Monday, March 29, 2010

Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap Simbol-Simbol Negara

REFORMASI HUKUM DAN SINERGITAS ANTARLEMBAGA NEGARA: Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap Simbol-Simbol Negara[1]

Disampaikan dalam Focus Group Discussion LEMHANAS

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]

“Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi hukum. Rasanya bukan hukum (dalam makna sempit) yang diburu masyarakat, tetapi hal yang lebih substansial, yaitu keadilan”

(Satjipto Rahardjo, 1930-2010)

Pendahuluan

Bangsa Indonesia baru saja melewati perhelatan akbar di tingkat nasional, yaitu Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil Presiden pada 2009. Sebagai ujung tombak demokrasi, proses dan hasil Pemilu tentunya membawa konsekuensi penting bagi kelanjutan kehidupan bernegara dari suatu bangsa. Dalam konteks ini, tahun 2009 seharusnya dinisbatkan menjadi tahun pendidikan berpolitik bagi rakyat Indonesia, namun yang terjadi justru berbeda, sebab yang lebih terekam adalah tahun dimana terjadi carut-marut dalam dunia penegakan hukum.

Alasannya sederhana, sederet peristiwa hukum secara berturut-turut menjadi potret buram di tengah-tengah pandangan masyarakat Indonesia. Mulai dari kisruh terjadinya ribuan sengketa pemilihan umum, penjatuhan bermacam vonis pengadilan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil, hingga episode silang sengkarut kasus hukum “Bibit-Chandra”.

Tidak berhenti sampai di situ saja, terbukanya fakta-fakta tentang praktik terselubung mafia peradilan serta terungkapnya fenomena istana mewah dalam penjara, semakin mendedahkan ketidakberesan kondisi negara hukum Indonesia selama ini. Terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian besar rakyat nampak dipenuhi peluh rasa kecewa, pasalnya tuntutan atas pelaksanaan reformasi hukum yang telah digulirkan sejak 12 (dua belas) tahun silam belum memberikan perubahan yang signifikan bagi kelangsungan hidup mereka secara riil.

Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat (people distrust) terhadap lembaga negara yang ada sekarang ini, khususnya kepada institusi dan aparat penegak hukum, semakin menjadi-jadi. Demonstrasi demi demonstrasi terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat sipil (civil society) atas kinerja pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Situasi pun tidak mereda dengan sendirinya, karena langsung disusul dengan menghangatnya suasana politik nasional pasca digelarnya sidang Pansus DPR RI atas kasus Bailout Century. Sebagian publik yang sudah terlanjur kecewa menunggu-nunggu dengan penuh pesimistis, peristiwa dan alasan apa lagi yang dapat membuat mereka semakin berani untuk mendelegitimasi simbol-simbol negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan.

Bak efek bola salju, apabila tidak ada penanganan dan penyelesaian secara cepat, tepat, dan terarah, tentu ketidakpercayaan publik tersebut akan semakin membesar hingga pada saatnya nanti akan “meledak” tak tentu arah yang berakibat pada tindakan-tindakan yang sama sekali tidak kita harapkan, sebagaimana misalnya terjadi pada awal masa reformasi 1998 dahulu.

Berdasar uraian tersebut di atas, tulisan singkat yang berangkat dari perspektif sosiologi hukum ini hendak menggambarkan situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan agenda reformasi hukum. Hal tersebut salah satunya terlukiskan dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol negara secara luas yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga negara, khususnya institusi hukum, dalam menjalankan roda pemerintahan.[3]

Konsepsi Negara Hukum

Beranjak dari sejarah pembentukan negara Indonesia, para founding parents kita menanamkan cita-cita bernegara berupa negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Berulang kali pula kita diwarisi pemikiran untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hal ini kemudian dipertegas oleh para the 2nd founding parents dengan mengangkat derajat konsepsi negara hukum pada saat melakukan perubahan keempat UUD 1945 yang sebelumnya hanya diletakkan pada Penjelasan UUD 1945 menjadi tegas tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Pencantuman ini membawa konsekuensi lanjutan bahwa hukum haruslah menjadi panglima dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, negara hukum itu harus dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai satu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sistem tersebut kemudian dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[4]

