Thursday, January 21, 2010

Mengawal Demokrasi Melalui Constitutional Review (Bagian II)

MENGAWAL DEMOKRASI MELALUI CONSTITUTIONAL REVIEW:

Sembilan Pilar Demokrasi Putusan Mahkamah Konstitusi[1]

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]

(Disampaikan dalam Buku ”UI untuk Bangsa 2009”) – BAGIAN II

… Sambungan dari Bagian I …


6. Mengubah Sistem Keterpilihan Nomor Urut menjadi Suara Terbanyak

Dalam Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008, di satu sisi MK telah memperkuat alas hukum atas Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 terkait penentuan bakal calon perempuan, dan di sisi lain mencabut Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 terkait sistem keterpilihan calon anggota legislatif berdasarkan nomor urut caleg yang ditetapkan oleh partai politik.

Pada perkara ini MK menegaskan bahwa Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang menentukan setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan merupakan kebijakan dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi.[3] Menurut MK, affirmative action yang juga disebut sebagai reverse discrimination akan memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki.

Bagi MK, pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di DPR, DPD, dan DPRD. Namun demikian, MK juga menegaskan bahwa untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam bidang politik tidak semata-mata tergantung pada faktor hukum, melainkan juga faktor budaya, kemampuan, kedekatan dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta kesadaran yang semakin meningkat atas peranan perempuan dalam bidang politik.

Sementara itu, MK menilai inkonstitusional terhadap Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu.

Ketentuan tersebut menurut MK bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ditegaskan pula bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif, maka akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan. Sebab menurut MK, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil.[4]

Lebih tajam lagi, MK menilai bahwa ketentuan tersebut akan menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif, karena tidak ada rasa dan logika yang dapat membenarkan bahwa keadilan dan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat dilanggar dengan sistem keterpilihan berdasar nomor urut. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut bagi MK sama saja dengan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.[5]

Dalam Putusan ini, Maria Farida Indrati sebagai satu-satunya Hakim Konstitusi perempuan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Maria Farida menilai bahwa MK tidak konsisten menyatakan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 konstitusional, namun menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 adalah inkonstitusional. Menurutnya, Pasal 53, Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 yang mengatur mengenai kuota perempuan merupakan tindakan afirmatif bagi keterwakilan perempuan yang merupakan desain “dari hulu ke hilir”, dalam arti mengkombinasikan antara proteksi dalam mekanisme internal partai (pencalonan dan penempatan dalam daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang diraih calon anggota dewan DPR atau DPRD melalui perjuangan di daerah pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan penggantian dengan “suara terbanyak” menurutnya akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut.[6]

Hakim Maria juga mengingatkan bahwa walaupun sebenarnya penggunaan mekanisme “suara terbanyak” dalam pemilihan umum adalah merupakan cara terbaik dan memenuhi asas demokrasi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kehendak masyarakat pemilih, akan tetapi apabila mekanisme tersebut tidak diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu undang-undang, hal tersebut justru akan menimbulkan dampak yang negatif. Tanpa adanya peraturan yang menyeluruh dan terpadu, lanjutnya, maka mekanisme “suara terbanyak” hanya akan digunakan sebagai alat untuk melegalkan strategi internal partai politik untuk meraih suara pemilih sebanyak mungkin dengan mengabaikan kompetensi calon dan reformasi internal partai politik yang komprehensif, serta mengabaikan tindakan afirmatif yang sudah disepakati bersama.[7]

7. Menghapuskan Sanksi Pers dan Pelarangan Survey, Quick Count, serta News dalam UU Pemilu

Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi bagi pers yang diatur dalam Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2008 dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 32/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Februari 2009. Alasannya, ketentuan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945.

