Thursday, March 01, 2012

Global i-Lecture #2

GLOBAL i-LECTURE #2

Tema: “Negara Hukum dan Keadilan Sosial dalam Konstitusi di Indonesia”

Kami mengundang rekan-rekan untuk mengikuti Global i-Lecture Seri ke-2 sebagai berikut:

Topik: Negara Hukum dan Keadilan Sosial dalam Konstitusi di Indonesia

Narasumber: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Hari/Tanggal: Kamis/1 Maret 2012

Pukul: 13.30 – 16.00 WIB

Tempat: Ruang PT IDC Indonesia, Gedung Cyber, Lantai 7, Jalan Kuningan Barat No. 8. Mampang Prapatan – Jakarta Selatan

Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Jimly School of Law and Government (JSLG), Epistema Institute, Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), dan didukung oleh PT Arsen dan PT IDC.

Perkuliahan ini dapat diikuti melalui internet online dengan petunjuk sebagai berikut:

  1. Kunjungi: http://indogoo.com/jimlyschool;
  2. Masukan username;
  3. Klik ‘log in’;
  4. Pilih jimlyschool;
  5. Masukan password: “jimly”;
  6. Klik kirim.

Setelah itu ikuti langkah-langkah berikut:

  1. Pilih gambar biru sebelah kanan untuk “Publish my video”;
  2. Pilih “allow”, lalu close;
  3. Setelah tampil video sendiri, anda dapat menambah teman konferensi dengan mengklik gambar icon webcam orang tersebut;
  4. Setting microphone dan sound sesuai kebutuhan;
  5. Siap untuk kuliah online.

Saran: Untuk memperoleh kualitas terbaik, koneksi internet 256 kbps, mempunyai webcam dan multimedia, web browser terbaru dengan Flash Plug In terbaru, menggunakan handsfree/earphone

Tuesday, June 14, 2011

Menyoal Bahasa Pidato Resmi Pejabat Negara

MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGARA: ANALISIS BERPERSPEKTIF HUKUM

Pan Mohamad Faiz *

1. Pendahuluan

“Quot linguas quis callet, tot homines valet”. Demikian pepatah latin mengatakan untuk menunjukkan bahwa semakin fasih seseorang berbicara dalam berbagai bahasa maka dengan sendirinya pergaulannya akan lebih luas. Di era modernisasi dengan tren globalisasi yang kini hampir tak memiliki ruang dan batas antarnegara (borderless), bahasa dipercaya menjadi elemen perekat dan medium komunikasi yang paling efektif antara satu bangsa dengan bangsa lainnya.

Indonesia yang kembali menggeliat maju dari rahim reformasi senantiasa berupaya untuk bersaing dengan negara-negara lain baik di pentas regional maupun internasional. Untuk itulah, kemampuan bahasa dari segitiga pemangku kepentingan yang digambarkan oleh Antonio Gramsci, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat sipil (civil society), menjadi faktor determinan untuk memperkuat daya saing Indonesia di berbagai bidang.

Selain bahasa Inggris yang telah mendunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan bahasa resmi yang digunakan dalam forum-forum internasional dengan bahasa Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab. Lalu kemana peran bahasa Indonesia yang penggunanya lebih dari 230 juta umat manusia di muka bumi?

Kita tak perlu merasa risih karena tak lama lagi bahasa Indonesia setidaknya akan disahkan menjadi bahasa resmi ASEAN. Alasan utamanya, selain digunakan oleh ratusan juta bangsa Indonesia sendiri, bahasa Indonesia sedikit banyak juga digunakan dan dipahami oleh sebagian masyarakat dari negara-negara di Asia Tenggara. Terlebih lagi, beberapa negara maju di luar kawasan Asia Tenggara, misalnya Australia, juga sudah memiliki pusat bahasa pengajaran dan kurikulum tentang bahasa Indonesia.

Perkembangan positif dari perspektif fungsionalisasi penggunaan bahasa tersebut tentu membawa dampak yang baik bagi daya saing Indonesia. Antonio L. Rappa dan Lionel Wee dalam bukunya Language Policy and Modernity in Southeast Asia (2006) memaparkan bahwa ideologi tentang bahasa dapat membawa pengaruh terhadap fomulasi kebijakan yang akan dibuat.

Namun demikian, dalam pergaulan resmi antarnegara, pada umumnya masing-masing negara mempunyai ketentuan tertentu yang mengatur tentang penggunaan bahasa nasionalnya di dalam berbagai kegiatan, termasuk Indonesia.

Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU 24/2009) menentukan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah NKRI. Dalam UU 24/2009, penggunaan bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Oleh karena itu, UU 24/2009 memuat berbagai ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, salah satunya sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 yang menyatakan, ”Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”. Sementara itu, Pasal 32 UU 24/2009 menyatakan, ”(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia; (2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.

Ketentuan inilah yang kemudian memicu polemik di tengah masyarakat akhir-akhir ini, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali menggunakan bahasa Inggris dalam pidato resminya pada forum-forum internasional, termasuk forum yang diselenggarakan di dalam negeri. Syahdan, beberapa pakar hukum tata negara dan hukum internasional, di antaranya Prof. Mahfud MD. dan Prof. Hikmahanto Juwana, mengkritik kebiasaan Kepala Negara yang menggunakan bahasa Inggris ketika menyampaikan pidato resmi. Pasalnya, Presiden SBY telah menandatangani sendiri Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya (selanjutnya disebut Perpres 16/2010).

Sementara itu, sebagian masyarakat luas tidak terlalu mempermasalahkan perihal bahasa Inggris yang digunakan oleh Presiden SBY, bahkan Menteri Hukum dan HAM dan Pimpinan DPR memberikan pembelaannya. Menurut mereka, penggunaan bahasa Inggris tersebut harus dipermaklumkan agar komunikasi dengan audiens dapat lebih mudah ditangkap.

Tak dapat dipungkiri, penguasaan terhadap bahasa Inggris memang memberikan banyak kelebihan dan manfaat, sebab hampir semua aktivitas dan komunikasi kini bersinggungan dengan bahasa Inggris. Hal ini setidaknya didasari dari kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Crystal (1997) yang menyatakan:
  1. Sekitar 85% organisasi internasional di dunia menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dan sepertiganya telah menetapkan bahasa Inggris sebagai satu-satunya bahasa resmi yang digunakan oleh organisasi tersebut;
  2. Sepertiga koran dicetak di negara yang memberikan status khusus terhadap bahasa Inggris dan lebih dari setengah penerima radio dunia berada di negara-negara tersebut;
  3. Bahasa Inggris telah digunakan sebagai bahasa internasional dalam air traffic control;
  4. Sedikitnya tiga perempat jurnal akademik internasional dipublikasikan dalam bahasa Inggris;

Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah kewajiban hukum dalam penggunaan bahasa Indonesia bukan saja untuk Presiden dan Wakil Presiden, namun juga bagi para pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah, tulisan ini lebih memberikan analisa dari prespektif hukum, khususnya kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan: (1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010? (2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia? (3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara? serta beberapa hal lainnya yang terkait.

Di akhir tulisan ini akan disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat ditempuh untuk lebih mengefektifkan implementasi dari ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010.

2. Siapa Termasuk Pejabat Negara?

Kejelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat negara menjadi sangat penting karena UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 secara tegas menyebutkan bahwa selain Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara juga wajib menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya. Namun demikian, baik UU 24/2009 maupun Perpres 16/2010, sama sekali tidak memberikan definisi yang jelas tentang pejabat negara. Di dalam UU tersebut beberapa kali hanya menuliskan kata ”Pejabat Negara” berdampingan dengan kata ”pimpinan lembaga negara” seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK, serta kata ”menteri atau pejabat setingkat menteri”, serta ”kepala daerah dan pimpinan dewan perwakilan”.

Begitu pula dengan Perpres 16/2010 yang menjadi turunan dari amanat Pasal 40 juncto Pasal 28 UU 24/2009, siapa yang dimaksud dengan pejabat negara tidak ditentukan secara tegas. Oleh karenanya, untuk menemukan definisi dan lingkup pejabat negara maka perlu merujuk peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu undang-undang yang cukup banyak memuat ketentuan tentang pejabat negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (selanjutnya disebut UU 9/2010).

