Tuesday, June 14, 2011

Menyoal Bahasa Pidato Resmi Pejabat Negara

MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGARA: ANALISIS BERPERSPEKTIF HUKUM

Pan Mohamad Faiz *

1. Pendahuluan

“Quot linguas quis callet, tot homines valet”. Demikian pepatah latin mengatakan untuk menunjukkan bahwa semakin fasih seseorang berbicara dalam berbagai bahasa maka dengan sendirinya pergaulannya akan lebih luas. Di era modernisasi dengan tren globalisasi yang kini hampir tak memiliki ruang dan batas antarnegara (borderless), bahasa dipercaya menjadi elemen perekat dan medium komunikasi yang paling efektif antara satu bangsa dengan bangsa lainnya.

Indonesia yang kembali menggeliat maju dari rahim reformasi senantiasa berupaya untuk bersaing dengan negara-negara lain baik di pentas regional maupun internasional. Untuk itulah, kemampuan bahasa dari segitiga pemangku kepentingan yang digambarkan oleh Antonio Gramsci, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat sipil (civil society), menjadi faktor determinan untuk memperkuat daya saing Indonesia di berbagai bidang.

Selain bahasa Inggris yang telah mendunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan bahasa resmi yang digunakan dalam forum-forum internasional dengan bahasa Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab. Lalu kemana peran bahasa Indonesia yang penggunanya lebih dari 230 juta umat manusia di muka bumi?

Kita tak perlu merasa risih karena tak lama lagi bahasa Indonesia setidaknya akan disahkan menjadi bahasa resmi ASEAN. Alasan utamanya, selain digunakan oleh ratusan juta bangsa Indonesia sendiri, bahasa Indonesia sedikit banyak juga digunakan dan dipahami oleh sebagian masyarakat dari negara-negara di Asia Tenggara. Terlebih lagi, beberapa negara maju di luar kawasan Asia Tenggara, misalnya Australia, juga sudah memiliki pusat bahasa pengajaran dan kurikulum tentang bahasa Indonesia.

Perkembangan positif dari perspektif fungsionalisasi penggunaan bahasa tersebut tentu membawa dampak yang baik bagi daya saing Indonesia. Antonio L. Rappa dan Lionel Wee dalam bukunya Language Policy and Modernity in Southeast Asia (2006) memaparkan bahwa ideologi tentang bahasa dapat membawa pengaruh terhadap fomulasi kebijakan yang akan dibuat.

Namun demikian, dalam pergaulan resmi antarnegara, pada umumnya masing-masing negara mempunyai ketentuan tertentu yang mengatur tentang penggunaan bahasa nasionalnya di dalam berbagai kegiatan, termasuk Indonesia.

Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU 24/2009) menentukan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah NKRI. Dalam UU 24/2009, penggunaan bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Oleh karena itu, UU 24/2009 memuat berbagai ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, salah satunya sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 yang menyatakan, ”Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”. Sementara itu, Pasal 32 UU 24/2009 menyatakan, ”(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia; (2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.

Ketentuan inilah yang kemudian memicu polemik di tengah masyarakat akhir-akhir ini, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali menggunakan bahasa Inggris dalam pidato resminya pada forum-forum internasional, termasuk forum yang diselenggarakan di dalam negeri. Syahdan, beberapa pakar hukum tata negara dan hukum internasional, di antaranya Prof. Mahfud MD. dan Prof. Hikmahanto Juwana, mengkritik kebiasaan Kepala Negara yang menggunakan bahasa Inggris ketika menyampaikan pidato resmi. Pasalnya, Presiden SBY telah menandatangani sendiri Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya (selanjutnya disebut Perpres 16/2010).

Sementara itu, sebagian masyarakat luas tidak terlalu mempermasalahkan perihal bahasa Inggris yang digunakan oleh Presiden SBY, bahkan Menteri Hukum dan HAM dan Pimpinan DPR memberikan pembelaannya. Menurut mereka, penggunaan bahasa Inggris tersebut harus dipermaklumkan agar komunikasi dengan audiens dapat lebih mudah ditangkap.

