Tuesday, June 30, 2009

Sengketa Antarcaleg

SENGKETA ANTARCALEG
Oleh: Pan Mohamad Faiz*

Usai sudah perhelatan 30 hari persidangan sengketa Pemilu Legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK). Data terakhir menunjukkan bahwa dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya 2 (dua) partai politik saja yang tidak mengajukan permohonan sengketa ke MK. Sedangkan untuk sengketa Pemilu anggota DPD, permohonan didaftarkan oleh 27 calon anggota perseorangan yang berasal dari berbagai provinsi di tanah air. Apabila dihitung jumlah keseluruhan kasusnya, maka Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2009 sebanyak 722 kasus atau sekitar 275% lebih banyak dari Pemilu 2004.

Meningkatnya jumlah kasus yang dipersengketakan di arena Mahkamah setidaknya disebabkan beberapa hal. Pertama, jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 membengkak hampir 100%, yaitu dari 24 partai politik menjadi 44 partai politik. Kedua, pemahaman dan kesiapan partai politik perihal penyelesaian sengketa Pemilu sedikit lebih baik dari sebelumnya. Ketiga, carut-marut proses penyelenggaraan Pemilu juga berimbas terhadap merebaknya kasus sengketa Pemilu kali ini.

Benarkah pelaksanaan Pemilu 2009 yang penuh dengan duri dan onak ini berakibat pada meningkatnya angka sengketa Pemilu? Statistika perkara PHPU 2009 memperlihatkan bahwa dari 615 kasus partai politik yang disidangkan oleh MK, ternyata sekitar 10,24% kasus dikabulkan, sedangkan 63,74% kasus ditolak, sejumlah 17,89% kasus tidak diterima, dan 17 kasus ditarik kembali, serta 7 kasus dipertintahkan untuk dilakukan penghitungan dan pemungutan suara ulang. Sementara itu, untuk kasus sengketa caleg perseorangan anggota DPD, hanya 3,74% dari 107 kasus yang dikabulkan oleh MK.

Angka statistik tersebut tentu tidak dapat dijadikan satu-satunya parameter mengenai berjalan mulus-tidaknya proses penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009. Sebab selain belum tertib-teraturnya pengajuan dan kelengkapan bukti permohonan para Pemohon, disinyalir masih banyak lagi sengketa dan perselisihan hasil Pemilu yang tidak sempat didaftarkan karena keterbatasan akses informasi dan minimnya tenggang waktu permohonan 3 x 24 jam. Belum lagi apabila perselisihan hasil penghitungan suara antarcaleg dalam satu parpol juga dihitung.

Potensi sengketa sebagaimana tersebut terakhir patut menjadi perhatian bersama, mengingat pasca dikeluarkannya Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, satu suara untuk seorang caleg akan menjadi amat berharga artinya karena penetapan caleg terpilih tidak lagi menggunakan nomor urut dalam satu partai, melainkan berdasarkan jumlah suara terbanyak.

Kewenangan Mahkamah

Masuknya permohonan sengketa antarcaleg dari beberapa partai politik besar dalam PHPU 2009 sebenarnya cukup menarik untuk dikaji. Pasalnya, perdebatan tajam sempat menyeruak di dalam persidangan tatkala KPU berpendapat bahwa permohonan demikian tidaklah menjadi kewenangan MK untuk memutuskannya, melainkan menjadi persoalan internal dari partai politik yang bersangkutan.

Ketentuan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK juncto Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 memang menegaskan bahwa para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU anggota DPR dan DPRD adalah partai politik peserta Pemilu, bukan calon anggota legislatif secara orang-perorangan. Lebih lanjut ditentukan pula bahwa permohonan PHPU haruslah memengaruhi perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, sehingga tidak berpindahnya kursi dari partai politik satu ke partai politik lain dalam konteks sengketa antarcaleg dianggap bukan menjadi objek sengketa Pemilu.

Perdebatan panjang tersebut akhirnya padam setelah MK turut memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan dari beberapa partai politik yang menyertakan kasus sengketa antarcaleg. Setidaknya terdapat 2 (dua) pertimbangan komulatif MK dalam memutus jenis sengketa tersebut: Pertama, syarat subjectum litis yaitu permohonan tersebut harus tetap diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik atau nama yang sejenisnya, bukan oleh masing-masing caleg yang bersangkutan secara otonom; Kedua, syarat objectum litis yaitu objek yang dipermasalahkan haruslah tetap Keputusan KPU tentang perolehan suara hasil Pemilu yang berkaitan dengan perolehan suara setiap caleg dalam satu parpol.

Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa permohonan PHPU yang memengaruhi perolehan kursi partai politik kini diartikan tidak saja terbatas pada “berpindahnya” suatu kursi legislatif dari parpol satu ke parpol lainnya, namun juga “bergeser” atau “beralihnya” kursi caleg terpilih kepada caleg lainnya dalam satu parpol. Penafsiran tersebut semakin diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah yang mengabulkan setidaknya 14 (empat belas) permohonan sengketa antarcaleg yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat partai-partai politik.

Pisau Bermata Dua

Secara yuridis, penyebutan istilah “sengketa antarcaleg” sebenarnya kurang tepat, karena yang berhadapan tetap KPU dan Partai Politik. Namun oleh karena alasan dan karakteristik praksis, penggunaan istilah “sengketa antarcaleg” cenderung lebih mudah dipahami publik. Terlepas dari penggunaan istilah tersebut, sengketa antarcaleg bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dapat mengembalikan hak-hak para caleg yang terciderai, namun di sisi lain berpotensi membuka rupa dan tindak-tanduk dari caleg lainnya yang sama-sama sedang berkompetisi dalam satu parpol.

Apabila inti permasalahan sengketa antarcaleg hanyalah seputar kesalahan teknis penghitungan angka-angka akibat human error, maka hal tersebut tidaklah perlu dikhawatirkan. Namun seandainya saja yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa antarcaleg adalah adanya indikasi penggelembungan atau penyusutan suara, kampanye intimidasi dan berbau SARA, atau jual-beli suara yang dilakukan oleh para caleg satu parpol untuk memperoleh suara terbanyak, maka nama baik caleg dan parpol yang bersangkutan sudah pasti akan menjadi taruhannya. Pada titik inilah besar kemungkinan teori Thomas Hobbes dalam Leviathan yang menyatakan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) dapat terjadi.

Berdasarkan kacamata Partai Politik, mencuatnya sengketa antarcaleg ke permukaan justru berpotensi menjadi boomerang bagi kredibilitas dan integritas kader-kader partai di mata anggota dan konstituennya sendiri, terlebih lagi jika indikasi penyimpangan tersebut dilakukan secara berjamaah dengan melibatkan caleg-caleg tertentu. Akan tetapi sebaliknya, menurut perspektif masyarakat umum, terbukanya jalur sengketa antarcaleg justru dapat memperkuat fungsi saling kontrol dan evaluasi terhadap penyimpangan para caleg atau kandidat peserta Pemilu dalam proses berdemokrasi.

Jika memang alam demokrasi Indonesia ingin dibangun di atas pondasi kejujuran dan keadilan, sejatinya partai politik yang sehat dan modern tidak perlu khawatir dengan munculnya sengketa antarcaleg, apalagi atas nama Dewan Pimpinan Pusat sampai harus menghalang-halangi proses pencarian hukum dan keadilan bagi para kadernya sendiri.

Tindakan parpol adalah cerminan dalam bernegara; masyarakat kini semakin pandai dalam memberikan penilaian terhadap hal tersebut. Seandainya saja suatu parpol tidak mau dan tidak mampu mengelola konflik internalnya, maka sulit rasanya memberikan kepercayaan dan harapan kepadanya dalam menjalankan tugas yang lebih berat lagi yaitu mengelola bangsa yang besar dan pluralistik seperti Indonesia. Semoga kita semua dapat memetik pelajaran berharga ini guna perbaikan dan penyempurnaan Pemilu 2014.

* Pendiri Lembaga Pengkajian Hukum dan Kepemerintahan Indonesia (LPHKI).

Monday, June 08, 2009

Sang "Markus" (Cerpen Bagian I)

SANG “MARKUS”
(Cerpen Bagian I)

Hari itu, Sabtu (16/5), suara dering SMS tiba-tiba membangunkan tidurku. Dengan setengah nyawa yang baru terkumpul, sambil berbaring aku menggapai sumber bunyi tersebut. Aku arahkan sentuhan jari pada Mini Mouse untuk membuka pesan singkat yang masuk. Click! Seketika itu juga pesan singkat terpampang pada layar HP-ku.

“Pak Faiz, klien gw ada yang nawarin utk bayar spy menang kasusnya di mk. Gw bilang jng percaya, siang ini gw akan ketemu klien gw utk bahas ini sekaligus cari tau soal ini. Gw mao cari tau siapa yg mau ambil keuntungan.”

Spontan saja hatiku langsung berteriak.

“Gila!! Belum juga ada seminggu, kok udah ada yang pengen ngerusak semuanya!”.
Tanpa pikir panjang, segera aku jawab pesan tersebut.

“Mana mungkin mereka bisa pastiin menang, pembuktiannya terbuka dan akses ke hakim juga terbatas. Kita koordinasi aja dulu, kl jelas kita ambil tindakan. Bisa jadi ini kelakuan pihak ketiga yg coba2 cari untung di tengah kesempatan, pas sidang pilkada kmrn juga ada yg jual nama-nama hakim”.

Tidak lama berselang, sinar matahari menembus jendela ruangan dan memaksa mataku menatap ke arah jam dinding yang berada tepat di atasnya. Saat itu waktu tengah menunjukan pukul 11.10 WIB.

“Wah, udah siang! Pasti sebentar lagi tamu-tamu mulai berdatangan”, sergaku di dalam hati sambil cepat-cepat bangkit dari kolong meja kerja.

Segera sajaku tinggalkan kasur lipat yang menemaniku sependek pagi ini. Kuraih peralatan mandi seadanya dan langsung berlari menuju ke arah kamar mandi.

Maklumlah, tamu-tamu setia MK yang kami tunggu biasanya mulai berdatangan setelah pukul 12 siang. Mereka berencana datang kembali untuk memperbaiki teknis penomoran alat-alat bukti permohonan.

Selama seminggu penuh, yakni sejak dibukanya meja permohonan pada tanggal 9 Mei yang lalu, Tim Penanganan sengketa Pemilu di MK (Tim 69) memang lebih banyak bermalam di kantor. Tim 69 sengaja dipersiapkan sejak 3 (tiga) bulan sebelumnya guna menerima dan memeriksa ratusan sengketa yang masuk .

Pendaftaran permohonan dibuka selama 3 x 24 jam non-stop. Mulai siang hingga larut malam biasanya menjadi waktu rutin berdatangannya gelombang permohonan. Sedangkan di waktu malam hingga beranjaknya sang surya menjadi masa dimana kami memilah dan memetakan permohonan tersebut.

Kala itu, kasus yang terpetakan baru berjumlah 492 kasus. Namun belakangan ini, setelah semuanya melewati persidangan pemeriksaan, ternyata teridentifikasi menjadi sekitar 623 kasus dari 70 perkara permohonan yang masuk. Sejumlah perkara tersebut diajukan oleh 42 partai politik dan 28 calon perseorangan anggota DPD.

Permasalahan utamanya, selain kesemuanya harus diputus tidak lebih dari 30 hari kerja, ternyata banyak bukti-bukti permohonan yang diajukan pada awal proses penerimaan yang masih kacau balau. Padahal, jumlahnya terus menggunung hingga mampu menutupi ruangan Cyang berukuran 16 x 28 meter persegi.

***

Selepas mandi, aku bergegas kembali ke ruangan dan langsung memeriksa telpon genggam sambil berharap ada balasan info penting lainnya yang aku terima terkait denan SMS sebelumnya. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan yang telah disepakati, sebenarnya aku dan Tim 69 lainnya sejak awal tidak diizinkan untuk berhubungan dengan pihak luar yang memiliki keterkaitan dengan sengketa yang sedang diperiksa.

Agak berat bagiku memang, karena tidak biasanya aku menjaga jarak atau bahkan menutup komunikasi dengan orang lain, apalagi terhadap kawan sendiri. Semua jadi serba aneh dan seakan-akan dunia bersosialisasi yang menjadi rutinitas keseharianku perlahan mulai berubah. Tetapi memang demikianlah peran yang dituntut kepada kami untuk beberapa waktu ke depan. Awalnya, aku terima pembatasan itu sebagai bentuk komitmen bersama. Namun entah mengapa, kali ini nuraniku justru berbicara lain.