Di dalam Pasal 1 UU 9/2010, Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Ketentuan ini pun belum merinci siapa-siapa saja yang dimaksud dengan pejabat negara. Dengan merujuk pada Pasal 9 UU 9/2010 berkenaan dengan Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi, setidak-tidaknya yang dapat dikatakan sebagai Pejabat Negara, yaitu:
  1. Presiden;
  2. Wakil Presiden;
  3. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR);
  4. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
  5. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
  6. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
  7. Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Agung (MA);
  8. Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Konstitusi (MK);
  9. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Komisi Yudisial (KY);
  10. Menteri dan pejabat setingkat menteri beserta wakilnya;
  11. Pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara dan wakilnya;
  12. Pemimpin lembaga pemerintah non kementerian dan wakilnya;
  13. Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan
  14. Ketua DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Undang-undang lain yang secara tidak langsung juga memuat tentang lingkup pejabat negara yaitu Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan Pensiun Pokok Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya (selanjutnya disebut UU 78/2000). Dengan penyebutan sebagai mantan pejabat negara, maka jabatan-jabatan di bahwa ini dapat dikelompokkan sebagai pejabat negara. Di dalam Pasal 1 UU 78/2000, mereka yang disebut sebagai Mantan Pejabat Negara adalah:
  1. Mantan Menteri Negara;
  2. Mantan Ketua, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan Ketua dan Wakil Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pengawas Keuangan;
  3. Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pengawas Keuangan;
  4. Mantan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan mantan Hakim Anggota Mahkamah Agung;
  5. Mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
  6. Mantan Kepala Daerah Propinsi, mantan Wakil Kepala Daerah Propinsi, mantan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mantan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
  7. Mantan Jaksa Agung, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan mantan Pejabat lain yang kedudukannya atau pengangkatannya setingkat atau di setarakan dengan Menteri Negara adalah Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Pejabat lain yang kedudukannya atau pengangkatannya setingkat atau di setarakan dengan Menteri Negara yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya yang hak keuangan/administratifnya disamakan dengan Menteri Negara serta Janda/Dudanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian pengaturan mengenai pejabat negara juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan Pejabat Negara (selanjutnya disebut PP 37/2001). Di dalam Peraturan tersebut, selain Pegawai Negeri dan Hakim, yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu:
  1. Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara;
  3. Menteri Negara, Jaksa Agung, dan Pejabat lain yang kedudukan atau pengangkatannya setingkat atau disetarakan dengan Menteri Negara;
  4. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum oleh Pejabat Negara (selanjutnya disebut UU 9/2004) merinci siapa saja yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Namun demikian, baik UU 78/2000 dan PP 27/2001 memiliki kelemahan karena ketentuan tersebut dibuat sebelum MPR menyelesaikan tahapan amandemen UUD 1945 di tahun 2003, sehingga banyak lembaga negara baru yang tidak disebutkan ataupun telah dibubarkan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan, UU 9/2004 hanya menyebutkan pejabat negara dalam lingkungan kekuasaan eksekutif yang terbatas.

Terlepas dari hal tersebut, berdasarkan uraian di atas mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat negara maka dapat disimpulkan bahwa pejabat negara tidak saja sebatas pada pimpinan lembaga negara atau kementerian, tetapi juga pada jabatan-jabatan lain yang dari sudut kuantitasnya tidaklah sedikit.

Dengan demikian, kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi bukan saja berada di tangan Presidan dan Wakil Presiden, tetapi juga para pejabat negara lainnya. Di sinilah banyak pihak salah mengartikan dan menafsirkan ketentuan ini. Tidak jarang para pimpinan lembaga negara dan menteri menghadiri acara-acara forum resmi yang memberikan waktu untuk penyampaian pidato resminya. Terkadang mereka konsisten dalam menggunakan bahasa Indonesia, namun konon tak sedikit pula yang menggunakan bahasa Inggris dengan alasan adanya peserta forum yang berasal dari berbagai negara asing.

Sejauh mana dan dalam lingkup kegiatan apa saja kewajiban penggunaan bahasa Indonesia harus dilakukan, penulis akan menguraikannya secara lengkap di bawah ini, termasuk mengenai kondisi-kondisi di mana penggunaan bahasa asing menjadi pengecualian.

3. Kewajiban dan Pengecualian

Apeldoorn (1954) menyatakan bahwa susunan kata-kata yang membentuk kaidah hukum tidak sekedar memberikan pernyataan dan penilaian, tetapi juga memiliki sifat yang imperatif yang mengandung sifat perintah atau larangan dan hal-hal yang harus dilakukan atau tidak dilakukan serta kata-kata yang sifatnya berupa paksaan.

Begitu pula dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang disahkan pada tanggal 9 Juli 2009 (UU 24/2009) memuat sifat imperatif yang memerintahkan atau mewajibkan subyek hukum tertentu untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya.

Pasal 28 UU 24/2009 secara tegas mewajibkan Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resminya yang disampaikan baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam ketentuan penjelasannya, “pidato resmi” yang dimaksud adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang telah menetapkan penggunaan bahasa tertentu.

Selanjutnya, pada Pasal 32 UU 24/2009 disebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia dapat digunakan oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri. Lingkup dari forum yang bersifat nasional adalah berskala antardaerah dan berdampak nasional, sedangkan forum yang bersifat internasional memiliki pengertian berskala antarbangsa dan berdampak internasional.

Kewajiban dari penggunaan bahasa Indonesia dipertegas kembali dalam Peraturan Presiden sebagai turunan dari Pasal 40 UU 24/2009 yang memberikan amanat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi. Adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya (Perpres 16/2010) yang memuat ketentuan lebih lanjut dari penggunaan bahasa Indonesia yang diatur dalam UU 24/2009. Perpres 16/2010 ini ditetapkan dan ditandatangani langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 Maret 2010. Perpres a quo memuat ketentuan dengan membagi menjadi dua besaran, yaitu ketentuan mengenai pidato resmi yang di sampaikan di luar negeri dan pidato resmi yang disampaikan di dalam negeri.

a. Pidato Resmi di Luar Negeri

Pasal 1 Perpres 16/2009 menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia di luar negeri. Dalam pasal-pasal selanjutnya dijelaskan bahwa pidato resmi yang disampaikan di dalam forum resmi tersebut diselenggarakan oleh PBB, organisasi internasional, dan negara penerima sesuai dengan tata cara protokol yang telah ditetapkan. Dalam penyampaian pidato resminya tersebut, mereka dapat disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah.

Sesuai dengan Pasal 4 Perpres 16/2009, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menyampaikan pidato secara lisan dalam bahasa tertentu. Namun demikian, penggunaan bahasa tertentu tersebut hanya untuk memperjelas dan mempertegas makna yang ingin disampaikan dan diikuti dengan transkrip pidato dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, pidato resmi yang sepenuhnya atau sebagian besar isinya menggunakan bahasa asing dan bukan bermaksud untuk memperjelas isinya tetapi justru menjadi substansinya itu sendiri, tidaklah diperbolehkan.

Sementara itu, pidato Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya yang disampaikan dalam forum ilmiah, sosial, budaya, ekonomi, dan forum sejenis lainnya yang penyelenggaranya adalah lembaga akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat sipil (civil society) tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, sehingga penggunaan bahasa Indonesia menjadi tidak wajib.

Pengecualian dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi juga dapat terjadi manakala forum resmi internasional di luar negeri telah menetapkan penggunaan bahasa tertentu yang meliputi bahasa resmi PBB yang terdiri atas bahasa Inggris, Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab, serta bahasa lain sesuai dengan hukum dan kebiasaan internasional. Di luar pengecualian-pengecualian tersebut maka Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resminya.

b. Pidato Resmi di Dalam Negeri

Pada forum internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, sesuai dengan Pasal 8 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia. Forum resmi tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah negara lain/PBB/organisasi internasional lainnya.

Selanjutnya ditentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya ketika membalas pidato resmi harus menggunakan bahasa Indonesia pada saat menerima pejabat, seperti Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi Internasional, yang melakukan kunjungan resmi ke Indonesia. Penyampaian pidato resmi ini dapat juga disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah.

Pidato yang disampaikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya selain dalam kondisi di atas tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, misalnya dalam hal kegiatan pendampingan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi internasional pada forum ilmiah, sosial, budaya, ekonomi, dan forum lain sejenis yang penyelenggaranya adalah lembaga akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Ketentuan ini hampir sama dengan pengecualian terhadap pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara ketika berada di luar negeri.

Untuk forum nasional yang diselenggarakan di dalam negeri, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia, misalnya dalam upacara kenegaraan, upacara perayaan 17 Agustus dan hari-hari besar nasional, upacara resmi dalam sidang lembaga-lembaga negara, rapat-rapat pemerintah atau lembaga negara, dan forum nasional lainnya yang menunjang tujuan penggunaan bahasa Indonesia.

Sama halnya dengan pidato resmi di luar negeri, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menggunakan bahasa asing, baik dalam forum nasional maupun internasional di dalam negeri, sepanjang untuk memperjelas tentang makna pidato tersebut.

4. Kesimpulan dan Saran

Sutan Takdir Alisjahbana (1974) menyatakan bahwa bahasa dan hukum merupakan penjelmaan kehidupan manusia dalam masyarakat yang merupakan sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum dalam hal penggunaan bahasa Indonesia bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya merupakan salah satu wujud dari tingginya nilai kebudaayaan di Indonesia. Sebaliknya, menyimpangi ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan akan menjadi bukti dari rendahnya nilai kebudayaan kita.

Dengan semakin jelasnya ketentuan-ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi dan limitasi pengecualiannya sebagaimana diuraikan di atas maka sulit bagi penulis untuk menerima argumentasi dari berbagai pihak yang bergerak di bidang hukum yang menyatakan bahwa menggunakan bahasa asing dalam pidato resmi adalah hal yang harus dimaklumi.

Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya memang tidak dilarang, tetapi dalam hal-hal tertentu yang lingkupnya sangat khusus, para pejabat negara telah diwajibkan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan untuk menggunakan bahasa Indonesia.

Tentu penulis memahami apabila yang menjadi alasan penolakan tersebut berangkat dari perspektif komunikasi, di mana penggunaan bahasa Indonesia akan menjadi terdengar asing di telinga warga negara lain yang tak memahaminya. Pun dari sudut kepemimpinan, penguasaan bahasa asing tentu akan terlihat dan terdengar lebih berbobot ketika disampaikan di hadapan orang-orang yang memiliki latar belakang multibahasa. Penulis pun menyetujui apabila ada komentar yang menyatakan bahwa banyak hal yang lebih penting untuk diurus seperti pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan, ketimbang urusan penggunaan bahasa semata.

Namun demikian, terlepas dari alasan-alasan di atas, ketika kita telah bersepakat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan negara Indonesia sebagai negara hukum, kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya menyatakan sumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, hukum, dan peraturan perundang-undangan yang ada, maka tidak ada kata lain bagi mereka selain mematuhi hukum positif yang telah disahkan dan berlaku secara resmi di Indonesia.

Berbeda dengan pelanggaran hukum terhadap penggunaan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, penyimpangan terhadap penggunaan bahasa Indonesia tidak memiliki sanksi pidana ataupun denda. Oleh karenanya, tidak dipatuhinya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi tidak memiliki konsekuensi pidana ataupun denda, tetapi hanya sanksi moral dan sosial. Itupun kalau sebagian masyarakat menilai bahwa penyimpangan terhadap ketentuan dimaksud adalah suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak ada tempat untuk alasan pemaaf.

Seandainya pun pelanggaran atas ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi ditarik sebagai alasan untuk memakzulkan Presiden dan/atau Presiden, sebagaimana disampaikan oleh beberapa pihak, bagi penulis hal ini terlalu jauh dan akan sangat membuang-buang energi bangsa. Sesuai Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan (impeachment) hanya dapat dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karenanya, selain tidak memenuhi syarat konstitusional, juga terlalu besar political cost yang akan ditanggung rakyat untuk menyatakan penyimpangan praktik penggunaan bahasa Indonesia sebagai alasan pemakzulan.

Dengan demikian, berangkat dari kelebihan dan kelemahan ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya, penulis memberikan 2 (dua) bentuk alternatif pilihan untuk merespons ketentuan tersebut, yakni:

Pertama, ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi harus konsisten untuk dipatuhi dan dijalankan. Adanya kontroversi publik seperti yang terjadi sekarang ini tentu telah diperkirakan dan dipertimbangkan sebelumnya pada saat proses pembahasan pembentukan UU 24/2009 dan Perpres 16/2010. Tanpa adanya sanksi yang memaksa maka pelaksaan atas ketentuan tersebut kembali kepada kesadaran hukum (legal awareness) dari Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya selaku subyek hukum langsung dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Kedua, apabila beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 dirasa menghambat dan justru menjadi kontra produktif maka sebaiknya dilakukan revisi terbatas sesegera mungkin. Hal ini tentu lebih baik, daripada secara terus-menerus kita menyaksikan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana terdapat di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 yang sebenarnya juga tidak memiliki sanksi hukum. Akan tetapi yang perlu diingat, sepanjang belum ada perubahan atau selama proses menuju perubahan, maka ketentuan yang ada harus tetap dijalankan dengan konsekuen oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya.
Penutup

Berdasarkan uraian di atas maka hendaknya kita semua dapat lebih memberikan perhatian terhadap kepatuhan atas ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, terlepas dari adanya kelemahan yang mungkin ditimbulkan apabila dipandang dari aspek di luar hukum. Para pejabat negara juga harus semakin menunjukan kesadarannya dalam penggunaan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya, karena kewajiban demikian tidak saja menjadi milik Presiden dan Wakil Presiden.

Namun demikian, adanya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010, janganlah diartikan bahwa menguasai bahasa asing menjadi hal yang remeh atau tidak penting. Banyak forum dan kegiatan, khususnya yang berskala internasional, yang mengharuskan para pejabat negara untuk menguasai bahasa asing demi tercapai tujuan dari kehadirannya. Lebih salah lagi apabila UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 dijadikan alasan bagi para pejabat negara untuk mengelak dalam mempelajari bahasa asing.

Lagipula, penyampaian pidato resmi adalah kegiatan yang tidak setiap hari harus dilakukan, sementara kegiatan yang melibatkan orang asing atau literatur dan berita yang dibaca atau didengar sehari-hari tentu memerlukan kemahiran penguasaan bahasa asing agar para pejabat negara mampu memahaminya. Oleh karena itu, menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Indonesia haruslah disesuaikan dengan konteks tempat dan waktunya, khususnya dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang secara khusus telah mengaturnya.

Bukankah para founding parents Indonesia, seperti misalnya Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, dapat dikenal oleh dunia internasional karena kepiawaiannya dalam menguasai berbagai bahasa asing? Maka tak salah kiranya jika penulis menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan penyair terkenal asal Jerman bernama Johann Wolfang von Goethe yang mengatakan, “Those who know nothing of foreign languages know nothing of their own”. (*)

* Pan Mohamad Faiz adalah Staf dan Speech Writer Ketua Mahkamah Konstitusi RI serta Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.


REFERENSI:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan Pensiun Pokok Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan Pejabat Negara.

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya.

Ehrenberg, John, Civil Society, NYU Press Reference, New York, 2009.

Hadikusuma, H. Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2010.

Rappa, Antonio L. Dan Lionel Wee, Language Policy and Modernity in Southeast Asia: Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand, Springer, Singapore, 2006.

Marwoto, B.J. dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepatah-Pepatah Bahasa Latin, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004.

Talbot, Mary, Karen Atkinson dan David Atkinson, Language and Power in the Modern World, The University of Alabama Press, Tuscaloosa, 2003.

Monday, May 09, 2011

Defending the Direct Gubernatorial Election

DEFENDING THE DIRECT GUBERNATORIAL ELECTION
* Pan Mohamad Faiz

Note: Short version of this paper was published in the Jakarta Post on July 9, 2011 (Read the article here)

The political reformation in 1998 has significantly transformed the democratization atmosphere in Indonesia through amendment of the 1945 Constitution. One of its fundamental changes is related to the electoral mechanism on regional leaders for Governors, Regents and Mayors. We used to have indirect election where the regional leaders were chosen by members of local parliament. A year after the enactment of Law Number 32 Year 2004 of Regional Government, the election of regional leaders was changed to direct election which uses one person one vote mechanism.

On the other hand, six years after its implementation, many Indonesians are questioning whether the mechanism of direct election is still appropriate with the aims of democracy itself since it creates economic, social and political burdens. Responding to this condition, the Government has just proposed a bill of local elections which one of its provisions intends to change back the present gubernatorial election into indirect election through local parliament. As a result, this issue has attracted a lot of debate not only among politicians but also between government officers and academicians. This essay will consider some objections to the Government planning to change the gubernatorial election system. Finally, it will put forward a number of reasons why the direct gubernatorial election in Indonesia should not be changed.

In the context of Indonesian political history, several different systems of local election have been implemented. Firstly, the central government appointed the local leaders (pre independence era - 1958); Secondly, the President directly appointed the local leaders (1959-1973); Thirdly, the local parliament nominated candidates of local leaders to the President and they would be decided by the President (1974-1998); Fourthly, the local parliament chose the local leaders without any involvement from central government (1999-2003); Lastly, people elect their own local leader directly through one man one vote mechanism (2004 - present).

Regarding the present electoral mechanism, the government is aware that neither the candidates nor the voters are politically ready to implement the mechanism of direct local elections, including the gubernatorial elections. They found that there have been many cases of electoral fraud in direct elections which injure the values of democracy itself. Physical violence, personal or group intimidation and local riots often occur in certain regions when they carry out direct local elections. Practices such as money politics or vote buying often take place in almost all regions. Structural intervention from higher officers in regional government and unprofessional work by regional electoral commission members are also other disadvantages in our local elections.

However, there is little empirical data to support such accusation. Even though there were 244 cases of local electoral disputes lodged at the Constitutional Court in 2010, only 26 cases were granted by the Court (11.6%). Moreover, none of 14 complaints of gubernatorial elections from 6 different provinces was granted by the Court (0%). In other words, the Court says that there were no significant electoral frauds in any gubernatorial elections which are characterized as structured, systematic and massive violations in 2010.

Additionally, some people claim that it is almost impossible for candidate to be elected unless they have a lot of money. Moreover, a party without financial backing is unlikely to get much public support. For example, Minister of Home Affairs Gamawan Fauzi points out that any candidate who wants to run in direct gubernatorial election needs at least Rp 20 billion to Rp 100 billion or approximately US$ 2 million to US$ 10 million. Meanwhile, he continues, their basic salary will be less than Rp 10 million per month or around US$ 1.100 per month (‘Paradoks Biaya Politik Mahal’, 2011). Therefore, we can assume that elected candidate take advantage of any opportunity to get their money back which was spent during their campaign process.

Unfortunately, one of their approaches is by corrupting the regional government budget. Data presented by Commission of Corruption Eradication (KPK) shows that there are 10 Governors and 158 Mayors or Regents who have been convicted as corruptors (Muladi, 2011). Thus people believe that direct local elections provide more opportunities for creating local corruption in most regional governments.

Nonetheless, changing the gubernatorial election system to an indirect mechanism through local parliament will not guarantee that corruption practiced by elected candidates will be reduced. The reason why many local leaders today are convicted as corruptors is not merely caused by the direct election system. It is because after reformation era Indonesia established a strong legal institution named KPK which has been very effective in hunting down the corruptors. Free press and stronger civil society have also significantly contributed to revealing corruption cases of local leaders.

Furthermore, it is easier for candidates in indirect elections to practice political corruption by buying the votes from limited members of local parliament. In terms of financial problems, changing the electoral system is not a good solution. Mboi (2009) suggests that it is better to make a law for regulating and controlling the financial support for the candidates, including giving hard sanctions if they violate the law.

The government proposes two main reasons for changing the direct gubernatorial election. The first reason is to improve the efficiency of electoral budget which has a very high cost for the electoral procedures. I Gusti Putu Artha, Member of National Electoral Commission, mentions that the budget required for each direct gubernatorial election is around Rp 70 billion to Rp 90 billion or approximately US$ 7.5 million to US$ 10 million (‘Biaya Pilkada Rp 15 Triliun’, 2011). The second reason is that the governors only have a low level of authority. Therefore, Government notes that the process of direct election would be too costly for just electing governors since their authority just as representative of central government at the regional level.

However, investing more money for developing our democracy will not give direct advantages within a short time. Some people believe that defending the values of democracy is neither cheap nor easy, but the price is worth it. For tackling the budget problems, merging the local elections for Governor, Regents and Mayors at the same time for each province will be more applicable in terms of time and budget efficiency as well as reducing the negative socio-politics effects. One of the best examples for emerging the local elections was the regional heads election in West Sumatera in July 2010. The local electoral commission in West Sumatera could reduce the cost of the electoral process considerably by merging the local elections.

In addition, having a different electoral system for local leaders will also produce other problems. Governors who are elected by indirect election are likely to face more difficulties in handling Regents and Mayors who were elected directly by the people in their province because Governors will be considered less legitimate by the people than their Regents or Mayors. There may also more serious conflict between Governors and Regents or Mayors due to dualism in governing the decentralization function.

Prominent scholars have also mentioned various advantages of direct elections. According to Schiller (1999) in liberal democratic theory, direct elections have five specific functions in educating people, candidates and parties. First, people will know about the main concerns, track records, characters and visions of the candidates; Second, people will have an opportunity to explain their main needs and demands to the candidate as their future local leaders; Third, people who have the right to vote will be more empowered through the direct election process; Fourth, people will have more options to choose their local leaders based on their individual merits; and Fifth, elected local leaders will have stronger legitimacy as a public mandate when they run their government.

Likewise, Djohan (cited in Schiller, 1999) says that the direct elections are also claimed to have certain advantages, such as, strengthening the local democracy, increasing the political awareness of constituents, expanding the civil society participation, widening the chance of the people to be involved in government policies and electing better quality local leaders who are supported by the majority of the voters. Meanwhile, Erb and Priyambudi (2009) claim that the direct election provides a bigger opportunity for local people to participate in choosing their local leaders.

Besides that, people can fully enjoy their fundamental sovereignty in direct election mechanism as stipulated in Article 1 para (2) of 1945 Constitution. If local leaders are elected directly by the people, candidates for these positions have to know the people’s wishes. That is why elected local leaders in direct elections are expected to have more responsibility for their people. More to the point, constituents will have more chance to participate directly in changing local political system either by asking for political contracts with the candidate or by just giving their votes.

Direct election is also in accordance with Article 28D para (3) of 1945 Constitution which says, “Every citizen shall have the right to obtain equal opportunities in government”. The direct election mechanism enables independent candidates to have the opportunity to run for office in local elections. In fact, the Chairman of Gerakan Nasional Calon Independen (National Movement of Independent Candidate) reports that there has been one Governor and 21 elected Mayors who ran for office as independent candidates in local elections for the last three years (‘DPD Mendukung Capres…’, 2011). This opportunity is almost impossible if the regional leaders are elected by local parliament.

Furthermore, there is also significant meaning of direct election processes which show stronger commitment for a country to implement a modern concept of democracy (Antlov, 2003). In addition, Hidayat (2009) states that the direct election of regional heads is the best electoral mechanism for implementing the values of democracy and empowering good governance and people’s sovereignty.

Moreover, direct election would help ensure that candidate from small parties or independent candidates will have an equal chance of being elected. In current Indonesian politics, some political and electoral observers suspect that the government planning to change gubernatorial election system will be profitable only to the present ruling parties, such as Democrat Party and Golkar Party, which have the majority of members in local parliament (‘Demokrat Dituding Punya…’, 2011). Therefore, those parties will have a bigger chance than the small parties to get the majority of votes in gubernatorial elections through local parliament.

To conclude, I believe that it is too soon to judge that the direct election has failed to create a better condition for the people, because Indonesia has just been implementing the direct election of regional heads for 6 years. It is a very short time for making an evaluation of this mechanism, because the term of office for regional heads is just 5 years. It means that there have been only one or two direct elections for electing local leaders in each region. What we have reached is just “electoral democracy”, not “full democracy”. The former is just a routine of electoral processes, while the latter pays more attention to the rights of people to vote and participate in all public and political processes (Haynes, 2001).

Building a country with full democratic values cannot be gained instantly but it needs a process. People should be given the chance to learn from their weaknesses in practicing direct elections in the past. If the Government and House of Representative agree to return to the old mechanism of gubernatorial election, then it will be a setback for our consolidation of democracy. Therefore, the direct gubernatorial election in Indonesia should be defended. (*)

REFERENCES:

Antlov, H. 2003, ‘Not enough Politics! Power Participation and the New Democratic Polity in Indonesia’, in Aspinall & G. Fealy (eds.), Local Power and Politics in Indonesia, Institute of Southeast Asian Studies and Research School of Pacific and Asian Studies, the Australian National University, Singapore and Canberra, pp. 72-86.

‘Biaya Pilkada Rp 15 Triliun’ (Cost of Local Elections is Rp 15 trilion) 2011, Kompas ,24 July, retrieved 23 March 2011, .

Constitutional Court of Indonesia 2010, Statistics of Constitutional Court Cases 2003-2010, Secretary General and Registry of Constitutional Court of Indonesia, Jakarta.

‘Demokrat Dituding Punya Kepentingan Gubernur Dipilih DPRD’ (Democrat Party is Blamed to have Vested Interest in Gubernatorial Elections through Local Parliament) 2011, Pontianak Post, 30 March, retrieved 3 April 2011, .

‘DPD Mendukung Capres Independen di Pemilu Presiden’ (Regional Representative Council supports the Independent Candidate in Presidential Election) 2011, Pedoman News, 24 March, retrieved 3 April 2011, .

Erb, M. & Sulistiyanto, P. (eds.) 2009, Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Haynes, J. (ed.) 2001, Democracy and Political Change in the ‘Third World’, Routledge/ECPR Studies in European Political Science, London and New York.

Hidayat, S. 2009, ‘Pilkada, Money Politics and the Danger of ‘Informal Governance’ Practices’, in M. Erb & P. Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, pp. 125-46.

Mboi, A.B. 2009, ‘Pilkada Langsung: The First Step on the Long Road to Dualistic Provincial and District Government’, in M. Erb & P. Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, pp. 38-49.

Muladi 2011, ‘Menggugat Integritas Intelektual’ (Suing the Intellectual Integrity), Working Meeting of Indonesian Law Scholars Association (ISHI), 20 February 2011, Jakarta.

‘Paradoks Biaya Politik Mahal (Paradox of High Political Cost)’ 2011, Kompas, 23 July, retrieved 22 March 2011, .

‘Pemilihan oleh DPRD Untungkan Parpol Besar’ (Election through Local Parliament Gives Advantage to the Ruling Parties)’ 2011, Kompas, 11 February, retrieved 22 March 2011, .

Schiller, J. 1999, ‘Electing District Heads in Indonesia: Democratic Deepening or Elite Entrenchment?’, in M. Erb & P. Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, pp. 147-76.

***

* The writer is a Judicial Assistant of Chief Justice of Indonesian Constitutional Court. This essay represents the writer’s personal view.

Friday, December 03, 2010

Pemilihan Umum dan Monetocracy

PEMILIHAN UMUM DAN MONETOCRACY
Pan Mohamad Faiz *

Sumber: Majalah Esquire Indonesia edisi Desember 2010

“Money Politics dan Shadow State adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang”.

Demokrasi kerap dijadikan kambing hitam oleh sebagian kalangan atas tumpah ruahnya kebebasan yang kadang sulit dikendalikan. Demokrasi juga acapkali dipersalahkan atas tidak jelasnya arah perbaikan kondisi bangsa ini. Bahkan semenjak ribuan tahun yang lalu, demokrasi sudah terbaca belangnya oleh para filsuf dan guru etika seperti Plato, Aristoteles, ataupun Socrates.

Menurut mereka, demokrasi dapat melahirkan para kaum demagog, yaitu para orator ulung yang senang merayu, bersikap baik sesaat, dan menjual mimpi-mimpi utopis agar rakyat memilihnya. Namun setelah terpilih, rakyat dilupakan. Topeng-topeng semu itu kemudian dipakai kembali pada masa pemilihan selanjutnya (Focke, 1839).

Inilah konsekuensi dari sebuah pilihan. Kita bisa saja memilih sistem monarki atau aristokrasi. Namun tetap tidak ada jaminan bahwa kedua sistem pilihan tersebut lebih baik daripada sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Berkelindan dengan itu, hampir seluruh negara di dunia mengklaim dirinya adalah negara yang demokratis. Tentu dengan ciri dan karakternya masing-masing. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU) 2008, sebanyak 167 dari 193 negara berdaulat telah menerapkan sistem demokrasi. Dengan indeks demokrasi 6,34 (enam koma tiga empat), Indonesia berada dalam urutan ke-67 sebagai negara berkategori flawed democracy.

Singkatnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, demokrasi kini dianggap menjadi pilihan terbaik dari berbagai alternatif pilihan terburuk yang ada. Bilamana ditemukan kelemahan, maka jalan terbaiknya adalah dengan mengurangi dampak negatif dari kelemahan-kelemahan tersebut.

Biaya Pemilihan Umum

Salah satu ujung tombak dan barometer penerapan sistem demokrasi dari suatu negara adalah pemilihan umum. Proses inilah yang membuka ruang terjadinya pergantian, pergeseran, atau justru penguatan status quo dari kepemimpinan yang ada. Belum reda rasa lelah kita pasca pagelaran nasional Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, tahun ini masyarakat Indonesia menyelenggarakan ”pesta rakyat” secara bergiliran bertajuk ”Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Pemilukada).

Tidak tanggung-tanggung, 246 Pemilukada digelar sepanjang tahun 2010 di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Indonesia. Artinya, rata-rata hampir satu hari sekali telah dilangsungkan Pemilukada dengan harapan kepala daerah mampu menyerap aspirasi rakyat sebenar-benarnya.

Konsekuensinya, tulisan Jan Aart Scholte dan Albrecht Schnabel (2002) mengenai tesis ”Democray is not cheap nor easy” semakin terbukti. Tengoklah biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilukada ini. Menurut Litbang Kompas (18/10), penyelenggaraan Pemilukada 2010-2014 menelan biaya Rp 15 triliun atau 333% lebih besar dari biaya Pemilu Legislatif atau 133% dari biaya Pemilu Presiden tahun 2009. Menariknya, jumlah tersebut belum termasuk dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidatnya.

Bersama dengan para demagog, seorang kandidat konon memerlukan Rp 3 miliar s.d. Rp 20 miliar untuk mengincar kursi Bupati, Walikota, atau Gubernur. Belum lagi ditambah dengan biaya advokasi apabila bermaksud membawa kasus sengketa Pemilukada ke ranah hukum. Setidaknya puluhan hingga ratusan juta rupiah harus dirogoh dari kocek tiap-tiap kandidat untuk sekadar menyewa Advokat handal demi memindahkan arena ”pertempuran” dari lapangan ke dalam ruang persidangan. Berdasarkan data KPU, hingga akhir Oktober 2010 telah diselenggarakan 198 Pemilukada. Masygul, 189 kasus di antaranya telah didaftarkan menjadi sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, 43 dari 44 partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu 2009 lalu semuanya menggugat ke MK.

Money Politics dan Shadow State

Tidak semuanya sepakat bahwa besarnya biaya demokrasi yang dikeluarkan untuk Pemilukada hanyalah pemborosan bagi keuangan negara. Sebaliknya bagi kalangan pro-demokrasi, proses yang telah berlangsung haruslah dipermaklumkan. Alasannya, inilah perwujudan riil dari partisipasi rakyat, "one people one vote". Prinsip ini dinilai sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat pemilih. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu yang tidak jujur dan tidak adil tentu dapat menciderai Pemilu itu sendiri, misalnya apabila terjadi praktik money politics.

Istilah money politic (politik uang) atau vote buying (pembelian suara) tentu sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat kita. Inilah salah satu praktik politik paling kotor dalam Pemilu. Praktik ini dilakukan dengan cara pemberian uang, barang, atau jasa untuk memengaruhi para calon pemilih agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada tahap pemungutan suara. Dahulu, money politic hanya dapat terendus namun tidak terlacak bentuknya, sehingga amat jarang dijatuhkan sanksi bagi pelakunya. Kini, modus money politic lebih mudah dibuktikan secara terang benderang melalui mekanisme hukum yang berlaku.

Adalah sidang terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berulang kali mengungkap adanya praktik money politic yang terjadi sepanjang Pemilukada 2010. Beberapa pelaksanaan Pemilukada terbukti telah ternodai akibat terjadinya praktik money politic, misalnya: (1) Kota Surabaya, (2) Kota Tanjungbalai, (3) Kabupaten Kotawaringin Barat, (4) Kab. Mandaling Natal, (5) Kab. Konawe Selatan, (6) Kab. Sintang, (7) Kab. Gresik, (8) Kab. Sumbawa, dan (9) Kab. Merauke. Akibat hukumnya, kesembilan daerah ini harus melaksanakan pemungutan suara ulang. Khusus untuk Kab. Kotawaringin Barat, kandidat pemenang yang terbukti melakukan money politic sangat serius bahkan langsung didiskualifikasi!

Fakta yang demikian pastilah hanya puncak dari gunung es yang ada, sebab praktik money politic seperti ini merupakan sebagian saja dari pola ”permainan uang” (money games) dalam proses Pemilukada. Jenis lain yang tidak kalah bahayanya yaitu munculnya ”shadow state” (William Reno, 1990). Bentuk shadow state ini hadir dalam pola kekuasaan kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dengan memberikan peran dan keuntungan sesuai kepentingan pemilik modal yang telah berjasa dalam mendukung pencalonannya.

Di banyak daerah, para calon kepala daerah yang ”kering” modal kampanye akan berupaya untuk mendekati atau didekati oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dana berlebih. Timbal baliknya, apabila sang calon tersebut terpilih maka kebijakan harus dibuat untuk menguntungkan usaha, bisnis, atau investasi dari para pemodal itu.

Inilah yang kemudian menyebabkan banyak para calon kepala daerah, baik yang terpilih maupun tidak, menjadi tersandera dengan utang dan pinjaman modal masa lalunya. Di sinilah awal mula terjadinya perselingkuhan politik antara pemilik modal dengan calon kepala daerah. Jika tidak dengan cara korupsi konvensional, utang yang bertumpuk itu akan dibayar dengan program dan kebijakan yang pro capital sponsors.

Dari Monetocracy ke Plutocracy

Money politics dan shadow state adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang. Perpaduan keduanya dapat mengubah democracy menjadi monetocracy atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah moneytocracy atau moneycracy. Urban Dictionary mendefinisikan monetocracy sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana salah satu pengendali utamanya adalah kekayaan materi. Salah satu karakternya dapat dijumpai dari sejauhmana para penyumbang dana semasa kampanye mampu menentukan pasang surut kebijakan dan suhu politik yang ada.

Fenomena monetocracy ini umumnya marak terjadi pada negara-negara berkembang, seperti di Afrika, Asia Selatan, dan tentunya juga di Indonesia. Hal ini setidaknya dapat kita telusuri dalam "The Rise of Moneytocracy" (Africa Report, 1992) karya Karl Maier yang menggambarkan bagaimana uang menjadi faktor determinan dalam proses pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan di negara-negara Afrika.

Demokrasi yang telah bermetamorfosa menjadi monetocracy sudah pasti tidak akan menghasilkan kebijakan yang dapat diprediksi. Syahdan, Pemilukada yang dijangkiti virus monetocracy juga tidak dapat merefleksikan nurani dan keinginan dari para pemilih. Apalagi jika banyak dari mereka yang suaranya dibeli.

Sketsa antara politik dan siklus uang dalam Pemilukada tentu bisa ditarik ke atas peta yang lebih luas. Fenomena monetocracy juga dapat dijadikan gambaran untuk Pemilu Legislatif ataupun Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam lingkup roda pemerintahan yang lebih luas, monetocracy kadangkala disepadankan dengan plutocracy. Berasal dari bahasa latin yaitu ploutos (kekayaan) dan kratia (pemerintahan), secara sederhana plutocracy bermakna pemerintahan yang dikuasai atau dikontrol oleh orang-orang yang memiliki uang atau kekayaan.
Tanpa harus selalu menjadi orang nomor satu, pada umumnya perorangan atau sekelompok orang ini akan terus membayang-bayangi pemerintahan. Tujuannya jelas, yaitu agar kebijakannya selalu berpihak atau setidak-tidaknya jangan sampai merugikan kepentingannya. Hal ini nampak terjadi manakala pemilihan umum telah dilepas sepenuhnya kepada pasar, media publik, dan partai politik yang sejak awal memang dimiliki dan dijalankan oleh para kaum pemodal itu sendiri. Proses pemilu, pemilihan jabatan publik, dan kepentingan pemerintah juga tidak tertutup kemungkinan menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan.

Dalam konteks ini, pemerintahan pusat ataupun daerah yang dibentuk melalui embrio monetocracy sangat dikhawatirkan akan melakukan korupsi politik (political corruption). Dalam disertasinya ”Korupsi Politik di Negara Modern” (2007), Artidjo Alkotsar menyimpulkan bahwa korupsi politik muncul pada habitat kekuasaan yang memiliki hak dan diskresi politik yang luas serta memiliki kesempatan dan sarana untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam kualifikasi Top Hat Crime (THC), modus operandinya dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan politik pemerintahan dengan menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kroninya.

Korupsi politik inilah yang kemudian menjadi beban utama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010 yang baru saja diluncurkan oleh Transparency International, Indonesia terbukti masih tetap bertengger diposisi ke-100 dari 178 negara dengan indeks 2,8 (dua koma delapan). Tidak mengherankan bukan?

Menutup tulisan ini, setelah melaksanakan tiga kali pemilihan umum nasional tanpa kegaduhan dan anarki politik yang berarti, Indonesia diyakini telah melewati masa transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokratis. Namun demikian, dalam satu dasawarsa ke depan Indonesia masih harus menghadapi ujian berikutnya.

Akankah demokrasi yang diusung di atas gelombang reformasi tetap berada dalam bentuk dan wujud sebenarnya? Ataukah justru demokrasi Indonesia akan berubah menjadi monetocracy yang membawa pada puncak kedzaliman plutocracy? Persoalan ini akan terjawab dari sejauh mana kesadaran politik dari elit bangsa serta pendidikan politik masyarakat sipil akan dibangun. Semoga apa yang menjadi kekhawatiran kita - atau setidaknya kekhawatiran penulis - tidak akan terjadi.

* Penulis adalah Staf Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Friday, October 01, 2010

Resensi Buku: "The Constitutional Law of Indonesia"

HTN INDONESIA DALAM BAHASA INTERNASIONAL

Judul Buku: "The Constitutional Law of Indonesia: A Comprehensive Overview"
Bahasa: Inggris
Penulis: Jimly Asshiddiqie
Halaman: li + 751
Tahun : 2009

Penerbit
: Sweet & Maxwell Asia
Distributor Indonesia:
PT Ina Publikatama
Peresensi: Pan Mohamad Faiz, Staf Ketua Mahkamah Konstitusi
Dimuat di Media: Majalah Konstitusi Edisi Agustus 2010

Bergulirnya reformasi konstitusi yang dimulai sejak 1999 sampai dengan 2002 telah mengubah kehidupan bangsa Indonesia secara fundamental. Konfigurasi tata negara yang berubah dan kian berkembang telah pula melahirkan tumbuh suburnya beragam teori dan praktik sistem ketatanegaraan terbaru. Tidak sulit sebenarnya untuk menemukan hal-hal tersebut. Apabila kita hunting ke toko buku maka puluhan literatur dan buku seputar hukum tata negara akan nampak berderet memenuhi rak-rak kategori bidang hukum. Jikalau ingin mencari teori yang lebih spesifik lagi maka perpustakaan hukum menjadi alternatif tempat yang harus dituju.

Artinya, banyak sudah literatur hukum tata negara yang dengan mudah dapat kita temukan sekarang ini. Namun di antara varian buku hukum tata negara itu, sepertinya baru ada satu buku teks Hukum Tata Negara yang diterbitkan secara komprehensif dengan menggunakan medium bahasa Inggris, yaitu “The Constitutional Law of Indonesia” karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Penerbit berkelas dunia, Sweet & Maxwell Asia bersama Thomson Reuters, menggandeng Guru Besar HTN UI itu untuk memenuhi permintaan para akademisi dan praktisi internasional yang kering akan buku berbahasa Inggris tatkala ingin mempelajari sistem ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi. Pengantar dari 3 (tiga) Guru Besar Bidang Hukum yang menjadi pembuka di dalam buku ini, yaitu Prof. Siegfried Bross (University Freiburg, Germany), Prof. Tim Lindsey (Melbourne Law School, Australia), dan Prof. Mark Cammack (Southwestern Law School, USA), menunjukan betapa sistem ketatanegaraan Indonesia kini telah menjadi salah satu obyek kajian dan perhatian dunia.

Dengan hadirnya buku ini, terjawab pula berbagai pertanyaan dari para akademisi dan praktisi hukum baik di tingkat nasional maupun internasional untuk menemukan padanan istilah Hukum Tata Negara Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Begitu pula dengan para diplomat dan akademisi Indonesia yang kini tengah berada di luar negeri, buku ini dapat menjadi referensi khusus pada saat menjalankan tugas negara ataupun menyelesaikan penulisan akhir.

Sebagai salah satu pakar hukum konstitusi yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK periode 2003-2008, tulisan Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang ke-35 ini tentu tidak perlu diragukan lagi substansinya. Semua hal yang terkait dengan ketatanegaraan Indonesia diuraikan secara rinci dalam 10 (sepuluh) Pokok Bahasan, yaitu (i) Introduction of Constitutional Law, (ii) the Development of the Indonesian Constitution, (iii) the Idea of the Sovereignty of the People and Parliamentary Institutionalisation, (iv) the Form of Indonesian Law Products, (v) the Form of State and Governmental System, (vi) Regional Governance, (vii) Judicial Powers, (viii) Human Rights, Citizenship and Immigration, (ix) Political Parties and General Election, dan (x) State Finance Law.

Selain dari sisi substansinya, buku ini tentu menjadi penting secara simbolik ditengah-tengah arus pemikiran global tentang ketatanegaraan di berbagai negara dunia. Sebab bukan tidak mungkin, dimulai dari buku ini, negara-negara dunia akan belajar banyak dari sistem ketatanegaraan yang kita miliki atau setidak-tidaknya menjadi acuan untuk kawasan Asia. Sementara bagi mereka yang mengaku sebagai penganut paham konstitusionalis Indonesia, buku ini menjadi literatur wajib yang harus dibaca. (*)

Wednesday, July 28, 2010

Kolom Opini: Dilema Kekosongan Komisioner Komisi Yudisial

DILEMA KEKOSONGAN KOMISIONER KOMISI YUDISIAL

Pan Mohamad Faiz
Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)

(Dimuat dalam Kolom Opini Koran Seputar Indonesia pada Sabtu, 24 Juli 2010)

Satu persoalan krusial masih membelit praktik administrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Pasalnya, jabatan Komisioner Komisi Yudisial (KY) yang akan berakhir 2 Agustus mendatang diperkirakan akan mengalami kekosongan.

Setidaknya proyeksi demikian nampak terlihat dari keterlambatan proses penyeleksian calon anggota KY. Panitia Seleksi (Pansel) KY memang tidak dapat dipersalahkan serta merta. Selain mereka baru menerima mandat untuk bekerja pada 23 April 2010, di awal kinerjanya pun sempat terhambat akibat lambatnya pencairan anggaran dari Pemerintah. Padahal, Ketua KY sendiri telah mengirimkan surat kepada Presiden agar segera dibentuk Pansel sejak Februari 2010 yang lalu.

Berbeda dengan banyak UU yang lain, Pasal 28 UU KY menggariskan secara rinci tenggat waktu di tiap-tiap tahapan proses penyeleksiannya. Apabila dihitung secara ideal maka proses tersebut memerlukan waktu 165 hari atau sekitar 6 (enam) bulan. Salah satu alasan yang melandasi rincian waktu tersebut yakni adanya itikad agar tercipta tertib administrasi ketatanegaraan yang baik guna memperoleh hasil seleksi yang optimal.

Kini fakta berbicara lain. Pansel KY telah menyatakan ktidakmungkinannya untuk menyelesaikan tugas sebelum 2 Agustus. Alasannya, Pansel tidak ingin melanggar UU hanya sekedar untuk mengejar tenggat waktu penyeleksian. Apalagi proses ini juga akan melibatkan DPR untuk memilih dan menetapkan tujuh calon anggota yang diajukan oleh Presiden.

Oleh karenanya, besar kemungkinan Pansel hanya dapat memangkas sekitar 40 hari guna mempercepat proses penyeleksiannya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan status Komisioner KY pasca berakhirnya masa jabatan mereka? Sebab Pasal 29 UU KY secara tegas menyatakan bahwa Anggota KY memegang jabatan selama 5 (lima) tahun. Konsekuensi logisnya, lebih dari 5 (lima) tahun akan berpotensi melanggar UU.

Keppres atau Perppu?

Menghadapi kondisi dilematis yang demikian, muncul beragam pendapat agar masa jabatan Anggota KY saat ini diperpanjang hingga selesainya proses pengangkatan Anggota yang baru. Kekosongan jabatan di dalam tubuh KY tentu tidak boleh terjadi. Sebab, hal tersebut sedikit-banyak akan mengganggu kinerja KY yang kian hari kian berat. Dari data terakhir, KY masih harus menindakanjuti 7.700 pengaduan masyarakat dari 33 Provinsi se-Indonesia terkait dengan dugaan “hakim nakal”.

Tidak kalah pentingnya, KY pun kini tengah menuntaskan proses penyeleksian Hakim Agung. Kesepakatan untuk menyelamatkan KY dengan memperpanjang masa jabatan Komisioner saat ini dilihat sebagai jalan terbaik dari berbagai pilihan terburuk yang ada. Akan tetapi, apa landasan hukum yang mampu mewadahi keputusan tersebut? Pandangan terhadap hal ini terpecah menjadi dua, yaitu cukup dengan Keputusan Presiden (Keppres) atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Pemerintah tentu harus tepat untuk menentukan keputusannya sebab masing-masing mempunyai alasan dan implikasi yuridis yang berbeda. Secara yuridis, memperpanjang masa jabatan Anggota KY dengan Keppres sebenarnya cukup lemah. Keppres tidak dimungkinkan menerobos ketentuan masa jabatan yang telah ditetapkan dengan tegas oleh undang-undang.

Berdasarkan Pasal 7 UU 10/2004, Keppres juga tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, derajat Keppres jauh lebih rendah dari UU yang sifatnya mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Pengangkatan atau pembehentian jabatan memang dapat menggunakan Keppres, tetapi tidak untuk memperpanjang masa jabatan yang telah diatur dengan undang-undang secara pasti.

Dibandingkan dengan Keppres, pilihan mengeluarkan Perppu tentu akan lebih relevan. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (noodverordeningsrecht). Selain memiliki materi muatan yang sama, hierarki Perppu juga sederajat dengan UU. Perbedaannya terletak pada proses pembentukannya yang tidak melibatkan lembaga legislatif.

Perdebatan kemudian terjadi, apakah potensi terjadinya kekosongan jabatan KY dapat dinilai memenuhi unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa? Memang tidak banyak literatur khusus yang dapat mengurai secara lengkap mengenai Perppu di Indonesia. Akan tetapi setidaknya kita dapat merujuk tafsir resmi Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Dalam Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, MK menafsirkan bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang. Pada saat itu dinyatakan bahwa perihal ”kegentingan yang memaksa” menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

Namun belum lama ini, dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, MK memperjelas kembali bahwa unsur subyektifitas Presiden harus didasarkan atas keadaan objektif. Untuk itu ditentukan tiga syarat dalam menentukan paramater adanya kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, umdamg-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadai; Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Tentukan Pilihan

Melihat perbandingan alasan di atas, mengambil langkah dengan mengeluarkan Perppu tentu lebih kuat landasannya secara ilmu perundang-undangan, kecuali Pemerintah setuju menggunakan mekanisme lain. Misalnya seperti di Jerman yang menciptakan konvensi, yaitu kebiasaan praktik ketatanegaraan yang tidak tertulis. Dalam beberapa kasus penyelenggaraan pemerintahan di Jerman, kondisi demikian biasanya diselesaikan melalui perpanjangan masa jabatan dengan sendirinya.

Namun, hal tersebut harus didahului dengan persetujuan bersama dari Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya yang terkait. Kelemahannya, konvensi demikian lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan public distrust terhadap administratur negara. Dalam masa injury time seperti sekarang ini, apabila tidak diambil langkah cepat maka dalam hitungan hari kita semua akan menjadi saksi hampanya Komisi Yudisial tanpa Komisionernya.

Membiarkan jabatan kosong memang akan nihil atas kesalahan produk hukum perpanjangan Komisioner. Akan tetapi, sengaja membiarkan suatu lembaga negara lumpuh dan menjadi tidak berfungsi juga tidak dibenarkan dalam praktik ketatanegaraan. Minimal hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran konstitusi melalui pembiaran (constitutional violation by omission).

Ini tentu menjadi pertanda sekaligus pelajaran berharga, baik bagi Pemerintah maupun DPR sebagai lembaga pengawas, betapa perhatian terhadap KY masih sangat kurang. Padahal, KY dibentuk dan menjadi organ konstitusi yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945. Nasi memang sudah menjadi bubur, tetapi kini Presiden harus segera menentukan, mau jadi apa bubur itu sekarang. (*)

Lawan Teror!

Pagi-pagi ini dikala banyak bola mata menyaksikan laga World Cup antara Jerman dan Spanyol, kita dikagetkan dengan berita peristiwa penganiayaan salah satu aktivis ICW.

Entah berkelindan atau tidak, banyak pihak kemudian menghubungkannya dengan peristiwa pelemparan bom molotov ke kantor TEMPO beberapa hari lalu.

Apapun motif di balik semua itu, bagi saya segala bentuk teror harus dilenyapkan. Masyarakat butuh rasa aman dan nyaman dalam kesehariannya.

Untuk mencurahkan isi hati maka di saat senggang saya tulis beberapa bait sebagai rasa belasungkawa kepada para korban dan keprihatinan mendalam atas merebaknya teror akhir-akhir ini.

Semoga bisa menggantikan sementara kewajiban saya sebagai salah satu bagian masyarakat yang masih peduli pada suara kebenaran dan keadilan di negeri ini. Check this out!

---

“LAWAN TEROR!”

Tempo & ICW in da House yo’..
Gelorakan semangat anti korupsi.
Lawan teror walau penuh intimidasi.
Molotov, parang, atau di balik jeruji.
Kita jangan pernah surut berhenti.

Hujan pun mulai membasahi bumi.
Tanda berkabung terhadap ibu pertiwi.
Mari semua, suarakan hati nurani.
Bergerak, bersama masyarakat madani.

Reff: Seret pelaku segera diadili.
Tegakan hukum, gunakan logika pasti.
Jangan seperti sinetron di layar TV.
Drama kosong, penuh manipulasi!

Ini adalah murni suara hati.
Tak terbendung melihat kondisi terkini.
Ku hanya bisa berucap lewat ibu jemari.
Semoga Tuhan mendengarkan syair ini.

Jakarta, 8 Juli 2010 – 10:30 WIB
Diposting pertama kali via Twitter: @panmohamadfaiz

Wednesday, May 19, 2010

Quo Vadis Pemberantasan Mafia Hukum?

QUO VADIS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM?

Pan Mohamad Faiz *

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)

Email: pan.mohamad.faiz@gmail.com

Sumber: Majalah Inovasi Online (ISSN 2085-871X) Edisi Vol. 16/XXII/Maret 2010 (Download)

1. Pendahuluan

“Geger!” Demikian ungkapan yang mungkin tepat untuk melukiskan suasana ingar-bingar dunia hukum di Indonesia pasca peristiwa pemutaran rekaman penyadapan atas ‘perselingkuhan hukum’ dalam proses pembuktian di persidangan Mahkamah Konstitusi menjelang akhir penghujung tahun lalu. Betapa tidak, pemutaran rekaman yang disiarkan secara langsung ke berbagai stasiun televisi dan radio akhirnya membuktikan secara nyata bahwa mafia hukum itu ternyata benar adanya baik berupa wujud maupun jaringannya.

Syahdan, publik terkejut dan akhirnya menyeruak hingga turun ke jalan. Fenomena “Cicak versus Buaya” menjadi mahakarya sinetron teranyar di seantero negeri. Tak tanggung-tanggung, untuk meredam kontroversi hukum yang berlarut-larut ini, Presiden terpaksa mengeluarkan kebijakan untuk membentuk “Tim 8” menyusul dibukanya PO BOX 9949 dengan Kode “Ganyang Mafia”, hingga pembentukan “Tim Satgas Mafia Hukum”. Prestasi awal memang cukup menggembirakan. Tim Satgas kembali mempertegas betapa mafia hukum telah bersarang hingga ke sudut-sudut sel tahanan ketika mereka menemukan para terpidana kasus korupsi besar ternyata memiliki ruang tahanan yang mewah bak hotel bintang lima.

Pertanyaannya kini, apa yang sejatinya harus dilakukan untuk memberantas mafia hukum tatkala hampir sebagian besar fakta dan data yang ada telah terpetakan? Sementara itu, penulis kembali teringat ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD., ketika membuka acara Debat Publik “Akar-Akar Mafia Peradilan” yang belum lama ini diselenggarakan di Jakarta dengan mengucapkan, “Sudah habis teori di gudang!”. Artinya, hendak ditegaskan lagi olehnya bahwa untuk memecahkan masalah mafia hukum, sudah banyak pihak yang memberikan beragam teori dan menghasilkan studi, cetak biru, kesimpulan, dan rekomendasi, termasuk yang secara resmi dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersinggungan langsung dengan permasalahan mafia hukum ini.

Namun faktanya, tak banyak perubahan signifikan yang kita rasakan, kalaupun ada sifatnya bagai terapi kejut (shock therapy) saja. Kondisi ini akhirnya menegasikan, benarkah bangsa Indonesia hanya pandai membuat rencana saja, namun tidak pandai menjalankannya? Ataukah memang problematika mengenai mafia hukum ini sangat teramat rumit yang tidak saja telah mengakar, namun juga telah mendarah daging dalam tubuh para oknum pelaku dan institusi hukum?

Atas dasar pernyataan dan pertanyaan itulah, tulisan singkat ini justru tidak bermaksud sekedar untuk menambah deret khazanah teori, pun juga tidak berkeinginan untuk menggarami lautan. Akan tetapi, lebih pada wujud representasi kegelisahan intelektual yang mungkin juga sedang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Syukur apabila kemudian dalam goresan ini ternyata terdapat tawaran solusi yang lebih baik dari apa yang telah ada sebelumnya.

2. Lahan dan Praktik Mafia Hukum

Masyarakat tentu bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih gamblang memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya.

Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya saja.

Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.

Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.

3. Tersandera Lingkaran Setan

Harus diakui bahwa pasca reformasi, pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap sistem yang dianggap telah korup.

Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuk aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal.

Bagaikan lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”.

Sementara itu, mereka yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan.

4. Menyelamatkan Generasi

Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.

Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi!

Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.

Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicero di tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.

Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.

Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.

5. Peran Civil Society dan Mass Media

Perjalanan sejarah Indonesia selalu terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping negara (state) dan pasar (market).

Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum. Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K. Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), dan transmisi nilai (value transmission).

Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa peran civil society dan mass media membawa pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati Garut”. Tidak saja elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan kegiatan citizen journalism lainnya melalui Blog.

Tren global seperti di Chile, Maladewa, Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO, aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan internet dan media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies), khususnya internet, telah menyebabkan dunia bagaikan lempeng yang datar.

Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945.

6. Penutup

Memberantas mafia hukum bukanlah perkara yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi faktor penyebab utama atas bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Tak ayal berkembang perumpaman bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa.

Bagaikan problema kemiskinan dan praktik korupsi, mafia hukum memang tak dapat ditumpas hingga titik nol. Namun demikian, optimisme, upaya, dan usaha pemberantasannya tidak pernah boleh berhenti sedikit pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing.

Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung. Jika demikian jadinya, quo vadis pemberantasan mafia hukum?

***

* Penulis adalah Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.