Tak dapat dipungkiri, penguasaan terhadap bahasa Inggris memang memberikan banyak kelebihan dan manfaat, sebab hampir semua aktivitas dan komunikasi kini bersinggungan dengan bahasa Inggris. Hal ini setidaknya didasari dari kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Crystal (1997) yang menyatakan:
  1. Sekitar 85% organisasi internasional di dunia menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dan sepertiganya telah menetapkan bahasa Inggris sebagai satu-satunya bahasa resmi yang digunakan oleh organisasi tersebut;
  2. Sepertiga koran dicetak di negara yang memberikan status khusus terhadap bahasa Inggris dan lebih dari setengah penerima radio dunia berada di negara-negara tersebut;
  3. Bahasa Inggris telah digunakan sebagai bahasa internasional dalam air traffic control;
  4. Sedikitnya tiga perempat jurnal akademik internasional dipublikasikan dalam bahasa Inggris;

Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah kewajiban hukum dalam penggunaan bahasa Indonesia bukan saja untuk Presiden dan Wakil Presiden, namun juga bagi para pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah, tulisan ini lebih memberikan analisa dari prespektif hukum, khususnya kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan: (1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010? (2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia? (3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara? serta beberapa hal lainnya yang terkait.

Di akhir tulisan ini akan disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat ditempuh untuk lebih mengefektifkan implementasi dari ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010.

2. Siapa Termasuk Pejabat Negara?

Kejelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat negara menjadi sangat penting karena UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 secara tegas menyebutkan bahwa selain Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara juga wajib menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya. Namun demikian, baik UU 24/2009 maupun Perpres 16/2010, sama sekali tidak memberikan definisi yang jelas tentang pejabat negara. Di dalam UU tersebut beberapa kali hanya menuliskan kata ”Pejabat Negara” berdampingan dengan kata ”pimpinan lembaga negara” seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK, serta kata ”menteri atau pejabat setingkat menteri”, serta ”kepala daerah dan pimpinan dewan perwakilan”.

Begitu pula dengan Perpres 16/2010 yang menjadi turunan dari amanat Pasal 40 juncto Pasal 28 UU 24/2009, siapa yang dimaksud dengan pejabat negara tidak ditentukan secara tegas. Oleh karenanya, untuk menemukan definisi dan lingkup pejabat negara maka perlu merujuk peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu undang-undang yang cukup banyak memuat ketentuan tentang pejabat negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (selanjutnya disebut UU 9/2010).

Di dalam Pasal 1 UU 9/2010, Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Ketentuan ini pun belum merinci siapa-siapa saja yang dimaksud dengan pejabat negara. Dengan merujuk pada Pasal 9 UU 9/2010 berkenaan dengan Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi, setidak-tidaknya yang dapat dikatakan sebagai Pejabat Negara, yaitu:
  1. Presiden;
  2. Wakil Presiden;
  3. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR);
  4. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
  5. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
  6. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
  7. Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Agung (MA);
  8. Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Konstitusi (MK);
  9. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Komisi Yudisial (KY);
  10. Menteri dan pejabat setingkat menteri beserta wakilnya;
  11. Pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara dan wakilnya;
  12. Pemimpin lembaga pemerintah non kementerian dan wakilnya;
  13. Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan
  14. Ketua DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Undang-undang lain yang secara tidak langsung juga memuat tentang lingkup pejabat negara yaitu Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan Pensiun Pokok Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya (selanjutnya disebut UU 78/2000). Dengan penyebutan sebagai mantan pejabat negara, maka jabatan-jabatan di bahwa ini dapat dikelompokkan sebagai pejabat negara. Di dalam Pasal 1 UU 78/2000, mereka yang disebut sebagai Mantan Pejabat Negara adalah:
  1. Mantan Menteri Negara;
  2. Mantan Ketua, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan Ketua dan Wakil Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pengawas Keuangan;
  3. Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pengawas Keuangan;
  4. Mantan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan mantan Hakim Anggota Mahkamah Agung;
  5. Mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
  6. Mantan Kepala Daerah Propinsi, mantan Wakil Kepala Daerah Propinsi, mantan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mantan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
  7. Mantan Jaksa Agung, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan mantan Pejabat lain yang kedudukannya atau pengangkatannya setingkat atau di setarakan dengan Menteri Negara adalah Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Pejabat lain yang kedudukannya atau pengangkatannya setingkat atau di setarakan dengan Menteri Negara yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya yang hak keuangan/administratifnya disamakan dengan Menteri Negara serta Janda/Dudanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian pengaturan mengenai pejabat negara juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan Pejabat Negara (selanjutnya disebut PP 37/2001). Di dalam Peraturan tersebut, selain Pegawai Negeri dan Hakim, yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu:
  1. Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara;
  3. Menteri Negara, Jaksa Agung, dan Pejabat lain yang kedudukan atau pengangkatannya setingkat atau disetarakan dengan Menteri Negara;
  4. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum oleh Pejabat Negara (selanjutnya disebut UU 9/2004) merinci siapa saja yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Namun demikian, baik UU 78/2000 dan PP 27/2001 memiliki kelemahan karena ketentuan tersebut dibuat sebelum MPR menyelesaikan tahapan amandemen UUD 1945 di tahun 2003, sehingga banyak lembaga negara baru yang tidak disebutkan ataupun telah dibubarkan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan, UU 9/2004 hanya menyebutkan pejabat negara dalam lingkungan kekuasaan eksekutif yang terbatas.

Terlepas dari hal tersebut, berdasarkan uraian di atas mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat negara maka dapat disimpulkan bahwa pejabat negara tidak saja sebatas pada pimpinan lembaga negara atau kementerian, tetapi juga pada jabatan-jabatan lain yang dari sudut kuantitasnya tidaklah sedikit.

Dengan demikian, kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi bukan saja berada di tangan Presidan dan Wakil Presiden, tetapi juga para pejabat negara lainnya. Di sinilah banyak pihak salah mengartikan dan menafsirkan ketentuan ini. Tidak jarang para pimpinan lembaga negara dan menteri menghadiri acara-acara forum resmi yang memberikan waktu untuk penyampaian pidato resminya. Terkadang mereka konsisten dalam menggunakan bahasa Indonesia, namun konon tak sedikit pula yang menggunakan bahasa Inggris dengan alasan adanya peserta forum yang berasal dari berbagai negara asing.

Sejauh mana dan dalam lingkup kegiatan apa saja kewajiban penggunaan bahasa Indonesia harus dilakukan, penulis akan menguraikannya secara lengkap di bawah ini, termasuk mengenai kondisi-kondisi di mana penggunaan bahasa asing menjadi pengecualian.

3. Kewajiban dan Pengecualian

Apeldoorn (1954) menyatakan bahwa susunan kata-kata yang membentuk kaidah hukum tidak sekedar memberikan pernyataan dan penilaian, tetapi juga memiliki sifat yang imperatif yang mengandung sifat perintah atau larangan dan hal-hal yang harus dilakukan atau tidak dilakukan serta kata-kata yang sifatnya berupa paksaan.

Begitu pula dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang disahkan pada tanggal 9 Juli 2009 (UU 24/2009) memuat sifat imperatif yang memerintahkan atau mewajibkan subyek hukum tertentu untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya.

Pasal 28 UU 24/2009 secara tegas mewajibkan Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resminya yang disampaikan baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam ketentuan penjelasannya, “pidato resmi” yang dimaksud adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang telah menetapkan penggunaan bahasa tertentu.

Selanjutnya, pada Pasal 32 UU 24/2009 disebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia dapat digunakan oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri. Lingkup dari forum yang bersifat nasional adalah berskala antardaerah dan berdampak nasional, sedangkan forum yang bersifat internasional memiliki pengertian berskala antarbangsa dan berdampak internasional.

Kewajiban dari penggunaan bahasa Indonesia dipertegas kembali dalam Peraturan Presiden sebagai turunan dari Pasal 40 UU 24/2009 yang memberikan amanat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi. Adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya (Perpres 16/2010) yang memuat ketentuan lebih lanjut dari penggunaan bahasa Indonesia yang diatur dalam UU 24/2009. Perpres 16/2010 ini ditetapkan dan ditandatangani langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 Maret 2010. Perpres a quo memuat ketentuan dengan membagi menjadi dua besaran, yaitu ketentuan mengenai pidato resmi yang di sampaikan di luar negeri dan pidato resmi yang disampaikan di dalam negeri.

a. Pidato Resmi di Luar Negeri

Pasal 1 Perpres 16/2009 menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia di luar negeri. Dalam pasal-pasal selanjutnya dijelaskan bahwa pidato resmi yang disampaikan di dalam forum resmi tersebut diselenggarakan oleh PBB, organisasi internasional, dan negara penerima sesuai dengan tata cara protokol yang telah ditetapkan. Dalam penyampaian pidato resminya tersebut, mereka dapat disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah.

Sesuai dengan Pasal 4 Perpres 16/2009, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menyampaikan pidato secara lisan dalam bahasa tertentu. Namun demikian, penggunaan bahasa tertentu tersebut hanya untuk memperjelas dan mempertegas makna yang ingin disampaikan dan diikuti dengan transkrip pidato dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, pidato resmi yang sepenuhnya atau sebagian besar isinya menggunakan bahasa asing dan bukan bermaksud untuk memperjelas isinya tetapi justru menjadi substansinya itu sendiri, tidaklah diperbolehkan.

Sementara itu, pidato Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya yang disampaikan dalam forum ilmiah, sosial, budaya, ekonomi, dan forum sejenis lainnya yang penyelenggaranya adalah lembaga akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat sipil (civil society) tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, sehingga penggunaan bahasa Indonesia menjadi tidak wajib.

Pengecualian dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi juga dapat terjadi manakala forum resmi internasional di luar negeri telah menetapkan penggunaan bahasa tertentu yang meliputi bahasa resmi PBB yang terdiri atas bahasa Inggris, Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab, serta bahasa lain sesuai dengan hukum dan kebiasaan internasional. Di luar pengecualian-pengecualian tersebut maka Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resminya.

b. Pidato Resmi di Dalam Negeri

Pada forum internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, sesuai dengan Pasal 8 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia. Forum resmi tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah negara lain/PBB/organisasi internasional lainnya.

Selanjutnya ditentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya ketika membalas pidato resmi harus menggunakan bahasa Indonesia pada saat menerima pejabat, seperti Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi Internasional, yang melakukan kunjungan resmi ke Indonesia. Penyampaian pidato resmi ini dapat juga disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah.

Pidato yang disampaikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya selain dalam kondisi di atas tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, misalnya dalam hal kegiatan pendampingan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi internasional pada forum ilmiah, sosial, budaya, ekonomi, dan forum lain sejenis yang penyelenggaranya adalah lembaga akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Ketentuan ini hampir sama dengan pengecualian terhadap pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara ketika berada di luar negeri.

Untuk forum nasional yang diselenggarakan di dalam negeri, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia, misalnya dalam upacara kenegaraan, upacara perayaan 17 Agustus dan hari-hari besar nasional, upacara resmi dalam sidang lembaga-lembaga negara, rapat-rapat pemerintah atau lembaga negara, dan forum nasional lainnya yang menunjang tujuan penggunaan bahasa Indonesia.

Sama halnya dengan pidato resmi di luar negeri, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menggunakan bahasa asing, baik dalam forum nasional maupun internasional di dalam negeri, sepanjang untuk memperjelas tentang makna pidato tersebut.

4. Kesimpulan dan Saran

Sutan Takdir Alisjahbana (1974) menyatakan bahwa bahasa dan hukum merupakan penjelmaan kehidupan manusia dalam masyarakat yang merupakan sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum dalam hal penggunaan bahasa Indonesia bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya merupakan salah satu wujud dari tingginya nilai kebudaayaan di Indonesia. Sebaliknya, menyimpangi ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan akan menjadi bukti dari rendahnya nilai kebudayaan kita.

Dengan semakin jelasnya ketentuan-ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi dan limitasi pengecualiannya sebagaimana diuraikan di atas maka sulit bagi penulis untuk menerima argumentasi dari berbagai pihak yang bergerak di bidang hukum yang menyatakan bahwa menggunakan bahasa asing dalam pidato resmi adalah hal yang harus dimaklumi.

Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya memang tidak dilarang, tetapi dalam hal-hal tertentu yang lingkupnya sangat khusus, para pejabat negara telah diwajibkan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan untuk menggunakan bahasa Indonesia.

Tentu penulis memahami apabila yang menjadi alasan penolakan tersebut berangkat dari perspektif komunikasi, di mana penggunaan bahasa Indonesia akan menjadi terdengar asing di telinga warga negara lain yang tak memahaminya. Pun dari sudut kepemimpinan, penguasaan bahasa asing tentu akan terlihat dan terdengar lebih berbobot ketika disampaikan di hadapan orang-orang yang memiliki latar belakang multibahasa. Penulis pun menyetujui apabila ada komentar yang menyatakan bahwa banyak hal yang lebih penting untuk diurus seperti pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan, ketimbang urusan penggunaan bahasa semata.