Tiga pertimbangan utama dari MK yang melatarbelakangi Putusan tersebut, yaitu: Pertama, pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda; Kedua, rumusan ketentuan tersebut juga mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu; dan Ketiga, penjatuhan sanksi bagi lembaga penyiaran seharusnya tidak dilakukan oleh KPI, melainkan oleh Pemerintah (Menkominfo) setelah memenuhi due process of law, sedangkan terhadap media massa cetak tidak mungkin dijatuhkan sanksi pencabutan karena UU 40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media massa cetak, sehingga merupakan norma yang tidak diperlukan lagi karena kehilangan kekuatan hukum dan raison d’ĂȘtre-nya.

Sementara itu, pelarangan jajak pendapat (survey) dan penghitungan cepat (quick count) dalam UU Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK secara berturut-turut melalui Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009 dan Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009. Menurut MK, meskipun tidak dilakukan oleh akademisi atau sivitas akademika perguruan tinggi, kegiatan survei (survey) atau perhitungan cepat (quick count) tentang hasil Pemilu merupakan kegiatan berbasis ilmiah yang juga harus dilindungi dengan jiwa dan prinsip kebebasan akademik-ilmiah dan kebebasan mimbar akademik-ilmiah karena hal tersebut dijamin bukan saja oleh Pasal 31 Ayat (1), Ayat (3), dan Ayat (5) UUD 1945 tetapi juga oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang memuat jaminan kebebasan untuk menggali, mengolah, dan mengumumkan informasi, termasuk informasi ilmiah.[8]

Lebih lanjut dipertimbangkan bahwa jajak pendapat, survei, ataupun penghitungan cepat hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam proses penyelenggaran negara termasuk pemilihan umum. Pertimbangan MK lainnya yaitu sejak awal sudah diketahui oleh umum (notoir feiten) bahwa quick count bukanlah hasil resmi sehingga tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui, sehingga penghitungan cepat sudah tidak akan memengaruhi kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebab menurut MK, pemungutan suara sudah selesai dan suatu penghitungan cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya pemungutan suara.[9]

Terhadap Putusan survey dan quick count ini diwarnai dissenting opinions dari 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi, yaitu (1) Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar yang sama-sama berpendapat hanya mengabulkan sebagian kecil permohonan; serta (2) M. Arsyad Sanusi yang menolak keseluruhan permohonan Pemohon.

Sedangkan terhadap ketentuan sepanjang kata “berita” pada Pasal 47 ayat (5) UU 10/2008 yang pada pokoknya melarang pemberitaan seputar pasangan calon Presiden/Wakil Presiden di masa tenang Pemilu, MK menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Menurut MK, menyiarkan berita adalah bagian dari hak asasi setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia yang dilindungi oleh konstitusi. Lebih dalam dipertimbangkan oleh MK bahwa penyiaran berita mengenai pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru akan membantu memberikan informasi seluas-luasnya kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas dari pasangan calon Presiden/Wakil Presiden yang semuanya terpulang pada penilaian subjektifitas dari pendengar atau pembaca berita yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dari pesta demokrasi yang merupakan hak dari rakyat.

8. Menjembatani Pemilih Pilpres Bermodal KTP atau Paspor

Salah satu landmark decision MK dalam konteks pengawalan demokrasi yaitu Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 yang menerobos kebuntuan hukum UU Pilpres terkait dengan permasalahan calon pemilih yang tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).[10] Dengan merujuk Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

Hal tersebut secara tegas menurut MK telah dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh karenanya, MK memberikan pertimbangan hukumnya dengan menyatakan bahwa hak-hak warga negara untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum.

MK memandang bahwa solusi terbaik mengatasi permasalahan atas masih banyaknya pemilih yang tidak tercantum dalam DPT adalah dengan memperbolehkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih di dalam Pilpres. Namun demikian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, MK juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:[11]

  1. Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
  2. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
  3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) harus mendapat persetujuan dan penunjukkan tempat pemberian suara dari PPLN setempat;
  4. Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
  5. Bagi Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS LN setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 28 dan Pasal 111 UU Pilpres adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara memilih sebagaimana disebutkan di atas (conditonally constitutional).