Dengan mengelaborasi konsep negara hukum yang diperkenalkan oleh Julius Stahl, A.V. Dicey, The International Commission of Jurist, Utrecht, Scheltema, Tahir Azhary, dan Brian Tamanaha; Jimly Asshiddiqie merumuskan kembali ide-ide pokok tentang konsepsi negara hukum Indonesia yang terdiri dari 13 (tiga belas) prinsip, yaitu:[5]

  1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
  2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
  3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
  4. Pembatasan Kekausaan (Limitation of Power)
  5. Organ-Organ Campuran yang Bersifat Independen (Independent Mixed-Organs)
  6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial Judiciary)
  7. Peradilan Tata Usaha Negara (Administrative Court)
  8. Peradilan Tata Negara (Constitucional Court)
  9. Perlindungan Hak Asasi Manusia (Protection of Human Rights)
  10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
  11. Negara Kesejahteraan (Welfare Rechtstaat)
  12. Transparansi dan Kontrol Sosial (Transparency and Social Control)
  13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (The one and the only God)

Pertanyaannya kini, sudah sejauhmanakah Indonesia melaksanakan cita negara hukum tersebut? Sudahkah arah reformasi hukum kita berjalan pada track yang benar? Atau jangan-jangan, euforia kebebasan yang dibuka lebar-lebar melalui pintu reformasi justru menjadi beban tersendiri yang menyebabkan Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam pembangunan hukum. Untuk itulah perlu kiranya kita menelaah terlebih dahulu capaian reformasi dalam tata realitas sekarang ini guna menjawab segala pertanyaan tersebut.

Realitas Reformasi Hukum

Dalam perspektif politik Indonesia, permulaan era reformasi merujuk pada saat pengundurkan diri Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Hal tersebut disebabkan adanya demonstrasi besar-besaran dari elemen rakyat dan mahasiswa di tengah-tengah anjloknya nilai-nilai perekonomian bangsa dan tidak terkendalinya kondisi sosial, hukum, dan keamanan negara.[6]

Pada saat itu, tuntutan reformasi di bidang hukum bergema sekurang-kurangnya pada ranah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Korupsi (KKN); amandemen UUD 1945, reformasi peradilan yang mandiri dan tidak memihak, jaminan atas HAM dan tuntutan atas pelaku kejahatan HAM, serta dibukanya ruang partisipasi aktif masyarakat serta keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari sederet tuntutan reformasi tersebut, beberapa hal yang setidaknya tampak terlihat jelas hasilnya walaupun belum sempurna, seperti misalnya amandemen UUD 1945 dan terbukanya ruang pastisipasi warga dalam pembentukan undang-undang. Sedangkan pencaian terhadap agenda lainnya masih terlihat samara-samar.

Tak dapat dipungkiri, arah reformasi di bidang hukum tercerai-berai, bahkan berjalan tersendar-sendat. Hal tersebut dapat ditangkap dengan mudah apabila kita berkaca pada masih lemahnya penegakan hukum (“low” enforcement) yang kadangkala juga masih bersikap diskriminatif. Belum lagi ditambah dengan rusaknya mental dan moralitas aparat penegak hukum yang seringkali memperjual-belikan kasus hukum hampir di setiap lini, mulai dari penyidikan, penyelidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga eksekusi putusan.

Sementara itu, dibukanya pintu partisipasi dalam legislasi ternyata tidak juga membuat produk-produk hukum benar secara kualitas, salah satunya penyebabnya adalah sebagian legislator yang baru terpilih dinilai kurang memiliki kapasitas yang memadai. Hal ini setidaknya terbukti dari masih banyaknya undang-undang yang dibatalkan di hadapan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Berbagai problem tersebut secara teoritis memang telah diproyeksikan terjadi, sebab Indonesia sedang mengalami masa transisi dari suatu pemerintahan yang otoriter ke suatu pemerintahan yang lebih demokratik. Mengambil istilah Samuel P. Huntington, kondisi demikian dinamakan sebagai “transplacement”, yaitu kondisi di mana pemerintahan Indonesia baru yang transisional pasca reformasi masih merupakan kombinasi antara para aktor baru dan sisa-sisa aktor pada rezim sebelumnya, sehingga yang terbit bukanlah suatu pemerintahan yang sama sekali baru. Kondisi inilah yang kemudian dianggap menjadi kendala utama bagi upaya pelaksaan reformasi hukum.[7]