“Biarlah aku dimarahi atau dikenai sanksi. Toh, bukannya ini justru menjadi salah satu bentuk pengawalan dari proses pemeriksaan PHPU?", tanyaku pada hati kecil.

“Lagipula, aku kenal betul siapa yang sedang diajak berkomunikasi ini. Seorang aktivis LBH yang telah teruji integritasnya selama bertahun-tahun. Jadi sudah pasti, tentunya kami berdua tidak akan rela apabila MK kemudian terjangkiti para “Markus” (makelar kasus)”, gumamku meyakinkan diri sendiri.

Dua pertimbangan di ataslah yang memberanikan diriku untuk meneruskan komunikasi dengan salah satu kawan baikku tersebut. Lagipula, apa yang sedang dia tangani juga tidak ada sangkut pautnya dengan tugas-tugas langsungku. Dengan mengucap bismillahirahmanirrahim, ku bulatkan niat baik ini.

Pertentangan yang tengah terjadi pada batinku tiba-tiba terhenti. “Beep! Beep!” Pesan singkat kembali masuk ke telpon genggamku. Setelah kubuka, terbaca pesan singkat sebagai berikut.
“Ini salah satu sms ke klien saya: … Bpk Mahfud masih menunggu komitmen bapa utk di bantu,karna pesaing bapa telah melakukan kecurangan, itu menurut beliau terima kasih”.

Belum selesai ku cerna dengan baik tulisan tersebut, satu pesan singkat masuk kembali.
“Tp tunggu jelas dulu infonya ya pak faiz. Nanti gw kabari stelah bertemu”.

Hmm…, mungkin inilah yang namanya instinct pertemanan. Nampaknya ada kesamaan sikap antara aku dan dia yang sama-sama tidak mau tergesa-gesa dalam mengambil tindakan. Perlu adanya titik terang terlebih dahulu dari peristiwa yang mengagetkan di pagi itu.

Setelah beberapa kali berbalas SMS, akhirnya aku sudahi komunikasi kami dengan mengirimkan pesan singkat.

“Ok, ok. Sip, kita berburu bersama… Mereka jatuh pada orang yg salah!”


***

Sejak awal memang sudah diantispasi dan diduga bahwa selama proses pemeriksaan sengketa Pemilu, MK akan disusupi oleh para “Markus”. Hal ini setidaknya dapat terbaca berdasarkan pengalaman MK pada PHPU tahun 2004 dan pemeriksaan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) lima bulan yang lalu.

Konon pada tahun 2004, baik para pihak yang berperkara maupun pihak ketiga di luar MK, disinyalir telah mencoba untuk menggoyahkan kemandirian institusi hukum yang berjuluk “pengawal konstitusi” ini. Serbuan komplotan “Markus” tersebut terus terendus ketika MK memeriksa perkara Pemilukada untuk Kabupaten Kerinci dan perkara Kabupaten Belu.

Melihat kondisi yang mulai meresahkan pada saat itu, melalui press conference tanggal 16 Januari 2009 yang lalu, Ketua MK Moh. Mahfud MD. menceritakan bahwa keluarganya sempat dihubungi oleh orang-orang tak dikenal yang mengaku telah membawa uang 2,5 miliar untuk para hakim MK. Mereka mengaku bernama Lopes dan Awiku yang sedang bermalam di Hotel Aryaduta (Kompas, 16/1).

Sontak saja perbuatan tersebut membuat berang seluruh Hakim MK dan sebagian besar pegawai MK. Pasalnya, kerja keras dan usaha mereka untuk mempertahankan reputasi MK sebagai pengadilan yang bersih dari praktik suap menjadi terusik.

Pertanyaannya, mengapa para “Markus” tiba-tiba bangun dari kuburnya tatkala MK menangani sengketa terkait dengan Pemilihan Umum? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Tiap kewenangan pemeriksaan yang dimiliki oleh MK disadari memiliki muatan perbedaan baik dari subyek pihak yang berperkara maupun obyek yang diperkarakan.

Pemeriksaan pengujian undang-undang pada dasarnya hanya melibatkan pihak-pihak dari Pemohon, Pemerintah, dan DPR. Materi persidangannya pun pasti bermuara pada konstitusionalitas keberadaan dari suatu undang-undang, baik itu secara materiil maupun formil. Artinya, kepentingan yang dipermasalahkan umumnya tidak memiliki keterikatan secara langsung pada individu yang berperkara (non-contentious). Akan tetapi, hal tersebut lebih menekankan pada institusi hukum dan objectum litis dari perkara yang sedang diperiksa.

Sedangkan, pemeriksaan sengketa Pemilu memiliki karakteristik khusus, yakni “win or lost” bagi para pihak yang berperkara. Kepentingannya pun langsung terletak pada keterpilihan seseorang untuk duduk sebagai Kepala Daerah. Apabila diperkarakan, maka keabsahan penyelenggaraan Pemilu untuk memastikan seorang menjadi Gubernur, Walikota, Bupati, atau anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten menjadi amat ditentukan pada persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Putusannya pun sebenarnya akan mudah sekali ditebak. Sebab, proses pemeriksaan yang dilaksanakan tentunya hanya akan mengarah pada dua muara putusan dengan rumus 50%-50% (fifty-fifty), yaitu menang bagi Pemohon (permohonan dikabulkan) atau kalah bagi Pemohon (permohonan ditolak atau tidak diterima).

Di sinilah modus operandi para “Markus” subur bermain. Dengan atau tanpa mengatasnamakan para Hakim dan para pejabat lainnya di lingkungan MK, tanpa informasi sedikitpun para “Markus” dapat menjanjikan 50% kemenangan kepada Pemohon.

Liciknya, sang Markus akan menghubungi kedua belah pihak yang sedang berperkara, yaitu Pemohon selaku calon yang tidak terpilih dan Pihak Terkait selaku calon terpilih.

Seandainya saja para “Markus” tersebut menjanjikan kemenangan kepada kedua belah pihak yang sedang berseteru, maka sudah pasti 100% probabilitas kemenangan yang dibuat oleh sang “Markus” akan selalu tepat jatuh kepada salah satu pihak yang berperkara.

Celakanya, hingga hari ini masih banyak masyarakat yang menggantungkan harapan pada permainan suap dan jual-beli perkara di lingkungan MK. Akibatnya, (mungkin) masih ada pihak-pihak yang dengan mudah tertipu atau setidaknya tergiur pada tipu muslihat yang demikian!


***

Dua minggu sejak pertama kali aku menerima SMS mengenai “Markus”, nyatanya aroma praktik tersebut semakin terendus kuat. Tepat pada Selasa (2/6) pagi, salah satu atasan MK menghampiri dan memberikan lembaran kertas yang berisi semacam transkrip pembicaraan.

“Ini Faiz. Coba komentari”, tandasnya lugas.

Mataku langsung melayang dan membaca secara cepat transkrip dialog antara dua orang yang tertulis “Penelpon” dan “Pemohon” secara bergantian. Pikiranku langsung menyeruak,

“Markus??”.

Ternyata dugaanku benar. Lembaran yang sedang aku baca adalah hasil transkrip negosiasi yang dilakukan melalui telepon genggam. Dari pembicaraan tersebut diketahui bahwa Penelpon mengaku kenal dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD. Dirinya meminta sejumlah uang jikalau perkara yang diajukannya ingin dimenangkan.

Untuk meyakinkan Pemohon, sang “Markus” juga menyeret beberapa nama petinggi MK, yaitu Janedjri M. Gaffar (Sekretaris Jenderal) dan Zainal Arifin Hoesein (Panitera).

“Ada yang aneh!”, pikirku tajam.

Firasatku menduga bahwa sang Markus pastilah pihak ketiga di luar MK. Sebab, penyebutan nama dan status para petinggi MK tersebut adalah salah besar.

Pertama, sang Markus meminta agar Pemohon mentransfer Rp 50 juta ke rekening BCA Nomor 7600372216 atas nama Moh. Machfud.

“Pakai c yah namanya, pakai c..”, jelas sang Markus berulang kali sebagaimana tertulis pada transkrip pembicaraan tersebut.

Padahal, nama sesungguhnya dari Ketua MK adalah Moh. Mahfud MD., tanpa menggunakan satupun huruf “c”.

Kedua, sang Markus yang mengaku sebagai Sekretaris Jenderal salah menyebutkan nama dan jabatannya sendiri.

“Pak Jendri M. Jaffar, saya Sekjen dari Kepaniteraan MK”, pungkas sang Penelpon transkrip.

Bagi yang paham betul, tentunya akan tersenyum ketika membaca perkataan tersebut. Sebab, antara Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK adalah dua lingkup bidang kerja yang berbeda. Sekjen membawahi Sekretariat Jenderal, sedangkan Kepaniteraan dibawahi oleh Panitera. Keduanya tidak saling merangkap satu sama lainnya.

“Sekarang sedang dilangsungkan press conference di atas. Pak Ketua mencoba mengklarifikasi berita-berita itu”, jelas sang atasan memotong keseriusanku yang sedang mencermati lembar demi lembar transkrip di tangan.

“Oh, baguslah. Karena ini sama persis Pak dengan apa yang pernah saya laporkan kepada Bapak dua minggu lalu”, ungkapku.

Sejak menerima petunjuk tentang keberadaan para “Markus” yang mulai melancarkan aksinya, aku memang memberikan informasi tersebut hanya kepada kalangan terbatas, yaitu kepada mereka yang aku anggap mempunyai palu kebijakan utama untuk dapat menindaklanjuti.

Rupanya gayung bersambut. Semakin santernya berita tersebut ternyata mengharuskan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk angkat bicara dan membeberkan praktik para “Markus” yang tengah beredar. Para “Markus” ibarat binatang buas dan liar ketika mengincar calon mangsanya yang tidak lain adalah para pihak yang sedang berperkara. Modus operandinya pun cukup terbilang lihai. Gerakannya juga tidak dapat terbaca riil. Lebih dalam lagi, mereka sangat selektif dalam memilih calon korban.

Berdasarkan keterangan para Pemohon, setidaknya sudah ada 3 (tiga) pihak yang sedang berusaha didekati oleh para “Markus”. Pertama, calon anggota DPD dari Maluku, Thamrin Elly; Kedua, calon anggota DPD dari Papua, Pdt. Ellion; dan Ketiga, calon anggota DPD dari Jawa Tengah, Natalie.

Dalam kesempatan press conference tersebut, Mahfud MD. sempat berseru keras,.

“Vonis di sini tidak akan bisa dibeli dengan harga semahal apapun. Semua bukti-bukti yang dikirim ke rumah saya dan hakim-hakim yang lain dengan maksud memenangkan perkara akan berakhir di kotak sampah!”, tegasnya.

Entah berapa banyak lagi korban atau calon korban yang mungkin terjerat oleh perangkap sang “Markus” ini. Himbauan yang didukung oleh pemberitaan hampir di seluruh media massa cetak sehari setelahnya (3/6) rupanya cukup membantu untuk mengingatkan publik bahwa berperkara di MK tidak dapat dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, para Pemohon diharapkan tidak sedikitpun terpancing dengan tawaran atau janji-janji surga terhadap perkara yang mereka ikuti.

Terhadap kejadian tersebut, pihak MK pun telah meneruskan laporan kepada pihak yang berwajib untuk dapat segera ditindaklanjuti. Sejatinya aku berkeyakinan bahwa dengan petunjuk yang telah ada, pelaku kasus ini dapat dengan mudah ditangkap, karena nomor telpon-nya pun ikut terlacak, yaitu 0817-1377XX. Namun nyatanya hingga hari ini (8/6), aku belum juga menerima kabar apapun.

“Mungkin pihak kepolisian memerlukan waktu lebih lama untuk dapat meringkus sindikat ‘Markus’ tersebut secara tepat dan menyeluruh”,
pikirku positif.

Dalam hati aku berdoa:

“Ya Allah, aku hanya minta satu hal. Hindarkanlah MK ini dari terpaan kasus-kasus yang bisa merusak legitimasi kepercayaan masyarakat kepadanya. Kami dan seluruh warga hukum lainnya amat merindukan kehadiran peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa. Jika saja akhirnya MK turut tumbang di kemudian hari, maka kiranya sulit bagiku untuk mengembalikan semangat keikhlasan dan pengabdian diri terhadap suatu institusi hukum negara di negeri tercinta ini.”


Fiuhh.., aku lalui hari itu dengan penuh tanya dan harap. Batinku kemudian berbisik,

“Hush Faiz, jangan berlarut-larut. Pekerjaan setumpuk permohonan sudah menunggu tuk diperiksa, tauk!”

***


… bersambung …