Thursday, March 26, 2009

Wawancara oleh Human Capital: Brain Drain SDM TI yang Tersia-siakan

BRAIN DRAIN SDM TI YANG TERSIA-SIAKAN
Human Capital Magazine, Edisi 58 Januari 2009

Fenomena brain drain SDM TI terjadi di negara-negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Bagaimana mengatasinya?

Sydney, Australia, 9 September 2007. Pan Mohamad Faiz, alumni Delhi Vishwavidyalaya (University of Delhi) yang berprofesi sebagai peneliti konstitusional di Mahkamah Konstitusi Indonesia menyampaikan makalahnya berjudul Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India yang disampaikan pada Konferensi International Pelajar Indonesia (KIPI).

Pada makalah tersebut, Faiz mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Faiz menguraikan problematika dan tantangan Indonesia dalam pengembangan SDM terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Dan, pada akhir makalahnya, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM guna mencegah dan mengatasi efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain khususnya di sektor TI.

Lebih lanjut Faiz menuliskan bahwa fenomena brain drain di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum atau tidak terdapat data empiris, diperkirakan telah mencapai 5%. Jumlah ini bisa dikatakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia yang disertai kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya menyisihkan sebesar 11,8% dari APBN. (Anggaran pendidikan sebesar 20% baru akan direalisasikan pada APBN 2009 – red). Kondisi ini diperparah dengan alokasi anggaran riset dan teknologi yang tidak pernah mencapai angka 1% dari produk domestik bruto. Padahal, menurut analisa UNDP, angka tersebut merupakan anggaran minimum untuk terciptanya kemakmuran suatu bangsa.

Dihubungi HC lewat surat elektronik, Faiz memuji kualitas SDM TI di Indonesia. “SDM TI Indonesia sebenarnya cukup berkualitas, terbukti dari banyaknya tenaga TI kita yang dipercaya untuk memegang project-project besar di luar negeri,” kata Faiz memuji. “Hanya saja, mungkin kita sendiri yang belum menaruh perhatian lebih untuk bidang ini di dalam negeri, sehingga terkesan kita belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ia menambahkan.

Namun demikian, Faiz meyakinkan, “Seiring dengan pesatnya laju industri teknologi Asia, saya yakin bahwa pada waktunya nanti para TI-ers kita, khususnya yang berada di luar negeri akan membangun basis ICT di Indonesia dengan tangan-tangan terampil yang dimilikinya seiring dengan masuknya investasi global untuk bidang pengembangan TI di Indonesia.”

Faktor penarik dan pendorong disebutkan Faiz sebagai faktor utama penyebab brain drain di mayoritas negara berkembang, termasuk Indonesia. “Faktor penarik yang datang dari negera tujuan, misalnya memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik; tersedianya fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai; kesempatan memperoleh pengalaman bekerja yang luas; tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi,” Faiz menjelaskan.

Di matanya, faktor pendorong yang datang dari dalam negeri, antara lain adalah: rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian, tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi, ekspektasi karier yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu, serta diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.

Brain drain di Indonesia, dijelaskan Faiz, fenomenanya sudah berlangsung sejak lama tanpa disadari dan makin gencar sejak pemerintah tidak menuntaskan program pengiriman tenaga ahli Indonesia untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Dari program ini, katanya, diharapkan dapat mempercepat pengembangan industri teknologi di Tanah Air.

“Banyak tenaga ahli kita yang kini menetap atau bekerja di luar negeri tanpa pendataan yang tidak jelas. Akhirnya, SDM kita yang berkualitas menjadi tersia-siakan,” ujar Faiz menyesalkan. Belum lagi, tambahnya, sekarang gelombang pekerja profesional dan pelajar dari Indonesia yang berangkat ke luar negeri semakin deras. Jika tidak terencana dengan terarah dan seksama, baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia, tidak mustahil kita akan kesulitan menangani efek negatif dari brain drain.

Setiap fenomena sejatinya diawali dengan sebuah tanda lalu sinyal yang harus diwaspadai agar Indonesia tidak kehilangan potensi SDM TI-nya yang memilih berkreasi di negara lain. “Menilik pengalaman bangsa lain, potensi SDM di dalam negeri akan sulit berkembang apabila tidak terdapat atmosfer pengembangan ilmu dan teknologi yang memadai,” tutur Faiz.