9. Menyelamatkan Suara Pemilih dalam Pemilu Legislatif

Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengawal demokrasi tentu tidak bisa dilepaskan dari penanganan proses sengketa hasil pemilihan umum, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Sebagaimana telah diuraikan secara sekilas sebelumnya, kewenangan tersebut masuk dalam kewenangan MK dalam menangani sengketa Perselishan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), namun terdapat satu perkara pengujian undang-undang yang sangat berkaitan erat dengan hasil pemilihan umum legislatif dan menjadi putusan ”penyelamat” demokrasi.

Adalah Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7 Agustus 2009 yang akhirnya memberikan ketegasan bagi para caleg legislatif terpilih yang hampir kehilangan kursi legislatifnya. Hal ini terjadi pasca keluarnya Putusan MA Nomor 15P/HUM/2009,[12] Nomor 16 P/HUM/2009, dan Nomor 18 P/HUM/2009, yang menjadikan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 memiliki banyak tafsir tentang penghitungan kursi tahap kedua, sehingga membuka potensi terjadinya penghitungan ganda (double counting) dan bergesernya ratusan kursi caleg DPR/DPRD terpilih, serta menimbulkan kontroversi yang sangat tajam di tengah-tengah masyarakat. [13]

Dalam perkara ini, MK hanya fokus dalam mengadili hal-hal yang menyangkut konstitusionalitas dan penafsiran dari Pasal 205 ayat (4) serta Penjelasan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 yang menurut para Pemohon rumusan pasal-pasal tersebut bersifat multitafsir karena ketidakjelasan frasa “suara” dalam Pasal 205 ayat (4) dan frasa “sisa suara” dalam Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008, terutama dalam kaitan untuk mengimplementasikan sistem Pemilu yang dianut oleh UU 10/2008 sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.

Setelah memeriksa dan mengadili perkara ini, akhirnya Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara yang sesuai dengan penafsiran MK yaitu cara penghitungan yang tidak terlampau jauh berbeda dengan substansi yang sebenarnya telah terdapat dalam ketentuan Peraturan KPU, akan tetapi ketentuan tersebut sebelumnya dicabut oleh Mahkamah Agung.[14]

Terdapat dua hal yang sangat menarik dalam Putusan ini. Pertama, sifat putusannya yang baru pertama kali diberlakukan secara retroaktif atau berlaku ke belakang agar pembagian kusi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 tanpa ada kompensasi atau ganti rugi atas akibat-akibat yang terlanjur ada dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. MK menilai bahwa prinsip non-retroaktif akibat hukum satu putusan MK bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, sebagaimana juga secara tegas dimuat dalam UU MK berbagai negara yang memiliki MK. Untuk bidang undang-undang tertentu, menurut MK, pengecualian dan diskresi yang dikenal dan diakui secara universal dibutuhkan karena adanya tujuan perlindungan hukum tertentu yang hendak dicapai yang bersifat ketertiban umum (public order).

Kedua, walaupun dalam putusan tersebut MK tidak menilai atau menguji baik Putusan Mahkamah Agung maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum, namun karena Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah dinilai oleh Mahkamah sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), maka semua isi peraturan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan tersebut bagi MK menjadi tidak berlaku karena kehilangan dasar pijakannya.

E. PRO KONTRA PUTUSAN MK

Berdasarkan uraian mengenai kesembilan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, maka kita dapat melihat bahwa di antara putusan tersebut banyak diwarnai oleh pendapat berbeda (dissenting opinions) dari para Hakim.[15] Artinya, peraduan argumentasi hukum dan konstitusi di kalangan hakim sendiri benar-benar terjadi dan menunjukkan terdapatnya berbagai macam cara tafsir, metode, dan mahzab hukum yang berbeda-beda. Oleh karenanya bagi para Hakim Konstitusi, putusan yang menimbulkan pendapat pro-kontra di tengah-tengah masyarakat menjadi pemandangan yang lumrah, karena dalam pembuatan putusannya pun terjadi hal yang demikian, bahkan menurut beberapa Hakim Konstitusi hal tersebut justru dapat ”menyehatkan” iklim akademis di ranah demokrasi dan konstitusi apabila dilakukan dalam cara-cara dan koridor yang tepat.[16]

Selain 9 (sembilan) putusan di atas dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang mengabulkan, terdapat juga putusan terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ditolak atau tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, sehingga menimbulkan silang pendapat di tengah-tengah masyarakat.[17] Salah satu putusan tersebut yang cukup menyita perhatian publik, misalnya yaitu, pengujian UU Pilpres terkait dengan persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang harus diajukan oleh Partai Politik atau Gabung Partai Politik atau lebih dikenal dengan nama perkara ”calon Presiden Independen”.

Melalui Putusannya Nomor 56/PUU-VI/200 bertanggal 17 Februari 2009, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 secara tegas memiliki makna hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR.[18]

Oleh karena itu menurut Mahkamah Konstitusi, UU Pilpres hanya merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Hal demikian menjadi lain penafsirannya apabila terjadi perubahan UUD 1945 di masa yang akan datang. Terhadap perkara ini, terpecahnya pendapat di kalangan para ahli hukum dan masyarakat sebenarnya juga dapat terefleksikan dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinions) dari 3 (tiga) Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara tersebut, yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar, sehingga putusan tersebut jatuh pada posisi 5 (lima) suara berbanding 3 (tiga) suara.[19]

F. PENUTUP

Melalui uraian panjang di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu undang-undang pun yang kini dapat dibentuk sesuka hati atau kehendak pribadi para legislator, melainkan substansi undang-undang tersebut harus pula tunduk dan patuh kepada norma-norma konstitusi. Jika tidak, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme pengujian undang-undang (constitutional review) di hadapan Mahkamah Konstitusi. Di sinilah makna tersirat mengapa antara democracy (kedaulatan rakyat) dan nomocratie (kedaulatan hukum) harus dapat berjalanan secara beriringan, saling menopang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.

Jarum sejarah enam tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi telah menunjukan bahwa lembaga ini memiliki andil dan kontribusi penting dalam menentukan arah dan jalan pembangunan demokrasi konstitusional di Indonesia. Tentunya tulisan ini tidak semata-mata untuk mendeskripsikan terhadap apa yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya selama ini. Akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pendedahan secara terbuka terhadap peran, tugas, dan fungsi Mahkamah Konstitusi yang ternyata sangat memiliki arti penting dan andil nyata bagi perkembangan dan arah demokrasi Indonesia yang baru saja tumbuh dan berkembang pasca terbukanya pintu reformasi.

Dengan demikian, tanpa menyadari adanya kesempatan dan peluang luas bagi pengawalan demokrasi tersebut, maka niscaya kehidupan berdemokrasi akan berjalan lambat atau bahkan dapat berakibat stagnan. Terlebih lagi, sesuai dengan sifat suatu pengadilan, sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi bersifat pasif dan tidak dapat secara aktif mengadili suatu undang-undang atau sengketa atas inisiatifnya sendiri.

Oleh karena itu, masyarakat madani harus dapat lebih terlibat aktif untuk turut mengawal demokrasi dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, selain diharapkan dapat menjaga performanya, Mahkamah Konstitusi tentunya juga harus didorong untuk meningkatkan kualitas putusannya yang mampu menjangkau cakrawala kepentingan dan kebutuhan demokrasi masyarakat Indonesia di masa-masa mendatang. (*)


[1] Tulisan disampaikan dalam Buku “UI untuk Bangsa” Tahun 2009. Pendapat Pribadi.

[2] Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

[3] Beberapa konvensi internasional yang dimaksud, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984; (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik; dan (3) Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW).

[4] Sebelum menjatuhkan Putusannya ini, MK juga telah mempertimbangkan kebersiapan dan kesedian KPU secara teknis administratif yang telah disanggupinya dalam persidangan, seandainya KPU memang harus menjalankan sistem keterpilihan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.

[5] Putusan ini disambut baik oleh sebagian kalangan karena dapat meruntuhkan oligarki calon yang memiliki kedekatan dengan pimpinan Partai Politik semata, namun mereka jarang atau tidak pernah menemui konstituennya. Akan tetapi sebagian juga mengkhawatirkan konsekuensi dari putusan ini dengan menyatakan akan tercipta liberalisasi pemilihan karena para pemilih akan cenderung memilih calon yang mereka kenal atau populer tanpa banyak mempedulikan banyak terhadap track record dan kontribus dari yang dipilihnya terhadap partai pengusung, apalagi jika para pemilih mudah tergiur dengan money politics.

[6] Jumlah anggota DPR perempuan pada periode 1999-2004 sejumlah 45 orang (9%), periode 2004-2009 sejumlah 66 orang (12%). Sementara itu dalam Pemilu 2009 terakhir, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR yaitu sebanyak 101 orang (18%). Walaupun belum mencapai 30% sesuai harapan undang-undang, namun dari periode satu ke periode berikutnya menunjukan statistik peningkatan dari segi kuantitas yang tentunya harus pula diimbangi dengan peningkatan kualitasnya.

[7] Salah satu konsekuensi dari sistem keterpilihan berdasarkan suara terbanyak, yaitu MK akhirnya menerima puluhan permohonan dari Partai Politik yang terkait dengan sengketa antarcalegnya sendiri. Sebagai contoh, Partai Golongan Karya yang mengajukan 49 kasus ternyata 30 kasus di antaranya merupakan sengketa sesama caleg Partai Golkar sendiri. Terhadap polemik sengketa antarcaleg ini, MK berpendirian bahwa sengketa antarcaleg tersebut dapat diperiksa sepanjang memenuhi 2 (dua) persyaratan berikut: (1) syarat subjectum litis yaitu permohonan tersebut harus tetap diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik atau nama yang sejenisnya, bukan oleh masing-masing caleg yang bersangkutan secara otonom; dan (2) syarat objectum litis yaitu objek yang dipermasalahkan haruslah tetap Keputusan KPU tentang perolehan suara hasil Pemilu yang berkaitan dengan perolehan suara setiap caleg dalam satu parpol. Akhirnya, dari keseluruhan permohonan antarcaleg ini, sejumlah 14 (empat belas) kasus yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat partai-partai politik dikabulkan oleh MK karena selain telah memenuhi 2 (dua) persyaratan tersebut, dalil-dali permohonan yang diajukan terbukti beralasan di dalam persidangan.

[8] Pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 tidaklah jauh berbeda dengan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, karena pada pokoknya ketentuan yang diuji memiliki substansi norma yang sama. Akan tetapi dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 MK memberikan tambahan pertimbangan hukumnya sebagai berikut: Pertama, oleh karena survei dan penghitungan cepat pada dasarnya didasarkan pada keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk mempengaruhi pemilih, maka netralitas survei dan penghitungan menjadi sangat penting; Kedua, apabila survei dan penghitungan cepat dilakukan untuk kepentingan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, maka publik memiliki hak untuk mengetahui bahwa kegiatan tersebut dilakukan atas pesanan atau dibiayai oleh pasangan calon Presiden/Wakil Presiden tertentu serta menjadi kewajiban pelaksana kegiatan survei dan penghitungan cepat untuk mengungkapkannya kepada publik secara jujur dan transparan. Pertimbangan tambahan ini muncul dikarenakan pada masa itu terjadi kekhawatiran dari publik luas bahwa banyak survei dan penghitungan cepat disinyalir dibiayai dan dilakukan untuk kepentingan pasangan-pasangan calon tertentu, sehingga sulit bagi publik untuk menilai atau membandingkan mana yang murni akademis atau untuk kepentingan tertentu. Lihat misalnya Koran Tempo, “LSI: SBY Diperkirakan Menang dalam Satu Putaran”, Minggu, 5 April 2009; Kompas, ”LSI Kembalikan Dana Fox Indonesia”, Senin, 29 Juni 2009; dan Kompas, ”Denny JA: Iklan Satu Putaran Dibiayai Seseorang”, Jumat, 3 Juli 2009.

[9] Berdasarkan pengalaman selama ini, banyak hasil quick count yang menunjukan akurasi ketepatan yang tidak jauh berbeda dengan hasil resmi yang diumumkan oleh KPU atau KPUD dalam penyelenggaran Pemilukada, Pemilu Nasional, ataupun Pilpres. Lembaga penyelenggara quick count yang dinilai masih memiliki catatan baik, misalnya, Lingkaran Survey Indonesia (LSI – Denny J.A.) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI – Saiful Mujani). Data lengkap dapat dilihat di http://www.lsi.co.id/ dan http://www.lsi.or.id/.

[10] Persidangan dalam perkara ini merupakan yang tercepat dalam pengambilan putusannya sepanjang sejarah berdirinya MK. Sidang pertama dibuka pada hari Senin, 6 Juli 2009 Pukul 10.00 WIB untuk dilakukan pemeriksaan selama kurang lebih 30 menit. Kemudian pada hari yang sama pada Pukul 17.00 WIB, Majelis Hakim langsung membacakan Putusan akhirnya. Putusan progresif ini menjadi penting maknanya karena dianggap oleh banyak pihak mampu mencegah terjadinya degradasi proses demokrasi karena adanya desakan pengunduran waktu Pemilu serta terbukanya kemungkinan pengunduran diri dua dari tiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden karena merasa tidak puas terhadap tindakan yang dilakukan oleh KPU menghadapi karut-marutnya penyusunan DPT yang diklaim oleh kedua pasangan tersebut sangat berpotensi merugikan perolehan suaranya. Lihat misalnya Tempo Interaktif, ”MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Desember 2009 dan tersedia pada http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706-185409,id.html.

[11] Walaupun MK telah memutuskan bahwa KTP atau Paspor dapat digunakan untuk memilih, namun sebagian kecil pihak menganggap Putusan ini dikeluarkan agak terlambat dan terkesan tidak sepenuh hati. Pasalnya, menurut mereka, Putusan tersebut dijatuhkan hanya kurang 2 (dua) hari dari pelaksanaan Pilpres, serta tidak mengakomodasi para pemilih yang tidak berada di tempat tinggalnya karena alasan dinas, kuliah, berpergian, dan lain sebagianya. Sementara itu, pedoman MK menyatakan bahwa penggunaan KTP hanya dapat dilakukan sesuai dengan domisilinya masing-masing. Berdasarkan data akhir yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih yang menggunakan KTP untuk memilih dalam Pilpres di seluruh Indonesia berjumlah 382.540 orang. Lihat juga Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 bertanggal 12 Agustus 2009 mengenai permohonan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto serta Megawati dan Prabowo.

[12] Mengenai analisa singkat terhadap Putusan MA Nomor 15P/HUM/2009, lihat Pan Mohamad Faiz, “Quo Vadis Putusan MA?”, Seputar Indonesia, Kamis, 30 Juli 2009.

[13] Hasil penelitian dari Center for Electoral Reform (CETRO) menunjukkan bahwa akibat dari Putusan MA tersebut telah terjadi penambahan kursi yang signifikan bagi tiga partai besar, yaitu Demokrat, Golkar, dan PDIP. Akan tetapi sebaliknya akan terjadi pengurangan jumlah kursi terhadap partai-partai menengah dan kecil, yaitu PKS, PAN, PPP, Gerindra, dan Hanura. Jumlah kursi di DPR RI yang diperkirakan akan berubah menurut penghitungan CETRO dapat mencapai hingga 66 kursi.