Hal lain yang dianggap menjadi permasalahan mendasar dan telah seringkali diwacanakan adalah aspek hukum yang oleh Lawrence M. Friedman dibagi menjadi 3 (tiga) unsur dalam sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, ketika berbicara tentang reformasi sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut harus dibenahi secara bersama-sama.

Struktur hukum yang dimaksud di sini merupakan keseluruhan institusi penegakan hukum berikut aparatnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan kantor pengacara. Sementara itu, substansi hukum meliputi kesleuruhan asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, termasuk pada putusan pengadilan. Sedangkan budaya hukum adalah perilaku kebiasaan umum, cara pandang dan sikap dari para penegak hukum ataupun warga negara.[8]

Apabila merujuk dari ketiga hal tersebut, maka secara sepintas dapat kita katakan bahwa unsur hukum yang tereformasi dengan baik barulah struktur hukum, sedangkan substansi hukum belum sepenuhnya, apalagi dengan budaya hukum yang masih teramat rendah. Untuk itu diperlukan politik pembangunan hukum yang lebih terarah, sehingga tidak lagi menjadi pembaharuan hukum yang bersifat parsial dengan indikator yang lebih jelas dan terukur, khususnya terhadap aspek ketiga budaya hukum (legal culture).

Melihat kondisi dan realitas hukum di atas, maka kita tidak perlu terkejut apabila timbul banyak kekecewaan di sana-sini. Lebih dalam lagi, melalui kacamata segitiga Gramsci, maka negara akan menjadi objek tuntutan dari masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market). Bisa jadi karena reformasi yang digulirkan selama ini terlalu fokus pada reformasi di bidang demokrasi politik, sehingga sedikit mengabaikan pentingnya reformasi hukum. Padahal, tanpa dukungan kepastian hukum, baik pembangunan demokrasi politik maupun pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan teratur dan terkendali, apalagi terkait dengan bidang investasi.

Penyebab Ketidakpercayaan Rakyat

Setumpuk permasalahan hukum yang melanda negeri ini bukanlah tanpa sebab. Apabila kita dapat menemukan akar permasalahan tersebut maka membangkitkan cita negara hukum bukanlah hal yang mustahil. Begitupula dengan tumbuh menjamurnya ketidakpercayaan rakyat terhadap simbol-simbol negara, khususnya di dunia hukum. Secara sederhana, masyarakat bagaikan flat fotogenik yang menangkap dan memendarkan apa saja yang terlihat dan terbaca dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai jawaban sederhana, marilah kita bandingkan perlakuan hukum antara masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mereka yang memilki capital baik berupa kekuasaan maupun kekayaan. Beragam kasus hukum yang dialami oleh Nenek Minah, Prita Mulyasari, Raju kecil, ataupun Basar dan Kholil dengan para terdakwa koruptor kelas berat, secara kontras terlihat perbedaannya mulai dari penanganan hingga panjatuhan putusannya. Maka cukup beralasan ketika sebagian masyarakat Indonesia mengutip ungkapan yang disampaikan oleh seorang novelis Perancis, Honore de Balzac, dengan menyatakan, “Laws are spider webs through which the big flies pass and the little ones get caught”.

Penyebab utama lainnya yang semakin membuat runtuh simbol institusi hukum adalah maraknya praktik mafia peradilan yang telah berlangsung selama empat dekade terakhir. Berlangsungnya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) di dunia hukum terjadi mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga jatuhnya putusan hakim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap tahapan tersebut dapat diatur sesuai dengan keinginan para oknum-oknum pengacara dan oknum aparat di institusi Kepolisian Kejaksaan, dan Pengadilan. Lebih parahnya lagi, para saksi atau ahli mulai dapat “dipesan” sesuai dengan kemauan para terdakwa melalui prakarsa pengacaranya.