Ketika Indonesia belum banyak menciptakan produk TI tingkat tinggi, ungkap Faiz, di saat yang bersamaan gempuran produk TI berikut ahlinya mulai merambah masuk ke tiap bidang pekerjaan di Tanah Air. Akhirnya, baik tenaga TI maupun produk TI asal Indonesia sulit berkembang dan bersaing di pasaran. “Inilah yang harus menjadi catatan penting bagi kita,” katanya mengingatkan.

Di samping itu, Faiz menganjurkan kepada para profesional di bidang ini untuk belajar sebanyak mungkin dari negara-negara super lainnya. Menurutnya, tatkala sudah cukup “mencuri” ilmu dari mereka, pengembangan laboratorium TI di dalam negeri menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. “Saya rasa dengan jumlah populasi dan konsumen Indonesia yang begitu dahsyat, akan banyak investor yang berani menginvestasikan dananya di Indonesia,” katanya yakin.

Hanya saja, pemerintah harus pintar-pintar memilahnya, sehingga jangan sampai mematikan produk domestik sendiri. “Jika laboratorium ini mulai bermunculan, saya yakin SDM TI kita di luar negeri dalam waktu yang tidak lama akan kembali ke Tanah Air tanpa harus meninggalkan jejak dan jaringan yang sudah dibangun di tempat mereka bekerja di luar negeri. Generasi selanjutnyalah yang kemudian menggantikan posisi mereka di luar negeri, begitu seterusnya seperti suatu sirkulasi regenerasi pengembangan TI dari dalam-luar-dalam negeri,” paparnya.

Untuk mencapai target tersebut, Faiz menguraikan strateginya menarik kembali SDM TI lokal yang punya potensi untuk mendedikasikan dirinya bagi pengembangan TI di Indonesia. “Dalam hal ini kerja sama antara pemerintah, universitas, dan tempat pelatihan TI menjadi syarat mutlak. Mereka yang unggul di kelasnya masing-masing dapat dijadikan proyek embrio pengembangan TI,” kata Faiz menyarankan.


Yang ia sayangkan, kadangkala setelah mampu melewati tahapan tersebut, political will dari pemerintah kurang mendukung. Ratusan teknologi jadi dan siap pakai karya anak bangsa seringkali dinomorsekiankan hanya karena ada teknologi asing yang dianggap lebih baik mutu dan kelasnya. “Untuk itu revitalisasi arah dan pemikiran para pemimpin kita harus pula dilakukan agar nantinya mampu memfasilitasi dan menopang kualitas SDM TI Nusantara yang telah terbukti berhasil menciptakan beragam produk unggulan,” tuturnya.

Dan, tampaknya masalah SDM TI di Indonesia mulai mendapat angin segar dari pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Riset dan Teknologi lewat program mendukung kemajuan teknologi Indonesia. Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi RI saat ini menyatakan optimismenya dengan bahasa yang bersemangat. “Saya percaya Indonesia hebat,” kata menteri yang akrab disapa KK ini optimis. (*)

Sumber: http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/teknologi/1id1219.html


***

Sekilas tentang Human Capital (HC):

PortalHR

PortalHR adalah portal internet yang mengkhususkan diri pada bidang Human Resource / sumberdaya manusia. Kelahiran portal ini salah satunya dipicu oleh banyaknya permasalahan dan pertanyaan mengenai sumberdaya manusia dan masalah ketenagakerjaan di Indonesia serta kebutuhan akan sumber informasi sumberdaya manusia dan ketenagakerjaan yang terpercaya.

Visi & Misi

PortalHR.com bertujuan menjadi wahana terpercaya di bidang sumberdaya manusia di Indonesia, yang membantu perusahaan, karyawan, dan praktisi HR dengan menghubungkan mereka pada pengetahuan dan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengatur sumberdaya manusia dalam bisnis. Selain itu PortalHR juga bertujuan untuk ikut serta menjadikan dan mengembangkan bidang sumberdaya manusia sebagai partner penting dalam pengembangan dan pelaksanaan strategi organisasi.

Tim Manajemen PortalHR

President Director : Nukman Luthfie
Executive Director : Meisia Lucia Chandra
IT Director : Erick Wellem
Business Manager : Nurjamila Baniswati
Content Manager : Is Mujiarso
Sales & Marketing Manager: Citra Yuliasari

Alamat Pemasaran PortalHR
Kindo Building
Jl. Raya Duren Tiga No. 101 Ruang B 202
Jakarta Selatan 12760
Indonesia
Phone. +62-21-798-2006
Fax. +62-21-798-3630

Thursday, March 19, 2009

Ketidakcermatan UU Pemilu Legislatif

KETIDAKCERMATAN UU PEMILU LEGISLATIF

Hajatan terbesar nasional dalam rentang siklus lima tahunan segera digelar. Dalam hitungan hari, jutaan warga Indonesia baik yang berada di dalam maupun luar negeri akan memberikan hak suaranya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Para peserta Pemilu yang terdiri dari 44 Partai Politik untuk calon anggota DPR, DPRD, dan DPRA/DPRK, serta 1.127 perseorangan calon anggota DPD beramai-ramai telah menggerakan mesin kampanyenya guna memperoleh simpati konstituen dan calon pemilihnya. Begitu pula dengan pihak penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), seakan berlomba dengan waktu dalam mempersiapkan segala sesuatunya guna kelancaran proses pencontrengan di tanggal 9 April nanti.

Namun demikian, keluhan dari masyarakat bermunculan tatkala terlihat adanya kekurangsiapan pihak penyelenggara dalam hal sosialisasi teknis pemilihan, distribusi kertas dan kotak suara, serta penjadwalan kampanye yang dinilai dapat menjadi penghambat keberlangsungan proses dan momentum kehidupan demokrasi di bumi nusantara ini. Oleh karenanya, Pemerintah dengan berkoordinasi bersama KPU cepat-cepat mengeluarkan Perpu dan sederet Peraturan KPU guna mengisi celah-celah kecil yang berpotensi menyebabkan delegitimasi pelaksanaan Pemilu 2009.

Kesalahan Penulisan

Sejak tiga bulan terakhir, wajah media massa baik cetak maupun elektronik, tidak henti-hentinya memberitakan seputar persiapan Pemilu. Perdebatan pun bermunculan mengenai regulasi mulai dari persiapan dan pelaksanaan Pemilu hingga antisipasi penanganan munculnya sengketa antara Peserta Pemilu dengan KPU.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) merupakan landasan yuridis yang paling mendasar untuk mengantarkan 550 wakil rakyat menuju gedung bundar di Senayan. Namun apa jadinya apabila di dalam UU Pemilu Legislatif sebagai alas yuridis terdapat kesalahan substansi yang sepertinya remeh-temeh namun cukup fundamental.

Di dalam kalimat pertama paragraf kesatu Penjelasan Umum UU tersebut tertulis, “Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Sedangkan di awal paragraf kedua tertulis, “Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Secara sepintas memang tidak ada kesalahan susunan kalimat pada kedua paragraf di atas, namun apabila dicermati lebih mendalam, maka pencantuman kedua Pasal di atas merupakan kesalahan yang cukup nyata.

Konsep “kedaulatan rakyat” sebenarnya diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang justru hanya mengatur mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan, ketentuan mengenai asas pelaksanaan Pemilu, waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan undang-undang.

Mungkinkah kesalahan ini hanya terletak pada lembar pencetakan Penerbit dari UU yang penulis baca? Setelah membandingkan UU Pemilu Legislatif yang tersedia di toko buku, terpampang bebas pada situs resmi KPU, hingga salinan aslinya, tampaklah sudah bahwa telah terjadi kesalahan yang sama untuk keseluruh UU tersebut. Oleh karenya dapat disimpulkan bahwa kesalahan penyusunan Undang-Undang tersebut berasal dari lembaga/penjabat yang diberi kewenangan membentuk perundang-undangan (wetgevende macht)

Status Penjelasan

Dalam salah satu buku terbarunya, “Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan" (2008), Prof. HAS Natabaya membagi unsur-unsur sistem peraturan perundang-undangan dengan: (1) asas-asas pembentukan; (2) pembentuk dan proses pembentukannya; (3) jenis dan hirarki; (4) fungsi; (5) materi muatan; (6) pengundangan; (7) penyebarluasan; (8) penegakkan dan pengujian. Menurutnya, apabila salah satu unsur baik yang berkaitan dengan dengan formalitas maupun materialitas, maka sistem itu akan timpang dan bahkan dapat menghasilan suatu produk yang “cacat hukum”, sehingga dapat atau harus diuji oleh lembaga legislatif melalui legislative review/political review atau oleh lembaga yudikatif melalui judicial review.

Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), pembentukan perundang-undangan harus memenuhi asas-asas yang meliputi: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan. Dalam penjelasannya, asas “kejelasan rumusan” terakit dengan pemenuhan syarat teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya.

Dalam konteks kesalahan penulisan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penjelasan umum yang memuat pengacuan ke peraturan perundang-undangan lain atau dokumen lain harus pula dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. Penjelasan Umum seharusnya memuat uraian yang sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah diuraikan secara panjang lebar di dalam lampiran UU 10/2004.

Lebih lanjut, penjelasan juga berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karenanya, penjelasan haruslah dimaksudkan untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Dalam penjelasan juga harus dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Konsekuensi Hukum

Sulit untuk beralasan bahwa kesalahan penulisan di dalam Penjelasan Umum UU Pemilu Legislatif hanya sebatas alasan clerical error, sehingga harus dimaafkan. Sebab ketidakcermatan penulisan kali ini justru terjadi pada rujukan yuridis yang amat mendasar, yaitu UUD 1945 sebagai Undang-Undang yang tertinggi (grondwet is de hoogste wet). Padahal di dalam suatu pembentukan Undang-Undang, para perancang (legislative drafter) yang berkualifikasi dan bertaraf nasional telah melewati tahapan komposisi kegiatan pembentukan yang terdiri dari: (i) pembuatan draft awal, (ii) melakukan revisi, (iii) melakukan pemeriksaan silang, (iv) konsultasi pihak lain; (v) dan (vi) melakukan penghalusan.

Sebenarnya penulis sengaja mengendapkan permasalahan ini ketika mendengar akan dikeluarkannya sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perubahan UU Pemilu Legislatif, dengan harapan perbaikan terhadap Penjelasan Umum dalam UU Pemilu Legislatif akan dicakup di dalam materi Perpu tersebut. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU 10/2004 terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, perubahan atau revisi suatu Undang-Undang hanya dapat dilakukan melalui Undang-Undang yang baru atau sebuah Perpu (legislative review). Argumen ini diperkuat oleh Ahli Ilmu Perundang-Undangan, Prof. Maria Farida Indrati dalam suatu kesempatan diskusi dengan Penulis. Namun ternyata, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tanggal 26 Februari 2009 yang lalu, sama sekali tidak memuat perbaikan terhadap Penjelasan Umum UU Pemilu Legislatif tersebut. Dengan demikian, kesalahan rujukan di dalam Penjelasan Umum UU tersebut masihlah ada dan akan tetap ada selama tidak ada perbaikan.

Upaya untuk memperbaiki UU 10/2008 sebenarnya dapat pula dilakukan melalui cara lain, yaitu judicial review dengan cara membatalkan frasa “Pasal 2 ayat (1)” dan frasa “Pasal 22E ayat (6)” yang tercantum di dalam Penjelasan Umum. Sehingga setelah dibatalkan maka tanpa mengurangi substansinya, penjelasan kedua paragraf tersebut dapat dibaca secara utuh sebagai berikut, yaitu “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa …” dan “Sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum …”. Hanya saja, selain akan membutuhkan waktu cukup lama, hal yang seharusnya dapat disempurnakan dengan mudah akan menjadi terkesan dicari-cari atau mengada-ada. Tetapi itulah konsekuensi hukum dari apa yang seharusnya ditempuh apabila ditemukan bagian dari UU yang tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan/atau bertentangan dengan semangat UUD 1945.

Penutup

Seyogyanya, para pembentuk Undang-Undang menyadari hal ini sejak dini dan tidak membiarkan kesalahan-kesalahan demikian terjadi terus-menerus dan berulang kali. Sementara para pihak tengah berjibaku menegakkan Peraturan KPU dan teknis pelaksanaan di lapangan, ternyata dalam tataran landasan dasar yuridis masih terdapat pokok kesalahan penyusunan (drafting failure) yang seharusnya jangan lagi diberikan toleransi. Sehingga tepat rasanya apabila mengutip pepatah melayu yang berbunyi, “kuman diseberang pulau terlihat, gajah di pelupuk mata tak nampak”.

Akhirnya, perlu pula disampaikan bahwa tulisan singkat ini sama sekali tidak ditujukan untuk memperkeruh keadaan menjelang Pemilu, apalagi menambah deret persoalan legislasi seputar pelaksanaan Pemilu. Akan tetapi semata-mata sebagai catatan kecil dari seorang warga negara yang berkewajiban untuk mengingatkan para wakilnya guna memperbaiki ketentuan yang belum sempurna. Sebab, para wakil rakyat sejatinya adalah juga seorang legislator handal, sebagaimana telah menjadi amanat konstitusi di dalam Pasal 20 UUD 1945, sekaligus sebagai konsekuensi jabatan dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan pokoknya dalam hal legislasi yang ditegaskan di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk)

Semoga di masa periode berikutnya kita dapat memiliki para wakil rakyat yang semakin baik dari apa yang kita miliki saat ini dalam hal dalam membentuk suatu produk peraturan perundang-undangan. Jika tidak, maka puluhan miliar rupiah yang dikucurkan selama proses Pemilu mendatang akan terbuang secara sia-sia. Oleh karena itu, jangan sampai salah pilih!

* Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Program Master of Comparative Laws (M.C.L.) pada Faculty of Law, University of Delhi.

Thursday, March 12, 2009

Breaking News: Indonesia Juara Pertama the Asia Pacific International Humanitarian Law Moot Court Competition

INDONESIA JUARA PERTAMA THE ASIA PACIFIC INTERNATIONAL HUMANITARIAN LAW MOOT COURT COMPETITION

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengharumkan nama Indonesia dengan menjadi juara pertama lomba peradilan semu "The 7th Red Cross International Humanitarian Law" (the winning team) untuk kawasan Asia-Pasifik yang berlangsung pada 6 hingga 7 Maret 2009 di Hongkong. Indonesia diwakili oleh Katrina Marcellina (2007), Tracy Tania (2007), Aloysius Selwas Taborat (2005).

Dalam keikutsertaan kali kedua ini, tim Indonesia harus berlaga dengan wakil dari 16 Universitas ternama di kawasan Asia-Pasifik diantaranya The University of Adelaide, Chulalongkorn University, National University of Singapore, The University of Tokyo, Ewha Womens University (Korea). Didampingi oleh Hersapata Mulyono, S.H, tim FHUI harus melewati tahapan general round, semi-final round, dan final round.

Pada ronde pertama di general round, tim FHUI melawan tim dari China, yaitu Beijing Normal University. Sedangkan, pada ronde ke dua tim FHUI melawan Gujarat National University dari India. Pada semi-final, tim Universitas Indonesia bertemu dengan Tim Ewha Womans University dari Korea, yang merupakan lawan tangguh karena berbekal hasil riset yang intensif. Tim dari Universitas Indonesia dan tim dari Gujarat National Law University kembali lagi bertemu pada babak final. Tahun lalu, tim FHUI yang diwakili oleh Wincen Adiputra Santoso (2005) dan Simon Barrie Sasmoyo (2005) merupakan semifinalis dalam Kompetisi tersebut.

Ini bukanlah prestasi baru bagi para mahasiswa yang tergabung dalam International Law Moot Court Society (ILMS), Universitas Indonesia. Sederet prestasi lain yang pernah dicapai ialah Champions of Asia Cup International Law Moot Court Competition, Tokyo, 2006; Champions of International Maritime Law Arbitration Moot Competition, Australia, 2007; First Best Oralist Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition, Washington DC, 2007; Ranking 3 dalam Preliminary Rounds dari 109 universitas seluruh dunia dalam Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition, Washington DC, 2008; Ranking 15 dari 204 universitas seluruh dunia dalam Willem C. Vis International Commercial Arbitration Moot, Vienna, 2008.

Pembentukan organisasi ini sendiri bertujuan untuk mempromosikan pendidikan hukum internasional publik dan perdata kepada mahasiswa fakultas hukum; mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam legal research, legal writing dan advocacy serta memperkenalkan dan menumbuhkembangkan kegiatan peradilan semu dalam hukum internasional.

Alumni ILMS telah berhasil diterima di universitas top seluruh dunia seperti Harvard Law School, Duke University, Universiteit Leiden, Universite Paris 1 Pantheon Sorbonne, Berkeley University dan National University of Singapore. Mereka umumnya telah menempuh karir di kantor-kantor advokat papan atas Indonesia juga di lembaga Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, the International Criminal Court dan the Cambodian Khmer Rouge War Criminal Tribunal.

Sebagai informasi, pada 23-28 Maret 2009 nanti, Fakultas Hukum UI kembali menjadi duta Indonesia dalam Shearman & Sterling International Round di Washington DC. Indonesia akan bertarung dengan wakil dari 120 universitas seluruh dunia. Tim FHUI diwakili oleh Adeline Wijayanti (2006), Ivan Nikolas Tambunan (2005), Rivana Mezaya (2005) dan Wincen Adiputra Santoso (2005).

Source: Berita UI.