[14] Conditionally Constitutional (konstitusional bersyarat) merupakan salah satu terobosan hukum yang dilakukan oleh MK dalam putusannya yang berarti suatu norma di dalam undang-undang akan dianggap konstitusional sepanjang dimaknai dan dijatuhkan sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan oleh MK, dan ketentuan sebaliknya disebut sebagai conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat). Putusan konstitutional bersyarat ini pertama kali diterapkan oleh MK ketika memutus pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Setelah putusan tersebut, beberapa undang-undang yang diuji oleh MK juga berhujung pada putusan conditionally constitutional, seperti misalnya UU PPTKI, UU Pemilu, UU Perfilman, dan KUHP.

[15] Sebagian besar Hakim Konstitusi generasi pertama yang telah pensiun telah membukukan pendapat-pendapat hukumnya (legal opinions) yang pernah digunakan sebagai bahan pertimbangan hukum dalam pembuatan setiap putusan, termasuk pendapat-pendapatnya yang berbeda (dissenting opinions). Lihat misalnya Achmad Roestandi, Mengapa Saya Berbeda Pendapat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, 2008.

[16] Berdasarkan berbagai pendapat para sarjana, mulai dari Utrecht Visser’t Hoft, Ronald Dworkin, Arif Sidharta, hingga Jazim Hamidi, penafsiran terhadap konstitusi dapat dibagai menjadi 23 (dua puluh tiga) jenis penasfiran. Oleh karena itu, potensi bermacamnya tafsiran konstitusi terhadap suatu norma di dalam peraturan perundang-undangan juga cukup besar. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, hal. 273-314.

[17] Baik Jimly Asshiddiqie maupun Mahfud MD. pada saat menjadi Ketua MK seringkali mengatakan bahwa dirinya bersama para Hakim Konstitusi lainnya tidak akan heran apabila menemukan pemohon yang akan memuji MK apabila permohonannya dikabulkan, dan sebaliknya akan mempertanyakan putusan MK apabila permohonannya ditolak atau tidak dapat diterima. Alasannya, ketika bereaksi para Pihak mempunyai kepentingannya masing-masing yang bisa saja diuntungkan atau dirugikan atas Putusan MK.

[18] Perdebatan lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara” Jilid 1, hal. 165-360.

[19] Pada saat itu, Hakim Konstitusi hanya berjumlah 8 (delapan) orang, karena belum terdapat Hakim Konstitusi yang baru untuk menggantikan posisi Hakim Jimly Asshiddiqie yang mengundurkan diri. Kini posisi tersebut diisi oleh Harjono (Hakim Konstitusi periode 2003-2008) yang dipilih kembali setelah melalui proses fit and proper test di DPR RI.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_________, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

_________, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan (Buku I), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.

Mahfud MD., Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

_________, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

_________, “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town , Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.

Roestandi, Achmad, Mengapa Saya Berbeda Pendapat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, 2008.

Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959.

Kompas, ”LSI Kembalikan Dana Fox Indonesia”, Senin, 29 Juni 2009;

Kompas, ”Denny JA: Iklan Satu Putaran Dibiayai Seseorang”, Jumat, 3 Juli 2009.

Koran Tempo, “LSI: SBY Diperkirakan Menang dalam Satu Putaran”, Minggu, 5 April 2009;

Pan Mohamad Faiz, “Quo Vadis Putusan MA?”, Seputar Indonesia, Kamis, 30 Juli 2009.

Tempo Interaktif, ”MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Desember 2009 dan tersedia pada http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706-185409,id.html.

DOWNLOAD FULL PAPER: Click here.


1 comment:

Kursus Hukum said...

Hukum selalu menarik untuk dipelajari