Namun demikian, terlepas dari alasan-alasan di atas, ketika kita telah bersepakat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan negara Indonesia sebagai negara hukum, kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya menyatakan sumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, hukum, dan peraturan perundang-undangan yang ada, maka tidak ada kata lain bagi mereka selain mematuhi hukum positif yang telah disahkan dan berlaku secara resmi di Indonesia.

Berbeda dengan pelanggaran hukum terhadap penggunaan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, penyimpangan terhadap penggunaan bahasa Indonesia tidak memiliki sanksi pidana ataupun denda. Oleh karenanya, tidak dipatuhinya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi tidak memiliki konsekuensi pidana ataupun denda, tetapi hanya sanksi moral dan sosial. Itupun kalau sebagian masyarakat menilai bahwa penyimpangan terhadap ketentuan dimaksud adalah suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak ada tempat untuk alasan pemaaf.

Seandainya pun pelanggaran atas ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi ditarik sebagai alasan untuk memakzulkan Presiden dan/atau Presiden, sebagaimana disampaikan oleh beberapa pihak, bagi penulis hal ini terlalu jauh dan akan sangat membuang-buang energi bangsa. Sesuai Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan (impeachment) hanya dapat dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karenanya, selain tidak memenuhi syarat konstitusional, juga terlalu besar political cost yang akan ditanggung rakyat untuk menyatakan penyimpangan praktik penggunaan bahasa Indonesia sebagai alasan pemakzulan.

Dengan demikian, berangkat dari kelebihan dan kelemahan ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya, penulis memberikan 2 (dua) bentuk alternatif pilihan untuk merespons ketentuan tersebut, yakni:

Pertama, ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi harus konsisten untuk dipatuhi dan dijalankan. Adanya kontroversi publik seperti yang terjadi sekarang ini tentu telah diperkirakan dan dipertimbangkan sebelumnya pada saat proses pembahasan pembentukan UU 24/2009 dan Perpres 16/2010. Tanpa adanya sanksi yang memaksa maka pelaksaan atas ketentuan tersebut kembali kepada kesadaran hukum (legal awareness) dari Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya selaku subyek hukum langsung dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Kedua, apabila beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 dirasa menghambat dan justru menjadi kontra produktif maka sebaiknya dilakukan revisi terbatas sesegera mungkin. Hal ini tentu lebih baik, daripada secara terus-menerus kita menyaksikan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana terdapat di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 yang sebenarnya juga tidak memiliki sanksi hukum. Akan tetapi yang perlu diingat, sepanjang belum ada perubahan atau selama proses menuju perubahan, maka ketentuan yang ada harus tetap dijalankan dengan konsekuen oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya.
Penutup

Berdasarkan uraian di atas maka hendaknya kita semua dapat lebih memberikan perhatian terhadap kepatuhan atas ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, terlepas dari adanya kelemahan yang mungkin ditimbulkan apabila dipandang dari aspek di luar hukum. Para pejabat negara juga harus semakin menunjukan kesadarannya dalam penggunaan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya, karena kewajiban demikian tidak saja menjadi milik Presiden dan Wakil Presiden.

Namun demikian, adanya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010, janganlah diartikan bahwa menguasai bahasa asing menjadi hal yang remeh atau tidak penting. Banyak forum dan kegiatan, khususnya yang berskala internasional, yang mengharuskan para pejabat negara untuk menguasai bahasa asing demi tercapai tujuan dari kehadirannya. Lebih salah lagi apabila UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 dijadikan alasan bagi para pejabat negara untuk mengelak dalam mempelajari bahasa asing.

Lagipula, penyampaian pidato resmi adalah kegiatan yang tidak setiap hari harus dilakukan, sementara kegiatan yang melibatkan orang asing atau literatur dan berita yang dibaca atau didengar sehari-hari tentu memerlukan kemahiran penguasaan bahasa asing agar para pejabat negara mampu memahaminya. Oleh karena itu, menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Indonesia haruslah disesuaikan dengan konteks tempat dan waktunya, khususnya dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang secara khusus telah mengaturnya.

Bukankah para founding parents Indonesia, seperti misalnya Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, dapat dikenal oleh dunia internasional karena kepiawaiannya dalam menguasai berbagai bahasa asing? Maka tak salah kiranya jika penulis menutup tulisan ini dengan mengutip pernyataan penyair terkenal asal Jerman bernama Johann Wolfang von Goethe yang mengatakan, “Those who know nothing of foreign languages know nothing of their own”. (*)

* Pan Mohamad Faiz adalah Staf dan Speech Writer Ketua Mahkamah Konstitusi RI serta Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.


REFERENSI:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan Pensiun Pokok Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan Pejabat Negara.

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya.

Ehrenberg, John, Civil Society, NYU Press Reference, New York, 2009.

Hadikusuma, H. Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2010.

Rappa, Antonio L. Dan Lionel Wee, Language Policy and Modernity in Southeast Asia: Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand, Springer, Singapore, 2006.

Marwoto, B.J. dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepatah-Pepatah Bahasa Latin, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004.

Talbot, Mary, Karen Atkinson dan David Atkinson, Language and Power in the Modern World, The University of Alabama Press, Tuscaloosa, 2003.

Monday, May 09, 2011

Defending the Direct Gubernatorial Election

DEFENDING THE DIRECT GUBERNATORIAL ELECTION
* Pan Mohamad Faiz

Note: Short version of this paper was published in the Jakarta Post on July 9, 2011 (Read the article here)

The political reformation in 1998 has significantly transformed the democratization atmosphere in Indonesia through amendment of the 1945 Constitution. One of its fundamental changes is related to the electoral mechanism on regional leaders for Governors, Regents and Mayors. We used to have indirect election where the regional leaders were chosen by members of local parliament. A year after the enactment of Law Number 32 Year 2004 of Regional Government, the election of regional leaders was changed to direct election which uses one person one vote mechanism.

On the other hand, six years after its implementation, many Indonesians are questioning whether the mechanism of direct election is still appropriate with the aims of democracy itself since it creates economic, social and political burdens. Responding to this condition, the Government has just proposed a bill of local elections which one of its provisions intends to change back the present gubernatorial election into indirect election through local parliament. As a result, this issue has attracted a lot of debate not only among politicians but also between government officers and academicians. This essay will consider some objections to the Government planning to change the gubernatorial election system. Finally, it will put forward a number of reasons why the direct gubernatorial election in Indonesia should not be changed.

In the context of Indonesian political history, several different systems of local election have been implemented. Firstly, the central government appointed the local leaders (pre independence era - 1958); Secondly, the President directly appointed the local leaders (1959-1973); Thirdly, the local parliament nominated candidates of local leaders to the President and they would be decided by the President (1974-1998); Fourthly, the local parliament chose the local leaders without any involvement from central government (1999-2003); Lastly, people elect their own local leader directly through one man one vote mechanism (2004 - present).

Regarding the present electoral mechanism, the government is aware that neither the candidates nor the voters are politically ready to implement the mechanism of direct local elections, including the gubernatorial elections. They found that there have been many cases of electoral fraud in direct elections which injure the values of democracy itself. Physical violence, personal or group intimidation and local riots often occur in certain regions when they carry out direct local elections. Practices such as money politics or vote buying often take place in almost all regions. Structural intervention from higher officers in regional government and unprofessional work by regional electoral commission members are also other disadvantages in our local elections.

However, there is little empirical data to support such accusation. Even though there were 244 cases of local electoral disputes lodged at the Constitutional Court in 2010, only 26 cases were granted by the Court (11.6%). Moreover, none of 14 complaints of gubernatorial elections from 6 different provinces was granted by the Court (0%). In other words, the Court says that there were no significant electoral frauds in any gubernatorial elections which are characterized as structured, systematic and massive violations in 2010.

Additionally, some people claim that it is almost impossible for candidate to be elected unless they have a lot of money. Moreover, a party without financial backing is unlikely to get much public support. For example, Minister of Home Affairs Gamawan Fauzi points out that any candidate who wants to run in direct gubernatorial election needs at least Rp 20 billion to Rp 100 billion or approximately US$ 2 million to US$ 10 million. Meanwhile, he continues, their basic salary will be less than Rp 10 million per month or around US$ 1.100 per month (‘Paradoks Biaya Politik Mahal’, 2011). Therefore, we can assume that elected candidate take advantage of any opportunity to get their money back which was spent during their campaign process.

Unfortunately, one of their approaches is by corrupting the regional government budget. Data presented by Commission of Corruption Eradication (KPK) shows that there are 10 Governors and 158 Mayors or Regents who have been convicted as corruptors (Muladi, 2011). Thus people believe that direct local elections provide more opportunities for creating local corruption in most regional governments.

Nonetheless, changing the gubernatorial election system to an indirect mechanism through local parliament will not guarantee that corruption practiced by elected candidates will be reduced. The reason why many local leaders today are convicted as corruptors is not merely caused by the direct election system. It is because after reformation era Indonesia established a strong legal institution named KPK which has been very effective in hunting down the corruptors. Free press and stronger civil society have also significantly contributed to revealing corruption cases of local leaders.

Furthermore, it is easier for candidates in indirect elections to practice political corruption by buying the votes from limited members of local parliament. In terms of financial problems, changing the electoral system is not a good solution. Mboi (2009) suggests that it is better to make a law for regulating and controlling the financial support for the candidates, including giving hard sanctions if they violate the law.

The government proposes two main reasons for changing the direct gubernatorial election. The first reason is to improve the efficiency of electoral budget which has a very high cost for the electoral procedures. I Gusti Putu Artha, Member of National Electoral Commission, mentions that the budget required for each direct gubernatorial election is around Rp 70 billion to Rp 90 billion or approximately US$ 7.5 million to US$ 10 million (‘Biaya Pilkada Rp 15 Triliun’, 2011). The second reason is that the governors only have a low level of authority. Therefore, Government notes that the process of direct election would be too costly for just electing governors since their authority just as representative of central government at the regional level.

However, investing more money for developing our democracy will not give direct advantages within a short time. Some people believe that defending the values of democracy is neither cheap nor easy, but the price is worth it. For tackling the budget problems, merging the local elections for Governor, Regents and Mayors at the same time for each province will be more applicable in terms of time and budget efficiency as well as reducing the negative socio-politics effects. One of the best examples for emerging the local elections was the regional heads election in West Sumatera in July 2010. The local electoral commission in West Sumatera could reduce the cost of the electoral process considerably by merging the local elections.

In addition, having a different electoral system for local leaders will also produce other problems. Governors who are elected by indirect election are likely to face more difficulties in handling Regents and Mayors who were elected directly by the people in their province because Governors will be considered less legitimate by the people than their Regents or Mayors. There may also more serious conflict between Governors and Regents or Mayors due to dualism in governing the decentralization function.

Prominent scholars have also mentioned various advantages of direct elections. According to Schiller (1999) in liberal democratic theory, direct elections have five specific functions in educating people, candidates and parties. First, people will know about the main concerns, track records, characters and visions of the candidates; Second, people will have an opportunity to explain their main needs and demands to the candidate as their future local leaders; Third, people who have the right to vote will be more empowered through the direct election process; Fourth, people will have more options to choose their local leaders based on their individual merits; and Fifth, elected local leaders will have stronger legitimacy as a public mandate when they run their government.

Likewise, Djohan (cited in Schiller, 1999) says that the direct elections are also claimed to have certain advantages, such as, strengthening the local democracy, increasing the political awareness of constituents, expanding the civil society participation, widening the chance of the people to be involved in government policies and electing better quality local leaders who are supported by the majority of the voters. Meanwhile, Erb and Priyambudi (2009) claim that the direct election provides a bigger opportunity for local people to participate in choosing their local leaders.

Besides that, people can fully enjoy their fundamental sovereignty in direct election mechanism as stipulated in Article 1 para (2) of 1945 Constitution. If local leaders are elected directly by the people, candidates for these positions have to know the people’s wishes. That is why elected local leaders in direct elections are expected to have more responsibility for their people. More to the point, constituents will have more chance to participate directly in changing local political system either by asking for political contracts with the candidate or by just giving their votes.

Direct election is also in accordance with Article 28D para (3) of 1945 Constitution which says, “Every citizen shall have the right to obtain equal opportunities in government”. The direct election mechanism enables independent candidates to have the opportunity to run for office in local elections. In fact, the Chairman of Gerakan Nasional Calon Independen (National Movement of Independent Candidate) reports that there has been one Governor and 21 elected Mayors who ran for office as independent candidates in local elections for the last three years (‘DPD Mendukung Capres…’, 2011). This opportunity is almost impossible if the regional leaders are elected by local parliament.

Furthermore, there is also significant meaning of direct election processes which show stronger commitment for a country to implement a modern concept of democracy (Antlov, 2003). In addition, Hidayat (2009) states that the direct election of regional heads is the best electoral mechanism for implementing the values of democracy and empowering good governance and people’s sovereignty.

Moreover, direct election would help ensure that candidate from small parties or independent candidates will have an equal chance of being elected. In current Indonesian politics, some political and electoral observers suspect that the government planning to change gubernatorial election system will be profitable only to the present ruling parties, such as Democrat Party and Golkar Party, which have the majority of members in local parliament (‘Demokrat Dituding Punya…’, 2011). Therefore, those parties will have a bigger chance than the small parties to get the majority of votes in gubernatorial elections through local parliament.

To conclude, I believe that it is too soon to judge that the direct election has failed to create a better condition for the people, because Indonesia has just been implementing the direct election of regional heads for 6 years. It is a very short time for making an evaluation of this mechanism, because the term of office for regional heads is just 5 years. It means that there have been only one or two direct elections for electing local leaders in each region. What we have reached is just “electoral democracy”, not “full democracy”. The former is just a routine of electoral processes, while the latter pays more attention to the rights of people to vote and participate in all public and political processes (Haynes, 2001).

Building a country with full democratic values cannot be gained instantly but it needs a process. People should be given the chance to learn from their weaknesses in practicing direct elections in the past. If the Government and House of Representative agree to return to the old mechanism of gubernatorial election, then it will be a setback for our consolidation of democracy. Therefore, the direct gubernatorial election in Indonesia should be defended. (*)

REFERENCES:

Antlov, H. 2003, ‘Not enough Politics! Power Participation and the New Democratic Polity in Indonesia’, in Aspinall & G. Fealy (eds.), Local Power and Politics in Indonesia, Institute of Southeast Asian Studies and Research School of Pacific and Asian Studies, the Australian National University, Singapore and Canberra, pp. 72-86.

‘Biaya Pilkada Rp 15 Triliun’ (Cost of Local Elections is Rp 15 trilion) 2011, Kompas ,24 July, retrieved 23 March 2011, .

Constitutional Court of Indonesia 2010, Statistics of Constitutional Court Cases 2003-2010, Secretary General and Registry of Constitutional Court of Indonesia, Jakarta.

‘Demokrat Dituding Punya Kepentingan Gubernur Dipilih DPRD’ (Democrat Party is Blamed to have Vested Interest in Gubernatorial Elections through Local Parliament) 2011, Pontianak Post, 30 March, retrieved 3 April 2011, .

‘DPD Mendukung Capres Independen di Pemilu Presiden’ (Regional Representative Council supports the Independent Candidate in Presidential Election) 2011, Pedoman News, 24 March, retrieved 3 April 2011, .

Erb, M. & Sulistiyanto, P. (eds.) 2009, Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Haynes, J. (ed.) 2001, Democracy and Political Change in the ‘Third World’, Routledge/ECPR Studies in European Political Science, London and New York.

Hidayat, S. 2009, ‘Pilkada, Money Politics and the Danger of ‘Informal Governance’ Practices’, in M. Erb & P. Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, pp. 125-46.

Mboi, A.B. 2009, ‘Pilkada Langsung: The First Step on the Long Road to Dualistic Provincial and District Government’, in M. Erb & P. Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, pp. 38-49.

Muladi 2011, ‘Menggugat Integritas Intelektual’ (Suing the Intellectual Integrity), Working Meeting of Indonesian Law Scholars Association (ISHI), 20 February 2011, Jakarta.

‘Paradoks Biaya Politik Mahal (Paradox of High Political Cost)’ 2011, Kompas, 23 July, retrieved 22 March 2011, .

‘Pemilihan oleh DPRD Untungkan Parpol Besar’ (Election through Local Parliament Gives Advantage to the Ruling Parties)’ 2011, Kompas, 11 February, retrieved 22 March 2011, .

Schiller, J. 1999, ‘Electing District Heads in Indonesia: Democratic Deepening or Elite Entrenchment?’, in M. Erb & P. Sulistiyanto (eds.), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, pp. 147-76.

***

* The writer is a Judicial Assistant of Chief Justice of Indonesian Constitutional Court. This essay represents the writer’s personal view.