Praktik kotor para mafia peradilan inilah yang kemudian menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan ditempatkan menjadi lembaga terkorup di Indonesia bersama dengan lembaga perwakilan dan partai politik lainnya. Bahkan menurut survei terakhir yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009, Indonesia menempati peringkat pertama dari negara terkorup dari 14 negara di Asia. Artinya, penegakan hukum di Indonesia hingga kini selalu dirundung dengan masalah yang sama, padahal telah menjadi agenda utama dan pertama dalam reformasi di bidang hukum, yaitu masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). [9]

Tidak jauh berbeda, pelayanan publik yang ditampilkan dan diberikan kepada masyarakat masih bersifat lamban dan cenderung koruptif, termasuk tidak jelasnya kelanjutan dari penyampaian aspirasi kepada lembaga perwakilan resmi. Akibatnya, timbul sikap apatisme tinggi terhadap apapun hasil kinerja yang dikeluarkan oleh lembaga negara dan pemerintahan.

Lebih dalam lagi Achmad Ali mengatkan bahwa secara sosiologis tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pranata-pranata hukum sudah berada dalam taraf “bad trust society” (kepercayaan yang buruk dari masyarakat). Hal tersebut menurutnya disebabkan dari ketidakseriusan pemerintah dalam penegakan hukum.[10] Apabila terpuruknya kercayaan masyarakat terus dibiarkan, maka akan sangat berpotensi menimbulkan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), sebagaimana misalnya terjadi belum lama ini dalam banyak peristiwa penyerbuan kantor-kantor polisi di Lombok, Makasar, dan wilayah lainnya. Dalam perspektif psikologi sosial, perilaku demikian merupakan salah satu bentuk dari ledakan kemarahan (the hostile outburst) yang berwujud pada kerusuhan sosial.

Perlunya Sinergitas Antarlembaga Negara

Tatakala terjadi berbagai kesulitan dan ketidakstabilan akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi, maka banyak negara akan melakukan eksperimentasi dalam pembentukan lembaga-lembaga baru. Hal ini bertujuan agar terciptanya prinsip pelayanan umum yang efektif dan efisien serta terjadinya birokrasi yang lebih mudah. Begitupula dengan di Indonesia, pasca bergulirnya reformasi mengakibatkan banyaknya lembaga negara baru yang bermunculan di tengah-tengah belantara lembaga negara yang lama.

Berdasarkan UUD 1945, setidaknya terdapat kurang lebih 34 (tiga puluh empat) lembaga negara. Dari segi fungsi dan hierarki, lembaga negara tersebut dapat diberdakan menjadi tiga jenis, yaitu: Pertama, organ konstitusi lapis pertama yang disebut sebagai lembaga (tinggi) negara yang mendapatkan kewenangan langsung dari UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK; Kedua, organ lapis kedua yang disebut sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945 ataupun UU, seperti Menteri Negara, TNI, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, KPU, dan Bank Sentral; Ketiga, lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undnag, seperti Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.[11]

Dengan begitu banyaknya lembaga negara yang ada sekarang, maka seringkali antara fungsi dan tugas pelaksana antara lembaga satu dengan lembaga lainnya saling tumpang tindih. Untuk memantapkan sinergitas antarlembaga negara, maka di sektor pemerintahan harus ada upaya penataan secara menyeluruh. Lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM, KPK, KPPU, KPI, Komisi Ombudsman perlu dikonsolidasikan kembali untuk menyusuan road map bersama pembenahan reformasi hukum, bukan berjalan secara sendiri-sendiri.

Khusus untuk lembaga-lembaga negara penegak hukum, seyogianya dilakukan pertemuan berkala semacam rapat kerja nasional untuk menentukan arah pembangunan penegakan hukum Indonesia. Hubungan kerja harus dibangun setidak-tidaknya antara lembaga pengadilan di bawah MA dan MK, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Yudisial, KPK, Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, serta organisasi Advokat. Adalah sebuah kenicayaan apabila kita bermaksud untuk memperbaiki hukum secara nasional tanpa adanya sistem yang bekerja baik di antara skrup-skrup sistem tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh institusi dan lembaga negara di bidang hukum tersebut.

