Sunday, March 04, 2007

Keputusan Mahkamah Internasional antara Bosnia vs. Serbia

KEADILAN UNTUK SIAPA?

Keputusan bersejarah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) terhadap genosida atau pembunuhan secara massal dalam perkara Bosnia-Herzegovina melawan Serbia-Montenegro merupakan suatu contoh bahwa keputusan yang bijaksana tidak selalu menjadi putusan yang baik.

Inilah pertama kalinya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mencoba untuk mengajukan perkara genosida kepada ICJ. Namun ICJ nampaknya telah menghilangkan satu-satunya kesempatan yang masih tersisa bagi pemegang kekuasaan yang sah, sejak kematian Slobodan Milosevic yang secara tidak langsung berakibat dengan dihapuskannya Mahkamah Kejahatan Perang di Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) yang berkemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap dirinya.

Keputusan mahkamah yang menjelaskan bahwa meskipun apa yang terjadi pada tahun 1995 di Srebenica memang merupakan tindakan dari genosida namun negara Serbia tidaklah secara langsung mempunyai keterlibatan terhadap tindakan tersebut, merupkan keputusan yang diharapkan dapat diterima oleh masing-masing pihak. Putusan yang seakan-akan bersifat kompromi ini tidaklah mampu berbuat banyak, akan tetapi justru menyalakan api lama di tengah-tengah etnik Balkan yang rentan akan konflik.

Keputusan tersebut menimbulkan berbagai isyu besar. Genosida dikenal secara luas sebagai kejahatan internasional luar biasa dan seiring dengan meningkatnya perkembangan dunia, setiap usaha terjadinya hal tersebut sangatlah penting untuk dijadikan perhatian. Berbagai pengamat berpendapat bahwa pemerintah Serbia pada saat ini tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Terdapat juga pendapat yang mencoba untuk menggambarkan perbedaan antara pemerintah dan negara. Bagaimanapun juga, sifat yang luas biasa dan kejam dari genosida membawa perintah secara moril kepada masyarakat internasional maupun nasional untuk membawa pelaku kejahatan pada posisinya. Tetapi, kesulitan untuk menjalankan maksud utama guna meniadakan kelompok yang dilindungi secara khusus berarti bahwa keputusan seperti halnya dikeluarkan oleh ICJ masihlah jauh dari harapan.

Menurut Alexander Solzhenistan, hal ini membuktikan bahwa pengadilan mungkin bukanlah instrument terbaik untuk mencapai rekonsiliasi dalam politik internasional. Jika pemerintahan berkuasa saat ini, Perdana Menteri Vladimir Kostunica, cukup serius mengenai kurangnya keterlibatan dalam pemberantasan sistematis terhadap golongan minoritas pada masa lalu, maka jejak rekam mereka semasa konflik seharusnya merefleksikan usaha adanya rehabilitasi dan reintegrasi.

Pengalaman dari Eropa Barat setelah Perang Dunia II merupakan suatu bukti bahwa bangsa yang terbagi-bagi perlu dipertemukan kembali dalam tingkatan personal. Apa yang diperlukan adalah naratif yang sama sebagaimana dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membawa cerita-cerita masa lalu dari mereka yang menderita. Bersama dengan rencana untuk reintegrasi di mana termasuk dengan kompensasi tempat tinggal dan moneter untuk para pelarian di pengasingan, hal tersebut mungkin merupakan jalan terbaik untuk meyakinkan bukan hanya terciptanya perdamaian, tetapi juga menghilangkan rasa trauma masa lalu.