Friday, December 03, 2010

Pemilihan Umum dan Monetocracy

PEMILIHAN UMUM DAN MONETOCRACY
Pan Mohamad Faiz *

Sumber: Majalah Esquire Indonesia edisi Desember 2010

“Money Politics dan Shadow State adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang”.

Demokrasi kerap dijadikan kambing hitam oleh sebagian kalangan atas tumpah ruahnya kebebasan yang kadang sulit dikendalikan. Demokrasi juga acapkali dipersalahkan atas tidak jelasnya arah perbaikan kondisi bangsa ini. Bahkan semenjak ribuan tahun yang lalu, demokrasi sudah terbaca belangnya oleh para filsuf dan guru etika seperti Plato, Aristoteles, ataupun Socrates.

Menurut mereka, demokrasi dapat melahirkan para kaum demagog, yaitu para orator ulung yang senang merayu, bersikap baik sesaat, dan menjual mimpi-mimpi utopis agar rakyat memilihnya. Namun setelah terpilih, rakyat dilupakan. Topeng-topeng semu itu kemudian dipakai kembali pada masa pemilihan selanjutnya (Focke, 1839).

Inilah konsekuensi dari sebuah pilihan. Kita bisa saja memilih sistem monarki atau aristokrasi. Namun tetap tidak ada jaminan bahwa kedua sistem pilihan tersebut lebih baik daripada sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Berkelindan dengan itu, hampir seluruh negara di dunia mengklaim dirinya adalah negara yang demokratis. Tentu dengan ciri dan karakternya masing-masing. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU) 2008, sebanyak 167 dari 193 negara berdaulat telah menerapkan sistem demokrasi. Dengan indeks demokrasi 6,34 (enam koma tiga empat), Indonesia berada dalam urutan ke-67 sebagai negara berkategori flawed democracy.

Singkatnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, demokrasi kini dianggap menjadi pilihan terbaik dari berbagai alternatif pilihan terburuk yang ada. Bilamana ditemukan kelemahan, maka jalan terbaiknya adalah dengan mengurangi dampak negatif dari kelemahan-kelemahan tersebut.

Biaya Pemilihan Umum

Salah satu ujung tombak dan barometer penerapan sistem demokrasi dari suatu negara adalah pemilihan umum. Proses inilah yang membuka ruang terjadinya pergantian, pergeseran, atau justru penguatan status quo dari kepemimpinan yang ada. Belum reda rasa lelah kita pasca pagelaran nasional Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, tahun ini masyarakat Indonesia menyelenggarakan ”pesta rakyat” secara bergiliran bertajuk ”Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Pemilukada).

Tidak tanggung-tanggung, 246 Pemilukada digelar sepanjang tahun 2010 di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Indonesia. Artinya, rata-rata hampir satu hari sekali telah dilangsungkan Pemilukada dengan harapan kepala daerah mampu menyerap aspirasi rakyat sebenar-benarnya.

Konsekuensinya, tulisan Jan Aart Scholte dan Albrecht Schnabel (2002) mengenai tesis ”Democray is not cheap nor easy” semakin terbukti. Tengoklah biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilukada ini. Menurut Litbang Kompas (18/10), penyelenggaraan Pemilukada 2010-2014 menelan biaya Rp 15 triliun atau 333% lebih besar dari biaya Pemilu Legislatif atau 133% dari biaya Pemilu Presiden tahun 2009. Menariknya, jumlah tersebut belum termasuk dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidatnya.

Bersama dengan para demagog, seorang kandidat konon memerlukan Rp 3 miliar s.d. Rp 20 miliar untuk mengincar kursi Bupati, Walikota, atau Gubernur. Belum lagi ditambah dengan biaya advokasi apabila bermaksud membawa kasus sengketa Pemilukada ke ranah hukum. Setidaknya puluhan hingga ratusan juta rupiah harus dirogoh dari kocek tiap-tiap kandidat untuk sekadar menyewa Advokat handal demi memindahkan arena ”pertempuran” dari lapangan ke dalam ruang persidangan. Berdasarkan data KPU, hingga akhir Oktober 2010 telah diselenggarakan 198 Pemilukada. Masygul, 189 kasus di antaranya telah didaftarkan menjadi sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, 43 dari 44 partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu 2009 lalu semuanya menggugat ke MK.

Money Politics dan Shadow State

Tidak semuanya sepakat bahwa besarnya biaya demokrasi yang dikeluarkan untuk Pemilukada hanyalah pemborosan bagi keuangan negara. Sebaliknya bagi kalangan pro-demokrasi, proses yang telah berlangsung haruslah dipermaklumkan. Alasannya, inilah perwujudan riil dari partisipasi rakyat, "one people one vote". Prinsip ini dinilai sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat pemilih. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu yang tidak jujur dan tidak adil tentu dapat menciderai Pemilu itu sendiri, misalnya apabila terjadi praktik money politics.

Istilah money politic (politik uang) atau vote buying (pembelian suara) tentu sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat kita. Inilah salah satu praktik politik paling kotor dalam Pemilu. Praktik ini dilakukan dengan cara pemberian uang, barang, atau jasa untuk memengaruhi para calon pemilih agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada tahap pemungutan suara. Dahulu, money politic hanya dapat terendus namun tidak terlacak bentuknya, sehingga amat jarang dijatuhkan sanksi bagi pelakunya. Kini, modus money politic lebih mudah dibuktikan secara terang benderang melalui mekanisme hukum yang berlaku.

Adalah sidang terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berulang kali mengungkap adanya praktik money politic yang terjadi sepanjang Pemilukada 2010. Beberapa pelaksanaan Pemilukada terbukti telah ternodai akibat terjadinya praktik money politic, misalnya: (1) Kota Surabaya, (2) Kota Tanjungbalai, (3) Kabupaten Kotawaringin Barat, (4) Kab. Mandaling Natal, (5) Kab. Konawe Selatan, (6) Kab. Sintang, (7) Kab. Gresik, (8) Kab. Sumbawa, dan (9) Kab. Merauke. Akibat hukumnya, kesembilan daerah ini harus melaksanakan pemungutan suara ulang. Khusus untuk Kab. Kotawaringin Barat, kandidat pemenang yang terbukti melakukan money politic sangat serius bahkan langsung didiskualifikasi!

Fakta yang demikian pastilah hanya puncak dari gunung es yang ada, sebab praktik money politic seperti ini merupakan sebagian saja dari pola ”permainan uang” (money games) dalam proses Pemilukada. Jenis lain yang tidak kalah bahayanya yaitu munculnya ”shadow state” (William Reno, 1990). Bentuk shadow state ini hadir dalam pola kekuasaan kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dengan memberikan peran dan keuntungan sesuai kepentingan pemilik modal yang telah berjasa dalam mendukung pencalonannya.

Di banyak daerah, para calon kepala daerah yang ”kering” modal kampanye akan berupaya untuk mendekati atau didekati oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dana berlebih. Timbal baliknya, apabila sang calon tersebut terpilih maka kebijakan harus dibuat untuk menguntungkan usaha, bisnis, atau investasi dari para pemodal itu.

Inilah yang kemudian menyebabkan banyak para calon kepala daerah, baik yang terpilih maupun tidak, menjadi tersandera dengan utang dan pinjaman modal masa lalunya. Di sinilah awal mula terjadinya perselingkuhan politik antara pemilik modal dengan calon kepala daerah. Jika tidak dengan cara korupsi konvensional, utang yang bertumpuk itu akan dibayar dengan program dan kebijakan yang pro capital sponsors.

Dari Monetocracy ke Plutocracy

Money politics dan shadow state adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang. Perpaduan keduanya dapat mengubah democracy menjadi monetocracy atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah moneytocracy atau moneycracy. Urban Dictionary mendefinisikan monetocracy sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana salah satu pengendali utamanya adalah kekayaan materi. Salah satu karakternya dapat dijumpai dari sejauhmana para penyumbang dana semasa kampanye mampu menentukan pasang surut kebijakan dan suhu politik yang ada.

Fenomena monetocracy ini umumnya marak terjadi pada negara-negara berkembang, seperti di Afrika, Asia Selatan, dan tentunya juga di Indonesia. Hal ini setidaknya dapat kita telusuri dalam "The Rise of Moneytocracy" (Africa Report, 1992) karya Karl Maier yang menggambarkan bagaimana uang menjadi faktor determinan dalam proses pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan di negara-negara Afrika.

Demokrasi yang telah bermetamorfosa menjadi monetocracy sudah pasti tidak akan menghasilkan kebijakan yang dapat diprediksi. Syahdan, Pemilukada yang dijangkiti virus monetocracy juga tidak dapat merefleksikan nurani dan keinginan dari para pemilih. Apalagi jika banyak dari mereka yang suaranya dibeli.

Sketsa antara politik dan siklus uang dalam Pemilukada tentu bisa ditarik ke atas peta yang lebih luas. Fenomena monetocracy juga dapat dijadikan gambaran untuk Pemilu Legislatif ataupun Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam lingkup roda pemerintahan yang lebih luas, monetocracy kadangkala disepadankan dengan plutocracy. Berasal dari bahasa latin yaitu ploutos (kekayaan) dan kratia (pemerintahan), secara sederhana plutocracy bermakna pemerintahan yang dikuasai atau dikontrol oleh orang-orang yang memiliki uang atau kekayaan.
Tanpa harus selalu menjadi orang nomor satu, pada umumnya perorangan atau sekelompok orang ini akan terus membayang-bayangi pemerintahan. Tujuannya jelas, yaitu agar kebijakannya selalu berpihak atau setidak-tidaknya jangan sampai merugikan kepentingannya. Hal ini nampak terjadi manakala pemilihan umum telah dilepas sepenuhnya kepada pasar, media publik, dan partai politik yang sejak awal memang dimiliki dan dijalankan oleh para kaum pemodal itu sendiri. Proses pemilu, pemilihan jabatan publik, dan kepentingan pemerintah juga tidak tertutup kemungkinan menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan.

Dalam konteks ini, pemerintahan pusat ataupun daerah yang dibentuk melalui embrio monetocracy sangat dikhawatirkan akan melakukan korupsi politik (political corruption). Dalam disertasinya ”Korupsi Politik di Negara Modern” (2007), Artidjo Alkotsar menyimpulkan bahwa korupsi politik muncul pada habitat kekuasaan yang memiliki hak dan diskresi politik yang luas serta memiliki kesempatan dan sarana untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam kualifikasi Top Hat Crime (THC), modus operandinya dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan politik pemerintahan dengan menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kroninya.

Korupsi politik inilah yang kemudian menjadi beban utama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010 yang baru saja diluncurkan oleh Transparency International, Indonesia terbukti masih tetap bertengger diposisi ke-100 dari 178 negara dengan indeks 2,8 (dua koma delapan). Tidak mengherankan bukan?

Menutup tulisan ini, setelah melaksanakan tiga kali pemilihan umum nasional tanpa kegaduhan dan anarki politik yang berarti, Indonesia diyakini telah melewati masa transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokratis. Namun demikian, dalam satu dasawarsa ke depan Indonesia masih harus menghadapi ujian berikutnya.

Akankah demokrasi yang diusung di atas gelombang reformasi tetap berada dalam bentuk dan wujud sebenarnya? Ataukah justru demokrasi Indonesia akan berubah menjadi monetocracy yang membawa pada puncak kedzaliman plutocracy? Persoalan ini akan terjawab dari sejauh mana kesadaran politik dari elit bangsa serta pendidikan politik masyarakat sipil akan dibangun. Semoga apa yang menjadi kekhawatiran kita - atau setidaknya kekhawatiran penulis - tidak akan terjadi.

* Penulis adalah Staf Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Friday, October 01, 2010

Resensi Buku: "The Constitutional Law of Indonesia"

HTN INDONESIA DALAM BAHASA INTERNASIONAL

Judul Buku: "The Constitutional Law of Indonesia: A Comprehensive Overview"
Bahasa: Inggris
Penulis: Jimly Asshiddiqie
Halaman: li + 751
Tahun : 2009

Penerbit
: Sweet & Maxwell Asia
Distributor Indonesia:
PT Ina Publikatama
Peresensi: Pan Mohamad Faiz, Staf Ketua Mahkamah Konstitusi
Dimuat di Media: Majalah Konstitusi Edisi Agustus 2010

Bergulirnya reformasi konstitusi yang dimulai sejak 1999 sampai dengan 2002 telah mengubah kehidupan bangsa Indonesia secara fundamental. Konfigurasi tata negara yang berubah dan kian berkembang telah pula melahirkan tumbuh suburnya beragam teori dan praktik sistem ketatanegaraan terbaru. Tidak sulit sebenarnya untuk menemukan hal-hal tersebut. Apabila kita hunting ke toko buku maka puluhan literatur dan buku seputar hukum tata negara akan nampak berderet memenuhi rak-rak kategori bidang hukum. Jikalau ingin mencari teori yang lebih spesifik lagi maka perpustakaan hukum menjadi alternatif tempat yang harus dituju.

Artinya, banyak sudah literatur hukum tata negara yang dengan mudah dapat kita temukan sekarang ini. Namun di antara varian buku hukum tata negara itu, sepertinya baru ada satu buku teks Hukum Tata Negara yang diterbitkan secara komprehensif dengan menggunakan medium bahasa Inggris, yaitu “The Constitutional Law of Indonesia” karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Penerbit berkelas dunia, Sweet & Maxwell Asia bersama Thomson Reuters, menggandeng Guru Besar HTN UI itu untuk memenuhi permintaan para akademisi dan praktisi internasional yang kering akan buku berbahasa Inggris tatkala ingin mempelajari sistem ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi. Pengantar dari 3 (tiga) Guru Besar Bidang Hukum yang menjadi pembuka di dalam buku ini, yaitu Prof. Siegfried Bross (University Freiburg, Germany), Prof. Tim Lindsey (Melbourne Law School, Australia), dan Prof. Mark Cammack (Southwestern Law School, USA), menunjukan betapa sistem ketatanegaraan Indonesia kini telah menjadi salah satu obyek kajian dan perhatian dunia.

Dengan hadirnya buku ini, terjawab pula berbagai pertanyaan dari para akademisi dan praktisi hukum baik di tingkat nasional maupun internasional untuk menemukan padanan istilah Hukum Tata Negara Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Begitu pula dengan para diplomat dan akademisi Indonesia yang kini tengah berada di luar negeri, buku ini dapat menjadi referensi khusus pada saat menjalankan tugas negara ataupun menyelesaikan penulisan akhir.

Sebagai salah satu pakar hukum konstitusi yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK periode 2003-2008, tulisan Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang ke-35 ini tentu tidak perlu diragukan lagi substansinya. Semua hal yang terkait dengan ketatanegaraan Indonesia diuraikan secara rinci dalam 10 (sepuluh) Pokok Bahasan, yaitu (i) Introduction of Constitutional Law, (ii) the Development of the Indonesian Constitution, (iii) the Idea of the Sovereignty of the People and Parliamentary Institutionalisation, (iv) the Form of Indonesian Law Products, (v) the Form of State and Governmental System, (vi) Regional Governance, (vii) Judicial Powers, (viii) Human Rights, Citizenship and Immigration, (ix) Political Parties and General Election, dan (x) State Finance Law.

Selain dari sisi substansinya, buku ini tentu menjadi penting secara simbolik ditengah-tengah arus pemikiran global tentang ketatanegaraan di berbagai negara dunia. Sebab bukan tidak mungkin, dimulai dari buku ini, negara-negara dunia akan belajar banyak dari sistem ketatanegaraan yang kita miliki atau setidak-tidaknya menjadi acuan untuk kawasan Asia. Sementara bagi mereka yang mengaku sebagai penganut paham konstitusionalis Indonesia, buku ini menjadi literatur wajib yang harus dibaca. (*)

Wednesday, July 28, 2010

Kolom Opini: Dilema Kekosongan Komisioner Komisi Yudisial

DILEMA KEKOSONGAN KOMISIONER KOMISI YUDISIAL

Pan Mohamad Faiz
Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)

(Dimuat dalam Kolom Opini Koran Seputar Indonesia pada Sabtu, 24 Juli 2010)

Satu persoalan krusial masih membelit praktik administrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Pasalnya, jabatan Komisioner Komisi Yudisial (KY) yang akan berakhir 2 Agustus mendatang diperkirakan akan mengalami kekosongan.

Setidaknya proyeksi demikian nampak terlihat dari keterlambatan proses penyeleksian calon anggota KY. Panitia Seleksi (Pansel) KY memang tidak dapat dipersalahkan serta merta. Selain mereka baru menerima mandat untuk bekerja pada 23 April 2010, di awal kinerjanya pun sempat terhambat akibat lambatnya pencairan anggaran dari Pemerintah. Padahal, Ketua KY sendiri telah mengirimkan surat kepada Presiden agar segera dibentuk Pansel sejak Februari 2010 yang lalu.

Berbeda dengan banyak UU yang lain, Pasal 28 UU KY menggariskan secara rinci tenggat waktu di tiap-tiap tahapan proses penyeleksiannya. Apabila dihitung secara ideal maka proses tersebut memerlukan waktu 165 hari atau sekitar 6 (enam) bulan. Salah satu alasan yang melandasi rincian waktu tersebut yakni adanya itikad agar tercipta tertib administrasi ketatanegaraan yang baik guna memperoleh hasil seleksi yang optimal.

Kini fakta berbicara lain. Pansel KY telah menyatakan ktidakmungkinannya untuk menyelesaikan tugas sebelum 2 Agustus. Alasannya, Pansel tidak ingin melanggar UU hanya sekedar untuk mengejar tenggat waktu penyeleksian. Apalagi proses ini juga akan melibatkan DPR untuk memilih dan menetapkan tujuh calon anggota yang diajukan oleh Presiden.

Oleh karenanya, besar kemungkinan Pansel hanya dapat memangkas sekitar 40 hari guna mempercepat proses penyeleksiannya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan status Komisioner KY pasca berakhirnya masa jabatan mereka? Sebab Pasal 29 UU KY secara tegas menyatakan bahwa Anggota KY memegang jabatan selama 5 (lima) tahun. Konsekuensi logisnya, lebih dari 5 (lima) tahun akan berpotensi melanggar UU.

Keppres atau Perppu?

Menghadapi kondisi dilematis yang demikian, muncul beragam pendapat agar masa jabatan Anggota KY saat ini diperpanjang hingga selesainya proses pengangkatan Anggota yang baru. Kekosongan jabatan di dalam tubuh KY tentu tidak boleh terjadi. Sebab, hal tersebut sedikit-banyak akan mengganggu kinerja KY yang kian hari kian berat. Dari data terakhir, KY masih harus menindakanjuti 7.700 pengaduan masyarakat dari 33 Provinsi se-Indonesia terkait dengan dugaan “hakim nakal”.

Tidak kalah pentingnya, KY pun kini tengah menuntaskan proses penyeleksian Hakim Agung. Kesepakatan untuk menyelamatkan KY dengan memperpanjang masa jabatan Komisioner saat ini dilihat sebagai jalan terbaik dari berbagai pilihan terburuk yang ada. Akan tetapi, apa landasan hukum yang mampu mewadahi keputusan tersebut? Pandangan terhadap hal ini terpecah menjadi dua, yaitu cukup dengan Keputusan Presiden (Keppres) atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Pemerintah tentu harus tepat untuk menentukan keputusannya sebab masing-masing mempunyai alasan dan implikasi yuridis yang berbeda. Secara yuridis, memperpanjang masa jabatan Anggota KY dengan Keppres sebenarnya cukup lemah. Keppres tidak dimungkinkan menerobos ketentuan masa jabatan yang telah ditetapkan dengan tegas oleh undang-undang.

Berdasarkan Pasal 7 UU 10/2004, Keppres juga tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, derajat Keppres jauh lebih rendah dari UU yang sifatnya mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Pengangkatan atau pembehentian jabatan memang dapat menggunakan Keppres, tetapi tidak untuk memperpanjang masa jabatan yang telah diatur dengan undang-undang secara pasti.

Dibandingkan dengan Keppres, pilihan mengeluarkan Perppu tentu akan lebih relevan. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (noodverordeningsrecht). Selain memiliki materi muatan yang sama, hierarki Perppu juga sederajat dengan UU. Perbedaannya terletak pada proses pembentukannya yang tidak melibatkan lembaga legislatif.

Perdebatan kemudian terjadi, apakah potensi terjadinya kekosongan jabatan KY dapat dinilai memenuhi unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa? Memang tidak banyak literatur khusus yang dapat mengurai secara lengkap mengenai Perppu di Indonesia. Akan tetapi setidaknya kita dapat merujuk tafsir resmi Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Dalam Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, MK menafsirkan bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang. Pada saat itu dinyatakan bahwa perihal ”kegentingan yang memaksa” menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

Namun belum lama ini, dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, MK memperjelas kembali bahwa unsur subyektifitas Presiden harus didasarkan atas keadaan objektif. Untuk itu ditentukan tiga syarat dalam menentukan paramater adanya kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, umdamg-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadai; Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Tentukan Pilihan

Melihat perbandingan alasan di atas, mengambil langkah dengan mengeluarkan Perppu tentu lebih kuat landasannya secara ilmu perundang-undangan, kecuali Pemerintah setuju menggunakan mekanisme lain. Misalnya seperti di Jerman yang menciptakan konvensi, yaitu kebiasaan praktik ketatanegaraan yang tidak tertulis. Dalam beberapa kasus penyelenggaraan pemerintahan di Jerman, kondisi demikian biasanya diselesaikan melalui perpanjangan masa jabatan dengan sendirinya.

Namun, hal tersebut harus didahului dengan persetujuan bersama dari Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya yang terkait. Kelemahannya, konvensi demikian lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan public distrust terhadap administratur negara. Dalam masa injury time seperti sekarang ini, apabila tidak diambil langkah cepat maka dalam hitungan hari kita semua akan menjadi saksi hampanya Komisi Yudisial tanpa Komisionernya.

Membiarkan jabatan kosong memang akan nihil atas kesalahan produk hukum perpanjangan Komisioner. Akan tetapi, sengaja membiarkan suatu lembaga negara lumpuh dan menjadi tidak berfungsi juga tidak dibenarkan dalam praktik ketatanegaraan. Minimal hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran konstitusi melalui pembiaran (constitutional violation by omission).

Ini tentu menjadi pertanda sekaligus pelajaran berharga, baik bagi Pemerintah maupun DPR sebagai lembaga pengawas, betapa perhatian terhadap KY masih sangat kurang. Padahal, KY dibentuk dan menjadi organ konstitusi yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945. Nasi memang sudah menjadi bubur, tetapi kini Presiden harus segera menentukan, mau jadi apa bubur itu sekarang. (*)

Lawan Teror!

Pagi-pagi ini dikala banyak bola mata menyaksikan laga World Cup antara Jerman dan Spanyol, kita dikagetkan dengan berita peristiwa penganiayaan salah satu aktivis ICW.

Entah berkelindan atau tidak, banyak pihak kemudian menghubungkannya dengan peristiwa pelemparan bom molotov ke kantor TEMPO beberapa hari lalu.

Apapun motif di balik semua itu, bagi saya segala bentuk teror harus dilenyapkan. Masyarakat butuh rasa aman dan nyaman dalam kesehariannya.

Untuk mencurahkan isi hati maka di saat senggang saya tulis beberapa bait sebagai rasa belasungkawa kepada para korban dan keprihatinan mendalam atas merebaknya teror akhir-akhir ini.

Semoga bisa menggantikan sementara kewajiban saya sebagai salah satu bagian masyarakat yang masih peduli pada suara kebenaran dan keadilan di negeri ini. Check this out!

---

“LAWAN TEROR!”

Tempo & ICW in da House yo’..
Gelorakan semangat anti korupsi.
Lawan teror walau penuh intimidasi.
Molotov, parang, atau di balik jeruji.
Kita jangan pernah surut berhenti.

Hujan pun mulai membasahi bumi.
Tanda berkabung terhadap ibu pertiwi.
Mari semua, suarakan hati nurani.
Bergerak, bersama masyarakat madani.

Reff: Seret pelaku segera diadili.
Tegakan hukum, gunakan logika pasti.
Jangan seperti sinetron di layar TV.
Drama kosong, penuh manipulasi!

Ini adalah murni suara hati.
Tak terbendung melihat kondisi terkini.
Ku hanya bisa berucap lewat ibu jemari.
Semoga Tuhan mendengarkan syair ini.

Jakarta, 8 Juli 2010 – 10:30 WIB
Diposting pertama kali via Twitter: @panmohamadfaiz

Wednesday, May 19, 2010

Quo Vadis Pemberantasan Mafia Hukum?

QUO VADIS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM?

Pan Mohamad Faiz *

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)

Email: pan.mohamad.faiz@gmail.com

Sumber: Majalah Inovasi Online (ISSN 2085-871X) Edisi Vol. 16/XXII/Maret 2010 (Download)

1. Pendahuluan

“Geger!” Demikian ungkapan yang mungkin tepat untuk melukiskan suasana ingar-bingar dunia hukum di Indonesia pasca peristiwa pemutaran rekaman penyadapan atas ‘perselingkuhan hukum’ dalam proses pembuktian di persidangan Mahkamah Konstitusi menjelang akhir penghujung tahun lalu. Betapa tidak, pemutaran rekaman yang disiarkan secara langsung ke berbagai stasiun televisi dan radio akhirnya membuktikan secara nyata bahwa mafia hukum itu ternyata benar adanya baik berupa wujud maupun jaringannya.

Syahdan, publik terkejut dan akhirnya menyeruak hingga turun ke jalan. Fenomena “Cicak versus Buaya” menjadi mahakarya sinetron teranyar di seantero negeri. Tak tanggung-tanggung, untuk meredam kontroversi hukum yang berlarut-larut ini, Presiden terpaksa mengeluarkan kebijakan untuk membentuk “Tim 8” menyusul dibukanya PO BOX 9949 dengan Kode “Ganyang Mafia”, hingga pembentukan “Tim Satgas Mafia Hukum”. Prestasi awal memang cukup menggembirakan. Tim Satgas kembali mempertegas betapa mafia hukum telah bersarang hingga ke sudut-sudut sel tahanan ketika mereka menemukan para terpidana kasus korupsi besar ternyata memiliki ruang tahanan yang mewah bak hotel bintang lima.

Pertanyaannya kini, apa yang sejatinya harus dilakukan untuk memberantas mafia hukum tatkala hampir sebagian besar fakta dan data yang ada telah terpetakan? Sementara itu, penulis kembali teringat ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD., ketika membuka acara Debat Publik “Akar-Akar Mafia Peradilan” yang belum lama ini diselenggarakan di Jakarta dengan mengucapkan, “Sudah habis teori di gudang!”. Artinya, hendak ditegaskan lagi olehnya bahwa untuk memecahkan masalah mafia hukum, sudah banyak pihak yang memberikan beragam teori dan menghasilkan studi, cetak biru, kesimpulan, dan rekomendasi, termasuk yang secara resmi dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersinggungan langsung dengan permasalahan mafia hukum ini.

Namun faktanya, tak banyak perubahan signifikan yang kita rasakan, kalaupun ada sifatnya bagai terapi kejut (shock therapy) saja. Kondisi ini akhirnya menegasikan, benarkah bangsa Indonesia hanya pandai membuat rencana saja, namun tidak pandai menjalankannya? Ataukah memang problematika mengenai mafia hukum ini sangat teramat rumit yang tidak saja telah mengakar, namun juga telah mendarah daging dalam tubuh para oknum pelaku dan institusi hukum?

Atas dasar pernyataan dan pertanyaan itulah, tulisan singkat ini justru tidak bermaksud sekedar untuk menambah deret khazanah teori, pun juga tidak berkeinginan untuk menggarami lautan. Akan tetapi, lebih pada wujud representasi kegelisahan intelektual yang mungkin juga sedang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Syukur apabila kemudian dalam goresan ini ternyata terdapat tawaran solusi yang lebih baik dari apa yang telah ada sebelumnya.

2. Lahan dan Praktik Mafia Hukum

Masyarakat tentu bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih gamblang memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya.

Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya saja.

Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.

Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.

3. Tersandera Lingkaran Setan

Harus diakui bahwa pasca reformasi, pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap sistem yang dianggap telah korup.

Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuk aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal.

Bagaikan lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”.

Sementara itu, mereka yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan.

4. Menyelamatkan Generasi

Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.

Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi!

Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.

Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicero di tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.

Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.

Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.

5. Peran Civil Society dan Mass Media

Perjalanan sejarah Indonesia selalu terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping negara (state) dan pasar (market).

Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum. Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K. Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), dan transmisi nilai (value transmission).

Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa peran civil society dan mass media membawa pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati Garut”. Tidak saja elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan kegiatan citizen journalism lainnya melalui Blog.

Tren global seperti di Chile, Maladewa, Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO, aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan internet dan media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies), khususnya internet, telah menyebabkan dunia bagaikan lempeng yang datar.

Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945.

6. Penutup

Memberantas mafia hukum bukanlah perkara yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi faktor penyebab utama atas bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Tak ayal berkembang perumpaman bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa.

Bagaikan problema kemiskinan dan praktik korupsi, mafia hukum memang tak dapat ditumpas hingga titik nol. Namun demikian, optimisme, upaya, dan usaha pemberantasannya tidak pernah boleh berhenti sedikit pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing.

Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung. Jika demikian jadinya, quo vadis pemberantasan mafia hukum?

***

* Penulis adalah Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Monday, March 29, 2010

Liputan Berita: "Ayo Menulis Isu Hukum di Dunia Maya!"

AYO MENULIS ISU HUKUM DI DUNIA MAYA!

JAKARTA – Blawgger Indonesia. Tujuan awal dibentuknya komunitas ini sebagai ajang silaturahim dan untuk memancing lebih banyak lagi orang-orang hukum menulis isu-isu hukum. Kebanyakan orang memang sudah tak asing lagi dengan istilah blog, sebuah site pribadi yang berisi ajang curhat (curahan hati) kehidupan sehari-hari. Namun, dalam prakteknya, blog tak lagi hanya sebagai ajang curhat semata. Ada juga pemilik blog atau blogger yang menulis persoalan-persoalan yang teraktual. Misalnya, isu-isu hukum.

Para blogger yang aktif menulis isu-isu hukum menyebut dirinya sebagai blawgger. “Dia bisa jadi bukan lawyer, bisa siapa saja, asalkan dia menulis tentang hukum,” ujar Anggara, salah seorang pendiri komunitas blawgger di Indonesia, kepada hukumonline, Jumat (5/3). Lalu apakah ada ukuran seberapa banyak blogger menulis sebuah isu hukum sehingga bisa disebut sebagai blawgger?

Anggara menilai tak ada ukuran baku. Syarat utamanya adalah blogger tersebut menulis isu-isu hukum secara konsisten. “Dia boleh saja menulis isu lain, tapi dia juga harus menulis isu-isu hukum,” jelas Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini.

Namun, jika anda ingin tahu siapa saja blawgger di Indonesia, silahkan mampir di situs www.blawgerindonesia.blogspot.com. Ini lah tempat para blawgger Indonesia ‘berkumpul’. “Itu situs agregator atau pengumpan. Semua menulis di tempat (blog) masing-masing. Cuma diagregat ke situ,” jelasnya.

Sejak 2007, Anggara bersama rekan-rekannya mengumpulkan para blawgger. “Kami minta izin agar blawg mereka kami link ke blog itu,” ujarnya. Tak hanya itu, Anggara juga membuka pintu lebar-lebar buat para blawgger untuk bergabung ke komunitas itu.

This blog is only a social network of Indonesian Blawgger. If you are an Indonesian Blawgger, please sent email to anggara at anggara dot org and we will add your blawg,” demikian ajakan yang terpampang dalam blog tersebut.

Tujuan dibentuknya komunitas ini sebenarnya hanya simpel, yakni sebagai ajang perkenalan di antara para blawgger. “Gagasannya supaya kita saling mengenal saja,” ujarnya. Selain itu, komunitas ini juga bertujuan untuk memamping orang-orang hukum rajin menulis. “Dulu, niatnya untuk memperbanyak orang hukum menulis. Kalangan hukum kan jarang menulis,” ungkapnya.

Di komunitas ini juga tak ada aturan main khusus. Pan Mohammad Faiz, yang juga ikut membidani komunitas ini, menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca. “Kita tak buat aturan main. Biar pasar yang menilai. Yang paling penting, konsistensi menulis,” ujar Staf Hakim Mahkamah Konstitusi ini.

Faiz, sapaan akrabnya, mengatakan perkembangan blawgger di Indonesia memang tidak terlalu pesat. Ia mencatat hanya sekitar puluhan blawgger yang masuk kategori menengah serius menulis isu-isu hukum secara konsisten. Namun, ia yakin perkembangan ke depan akan lebih pesat daripada sekarang. Ia melihat sudah banyak mahasiswa-mahasiswa hukum yang memulai membuat blawg. “Kalau dihitung mahasiswa yang mau mulai, ya bisa mencapai ratusan,” ujarnya.

Praktek ini memang berbeda dengan yang terjadi di luar negeri. Di sana, lanjut Faiz, istilah blawg sudah sangat populer. “Di Indonesia, mungkin masih sedikit yang menggunakan kata ‘blawg’. Tapi di luar negeri, misalnya, di Amerika Serikat atau Eropa sudah banyak yang menggunakan istilah ini,” jelasnya. Bahkan, lanjutnya, para profesor-profesor hukum pun membuat blog secara sederhana.

Beragam Latar Belakang

Anggota komunitas blawgger berasal dari latar belakang profesi yang beragam. Ada advokat, mantan pejabat, polisi, mahasiswa, peneliti hingga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Blawg milik mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra pun terpampang dalam situs agregator tersebut. Bahkan, Yusril sempat menceritakan kronologis kasus Sisminbakum yang menyeret namanya lewat blawg miliknya tersebut.

Anggota Wantimpres Bidang Hukum, Jimly Asshiddiqie lebih serius menggarap blawgnya dengan meluncurkan situs pribadi www.jimly.com. Bukan hanya pejabat tinggi negara, para terpidana pun mempunyai blawg sendiri. “Mereka menceritakan pelanggaran-pelanggaran hukum yang diterimanya,” ujar Faiz.

Meski nama komunitas ini blawgger Indonesia, bukan berarti ‘anggota’nya harus berkewarganeraan Indonesia. Rob Baiton, seorang pakar hukum Indonesia berkebangsaan Australia, juga tercatat sebagai anggota komunitas ini. Tulisan-tulisan berbahasa Inggris terkait isu hukum di Indonesia tentu semakin membuat hukum Indonesia semakin dikenal di manca negara.

Saat ini, blog memang mulai tergerus dengan hadirnya situs pertemanan seperti facebook yang juga memiliki sarana untuk menuangkan pemikiran si pemilik account. Namun, blog –khususnya blawg- tentu sudah mempunyai pangsa pasarnya sendiri. Namun, apa pun sarananya, kegiatan tulis menulis ini memang harus terus dilakukan sebagai pembangunan hukum Indonesia ke depan. Ayo menulis isu-isu hukum di dunia maya!! (Ali)

Sumber: Hukum Online – Kamis, 11 March 2010 (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b98882e0dc7c/blawgger)


Liputan Berita: "Kemendagri Salah Artikan Kewenangan Gubernur"

KEMENDAGRI (JANGAN) SALAH ARTIKAN KEWENANGAN GUBERNUR

JAKARTA – Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) Pan Mohammad Faiz memperingatkan agar penguatan kewenangan gubernur tidak disalahtafsirkan. Kewenangan gubernur seperti yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 hendaknya tidak sampai keluar jalur.

“PP Nomor 19 Tahun 2010 jangan disalahtafsirkan. Kewenangan pemberian sanksi, termasuk bisa memberhentikan para kepala daerah seperti bupati dan wali kota. Pemberhentian harus tetap sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004,” tegas Pan Mohammad Faiz, di Jakarta, Senin (22/3).

Faiz mengemukakan itu me respons pernyataan Dirjen Oto nomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sodjuangon Situmorang saat menghadiri rapat koordinasi kepala daerah di Padang, kemarin. Sodjuangon mengatakan aturan pemerintahan yang baru memberikan kewenangan lebih pada gubernur untuk memberhentikan wali kota dan bupati.

Kewenangan itu muncul setelah PP Nomor 19 Tahun 2010 diterapkan. “Sangat memungkinkan bila gubernur memberhentikan wali kota atau bupati karena sesuai dengan peraturan pemerintah yang segera diterapkan,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sodjua ngon Situmorang.

Menurut Sodjuangon, aturan itu dilahirkan untuk memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengefi siensikan pelaksanaan roda pemerintahan daerah. Sebelum PP itu diterbitkan, gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menegur, bahkan memberhentikan kepala daerah setingkat bupati dan wali kota.

“Sanksi ini bisa dijatuhkan pada bupati dan wali kota yang tidak loyal pada keppres maupun peraturan daerah (perda),” kata Sodjuangon.

Berdasarkan UU Faiz mengatakan kewenangan gubernur yang dapat memberikan sanksi pada para bupati dan wali kota memang termuat dalam PP Nomor 19 Tahun 2010, yang merujuk pada ketentuan PP Nomor 08 Tahun 2008. PP itu mengatur tentang tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah.

Dalam konteks ini, kata dia, penguatan peran gubernur dengan diberikannya kewenangan memberikan sanksi pada bupati dan wali kota masuk hukum administrasi. Untuk mekanisme pemberhentian, tetap harus dikembalikan pada ketentuan seperti yang tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

“Kewenangan kepala daerah atau wakil kepala daerah masih berada di tangan Presiden. Artinya legitimasi pemilihan langsung kepala daerah di kabupaten dan kota oleh rakyat harus tetap seperti dulu,” ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, mengatakan bila dalam PP itu ada kewenangan gubernur untuk memberhentikan bupati dan wali kota, jelas itu bertentangan dengan konstitusi.

“Sebab, menurut Pasal 18 A Undang-undang Dasar 1945, pemerintah kabupaten dan kota itu bukan subordinat pemerintah provinsi. Bupati dan wali kota itu bukan anak buah atau bawahannya gubernur,” tukasnya. (ags/Ant/P-1)

Sumber: Koran Jakarta – Selasa, 23 Maret 2010 (http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=48091)


Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap Simbol-Simbol Negara

REFORMASI HUKUM DAN SINERGITAS ANTARLEMBAGA NEGARA: Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap Simbol-Simbol Negara[1]

Disampaikan dalam Focus Group Discussion LEMHANAS

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]

“Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi hukum. Rasanya bukan hukum (dalam makna sempit) yang diburu masyarakat, tetapi hal yang lebih substansial, yaitu keadilan”

(Satjipto Rahardjo, 1930-2010)

Pendahuluan

Bangsa Indonesia baru saja melewati perhelatan akbar di tingkat nasional, yaitu Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil Presiden pada 2009. Sebagai ujung tombak demokrasi, proses dan hasil Pemilu tentunya membawa konsekuensi penting bagi kelanjutan kehidupan bernegara dari suatu bangsa. Dalam konteks ini, tahun 2009 seharusnya dinisbatkan menjadi tahun pendidikan berpolitik bagi rakyat Indonesia, namun yang terjadi justru berbeda, sebab yang lebih terekam adalah tahun dimana terjadi carut-marut dalam dunia penegakan hukum.

Alasannya sederhana, sederet peristiwa hukum secara berturut-turut menjadi potret buram di tengah-tengah pandangan masyarakat Indonesia. Mulai dari kisruh terjadinya ribuan sengketa pemilihan umum, penjatuhan bermacam vonis pengadilan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil, hingga episode silang sengkarut kasus hukum “Bibit-Chandra”.

Tidak berhenti sampai di situ saja, terbukanya fakta-fakta tentang praktik terselubung mafia peradilan serta terungkapnya fenomena istana mewah dalam penjara, semakin mendedahkan ketidakberesan kondisi negara hukum Indonesia selama ini. Terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian besar rakyat nampak dipenuhi peluh rasa kecewa, pasalnya tuntutan atas pelaksanaan reformasi hukum yang telah digulirkan sejak 12 (dua belas) tahun silam belum memberikan perubahan yang signifikan bagi kelangsungan hidup mereka secara riil.

Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat (people distrust) terhadap lembaga negara yang ada sekarang ini, khususnya kepada institusi dan aparat penegak hukum, semakin menjadi-jadi. Demonstrasi demi demonstrasi terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat sipil (civil society) atas kinerja pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Situasi pun tidak mereda dengan sendirinya, karena langsung disusul dengan menghangatnya suasana politik nasional pasca digelarnya sidang Pansus DPR RI atas kasus Bailout Century. Sebagian publik yang sudah terlanjur kecewa menunggu-nunggu dengan penuh pesimistis, peristiwa dan alasan apa lagi yang dapat membuat mereka semakin berani untuk mendelegitimasi simbol-simbol negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan.

Bak efek bola salju, apabila tidak ada penanganan dan penyelesaian secara cepat, tepat, dan terarah, tentu ketidakpercayaan publik tersebut akan semakin membesar hingga pada saatnya nanti akan “meledak” tak tentu arah yang berakibat pada tindakan-tindakan yang sama sekali tidak kita harapkan, sebagaimana misalnya terjadi pada awal masa reformasi 1998 dahulu.

Berdasar uraian tersebut di atas, tulisan singkat yang berangkat dari perspektif sosiologi hukum ini hendak menggambarkan situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan agenda reformasi hukum. Hal tersebut salah satunya terlukiskan dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol negara secara luas yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga negara, khususnya institusi hukum, dalam menjalankan roda pemerintahan.[3]

Konsepsi Negara Hukum

Beranjak dari sejarah pembentukan negara Indonesia, para founding parents kita menanamkan cita-cita bernegara berupa negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Berulang kali pula kita diwarisi pemikiran untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hal ini kemudian dipertegas oleh para the 2nd founding parents dengan mengangkat derajat konsepsi negara hukum pada saat melakukan perubahan keempat UUD 1945 yang sebelumnya hanya diletakkan pada Penjelasan UUD 1945 menjadi tegas tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Pencantuman ini membawa konsekuensi lanjutan bahwa hukum haruslah menjadi panglima dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, negara hukum itu harus dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai satu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sistem tersebut kemudian dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[4]

Dengan mengelaborasi konsep negara hukum yang diperkenalkan oleh Julius Stahl, A.V. Dicey, The International Commission of Jurist, Utrecht, Scheltema, Tahir Azhary, dan Brian Tamanaha; Jimly Asshiddiqie merumuskan kembali ide-ide pokok tentang konsepsi negara hukum Indonesia yang terdiri dari 13 (tiga belas) prinsip, yaitu:[5]

  1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
  2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
  3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
  4. Pembatasan Kekausaan (Limitation of Power)
  5. Organ-Organ Campuran yang Bersifat Independen (Independent Mixed-Organs)
  6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial Judiciary)
  7. Peradilan Tata Usaha Negara (Administrative Court)
  8. Peradilan Tata Negara (Constitucional Court)
  9. Perlindungan Hak Asasi Manusia (Protection of Human Rights)
  10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
  11. Negara Kesejahteraan (Welfare Rechtstaat)
  12. Transparansi dan Kontrol Sosial (Transparency and Social Control)
  13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (The one and the only God)

Pertanyaannya kini, sudah sejauhmanakah Indonesia melaksanakan cita negara hukum tersebut? Sudahkah arah reformasi hukum kita berjalan pada track yang benar? Atau jangan-jangan, euforia kebebasan yang dibuka lebar-lebar melalui pintu reformasi justru menjadi beban tersendiri yang menyebabkan Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam pembangunan hukum. Untuk itulah perlu kiranya kita menelaah terlebih dahulu capaian reformasi dalam tata realitas sekarang ini guna menjawab segala pertanyaan tersebut.

Realitas Reformasi Hukum

Dalam perspektif politik Indonesia, permulaan era reformasi merujuk pada saat pengundurkan diri Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Hal tersebut disebabkan adanya demonstrasi besar-besaran dari elemen rakyat dan mahasiswa di tengah-tengah anjloknya nilai-nilai perekonomian bangsa dan tidak terkendalinya kondisi sosial, hukum, dan keamanan negara.[6]

Pada saat itu, tuntutan reformasi di bidang hukum bergema sekurang-kurangnya pada ranah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Korupsi (KKN); amandemen UUD 1945, reformasi peradilan yang mandiri dan tidak memihak, jaminan atas HAM dan tuntutan atas pelaku kejahatan HAM, serta dibukanya ruang partisipasi aktif masyarakat serta keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari sederet tuntutan reformasi tersebut, beberapa hal yang setidaknya tampak terlihat jelas hasilnya walaupun belum sempurna, seperti misalnya amandemen UUD 1945 dan terbukanya ruang pastisipasi warga dalam pembentukan undang-undang. Sedangkan pencaian terhadap agenda lainnya masih terlihat samara-samar.

Tak dapat dipungkiri, arah reformasi di bidang hukum tercerai-berai, bahkan berjalan tersendar-sendat. Hal tersebut dapat ditangkap dengan mudah apabila kita berkaca pada masih lemahnya penegakan hukum (“low” enforcement) yang kadangkala juga masih bersikap diskriminatif. Belum lagi ditambah dengan rusaknya mental dan moralitas aparat penegak hukum yang seringkali memperjual-belikan kasus hukum hampir di setiap lini, mulai dari penyidikan, penyelidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga eksekusi putusan.

Sementara itu, dibukanya pintu partisipasi dalam legislasi ternyata tidak juga membuat produk-produk hukum benar secara kualitas, salah satunya penyebabnya adalah sebagian legislator yang baru terpilih dinilai kurang memiliki kapasitas yang memadai. Hal ini setidaknya terbukti dari masih banyaknya undang-undang yang dibatalkan di hadapan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Berbagai problem tersebut secara teoritis memang telah diproyeksikan terjadi, sebab Indonesia sedang mengalami masa transisi dari suatu pemerintahan yang otoriter ke suatu pemerintahan yang lebih demokratik. Mengambil istilah Samuel P. Huntington, kondisi demikian dinamakan sebagai “transplacement”, yaitu kondisi di mana pemerintahan Indonesia baru yang transisional pasca reformasi masih merupakan kombinasi antara para aktor baru dan sisa-sisa aktor pada rezim sebelumnya, sehingga yang terbit bukanlah suatu pemerintahan yang sama sekali baru. Kondisi inilah yang kemudian dianggap menjadi kendala utama bagi upaya pelaksaan reformasi hukum.[7]

Hal lain yang dianggap menjadi permasalahan mendasar dan telah seringkali diwacanakan adalah aspek hukum yang oleh Lawrence M. Friedman dibagi menjadi 3 (tiga) unsur dalam sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, ketika berbicara tentang reformasi sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut harus dibenahi secara bersama-sama.

Struktur hukum yang dimaksud di sini merupakan keseluruhan institusi penegakan hukum berikut aparatnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan kantor pengacara. Sementara itu, substansi hukum meliputi kesleuruhan asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, termasuk pada putusan pengadilan. Sedangkan budaya hukum adalah perilaku kebiasaan umum, cara pandang dan sikap dari para penegak hukum ataupun warga negara.[8]

Apabila merujuk dari ketiga hal tersebut, maka secara sepintas dapat kita katakan bahwa unsur hukum yang tereformasi dengan baik barulah struktur hukum, sedangkan substansi hukum belum sepenuhnya, apalagi dengan budaya hukum yang masih teramat rendah. Untuk itu diperlukan politik pembangunan hukum yang lebih terarah, sehingga tidak lagi menjadi pembaharuan hukum yang bersifat parsial dengan indikator yang lebih jelas dan terukur, khususnya terhadap aspek ketiga budaya hukum (legal culture).

Melihat kondisi dan realitas hukum di atas, maka kita tidak perlu terkejut apabila timbul banyak kekecewaan di sana-sini. Lebih dalam lagi, melalui kacamata segitiga Gramsci, maka negara akan menjadi objek tuntutan dari masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market). Bisa jadi karena reformasi yang digulirkan selama ini terlalu fokus pada reformasi di bidang demokrasi politik, sehingga sedikit mengabaikan pentingnya reformasi hukum. Padahal, tanpa dukungan kepastian hukum, baik pembangunan demokrasi politik maupun pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan teratur dan terkendali, apalagi terkait dengan bidang investasi.

Penyebab Ketidakpercayaan Rakyat

Setumpuk permasalahan hukum yang melanda negeri ini bukanlah tanpa sebab. Apabila kita dapat menemukan akar permasalahan tersebut maka membangkitkan cita negara hukum bukanlah hal yang mustahil. Begitupula dengan tumbuh menjamurnya ketidakpercayaan rakyat terhadap simbol-simbol negara, khususnya di dunia hukum. Secara sederhana, masyarakat bagaikan flat fotogenik yang menangkap dan memendarkan apa saja yang terlihat dan terbaca dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai jawaban sederhana, marilah kita bandingkan perlakuan hukum antara masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mereka yang memilki capital baik berupa kekuasaan maupun kekayaan. Beragam kasus hukum yang dialami oleh Nenek Minah, Prita Mulyasari, Raju kecil, ataupun Basar dan Kholil dengan para terdakwa koruptor kelas berat, secara kontras terlihat perbedaannya mulai dari penanganan hingga panjatuhan putusannya. Maka cukup beralasan ketika sebagian masyarakat Indonesia mengutip ungkapan yang disampaikan oleh seorang novelis Perancis, Honore de Balzac, dengan menyatakan, “Laws are spider webs through which the big flies pass and the little ones get caught”.

Penyebab utama lainnya yang semakin membuat runtuh simbol institusi hukum adalah maraknya praktik mafia peradilan yang telah berlangsung selama empat dekade terakhir. Berlangsungnya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) di dunia hukum terjadi mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga jatuhnya putusan hakim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap tahapan tersebut dapat diatur sesuai dengan keinginan para oknum-oknum pengacara dan oknum aparat di institusi Kepolisian Kejaksaan, dan Pengadilan. Lebih parahnya lagi, para saksi atau ahli mulai dapat “dipesan” sesuai dengan kemauan para terdakwa melalui prakarsa pengacaranya.

Praktik kotor para mafia peradilan inilah yang kemudian menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan ditempatkan menjadi lembaga terkorup di Indonesia bersama dengan lembaga perwakilan dan partai politik lainnya. Bahkan menurut survei terakhir yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009, Indonesia menempati peringkat pertama dari negara terkorup dari 14 negara di Asia. Artinya, penegakan hukum di Indonesia hingga kini selalu dirundung dengan masalah yang sama, padahal telah menjadi agenda utama dan pertama dalam reformasi di bidang hukum, yaitu masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). [9]

Tidak jauh berbeda, pelayanan publik yang ditampilkan dan diberikan kepada masyarakat masih bersifat lamban dan cenderung koruptif, termasuk tidak jelasnya kelanjutan dari penyampaian aspirasi kepada lembaga perwakilan resmi. Akibatnya, timbul sikap apatisme tinggi terhadap apapun hasil kinerja yang dikeluarkan oleh lembaga negara dan pemerintahan.

Lebih dalam lagi Achmad Ali mengatkan bahwa secara sosiologis tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pranata-pranata hukum sudah berada dalam taraf “bad trust society” (kepercayaan yang buruk dari masyarakat). Hal tersebut menurutnya disebabkan dari ketidakseriusan pemerintah dalam penegakan hukum.[10] Apabila terpuruknya kercayaan masyarakat terus dibiarkan, maka akan sangat berpotensi menimbulkan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), sebagaimana misalnya terjadi belum lama ini dalam banyak peristiwa penyerbuan kantor-kantor polisi di Lombok, Makasar, dan wilayah lainnya. Dalam perspektif psikologi sosial, perilaku demikian merupakan salah satu bentuk dari ledakan kemarahan (the hostile outburst) yang berwujud pada kerusuhan sosial.

Perlunya Sinergitas Antarlembaga Negara

Tatakala terjadi berbagai kesulitan dan ketidakstabilan akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi, maka banyak negara akan melakukan eksperimentasi dalam pembentukan lembaga-lembaga baru. Hal ini bertujuan agar terciptanya prinsip pelayanan umum yang efektif dan efisien serta terjadinya birokrasi yang lebih mudah. Begitupula dengan di Indonesia, pasca bergulirnya reformasi mengakibatkan banyaknya lembaga negara baru yang bermunculan di tengah-tengah belantara lembaga negara yang lama.

Berdasarkan UUD 1945, setidaknya terdapat kurang lebih 34 (tiga puluh empat) lembaga negara. Dari segi fungsi dan hierarki, lembaga negara tersebut dapat diberdakan menjadi tiga jenis, yaitu: Pertama, organ konstitusi lapis pertama yang disebut sebagai lembaga (tinggi) negara yang mendapatkan kewenangan langsung dari UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK; Kedua, organ lapis kedua yang disebut sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945 ataupun UU, seperti Menteri Negara, TNI, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, KPU, dan Bank Sentral; Ketiga, lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undnag, seperti Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.[11]

Dengan begitu banyaknya lembaga negara yang ada sekarang, maka seringkali antara fungsi dan tugas pelaksana antara lembaga satu dengan lembaga lainnya saling tumpang tindih. Untuk memantapkan sinergitas antarlembaga negara, maka di sektor pemerintahan harus ada upaya penataan secara menyeluruh. Lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM, KPK, KPPU, KPI, Komisi Ombudsman perlu dikonsolidasikan kembali untuk menyusuan road map bersama pembenahan reformasi hukum, bukan berjalan secara sendiri-sendiri.

Khusus untuk lembaga-lembaga negara penegak hukum, seyogianya dilakukan pertemuan berkala semacam rapat kerja nasional untuk menentukan arah pembangunan penegakan hukum Indonesia. Hubungan kerja harus dibangun setidak-tidaknya antara lembaga pengadilan di bawah MA dan MK, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Yudisial, KPK, Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, serta organisasi Advokat. Adalah sebuah kenicayaan apabila kita bermaksud untuk memperbaiki hukum secara nasional tanpa adanya sistem yang bekerja baik di antara skrup-skrup sistem tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh institusi dan lembaga negara di bidang hukum tersebut.

Kegiatan semacam ini pernah dilakukan oleh lembaga negara di bidang hukum menjelang pelaksaaan Pemilu 2009 yang melibatkan pimpinan tertinggi antara MK, MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPU, dan Bawaslu. Apabila hal demikian dapat dilanjutkan secara berkala dan dalam lingkup yang lebih luas, maka masyarakat akan memperoleh pesan bahwasanya lembaga penegak hukum tidak berdiam diri menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi sekarang ini.

Akan tetapi, pertemuan saja tidaklah cukup. Masing-masing institusi harus dipastikan mengambil kebijakan tegas untuk mengeliminir para oknum yang telah mengakibatkan citra lembaga negara menjadi runtuh di mata masyarakat. Permasalahannya terjadi ketika para aparat penegak hukum telah tersandera oleh praktik kelam masa lalunya, sehingga beresiko bagi dirinya untuk mengambil tindakan tegas terhadap orang lain, sebab dirinya akan turut menjadi korban.

Untuk itu diperlukan pemimpin yang jujur, bersih, dan berani untuk menempati pucuk-pucuk pimpinan di setiap lembaga negara. Kata “berani” sengaja penulis tebalkan di sini, sebab bermodal jujur dan bersih saja tidak akan cukup apabila tidak ada keberanian untuk menindak tegas oknum yang terlibat dengan praktik KKN sebagaimana telah menjadi amanat reformasi hukum. Sementara itu, untuk strategi pembenahan birokrasi dan penerapan zona anti-korupsi setidaknya kita dapat merujuk pada pepatah kuno, “To catch a snake, one must always go for its head, if you catch the body, the snake with surely bite you”.

Penutup

Pembenahan hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan, bahkan jika ingin jujur sudah terlalu banyak beragam penelitian dan rekomendasi yang dihasilkan. Tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan solusi yang paling benar, melainkan menjadikan diskursus pembangunan hukum menjadi semakin terarah, khususnya dalam menghadapi tingkat kepercayaan masyarakat yang kian hari kian menurun.

Kita pun tidak perlu larut dalam pesimisme atas masa depan reformasi hukum Indonesia, sebab negara sekaliber Amerika Serikat pun pernah mengalami hal yang serupa dengan apa yang tengah kita hadapi sekarang ini. Di saat itu, para penggiat hukum Amerika Serikat menyerukan agar hukum dikembalikan ke akar moralitas, kultural, dan religiusitasnya, begitu juga seharusnya kita. Selama masyarakat menaati hukum sekedar karena alasan ketakutan terhadap sanksi, maka selama itu pula kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara masih bersifat semu.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan penulis mengutip pernyataan filosof Tavarne sebagai tawaran solutif terakhir terhadap benteng hukum di Indonesia dengan menyatakan, “Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang baik”. Semoga di masa mendatang hukum benar-benar menjadi Panglima dalam mengangkat negeri ini dari keterpurukannya.

Jakarta, 24 Februari 2010

[1] Disampaikan dalam Focus Group Discussion Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di Ruang Rapat Deputi Pengkajian Strategik, Lemhanas RI, Jakarta. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

[2] Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

[3] Simbol negara dalam hal ini didefinisikan lebih luas daripada yang tertera dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

[4] Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum di Indonesia”, disampaikan sebagai Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya di Jakarta pada Sabtu, 23 Januari 2010, hal 7.

[5] Ibid., hal 13-20.

[6] Lihat Donald K. Emerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001.

[7] Berkebalikan dengan transplacement, kondisi replacement mensyaratkan adanya pergantian rezim secara total sehingga benar-benar terdiri dari aktor-aktor negara yang sama sekali baru. Lihat Neil J. Kritz, Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, United States Institute of Peace, 1995.

[8] Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York: Simon and Schuster, 1973.

[9] Wijayanto dan Ridwan Zachrie, eds, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.

[10] Achmad Ali, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Agatama Press, 2004, hal.18.

[11] Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.


Sunday, January 31, 2010

Liputan Berita: "Kebekuan Hukum"

KEBEKUAN HUKUM

JAKARTA - Pemberlakuan mekanisme pengaduan konstitusi atau constitutional complaint di Mahkamah Konstitusi dinilai bisa menjamin hak asasi manusia. Warga negara atau kelompok yang dilanggar haknya yang selama ini tidak bisa menuntut karena terhalang prosedur perundang-undangan, dapat menuntut melalui mekanisme tersebut.

Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ridha Saleh, Peneliti dari Institute of Indonesian Law and Governance Development (IILGD), Pan Mohamad Faiz, dan pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Isharyanto, ketika dihubungi Koran Jakarta, Rabu (27/1). Mereka mengatakan hal itu menanggapi rencana Komisi III DPR yang akan mempertimbangkan memberikan kewenangan mengadili pengaduan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, untuk memberikan tambahan kewenangan itu, harus dilakukan revisi Undang-Undang MK. Pengaduan hukum atau constitutional complaint adalah hak konstitusional warga negara yang dilanggar akibat kebijakan penyelenggara negara. Hak itu dijamin dalam UUD 45. Komnas HAM, kata Ridha, mendukung pemberian tambahan kewenangan MK tersebut. Bahkan, setahun lalu, pihaknya sudah mengusulkan ke parlemen, agar mekanisme constitutional complaint melekat pada kewenangan MK. Alasannya, dari fungsi dan kegunaannya, mekanisme tersebut bisa menjadi terobosan ketika ada kebuntuan dalam menyelesaikan pelanggaran hak konstitusi seorang warga negara atau suatu kelompok ma syarakat.

Contitusional complaint itu sangat penting. Karena banyak hak konstitusi warga negara yang notabene adalah hak asasi manusia tak bisa dikomplain, karena terhalang oleh sebuah Undang-Undang yang tak mungkin dilakukan complaint,” kata Ridha. Selain itu, lanjutnya, contitutional complaint adalah bentuk akomodasi terhadap hak asasi manusia. Sehingga, jika hal itu benar-benar diberlakukan, kasus pelanggaran HAM bisa ada titik terang penyelesaiannya. “Setidaknya ada akses konstitusi untuk menyelesaikan ber bagai pelanggaran hak asasi dan konstitusi dari warga negara,” ujarnya.

Perkuat Sistem

Sementara itu, Mohamad Faiz mengatakan dengan adanya kewenangan contitutional complaint di MK, akan memperkuat sistem perlindungan terhadap warga negara, terutama hak konstitusi dan hak asasi manusia. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) itu mengungkapkan harus diakui dalam tataran praktis di Indonesia saat ini, belum menerapkan sistem konstitusi total atau total constitution. Padahal, sambungnya, sistem konstitusi yang total, adalah manifestasi dari bentuk penghargaan yang tinggi terhadap konstitusi. Isharyanto menambahkan mekanisme contitutional complaint bisa menjadi alat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. “Ini penting, agar kehidupan berbangsa dan bernegara lebih ramah terhadap HAM,” kata dia. (ags/P-2)

Sumber: Koran Jakarta (http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43779)