Kegiatan semacam ini pernah dilakukan oleh lembaga negara di bidang hukum menjelang pelaksaaan Pemilu 2009 yang melibatkan pimpinan tertinggi antara MK, MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPU, dan Bawaslu. Apabila hal demikian dapat dilanjutkan secara berkala dan dalam lingkup yang lebih luas, maka masyarakat akan memperoleh pesan bahwasanya lembaga penegak hukum tidak berdiam diri menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi sekarang ini.

Akan tetapi, pertemuan saja tidaklah cukup. Masing-masing institusi harus dipastikan mengambil kebijakan tegas untuk mengeliminir para oknum yang telah mengakibatkan citra lembaga negara menjadi runtuh di mata masyarakat. Permasalahannya terjadi ketika para aparat penegak hukum telah tersandera oleh praktik kelam masa lalunya, sehingga beresiko bagi dirinya untuk mengambil tindakan tegas terhadap orang lain, sebab dirinya akan turut menjadi korban.

Untuk itu diperlukan pemimpin yang jujur, bersih, dan berani untuk menempati pucuk-pucuk pimpinan di setiap lembaga negara. Kata “berani” sengaja penulis tebalkan di sini, sebab bermodal jujur dan bersih saja tidak akan cukup apabila tidak ada keberanian untuk menindak tegas oknum yang terlibat dengan praktik KKN sebagaimana telah menjadi amanat reformasi hukum. Sementara itu, untuk strategi pembenahan birokrasi dan penerapan zona anti-korupsi setidaknya kita dapat merujuk pada pepatah kuno, “To catch a snake, one must always go for its head, if you catch the body, the snake with surely bite you”.

Penutup

Pembenahan hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan, bahkan jika ingin jujur sudah terlalu banyak beragam penelitian dan rekomendasi yang dihasilkan. Tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan solusi yang paling benar, melainkan menjadikan diskursus pembangunan hukum menjadi semakin terarah, khususnya dalam menghadapi tingkat kepercayaan masyarakat yang kian hari kian menurun.

Kita pun tidak perlu larut dalam pesimisme atas masa depan reformasi hukum Indonesia, sebab negara sekaliber Amerika Serikat pun pernah mengalami hal yang serupa dengan apa yang tengah kita hadapi sekarang ini. Di saat itu, para penggiat hukum Amerika Serikat menyerukan agar hukum dikembalikan ke akar moralitas, kultural, dan religiusitasnya, begitu juga seharusnya kita. Selama masyarakat menaati hukum sekedar karena alasan ketakutan terhadap sanksi, maka selama itu pula kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara masih bersifat semu.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan penulis mengutip pernyataan filosof Tavarne sebagai tawaran solutif terakhir terhadap benteng hukum di Indonesia dengan menyatakan, “Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang baik”. Semoga di masa mendatang hukum benar-benar menjadi Panglima dalam mengangkat negeri ini dari keterpurukannya.

Jakarta, 24 Februari 2010

[1] Disampaikan dalam Focus Group Discussion Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di Ruang Rapat Deputi Pengkajian Strategik, Lemhanas RI, Jakarta. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

[2] Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

[3] Simbol negara dalam hal ini didefinisikan lebih luas daripada yang tertera dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

[4] Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum di Indonesia”, disampaikan sebagai Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya di Jakarta pada Sabtu, 23 Januari 2010, hal 7.

[5] Ibid., hal 13-20.

[6] Lihat Donald K. Emerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001.

[7] Berkebalikan dengan transplacement, kondisi replacement mensyaratkan adanya pergantian rezim secara total sehingga benar-benar terdiri dari aktor-aktor negara yang sama sekali baru. Lihat Neil J. Kritz, Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, United States Institute of Peace, 1995.

[8] Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York: Simon and Schuster, 1973.

[9] Wijayanto dan Ridwan Zachrie, eds, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.

[10] Achmad Ali, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Agatama Press, 2004, hal.18.

[11] Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.


No comments: