian tersebut terdapat satu hal yang perlu direspons cepat ketika hampir sebagian besar ahli hukum dan anggota DPR memandang bahwa sesungguhnya tidak ada permasalahan terhadap ada-tidaknya jalur capres independen selama kehadirannya sesuai dengan politik konstitusi. Oleh karenanya, DPR dan Pemerintah siap membuka lebar-lebar pintu capres independen apabila memang telah terjadi amandemen kelima terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Apabila kehendak tersebut terejawantahkan, maka sudah seyogyanya Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR karena keadaan tertentu juga harus diamandemen.

Suara Rakyat

Undang-Undang Dasar sebagai konsensus bersama (general consensus) sudah sejatinya turut memperhatikan suara dan aspirasi rakyat yang berkembang (vox populi, vox dei). Adanya hasil survey LSI yang menyimpulkan bahwa sebagian rakyat Indonesia menginginkan dibukanya capres independen sebagai jalur alternatif selain jalur parpol menjadi bukti awal yang dapat dijadikan argumen pendukung untuk diubahnya Pasal 6A ayat (2). Terlebih lagi, beberapa penelitian ilmiah dan rekomendasi resmi dari Komisi Konstitusi sudah jauh-jauh hari menyuarakan betapa pentingnya perubahan Pasal tersebut. Walaupun bukan menjadi pendirian Mahkamah saat ini, tafsiran sebagian dissenter dalam Putusan No. 56/PUU-VI/2008 (vide halaman 127 s.d. 140) dapat juga dijadikan sinar pencerahan terwujudnya perubahan UUD 1945.

Namun demikian, ganjalan terberat justru hadir ketika usulan perubahan tersebut jatuh di tangan MPR sebagai pemegang otoritas tunggal insitusional untuk mengubah undang-undang dasar [Pasal 3 ayat (1) UUD 1945]. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah usulan perubahan tersebut dikabulkan? Kecemasan bermunculan dikarenakan bahwa sebagian besar anggota MPR adalah anggota Partai Politik, sehingga sulit membayangkan akan terjadinya skenario adanya parpol yang secara sukarela ingin mengebiri hak konstitusional dirinya sendiri.

Untuk mengeliminir keraguan tersebut, setidaknya pendekatan dan pencerahan mengenai perlunya perubahan konstitusi tersebut bukan hanya diarahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (the owner of ultimate sovereignty), namun juga diarahkan kepada parpol yang memiliki platform visioner-progresif, para anggota DPD yang berbasis perseorangan, jaringan akademisi, serta media massa yang befungsi sebagai “the fourth estate of democracy” atau pilar keempat penyanggah demokrasi (B.V. Naik, 2004)

Oleh karenanya, marilah sama-sama kita maknai proses pewacanaan dan hasil perjuangan capres independen betapapun manis-pahitnya itu, baik sebelum maupun sesudah putusan Mahkamah, sebagai proses pendidikan dan peremajaan berdemokrasi. Selama hal-hal tersebut dilakukan secara konstitusional, maka tidak ada salahnya kita menerimanya sebagai bagian dari dinamika kehidupan berdemokrasi yang sehat, serta membuang jauh-jauh rasa kecurigaan ataupun rasa skeptis yang tak beralasan.

Setidaknya, perjalanan panjang ini dapat turut pula menyuntikan vaksinasi iklim politik-ketatanegaraan yang kokoh sekaligus sebagai cermin otokritik terhadap kelembagaan partai politik Indonesia yang dianggap masih kurang memperhatikan aspirasi rakyat. (*)

* Peneliti Hukum dan Konstitusi di Jakarta.

Thursday, February 12, 2009

Demokrasi Anarki: Suatu Puisi Jiwa

DEMOKRASI ANARKI

Berteriak lantang berkedok aspirasi
Mengumbar janji dan program suci
Lihat! semua orang bernafsu meraih kursi
Di tengah euforia terbukanya pintu reformasi

Gawat Tuan! Nurani bangsa telah dicuri
Mereka saling tuding dan saling menggurui
Yang tidak setuju boleh gunakan emosi
Kerahkan massa, lalu letupkan provokasi

Inikah yang kau sebut demokrasi?
Ah bukan, ini sih namanya democrazy!
Pantas saja tiap demonstrasi berhujung anarki
Karena kita memang berada di alam
mobokrasi

---

Merdeka Barat, 12/02/09 - 18:00 WIB

Catatan: Turut Berduka atas jatuhnya korban dalam Demokrasi Anarki
di Gedung DPRD Sumut