Monday, December 18, 2006

Status Anak Luar Kawin

TANYA JAWAB TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN

Menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh Sdr. Adit (Universitas Brawijaya) dan Ibu Riku (Individual) mengenai “Status Anak Luar Kawin dari Perkawinan Campuran” (red- dari pasangan beda bangsa/campuran), secara ringkas berikut analisa yang dapat diberikan:

Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Oleh karena itu, apabila sang Ibu berkewarganegaraan Indonesia, maka si Anak akan mengikuti warga negara dan hukum sang Ibu. Bila sang Ibu berkewarganegaraan asing maka si Anak akan ikut warga negara ibunya yang WNI. Hal ini juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 (“UU 12/2006”) tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan yang baru) dalam Pasal 4 huruf g, mengenai siapakah yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia, yaitu:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia”

Lalu bagaimana dengan anak luar kawin yang ibunya WNA dan ayahnya WNI, tetapi sang ayah mau mengakui Anak tersebut sebagai Anaknya? UU 12/2006 juga telah mengatur mengenai hal tersebut, di mana dalam Pasal 4 huruf h tercantum bahwa WNI adalah:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

Kemudian bagaimana dengan anak luar nikah yang ibunya WNI lalu ayahnya WNA tapi sang ayah mau mengakui anak tersebut? Berdasarkan pasal 5 (1) UU 12/2006, dijelaskan:

“Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.

Tetap diakuinya anak-anak tersebut diatas sebagai WNI berdasarkan Pasal 6 UU 12/2006 menyebabkan anak-anak ini mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usianya 18 tahun atau sudah kawin, di mana ia dibolehkan untuk memilih kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan secara tertulis kepada Pejabat yang ditugaskan oleh menteri untuk mengurusi bidang kewarganegaraan, dengan dilampiri dokumen sesuai peraturan perundangan.

Anak-anak yang lahir dari hubungan luar kawin lalu diakui atau diakui secara sah oleh ayahnya yang WNA atau WNI, seperti tersebut diatas, dan ia belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang 12/2006 dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Demikian penjelasan yang dapat diberikan semoga membantu.

Salam,

Jurnal Hukum PMF

Monday, December 11, 2006

Penelitian Hukum: Analisa terhadap Peran Dewan Keamanan PBB

ANALISA TERHADAP PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
DALAM MEMELIHARA PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xi + 56 Halaman + Lampiran
Waktu: Desember 2006
Bahasa: Inggris

Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas utama berdasarkan Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Selama empat puluh lima tahun di awal keberadaannya, Dewan Keamanan dirasakan sangat tidak berdaya akibat perang dingin yang terjadi. Namun sejak tahun 1990, di mana telah terjadi pencairan suhu politik global, Dewan Keamanan kini telah menjadi aktif kembali.

Dewan Keamanan ini terdiri dari 15 (limabelas) negara anggota, 5 (lima) diantaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Russia, dan China. Anggota tetap ini mempunyai hak untuk memveto putusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan dengan cara menolak dan melawan putusan tersebut. Sepuluh anggota Dewan Keamanan lainnya dipilih oleh Mejelis Umum untuk jangka waktu 2 (dua) tahun keanggotaan yang tidak dapat diperpanjang, di mana 5 (lima) anggota baru dipilih setiap tahunnya. Sepuluh anggota terpilih dimaksud, sebagaimana disebut sebagai anggota tidak tetap dalam Piagam PBB, dipilih berdasarkan formulasi pembagian dari setiap wilayah utama dari seluruh penjuru dunia.

Sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan mempunyai beberapa fungsi utama. Dewan ini membantu untuk menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB.

Bersandar pada Bab VI dari Piagam PBB, Dewan Keamanan tersebut harus, ketika dianggap perlu, memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya secara damai dengan cara, misalnya, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, ataupun penyelesaian melalui jalur pengadilan. Dimungkin juga, jika semua pihak yang bersengketa sepakat, diberikan rekomendasi bagi para para pihak dengan cara-cara penyelesaian lainnya secara damai. Pasukan penjaga keamanan PBB pertama kali dibentuk oleh Majelis Umum PBB, namun setelah itu selalu dibentuk oleh Dewan Keamanan, di mana Dewan memegang kewenangan dalam memerintah terhadap mereka. Walaupun Piagam PBB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk membentuk pasukan penjaga keamanan, tetapi Mahkamah Internasional dalam satu kasus pada tahun 1962 menyatakan bahwa Dewan Keamanan mempunyai kewenangan tambahan untuk tujuan pembentukan tersebut.

Pasukan penjaga keamanan ini biasanya ditempatkan oleh Dewan Kemanan hanya apabila gencatan sejata telah disepakati oleh pihak yang bersengketa sehingga penjaga keamanan yang diturunkan hanyalah pasukan biasa dan bukan pasukan yang biasa diterjunkan dalam peperangan. Dewan Keamanan juga dapat mengambil tindakan yang lebih besar dari sekedar pengiriman pasukan penjaga keamanan. Pengertian “secara damai” dalam Pasal 39 Piagam PBB dapat termasuk dalam hal konflik yang terjadi di luar negara-negara yang bersengketa. Pada saat Piagam PBB dibentuk, hal ini juga dipertimbangkan bahwa konflik yang terjadi pada batas wilayah suatu negara dapat pula menimbulkan pelanggaran ataupun ancaman terhadap situasi damai, dengan demikian Dewan Keamanan dapat pula mengambil tindakan dalam hal ini.

Walaupun ilustrasi di atas menggambarkan bahwa Dewan Keamanan telah melakukan upaya yang sangat baik dalam menjalankan fungsinya, tetapi pada kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang telah menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi Dewan Keamanan tersebut. Sebagai contoh, pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing; ataupun contoh lainnya bahwa keputusan yang telah diambil, biasanya hanya menjadi “lip service” bagi pengimplementasian berikutnya.

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia sekarang ini adalah Dewan Keamanan yang dapat melihat permasalahan sejak dini, Dewan yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta Dewan yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian.

Berangkat dari uraian di atas, maka Penelitian Hukum ini mengambil fokus dan menganalisa mengenai peran dari Dewan Keamanan dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, termasuk mendiskusikan mengenai reformasi Dewan Keamanan yang harus ditempuh di masa yang akan datang. Adapun sistematika dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

ANALYSIS ON THE ROLE OF SECURITY COUNCIL
IN MAINTENANCE OF INTERNATIONAL PEACE AND SECURITY

ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
TABLE OF RESOLUTIONS
ABSTRACT

CHAPTER I: AN INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Structure of Research Paper
CHAPTER II: OVERVIEW OF SECURITY COUNCIL
2.1. Composition
2.2. Function of the Security Council
2.2.1. Maintenance of International Peace and Security
2.2.2. Elective Functions
2.2.3. Supervisory Functions
2.2.4. Constituent Functions
2.2.5. Function in Relation to International Court of Justice
2.3. Voting System
2.3.1. Procedural and Non-Procedural Matters
2.3.2. Absence of a Member in the Security Council
2.3.3. Abstention from Voting in Security Council
2.3.4. Veto Power
2.3.5. Double Veto
2.4. Status of Resolution
CHAPTER III: THE ROLE OF SECURITY COUNCIL
3.1. General
3.2. Forms of Peaceful Mean
2.3.1. Call upon the Parties to Settle the Dispute Peacefully
2.3.2. Investigation of the Dispute
2.3.3. Recommendation for the Appropriate Procedures
2.3.4. Recommendation for the Terms of Settlement
3.3. Form of Taking Enforcement Action
3.3.1. Measures Involving Non-Use of Force
3.3.2. Measures Involving Use of Armed Force
3.3.2.1. Special Agreement
3.3.2.2. Military Staff Committee
3.3.2.3. Joint Action
3.4. Collective Security
CHAPTER IV: SECURITY COUNCIL REFORM
4.1. Main Aspects of the Reform
4.2. Reform Models
4.3. Reform Obstacles
4.3.1. The Veto
4.3.2. Membership
CHAPTER V: CONCLUSION AND SUGGESTION
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE

Situasi perdamaian global di masa-masa yang akan datang diperkirakan akan kembali naik, sebab issue senjata nuklir kembali mencuat setelah dalam 2 tahun terakhir ini berbagai negara kembali berlomba mengembangkan tenaga nuklir demi kepentingan sumber daya energi maupun senjata nuklir. Di masa yang akan datang peran dan inisiatif Dewan Keamanan PBB ini akan menjadi sangat krusial dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karenanya, penelitian ini cukup penting bagi mereka yang akan dan telah bergelut dalam dunia Hukum Internasional ataupun Hubungan Internasional, terlebih lagi sejak Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2007-2009. Bagi anda yang berminat untuk mendapatkan penelitian ini bisa mengirimkan permohonan kepada Peneliti melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengisi pada bagian kolom komentar atau buku tamu yang telah disediakan.

--oOo--
Link for Related Articles:

Friday, December 08, 2006

Pencabutan Pasal Penghinaan Presiden

PRESIDEN TANPA PERISAI?
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Note: Dimuat pada Sarwono.net.

"In the truest sense, freedom cannot be bestowed, it must be achieved."
- F.D. Roosevelt -

Kiranya apa yang dikatakan oleh Roosevelt benar-benar menjadi bukti para pencari keadilan di alam demokrasi ini. Rentang perjuangan yang cukup panjang akhirnya membuahkan hasil. Rabu kemarin (6/12) para ‘pejuang demokrasi’ bisa sedikit menghela nafas panjang setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No.013-022/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal “Penghinaan terhadap Presiden” (Pasal 134, 136 Bis, dan137 KUHP) tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat atau dengan kata lain sudah tidak berlaku lagi.

Pasal yang berasal dari warisan kolonial ratusan tahun yang lalu tersebut, oleh Mahkamah dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena rentan akan multitafsir. Selain berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi, pasal tersebut juga dirasa tidak relevan lagi untuk diterapkan pada negara Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana secara tegas telah ditentukan dalam UUD 1945.

Tetapi perlu untuk digarisbawahi di sini, hilangnya ‘perisai’ sang Presiden bukan berarti penghinaan (beleediging) yang ditujukan kepadanya menjadi di-legal¬-kan. Pasal 310-312 KUHP tetap akan menjadi kunci berikutnya untuk menundukkan mereka yang sengaja melakukan penghinaan ataupun perbuatan lain yang dianggap tidak menyenangkan bagi Presiden sebagai kualitas pribadi atau Pasal 207 KUHP terhadap Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager). Hanya saja perbedaannya, selain pidana yang diancam tidak seberat Pasal Penghinaan terhadap Presiden, Pasal ini merupakan “delik aduan” (klacht delict) bukan “delik biasa”. Oleh karena itu, pendapat yang dilontarkan oleh beberapa aktivis nasional belakangan ini bahwa saat ini sudah tidak ada lagi halangan dalam menyampaikan pendapat terkait dengan kinerja Presiden, tidaklah sepenuhnya tepat.

Kebebasan Berpendapat

Legislasi modern terkait dengan kebebasan mengemukakan pendapat, sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1776 oleh Kerajaan Swedia atas prakarsa Anders Chydenius. Melewati sejarah yang cukup panjang, kebebasan pemikiran dan kemajuan ide akhirnya semakin populer dan menyebar hingga akhirnya menjadi suatu kebutuhan dasar (basic need) yang berkembang di tengah-tengah masyarkat.

Hak untuk menyampaikan pendapat tersebut, kini telah dijamin oleh hukum international melalui berbagai instrumen terkait dengan Hak Asasi Manusia, terutama pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 10 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan International Hak-Hak Sipil dan Politik. Bahkan sampai dengan saat ini, berdasarkan hasil survey dua orang peneliti dari Belanda, dari 142 konstitusi yang ada di dunia, 124 diantaranya telah menetapkan adanya perlindungan mengenai kebebasan mengemukakan pendapat. Untuk Indonesia sendiri, hak ini telah dicantumkan secara tegas dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Argumentasi klasik untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai suatu hak dasar (fundamental right) menurut John Stuart Mill adalah hal tersebut sangat penting untuk menemukan esensi dari adanya suatu kebenaran. Bahkan, Alan Howard dalam bukunya “Free Speech” (1998) berpendapat bahwa pengertian memberikan pendapat secara luas, termasuk yang bernada menyerang, tetap harus diberikan perlindungan yang sama apapun itu bentuknya.

Hampir di seluruh negara-negara Eropa Barat, sebagaimana kebebasannya sebanding dengan dua negara demokrasi terbesar seperti Amerika Serikat dan India, masyarakatnya bebas untuk menyampaikan kritik kepada Presiden atau Perdana Menterinya, para politisi, birokrat serta kebijakan yang diambilnya. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Michael Foucault, kebebasan tersebut tetap harus ada kontrolnya.

Di bawah bendera hukum international, pembatasan dari kebebasan mengeluarkan pendapat dibutuhkan untuk bersikap sedikitnya dengan tiga batasan, yaitu sesuai dengan hukum yang berlaku, mempunyai suatu tujuan baik yang diakui oleh masyarakat, dan keberhasilan dari tujuan tersebut sangatlah diperlukan. Sedangkan menurut Pasal 20 Kovenan International Hak-Hak Sipil dan Politik, kebebasan berpendapat pada intinya tidak diperkenankan terhadap adanya propaganda perang, penghasutan untuk terjadinya kekerasan, dan berbagi macam bentuk penyebaran kebencian. Adanya ungkapan menyampaikan pendapat juga seharusnya berimbang dengan nuanasa yang sehat, konstruktif, jujur, dan menggunakan bahasa yang bermartabat serta sarat dengan muatan positif.

Jika saja model penyampaian ini dapat berkembang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, maka angan-angan tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat di negara Indonesia akan segera tercapai. Sebab menurut filsuf Alexis de Tocqueville, seorang pemikir politik dan sejarah asal Perancis, masyarakat pada dasarnya ragu-ragu untuk menyampaikan pendapat secara bebas bukanlah karena takut atas ancaman pemerintah, akan tetapi karena tekanan sosial-masyarakat yang akan dialaminya. Ketika seseorang mengemukakan pendapatnya yang tidak populer atau kurang berkenan, maka pendapatnya tersebut dengan sendirinya akan dihargai atau tidak dihargai oleh masyarkat.

Kini dengan dicabutnya Pasal a quo, maka sebagai bangsa pada negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, baik pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat luas sudah seharusnya memanfaatkan momen ini untuk menjadi semakin dewasa dalam memilah mana pernyataan pendapat, pikiran, atau protes yang dikategorikan sebagai bentuk kritik atau penghinaan.

Begitu pula dengan Presiden, pun tidak perlu menjadi risau dan khawatir untuk mematahkan suara dan aspirasi yang disampaikan oleh rakyatnya. Apalagi bila harus membentuk tim khusus untuk menjaga martabat dan kewibawaan seorang Presiden. Masih banyak pekerjaan-pekerjaan rumah yang jauh lebih penting ketimbang sekedar mengurusi “kulit kacang”. Lagipula, Presiden sebagai seorang negarawan sudah sepantasnya menerima dengan lapang dada betapapun pahitnya sebuah kritikan dan meresapinya sebagi upaya bersama guna membangun pemerintahan yang semakin hari semakin demokratis. Jadi, masihkah perlu ‘perisai’ bagi ‘sang Demokrat’ sejati? Semoga tidak.

Link: Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (PDF).

Monday, December 04, 2006

Penelitian Hukum: Perspektif Hukum Terhadap Penelantaran Pendidikan

PENELANTARAN PENDIDIKAN:
Perspektif Hukum terhadap Hak Memperoleh Pendidikan

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: ix + 31 Hal + Lampiran
Waktu : November 2006
Bahasa: Inggris
“If we are to real peace in this world, we shall have to begin with the children”.
(Mahatma Gandhi, 1869-1948)
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pengembangan individu warga negara maupun suatu bangsa. Hal ini sangat penting karena pendidikan akan memberikan sebuah kontribusi terhadap kemajuan peradaban manusia. Dalam suatu masyarakat demokrasi, buah hasil dari demokrasi itu sendiri tidak akan diperoleh tanpa adanya penghapusan dari rasa acuh masyarakat terhadap rendahnya kualitas pendidikan. Keinginan yang cukup tinggi di bidang pendidikan ini, baik pada setiap organisasi maupun masyarakat umum, hanya akan tercapai bila diikuti dengan usaha yang cukup keras.

Pendidikan adalah suatu hal yang luar biasa pentingnya bagi sumber daya manusia (SDM), demikian pula dengan perkembangan sosial ekonomi dai suatu negara. Hak untuk memperoleh pendidikan telah dikenal sebagai salah satu Hak Asasi Manusia (HAM), sebab HAM tidak lain adalah suatu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Hak memperoleh pendidikan sangat berkaitan erat dengan HAM. Tanpa adanya pendidikan, kehidupan tidak akan mempunyai arti dan nilai martabat dan inilah sebenarnya maksud dasar dari HAM itu sendiri, di mana setiap orang mempunyai hak untuk menjadi seorang manusia seutuhnya.

John Stuart Mill dalam karyanya “Principles of Political Economy and Liberty” mengemukakan bahwa pendidikan disadari sangat dibutuhkan oleh setiap anak sebagai bekal kehidupannya kelak, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk menyiapkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan anaknya tersebut. Pendidikan sangat penting bagi anggota masyarakat secara umum di mana mereka akan memperoleh penderitaan yang cukup serius bilamana tidak terdapat kesadaran sesama anggota masyarakat akan arti penting sebuah pendidikan. Bagi Mill, pendidikan bagi bagi lapisan bawah adalah suatu yang sangat esensial untuk peningkatan kemampuan pribadi, mobilitas sosial dan masyarakat, dan merefleksikan rasa kebersamaan sosial dan filosofi dari nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, memberikan pendidikan yang layak udah seharusnya menjadi suatu kewajiban yang berlipat ganda bagi sang orang tua, baik itu terhadap anak-anaknya maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Akan tetapi sayangnya, di dalam dunia yang masih penuh dengan penyakit sosial ini, masih banyak anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan yang cukup memadai. Salah satu penyebabnya datang dari situasi untuk menelantarkan pendidikan (educational neglect) sang anak, di mana merupakan suatu fenomena yang masih jarang memperoleh perhatian besar dari masyarakat global. Maka dalam konteks ini, penelitian hukum ini mencoba untuk mendeskripsikan problematika dari adanya penelantaran pendidikan dari sudut perspektif hukum terhadap hak memperoleh pendidikan. Adapun secara ringkas struktur penelitian ini adalah sebagai berikut:
EDUCATIONAL NEGLECT:
LEGAL PERSPECTIVE ON RIGHT TO EDUCATION
ACKNOWLEDGEMENT
TABLE OF CONTENTS

CHAPTER I: AN INTRODUCTION
1.1. Historical Background
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Structure of Paper

CHAPTER II: EDUCATIONAL NEGLECT
2.1. Child Neglect
2.2. Forms of Neglect
2.3. Educational Neglect
2.3.1. Definition
2.3.2. Causes
2.3.3. Effects
2.3.4. Children Needs

CHAPTER III: LEGAL INSTRUMENTS ON RIGHT TO EDUCATION
3.1. Human Rights Obligations
3.2. International Treaties
3.3. Constitutional Guarantees
3.4. National Policy
3.4.1. India
3.4.2. Indonesia

CHAPTER IV: CONCLUSION AND SUGGESTION
4.1. Conclusions
4.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
APPENDIX
  • Statistics in Brief of India
  • Statistics in Brief of Indonesia
  • Statistics in Brief of Ethiopia
Penelitian ini pada dasarnya berangkat atas rasa kepedulian penulis terhadap nasib mutu pendidikan di tanah air Indonesia, khususnya dalam pemasayarakatan terhadap hak memperoleh pendidikan yang sudah dinyatakan secara tegas pada berbagai instrumen hukum, baik itu dalam tingkat internasional maupun nasional. Oleh karena itu bagi mereka yang mempunyai kepedulian yang sama guna memajukan mutu dan kualitas pendidikan di tanah airnya masing-masing dan ingin memiliki hasil penelitian hukum ini, ataupun kepada siapa saja yang hendak membacanya, maka bisa mengirimkan permohonan kepada Peneliti melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau cukup dengan mengisi pada bagian kolom komentar dan/atau buku tamu yang telah disediakan.
- oOo -
Links:

Friday, December 01, 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian III - Habis): “Permohonan Dikabulkan”

INTISARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TAHUN 2005:
“Permohonan Dikabulkan”

Amandemen terhadap UUD 1945 telah membawa banyak perubahan pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya hadirnya Lembaga (tinggi) Negara Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir tunggal UUD 1945. Berbagai putusan yang bermuara dengan dikabulkannya permohonan telah banyak dijatuhkan oleh lembaga tersebut, khususnya terhadap permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap UUD 1945. Akibat dikabulkannya permohonan ini, maka Pasal dan/atau Bagaian yang diuji dari suatu UU akan menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi warga negara.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung di dalam dunia hukum untuk mengetahui latar belakang dan apa saja Pasal dan/atau Bagian dari UU yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Jangan sampai ketentuan yang sudah dinyatakan oleh Mahkamah sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat, masih digunakan dalam penerapan hukum sehari-hari, seperti misalnya kasus penahanan seorang konsultan hukum di daerah Jawa Tengah yang masih didalilkan berdasarkan Pasal yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.

Tulisan ini sengaja menguraikan intisari dari setiap Putusan tahun 2005 dengan amar “Permohonan Dikabulkan”, sehingga memudahkan siapapun untuk mengetahui secara singkat dan cepat tanpa harus membaca keseluruhan isi Putusan yang biasanya mencapai ratusan halaman. Semoga dengan memahami secara sederhana akan putusan-putusan berikut, akan pula menimbulkan kesadaran akan hak-hak konstitusional kita lainnya yang secara tegas telah dijamin dalam UUD 1945. Bilamana dilanggar, maka kita sudah tahu betul instrumen hukum apa yang harus kita tempuh dan lewati, yaitu salah satunya dengan jalan mengajukan upaya judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Selamat membaca!

A. PERMOHONAN DIKABULKAN SELURUHNYA

1. Putusan Perkara 067/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung (PDF).

• “Advokat Tidak Diawasi Oleh Pemerintah dan DPR”.

Perkara ini diajukan oleh Dominggus Maurits Luitnan, S.H., L.A. Lada, S.H., dan H. Ali Tjasa, S.H., M.H., yang ketiga-tiganya berprofesi sebagai advokat. Pada nantinya Pemohon secara khusus meminta MK menguji ketentuan Pasal 36 (beserta penjelasannya) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) terhadap UUD 1945. Pasal 36 UU MA berbunyi, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.” Pasal 36 UU MA telah menimbulkan tidak terdapatnya persesuaian dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sejumlah UU lain. Sesungguhnya Pasal 54 UU Nomor 2 Tahun 1986 (diubah oleh UU Nomor 8 Tahun 2004) yang mengatur tentang pengawasan terhadap advokat telah dicabut secara menyeluruh oleh UU Jabatan Notaris. Dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 juncto UU Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan tersebut membawa implikasi yuridis bahwa pengawasan terhadap advokat yang sebelumnya dilakukan oleh MA dan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di bawahnya, sudah tidak berlaku lagi. Dalm hal ini yang berlaku adalah ketentuan ayat (1) yang menyatakan, “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh organisasi Advokat,” sementra pada ayat (2)-nya dikatakan, “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan analisa dan alur berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun MK tidak menemukan adanya hak konstitusional para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36, namun di pihak lain, telah nyata bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya. Ketidakcermatan tersebut berakibat pada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dengan UU lainnya. Sehingga terlepas dari kekurangan para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung dalil-dalilnya, MK bekesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 menjadi UU Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan para Pemohon harus dikabulkan.

Meskipun MK berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, pendirian MK tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan pihak-pihak lain.

MK menilai bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani kepentingan public, adalah suatu keniscahyaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan public dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar public yang dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang megakibatkan seseorang yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independent.

2. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Penjelasan UU Tidak Boleh Membuat Norma Baru”.

Perkara pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU Pemda) diajukan oleh beberapa pihak yang bertindak selaku perorangan dan kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama maupun sebagai pihak yang mewakili badna hukum (partai politik). Dalam hal mewakili partai politik, para Pemohon adalah Ketua DPD dari 12 perwakilan (cabang) partai politik yang berada di Sulawesi Utara.

Para Pemohon meminta MK untuk melakukan pengujian atas Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda. Ketentuan penjelasan Pasal 59 ayat (1) disinyalir oleh Pemohon justru membuat ketentuan baru yang berbeda dengan ketentuan dalam” Pasal 59 UU Pemda itu sendiri. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda yang berbunyi, “Partai Politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai poltik yang memiliki kursi di DPRD” telah menegasikan atau menghilangkan substansi norma (batang tubuh) Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Padahal menurut Para Pemohon, Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi, “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai atau gabungan partai politik” dan ayat (2) yang berbunyi, “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen ) dari akumulasi perolehan suara sah dalam kepemilikan umum anggota DPRD yang bersangkkutan” sudah jelas substansinya.

Setelah menimbang berdasarkan dalil para Pemohon dan keterangan para ahli setelah dibandingkan dengan keterangan Pemerintah dan DPR serta dokumen-dokumen lainnya, tampak jelas bagi MK bahwa sesungguhnya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda memang bertentangan dengan norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2), dan bahkan telah dengan jelas mengatur bahwa yang boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah adalah partai politk atau gabungan partai politik yang memperoleh 15% kursi di DPRD “atau” yang memperoleh 15% akumulasi suara dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Kata “atau” dalam Pasal 59 ayat (2) merujuk pada alternative di antara dua pilihan merupakan sikap akomodatif terhadap semangat demokrasi sehingga memungkinkan bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memilki akumulasi seuara 15% maupun calon independent yang diajukan oleh partai atau gabungan partai untuk turut serta dalam Pilkada langsung.

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagu pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004.

Kebiasaan tersebut ternyata telah diabaikan oleh pembentuk undang-undang dalam merumuskn Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda. Hal ini tampak dari fakta bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut secara nyata telah memuat norma baru yang berbeda maknanya denga norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2).

Terjadinya pertentangan antara substansi pasal dari suatu UU dan penjelasannya mengandung inkonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda sehingga menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaan. Adanya keragu-raguan dalam implementasi suatu UU akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Adanya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda secara nyata telah mengilangkan hak para Pemohon untuk dipilih sebagai kepala daerah yang telah dijamin secara tegas dalam rumusan Pasal 59 ayat (2). Hak konstitusional para Pemohon untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan telah dijabarkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU Pemda ternyata dihilangkan oleh Penjelasan Pasal 59 ayat (1). Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

B. PERMOHONAN DIKABULKAN SEBAGIAN

1. Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Antara Pilkada Langsung dan Pemilihan Umum”.

Secara keseluruhan, para Pemohon dalam perkara ini mengajukan pengujian terhadap Pasal-Pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang terdiri atas 10 (sepuluh) butir yaitu Pasal 1 angka 21 sepanjang menyangkut anak kalimat, “… yang diberik wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota”, Pasal 57 ayat (1) sepanjang menyangkut anak kalimat “… dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 66 ayat (3) huruf e; Pasal 67 ayat (1) huruf e; Pasal 62 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat “… oleh DPRD”; Pasal 89 ayat (3) sepanjang menyangkut anak kalimat, “…diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … diatur dalam Peraturan Pemerintah”, UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 22E ayat (5).

Terhadap dasar-dasar dalil dan permohonan para pemohon tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. Terhadap permohonan para Pemohon untuk menyatakan anak kalimat pada Pasal 1 angka 21 UU Pemda, Mahkamah berpendapat bahwa anak kalimat tersebut justru untuk menjelaskan maksud pembuat undang-undang menetapkan KPU provinsi, kabupaten.kota berfungsu sebagai pelaksanan tugas KPUD. Jika anak kalimat tersebut dihilangkan berarti dalam penyelenggaraan Pilkada, KPU menjadi regulator dan pengawas pelaksanaan Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU provinsi, kabupaten.kota, padahal pengertian demikian bukanlah yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang.
2. Terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 57 ayat (1) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … yang bertanggung jawab kepada DPRD”, Mahkamah berpendapat bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). Maksud tersebut, tidak mungkin dicapai apabila KPUD sebagai penyelenggara Pilkada harus bertanggung jawab kepada DPRD. Sebab DPRD terdiri atas unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pilkada langsung tersebut. KPUD harus bertanggung jawab kepada publik bukan kepada DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda.
3. Terhadap permohonan para Pemohon terkait pengaturan Pilkada melalui Peraturan Pemerintah dalam anak kalimat pada Pasal 65 ayat (4), anak kalimat pada Pasal 89 ayat (3), anak kalimat pada Pasal 94 ayat (2), dan anak kalimat pada Pasal 114 ayat (4) UU Pemda, Mahkamah menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam pembentukan Peraturan Pemerintah tentang Pilkada langsung adalah karena diperintahkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga keharusan berpedoman kepada atau pengaturan dalam Peraturan Pemerintah, tidaklah serta-merta bertentangan dengan UUD 1945.
4. Terhadap Pasal 67 ayat (1) huruf e, sepanjang anak kalimat, “ … kepada DPRD”, Mahkamah berpendapat dalam penyelenggaraan Pilkada KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD karena dana yang digunakan tidak hanya bersumber dari APBD tetapi juga dari APBN. Pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu yang lebih penting lagi adalah bahwa pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada DPRD dapat mengancam jaminan independensi KPUD sebagai penyelenggara Pilkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E juncto Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
5. Terhadap Pasal 82 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ …oleh DPRD”, Mahkamah berpendapat bahwa karena KPUD yang menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah [vide Pasal 66 ayat (1) huruf g UU Pemda], maka yang berwenanag mengenakan sanksi pembatalan pasangan calon bukanlah DPRD, melainkan KPUD.
6. Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai hasil pemilu, menurut para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah Konsitusi. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bykan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU Pemda tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Akhirnya amar putusan perkara ini menyatakan permohonan para Pemohon dapat dikabulkan sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat, “ .. yang bertanggung jawab kepada DPRD”; Pasal 66 ayat (3) huruf e, “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD”; Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat, “ … kepada DPRD”; dan Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat, “ .. oleh DPRD” pada UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan ini terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.; Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dan Maruarar Siahaan, S.H.

2. Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (PDF).

• “Kewenangan MK Menguji UU Sebelum Terjadi Amandemen UUD 1945”

Pemohon dalam perkara ini adalah Warga Negara Indonesia sebagai pengusaha di bidang usaha kecil menengah yang bergabung dan membentuk Kadin UKM. Keinginan tersebut muncul karena sebagai pengusaha kecil tidak dapat menyalurkan aspirasi dan tidak dapat mendapat pelayanan penuh dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1987.

Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945, sehingga telah menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undnag-undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945. Pemohon mendalailkan bahwa Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1987 telah merugikan hak konstitusional Pemohon untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dalam organisasi Kadin UKM seperti yang ditetapkan dalam Pasal 28E ayat (3). Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1987 tersebut juga telah merugikan hak-hak konstitusi Pemohon seperti yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) tentang hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28D ayat (2) tentang hak untuk bekerja serta imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hakim Konstitusi menyatakan pendapatnya bahwa Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam putusan ini terdapat dua pendapat di kalangan Hakim Konstitusi terhadap konstitusionalitas Pasal 50 UU MK. Pendapat mayoritas Hakim Konstitusi dalam putusan ini menyatakan Pasal 50 UU MK akan menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan timbulnya ketidakadailan karena dalam sebuah sistem yang pasti terdapat tolak ukur ganda; pertama, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945; dan kedua, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan setelah berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945.

Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan undang-undang dasar dan tidak membuat aturan baru apalagi membatasi pelaksanaan undang-undang. Pasal 50 UU MK dipandang mereduksi kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945 dan bertentangan dengan doktrin hirarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal. MK adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh undang-undang dasar. Mahkamah bukanlah organ undang-undang melainkan organ undang-undang dasar.

Berdasarkan pertimbangan di atas, keenam Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap putusan permohonan Pasal 50 UUMK ini, tiga orang hakim konstitusi, yaitu Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., H. Achmad Roestandi, S.H., dan Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Dalam pengujian Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kadin, Mahkamah menilai bahwa perlunya wadah tunggak Kadin adalah karena Kadin dalam sistem yang dianut di Indonesia, seseungguhnya merupakan organ negara dalam arti luas. Fungsi Kadin sebagai organ negara dalam arti luas terlihat jelasa dalam Pasal 7 dan 8 UU Kadin.

Mahkamah juga berpendapat, Pasal 4 UU Kadin tidak menghalangi hak Pemohon yang dikamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 untuk membentuk wadah berserikat sepanjang wadah tersebut tidak dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi Kadin yang dibentuk dengan undang-undang. Mahkamah tidak pula melihat adanya koreksi Pasal 4 UU Kadin dengan terlanggarnya hak-hak Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak dalam hubungan kerja.

Amar putusan dalam perkara ini adalah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yaitu menyatakan Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yaitu Maruarar Siahaan, S.H., Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dan Dr. Harjono, S.H., M.C.L., mengemukakan dissenting opinion (pendapat berbeda).

3. Putusan Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Nomor 001-002/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PDF).

• “Legal Standing Permohonan Pailit Perusahaan Asuransi”.

Para Pemohon dalam perkara ini mendalilkan bahwa Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (3) serta Pasal 223 dan 224 ayat (6) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan adanya ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan hak konstitusional para Pemohon untuk secara langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi yang telag merugikan kepentingannya menjadi terkendala, bahkan para Pemohon tidak memiliki hak lagi.

Selain itu para Pemohon berpendapat bahwa pemberian kewenangan tersebut menyebabkan Menteri Keuangan telah menjadi bagian dari lembaga yudikatif dan melakukan tugas mengambil suatu keputusan hukum (quasi judicial). Hal tersebut, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, serta Pasal 24C ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Terhadap Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan, ketentuan tersebut menurut Mahkamah berlaku bukan saja untuk para Pemohon tetapi untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Oleh karena itu, semua warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk menjunjung tinggi ketentuan hukum yang tertuang dalam pasal tersebut. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan tidak menghilangkan hak para Pemohon yang dijamin dalam hukum perdata materiil.

Pembatasan yang dikenakan kepada para konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi didasarkan pada pertimbangan bahwa perusahaan asuransi merupakan suatu perusahaan yang karakteristiknya menyangkut berbagai kepentingan yang harus dilindungi, khususnya kepentingan konsumen yang jumlahnya sangat besar, dan kepentingan perusahaan asuransi untuk mempertahankan perusahaannya.

Pembatasan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan semakin terasa arti pentingnya jika dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan di mana syarat untuk memohonkan pailit sangat longgar. Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kelalaian pembuat undang-undang karena “keadaan tidak mampu membayar” tidak terdapat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Dengan tiadanya persyaratan “tidak mampu membayar”, kreditor dapat dengan mudah mengajukan permohonan pernyataan pailiti terhadap sebuah perusahaan asuransi.

Kelalaian pembuat undang-undang tersebut, diimbangi dengan adanya Pasal 2 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Kewenangan menteri tersebut hanya menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Menteri Keuangan sebagai pemohon dalam perkara kepailitan dan sama sekali tidak memberikan keputusan yudisial yang merupakan kewenangan hakim.

Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 223 UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam putusn ini Mahkamah menyatakan bahwa bunyi Pasal 223 mutatis mutandis sama dengan bunyi Pasal 2 ayat (5), sehingga pertimbangan Mahkamah mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pasal 223 UU Kepailitan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 223 tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 223 UU Kepailitan ditolak.

Selanjutnya terhadap Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan yang memberikan kewenangan menolak permohonan kepada Paniter, Mahkamah berpendapat bahwa Panitera seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial. Apabila Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, maka hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Putusan Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terhadap putusan ini terdapat seorang hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

4. Putusan Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (PDF).

• “Pengertian ‘Negara’ dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945”.

Dalam perkara ini, pada dasarnya Pemohon mengajukan permohonan Pengujian Pasal 5 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 52 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terhadap UUD 1945.

Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan bahwa UU SJSN berkait langsung dengan salah cita negara (staatsidee) yang melandasi disusunya UUD 1945 dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Cita negara (staatside) “untuk memajukan kesejahteraan umum” lebih lanjut ditegaskan antara lain dalam Pasal 34 UUD 1945.

Dalam hubungan dengan permohonan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Selanjutny, ayat (4) dari Pasal 34 UUD 1945 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.” Inti permasalahan dari permohonan adalah bagaimana undang-undang harus menjabarkan pengertian “negara” dalam melaksanakan amanat Pasal 34 UUD 1945, khususnya Pasal 34 ayat (2). Apakah di tangan Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah atau keduanya. Kejelasan atas persoalan ini penting mengingat hak atas jaminan sosial oleh UUD 1945 sebagai bagian dari HAM berdasarkan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang menimbulkan kewajiban pada Negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin pemenuhan (to fulfill) hak tersebut.

Terminologi “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. Menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah, sehingga pada Pemerintahan Daerah pun melekat pula fungsi pelayanan sosial. Dengan melaksanakan fungsi tersebut sebaga konsekuensi dari dianutnya ajaran otonomi sebagaimaa diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945.

Dengan membaca dan memahami secara seksama seluruh ketentuan dalam Pasal 5 UU SJSN, tampak bahwa, di satu pihak perumusan Pasal 5 tersebut menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistem jaminan sosial dalam kerangkan sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, amar putusan perkara ini adalah mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU SJSN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Putusan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (PDF).

• “Pelaksanaan Ketentuan Konstitusi Tidak Dapat Ditunda”

Para Pemohon perkara ini mendalilkan bahwa kerugian hak konstitusionalnya bersifat khusus dan potensial akan terjadi jika ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang didalikan para Pemohon dilaksanakan, khususnya ketenuan mengenai anggaran pendidikn 20% yang pelaksanaannya bertahap sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas. Para Pemohon, baik sebagai wali murid, guru, dosen, mahasiswa, ataupun siswa sangat berkepentingan dilaksanakan ketentuan konstitusional mengenai anggaran pendidikan minimal 20% sebagai prioritas yang tidak boleh ditunda-tunda.

Dalam putusan ini, mayoritas Hakim Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki legal standing sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, kecuali Pemohon J.N. Raisal Haw, karena yang bersangkutan belum cukup umur (minderjaring). Selain itu, terdapat tiga Hakim Konstitusi yang berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing.

Berdasarkan politik hukum di bidang pendidikan menurut arahan UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, hanya didasarkan atas asumsi yang tidak didukung alat bukti dan juga tidak didukung oleh keterangan pihak-pihak terkait. Selain itu, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 juga tidak mengatur secara limitatif tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan dasar, tetapi menyerahkan pengaturannya dengan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional.

Sedangkan terhadap dalil para Pemohon bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis telah menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) Sisdiknas yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan Mahkamah dalam putusan ini, maka Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan ini, terdapat tiga Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Ketiga Hakim Konstitusi tersebut adalah Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., H. Achmad Roestandi, S.H., dan Soedarsono, S.H.

Tuesday, November 21, 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian II): "Permohonan Ditolak"

PUTUSAN YANG MENYATAKAN PERMOHONAN DITOLAK

Memahami dan menelah putusan Mahkamah Konstitusi sama saja dengan mendulang wawasan baru tentang hukum bagi siapapun yang membacanya. Namun kendalanya, masih banyak diantara kita yang enggan untuk membacanya dikarenakan (biasanya) Putusan terlalu rumit bahasanya dan panjang bahasannya. Untuk itu, kali ini saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan MK dengan amar "permohonan ditolak". Semoga hal yang kecil ini dapat turut membangun kesadaran hukum dan berkonstitusi di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.

1. Putusan Perkara Nomor 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (PDF).

• “Asas Retroaktif dan Kewenangan KPK Mengambil Alih Perkara”.

Permohon dalam perkara ini beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 68 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang memberikan landasan Kewenangan KPK melakukan pemeriksaan berdasarkan asas berlaku surut atau asas restroaktif.

Menurut Pemohon, hak untuk tidak dilakukan penyidikan atau penuntutan dengan menggunakan asas berlaku surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, di mana ketentuan ini secara jelas dan tegas diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I ayat (1).

Terlepas dari adanya pendapat dua Hakim Konstitusi yang memandang bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing, mengingat substansi masalah yang didalilkan Pemohon dan agar tidak menimbulkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya di kemudian hari sekaligus demi kepastian hukum, Mahkamah memandang perlu memberikan penilaian terhadap substansi Pasal 68 UU KPK, yang oleh Pemohon didalilkan mengandung asas berlaku surut (retroaktif).

Pasal 68 UU KPK menyatakan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.”

Kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK, adalah kewenangan untuk meneruskan proses yang sebelumnya telah ada. Artinya, kewenangan KPK dalam hubungan ini adalah bersifat prospektif, yang baru dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK. Dengan adanya Pasal 68 juncto Pasal 9 dan Pasal 8 UU KPK, penanganan perkara korupsi yang mengalami hambatan karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 9 adalah sama dasar tuntutan hukumnya dengan penanganan perkara korupsi lain yang masih tetap dilakukan oleh polisi dan jaksa, namun tidak mengalami hambatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK.

Menurut Mahkamah, Pasal 68 UU KPK sama sekali tidak mengandung ketentuan hukum yang berlaku surut sehingga melanggar ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan hukum secara retroaktif (ex post facto law) jika ketentuan tersebut (a) menyatakan seseorang bersalah karena malakukan perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, dan (b) menjatuhkan hukuman atau pidana mati yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Pasal 68 UU KPK tidak mengandung salah satu dari dua unsur tersebut. Pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan Pasal 68 tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang berarti tidak pula mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan yang penanganannya diambil alih oleh KPK tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 UU KPK tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah dikumandangankannya Undang-undang KPK.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara sah dan meyakinkan sehingga permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.

2. Putusan Perkara Nomor 065/PUU-III/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (PDF).

• “Batasan Asas Non-Retroaktif Dalam Pelanggaran HAM Berat”.

Pemohon dalam perkara ini adalah mantan Gubernur Timor-Timur periode 1994-1996 yang menyatakan bahwa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pemohon menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut adalah HAM yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa dengan menerapkan asas non-retroaktif haruslah juga diperhitungkan apakah akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum, sehingga apabila hal itu terjadi justru perlindungan kepada seorang individu secara demikian bukanlah menjadi tujuan hukum. Keseimbangan harus ditemukan antara kepastian hukum dan keadilan dengan cara memahami arti Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak hanya pada teksnya, tetapi juga mempelajari pengertian asas tersebut dari sejarah, praktik dan tafsiran secara komprehensif. Ukuran untuk menentukan kesimbangan kepastian hukum dan keadilan, khususnya dalam menegakkan asas non-retroaktif harus dilakukan dengan mempertimbangkan tiga tujuan hukum yang senantiasa saling tarik-menarik (spannungsverhältnis) yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan hukum (gerechtigheid), dan kebergunaan hukum (zweckmassigkeit). Dengan mempertimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut secara seimbang maka pemberlakuan hukum secara retroaktif yang terbatas, terutama terhadap kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes), secara hukum dapat dibenarkan.

Penerapan secara retroaktif suatu undang-undang tidaklah otomatis menyebabkan undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Pemberlakuan retroaktif harus dinilai dari dua faktor atau syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang tersebut; dan kedua, bobot dan sifat (nature) hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar.

Kejahatan-kejahatan diberlakukan pengesampingan asas non-retroaktif oleh Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU Pengadilan HAM) yang bertentangan dengan semangat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karenanya, pada kejahatan-kejahatan tersebut pengesampingan asas non-retroaktif bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan sebaliknya, sebagai undang-undang dasar dari sebuah bangsa yang beradab, semangat UUD 1945 justru mengamanatkan agar perikemanusiaan dan perikeadilan ditegakkan, sehingga kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas harus diberantas.

Walaupun Mahkamah berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat dibenarkan, bukanlah maksud Mahkamah untuk menyatakan bahwa pengesampingan demikian setiap saat dapat dilakukan tanpa pembatasan. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pembatasan tersebut, yaitu asas non-retroaktif hanya dapat disimpangi semata-mata demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Asas non-retroaktif tetap diutamakan namun pengutamaan tersebut tidak dimaksudkan untuk dipahami sebagai kemutlakan.

Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.

Dalam putusan ini terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.

3. Putusan Perkara Nomor 070/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26. Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (PDF).

• “Keadilan Dalam Pembebanan Kewajiban Kepada Provinsi Induk Terhadap Provinsi Pemekaran”.

Pokok perkara dalam putusan ini adalah pengujian Pasal 15 ayat (7) dan ayat 9 UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang mewajibkan Provinsi Sulawesi Selatan memberikan bantuan kepada Provinsi Sulawesi Barat selama 2 tahun berturut-turut sejak diundangkannya undang-undang ini paling sedikit sejumlah Rp. 8.000.000,- setiap tahun anggaran dan Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang menyatakan Pemerintah memberikan sanksi apabila Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (8) bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa daerah yang diberikan otonomi tetap merupakan bagian dari NKRI, sehingga tetap harus menaati ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 merupakan salah satu bentuk pembatasan dari Pemerintah Pusat berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan Perda termasuk menetapkan APBD untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya, namun tidak terlepas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang secara hierarkis lebih tinggi. Dengan demikian, pembebanan kewajiban sebagaimana dituangkan dalam Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang dituangkan melalui Perda tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip equal justice before the law sebagaimana terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945, jika dibandingkan dengan UU pembentukan provinsi lainnya, Mahkamah berpendapat bahwa keadilan bukan berarti semua subjek hukum diperlakukan sama tanpa melihat kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak. Keadilan justru harus menerapkan prinsip proposionalitas, artinya memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Kondisi setiap provinsi induk dan provinsi pemekaran tidak selalu sama, oleh karena itu sudah sepatutnya diperlakukan secara tidak sama pula. Karena, diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakukan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu.
Mahkamah memutuskan menolak permohonan ini. Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

4. Putusan Perkara Nomor. 006/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Pemilihan Sistem Rekruitmen Politik Melalui Partai Politik dan Prinsip Nomorn-Diskriminasi”.

Pemohon dalam perkara ini mendalilkan bahwa hak dan atau kewenangan konstitusinya telah dirugikan karena peluang Pemohon sebagai perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai bakal calon kepala daerah tidak dimungkinkan menurut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda. Padahal peluang perseorangan maupun partai politik menurut konstitusi bersamaan kedudukan sejajar dalam hal kesempatan berpolitik, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

Pemohon mengajukan tuntutan pembatalan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda, yaitu Pasal 59 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Bagian Keempat Pemerintah Daerah, Paragraf Kesatu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 24 ayat (5) berikut Pasal-Pasal yang berkaitan, yang di dalamnya terdapat kalimat, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasangan Calon, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, yaitu pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 67, Pasal 70, Pasal 75 sampai dengan Pasal 80, Pasal 82 sampai dengan Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan Pasal 119.

Dari permohonan tersebut, Mahkamah tidak melihat adanya hubungan kausal (causal verband) yang rasional antara UU Pemda sepanjang berkaitan dengan keberadaan Wakil Kepala Daerah dengan kerugian hak konstitusional pemohon. Keberadaan wakil kepala daerah, tidak berhubungan, baik langsung maupun tidak dengan kemungkinan terpilihnya Pemohon sebagai perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Kecuali untuk pengujian Pasal 59 ayat (1) dan (3) UU Pemerintahan Daerah, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan sepanjang terkait masalah Wakil Kepala Daerah.

Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan publik yang dilakukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) harus melalui pengusulan partai politik melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilindungu oleh Konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan UU. Persyaratan tersebut berlaku sama terhadap semua orang.

Mahkamah berpendapat permohonan sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda, tidak dapat diterima. Sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) tidak cukup beralasan, dinyatakan ditolak.

5. Putusan Perkara Nomor 010/PUU/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Threshold Pilkada Langsung”.

Pemohon mengajukan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon karena perolehan suara pemohon pada Pemilu tahun 2004 di seluruh Indonesia untuk calon anggota Legislatif, baik pada tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi tidak mencukupi 15%. Ketentuan persyaratan tersebut dipandang bertentanan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3).

Dalam pertimbangan hukum terkait dengan pokok perkara, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 27 UUD 1945 berada di bawah Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, yang memberikan hak yang sama bagi warga negara dalam hukum dan pemerintahan yang lazim disebut equality before the law. Karena Pemohon adalah badan hukum partai politik, maka dalil permohonan Pemohon menyangkut Pasal 27 ayat (1) ini tidak relevan, sehingga oleh karenanya harus dikesampingkan, karena syarat ini bukan hanya berlaku bagi Pemohon, tetapi bagi semua warga negara dan partai politik.

Selanjutnya, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Mahkamah berpendapat tidak ada hak Pemohon yang terhalang untuk mengajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan terhadap Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan, Mahkamah berpendapat bahwa kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan berupa hak memilih dan dipilih mendapat jaminan, akan tetapi terdapat syarat-syarat atau mekanisme tertentu yang wajib dipatuhi oleh setiap orang dan badan hukum.

Mahkamah berpendapat bahwa mekanisme dan syarat-syarat tersebut adalah pilihan kebijakan yang ditentukan dalam undang-undang. Sepanjang tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Selain itu, pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisem dan prosedur dalam pelaksanaan hak-hak dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Akhirnya, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian Pasal 59 ayat (2) UU Pemda terhadap UUD 1945, tidak cukup beralasan untuk dikabulkan, sehingga permohonan Pemohon harus ditolak.

6. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU (PDF).

• “Penilaian ‘Hal Ihwal Kegentinagn Memaksa’ Sebagai Syarat Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil dan formil atas UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945.

Argumentasi Pemohon dalam pengujian formil antara lain adalah lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dikatakan tidak memenuhi syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai sendiri oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi udang-undang. Namun Mahkamah juga menyatakan di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden mengeluarkan sebuah Perpu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalil-dalil para Pemohon dalam permohonan pengujian formil UU Nomor 19 Tahun 2004, Mahkamah memutuskan menolak permohonan Pemohon.

Dalam permohonan pengujian materiil, para Pemohon antara lain mendalilkan bahwa materi muatan yang terkandung dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak layak sebagai suatu undang-undang, karena hanya merupakan norma yang bersifat individual konkrit dan eenmalig berupa penetapan (beschikking) perizinan. Keberadaan tambang di hutan lindung sebagai akibat berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004, menurut Pemohon akan menimbulkan dampak kerugian ekonomi lingkungan dan sosial budaya sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 pada dasarnya hanya mengambil alih konsiderans “Menimbang” Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan isi Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada intinya hanya menambahkan 2 (dua ) Pasal pada Bab XVII tentang Ketentuan Penutup, yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B. Dari isi konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 dan bunyi Pasal 83A dan Pasal 83B Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tampak bahwa ketentuan tersebut memuat sebuah ketentuan transisional dan sekaligus Ketentuan Penutup. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan Peralihan, sedangkan Pasal 83B-nya termasuk kategoti Ketentuan Penutup.

Materi muatan Pasal 83A merupkan norma umum abstrak yang termasuk Nomorrma ketentuan peralihan, bukan norma individual konkrit berupa penetapan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi muatannya merupakan norma umum abstrak yang termasuk dalam Ketentuan Penutup yang sifatnya menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, dalam hal ini Presiden, yang diberi kewenangan untuk memberikan izin dengan Keputusan Presiden.

Dari sudut muatannya, Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 memang merupakan penyimpangan sementara ketentuan Pasal 38 ayat (4). Pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung akan tetap dilarang di Indonesia, kalau ada penyimpangan sifatnya adalah transisional. Mahkamah dapat memahami alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/acquired rights).

Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan Mahkamah dalam putusan ini, permohonan para Pemohon, baik dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang terhadap UUD 1945 tidaklah cukup beralasan, sehingga permohonan diputuskan ditolak.

7. Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (PDF).

• “Conditionally Constitution bagi UU SDA” .

Putusan in merupakan putusan pengujian formil dan materiil UU SDA. Dalam pengujian formil, para pemohon mendalilkan prosedur pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan fakta dalam persidangan, Mahkamah berpendapat bahwa proses pembentukan UU SDA telah sesuai dengan prosdur pembentukan undang-undang, dan tidak menemukan adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah juga berpendapat meskipun hanya Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 yang dicantumkan dalam konsiderans “mengingat” UU SDA, hal tersebut tidak menyebabkan secara formil UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. Maka permohonan untuk melakukan pengujian formil terhadap UU SDA tidak cukup beralasan sehingga harus ditolak.

Dalam pengujian materiil, pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk melakukan pengujian materiil sebanyak 19 Pasal UU SDA dan di samping itu juga terdapat pemohon yang mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian terhadap falsafah yang mendasari UU SDA. Sebelum melakukan pengujian Pasal-Pasal UU SDA yang dimohonkan, Mahkamah menyampaikan dasar-dasar pemikiran yang digunakan dalam pengujian Pasal-Pasal UU SDA.

Fungsi air memang sangat perlu bagi kehidupan manusia dan dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang penting sebagaimana kebutuhan makhluk hidup terhadap oksigen. Akses terhadap pasokan air bersih telah diakui sebagai hak asasi manusia yang dijabarkan dalam Piagam pembentukan World Health Organization 1946, Article 25 Universal Declaration of Human Rights, Article 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan Article 24 (1) Convention on the Right of Child (1996).

Pengakuan akses terhadap air sebagai HAM mengindikasikan dua hal, yaitu pengakuan terhadap kenyataan air sebagai kebutuhan yang penting bagi hidup manusia, dan perlunya perlindungan atas akses untuk mendapatkan air bagi setiap orang. Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak atas air menjadi hak yang tertinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia. Sebagaimana HAM lainnya, posisi negara terkait dengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh HAM adalah negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Maka menjadi keniscayaan bagi negara untuk campur tangan guna melakukan pengaturan yang tujuannya agar hak asasi manusia tersebut dapat dihormati, dilindungi dan dipenuhi.

Para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan air dalam ketentuan UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3). Dengan demkian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan bathin.

Apabila penghormatan terhadap hak asasi atas air ditafsirkan sebagai tidak diperbolehkannya negara untuk mencampuri urusan air warga negara, maka akan timbul banyak konflik perebutan untuk mendapatkan air. Perlindungan terhadap hak asasi atas air tidak hanya menyangkut terlindunginya hak yang telah dinikmati seseorang dari pelanggaran oleh orang lain, tetapi juga menjamin kepastian harus benar-benar dapat dinikmati. Perlindungan hak dalam aspek ini tidak dapat dipisahkan dengan pemenuhan terhadap hak yang diakui.

Tiga aspek hak asasi yang harus dijamin oleh negara, yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi harus juga dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena secara aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang tujuannya untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.

Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pengairan untuk pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri juga mempunyai andil yang penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan menjadi factor yang penting bagi manusia untuk dapat hidup secara layak. Pengaturan mengenai sumber daya air untuk keperluan sekunder merupakan sebuah keniscayaan pula. Oleh karenanya, pengaturan sumber daya air tidak cukup hanya menyangkut pengaturan air sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga perlu diatur pemanfaatn sumber daya air untuk keperluan sekunder yang tidak kalah pentingnya bagi manusia agar dapat secara layak. Kehadiran undang-undang yang mengatur kedua hal tersebut sangat relevan.

Berdasarkan pertimbanga-pertimbanagn yang dikemukakan dalam putusan ini, Mahkamah berpendapat UU SDA telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Apabila Undang-undang SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengajuan kembali (conditionally constitutional).

Konsep hak guna air ini sesuai dengan konsep air sebagai res commune yang tidak menjadi objek harga secara ekonomi. Hak guna air mempunyai dua sifat. Pertama, pada hak guna pakai hak tersebut bersifat in persona. Hal dimaksud disebabkan hak guna pakai adalah pencerminan dari hak asasi, oleh karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang sifatnya tak terpisahkan. Kedua, pada hak guna usaha air adalah hak yang semata-mata timbul dari izin yang diberikan oelh Pemerintah yang terikat oleh kaidah-kaidah perizinan. Mahkamah berpendapat meskipun UU SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke tangan swasta.

Selanjutnya, dalil pemohon antara lain adalah UU SDA menyebabkan komersialisasi terhadap air karena manganut prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidak bersifat komersial.

Setelah mempertimbangkan keseluruhan permohonan Pemohon, amar putusan ini menyatakan menolak permohonan para Pemohon. Terhadap putusan ini Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.A Mukthie Fadjar, S.H, M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mempunyai pendapat berbeda.

8. Putusan Peraka Nomor 009-014/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (PDF).

• “Notaris sebagai Pejabat Umum (Public Officer)”.

Dalam permohonan pegujian formil, para pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN) tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Peraturan) terutama Pasal 5 dan Pasal 6 UU Peraturan.

Mahkamah berpendapat bahwa tujuan diundangkannya UU Peraturan adalah agar proses pemebentukan undang-undang secara substansial bersesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 20A dan Pasal 21 UUD 1945, dan secara teknis memenuhi syarat sebagai undang-undang yang baik. Selain menjabarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, UU Peraturan juga memuat petunjuk atau pedoman tentang teknis penyusunan undang-undang yang baik, dengan menetapkan cara dan metode yang pasti dan baku (standar). Dengan demikian, suatu undang-undang yang tidak memenuhi persyaratan teknsi pembentukan undang-undang yang baik (behoorlikje wetgeving) tidak dengan sendirinya secara formil bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam permohonan pengujian materiil UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon Perkara 009, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 15 ayat (2) huruf g, Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) juncto Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat (1) UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, para Pemohon Perkara 014 mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945.

Pertimbangan hukum Mahkamah antara lain menyatakan bahwa notaris adalah suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public official) yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah sebagaimana diatur dalam BAB III UU JN. Oleh karena itu menurut Mahkamah memang seharusnya organisasi notaris berdiri sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer) dan dipersyaratkannya organisasi notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) merupakan hal yang sudah semestinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan Pasal 1 angka 5 UU JN tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pmeohon mengenai hal ini tidak cukup berlasan.

Pasal 67 UU JN menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tentang hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Para Pemohon mengkhawatirkan objektifitas perlakuan para notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas terhadap notaris yang mempunyai pertentangan kepentingan dengan notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas.

Mahkamah menilai kekhawatiran para Pemohon tentang objektifitas anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang karena hanya berjumlah 3 orang, sedangkan Majelis Pengawas berjumlah 9 orang, sehingga tidak mungkin memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU JN, pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) UU JN menyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengawasan menteri membentuk Majelis Pengawas. Majelis Pengawas bukan subordinasi notaris, melainkan lembaga yang bertugas membentu menteri untuk melakukan pengawasan atas notaris. Maka wajar jika Majelis Pengawas mendapat pelimpahan sebagian wewenang menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU JN.

Para Pemohon juga mendalailkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) JN tidak melarang bagi setiap notaris untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Namun mereka harus berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, karena notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara dalam rangka melayani kepentingan masyarakat.

Mahkamah menilai bahwa notaris merupakan organ negara dalam arti luas. Oleh karena itu negara berkepentingan akan adanya wadah tunggal organisasi notaris. Sebagai perbandingan, seperti dikemukakan oleh Pemerintah maupun Pihak Terkait (INI), hampir semua negara menganut adanya satu wadah organisasi notaris.

Dalam permohonan pengujian UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menilai bahwa pengaturan penggunaan cap/stempel yang memuat lambang negara oleh notaris dalam undang-undang, sementara penggunaan lambang negara pejabat negara diatur hanya dalam Peraturan Pemerintah adalah tidak layak. Terhadap penilaian para Pemohon tentang ketidaklayakan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu hanya merupakan penilaian subyektif para Pemohon yang tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon ditolak.

9. Putusan Perkara Nomor 015/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (PDF).

• “Kepastian Hukum Bagi Kurator”.

Pemohon dalam perkara ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan, perselisihan yang disebabkan oleh adanya bantahan suatu pihak di mana perselisihan tersebut tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas, maka Pemohon selaku kurator perlu mengajukan perselisihan ini ke pengadilan. Namun, dengan adanya ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan beserta penjelasannya, Pemohon selaku kurator tidak memperoleh kepastian hukum tentang pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut, apakah Pengadilan Niaga atau Pengadilan Negeri.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam rumusan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, dari segi struktur tata bahasa, terkandung makna bahwa Hakim Pengawas tetap memiliki kewenangan untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih sekalipun persilisihan itu telah diajukan ke pengadilan (dengan huruf “p” kecil). Adanya kata-kata “telah diajukan” jelas menunjukan bahwa pengadilan yang dimaksudkan di sini bukan Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, kewenangan Hakim Pengawas untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih tidaklah hilang dengan alasan perselisihan itu telah diajukan ke “pengadilan”. Dalam perngertian tersebut tentu menjadi tidak logis jika “pengadilan” dalam rumusan Pasala dimaksud diartikan sebagai Pengadilan Niaga.

Jika usaha mendamaikan oleh Hakim Pengawas tersebut ternyata tidak berhasil, sedangkan perselisihan dimaksud haruslah mendapat pernyelesaian agar proses beracara di Pengadilan Niaga dapat berjalan, maka Hakim Pengawas memerintahkan kepada pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Niaga. Jadi, dalam hal ini berlaku prosedur renvoi (renvoi procedure), sehingga kata “pengadilan” dalam anak kalimat Pasal 127 ayat (1) ditulis “Pengadilan” (dengan huruf “P” kapital).

Sedangkan penulisan kata “pengadilan” yang ditulis dengan huruf “p” kecil pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi, “… Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan,” menurut Mahkamah, adalah kekurangcermatan penulisan (clrecial error) pembentukan undang-undang di mana kata “pengadilan” dalam anak kalimat dimaksud seharusnya menggunakan huruf “P” kapital karena yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga, sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan.

Meskipun Mahkamah berpendapat telah terdapat kekurangcermatan (clerical error) dalam penulisan kata “pengadilan” pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, namun kekurangcermatan tersebut tidak sampai mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan dan Penjelasannya tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dipahami sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut.

Putusan ini juga memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap permohonan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6). Berdasarkan keseluruhan pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga dinyatakan ditolak. Dalam putusan ini terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.