Sunday, May 03, 2009

Perubahan Iklim dalam Perlindungan Konstitusi (Bagian I)

PERUBAHAN IKLIM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN:
SUATU KAJIAN BERPERSPEKTIF HUKUM KONSTITUSI
[1]
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]

“All across the world, in every kind of environment and region known to man, increasingly dangerous weather patterns and devastating storms are abruptly putting an end to the long-running debate over whether or not climate change is real. Not only is it real, it’s here, and its effects are giving rise to a frighteningly new global phenomenon: the man-made natural disaster.”

(Barack Obama, 3 April 2006)

A. PENDAHULUAN

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang awam akan arti pentingnya sebuah lingkungan, maka di dalam pandangannya, lingkungan hanyalah objek sederhana yang sekedar terkait dengan tumbuhan dan hewan. Padahal sesungguhnya, ruang lingkup lingkungan sangatlah jauh lebih luas daripada hal tersebut, yaitu menyangkut entitas menyeluruh dimana semua makhluk hidup berada.

Dalam konteks pembangunan negara dan pemberdayaan masyarakat, segala aktivitas dan kegiatannya tidak dapat mengenyampingkan eksistensi lingkungan pada titik dan batas tertentu. Oleh karenanya, pembangunan dan pemberdayaan yang tidak memberikan perhatian serius terhadap lingkungan, sebaliknya justru akan menghasilkan anti-pembangunan dan anti-pemberdayaan, bahkan lebih negatifnya lagi dapat pula berakibat pada penderitaan hebat bagi umat manusia, serta meningkatnya angka kemiskinan dan penindasan terhadap hak asasi manusia.

Menurut Mattias Finger,[3] krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal; teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak; rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya merugikan lingkungan; tindakan dan tingkah laku menyimpang dari aktor-aktor negara yang ‘tersesat’, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs; merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme; serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik.


Beranjak dari hal tersebut, maka pada umumnya menurut Finger jalan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik; teknologi baru dan berbeda; penguatan komitmen politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-lingkungan (green thinking); penanganan terhadap aktor-aktor ‘sesat’; serta merubah pola kebudayaan, tingkah laku, dan kesadaran tiap-tiap individu.

Akan tetapi dalam makalah kali ini, Penulis justru mencoba untuk membahas issu permasalahan lingkungan dengan tidak berpegangan pada mekanisme penanganan konvensional sebagaimana tersebut di atas. Pembahasan akan menggunakan cara pandang yang berbeda dan berada di luar kebiasaan kajian hukum lingkungan yang telah ada, yaitu melalui pendekatan hukum konstitusi (constitutional law).


Kendati demikian, kajian ini tentunya tidak menafikan bahwa langkah-langkah konvensional tersebut juga telah membuahkan hasil. Namun sepertinya akan terasa tidak lengkap apabila suatu kajian berperspektif konstitusi tidak diikutsertakan di dalamnya. Oleh karena itu, pembahasan dalam makalah ini dimaksudkan untuk menambah alternatif sekaligus penguatan langkah solutif dalam rangka penanganan masalah terhadap issu-issu terkait dengan lingkungan hidup.

Memang harus diakui bahwa hingga saat ini masih sangat jarang para ahli hukum dan lingkungan di Indonesia yang memberikan analisa mengenai korelasi dan pertautan antara peran konstitusi dengan mekanisme perlindungan terhadap lingkungan.[4] Sebagai bahan kajian, Penulis akan mengambil salah satu permasalahan lingkungan yang kini telah menjadi keprihatinan dunia, yakni fenomena perubahan iklim (climate change). Permasalahan ini kemudian akan dibahas dalam tataran sejauh mana respons dan perlindungan lingkungan yang telah atau seharusnya diberikan oleh Konstitusi Indonesia yang dikenal dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[5]


B. PERUBAHAN IKLIM

Fenomena telah terjadinya perubahan iklim (climate change)[6] sepertinya tidak dapat lagi dipertentangkan. Berbagai penelitian ilmiah menggambarkan bahwa karbondioksida (CO₂) di lapisan atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas, telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO₂), metana (CH₄), dan nitrousoksida (N₂O), yang dapat menyebabkan terjadinya “efek selimut”.


Efek inilah yang kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Sebagai bahan perbandingan, konsentrasi GRK pada masa pra-industri di abad ke-19 baru sebesar 290 ppmv (CO₂), 700 ppbv (CH₄), dan 275 ppbv (N₂O). Sedangkan pada saat ini, peningkatannya menjadi sebesar 360 ppmv (CO₂), 1.745 ppbv (CH₄), dan 311 ppbv (N₂O). Dengan demikian, menurut para ahli, GRK untuk CO₂ pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai kisaran 550 ppmv.[7]

Observasi lapangan dari stasiun meteorologi di Kutub Utara telah menunjukan adanya peningkatan temperatur suhu tahunan hingga 1°C dalam satu generasi terakhir. Dampak buruk dari meningkatnya suhu tersebut adalah melelehnya gletser (melting of glaciers) dan tenggelamnya bongkahan es di wilayah Alaska dan Siberia, sehingga dapat menyebabkan naiknya permukaan laut hingga mampu menenggelamkan pulau-pulau dan menimbulkan banjir besar di berbagai wilayah dataran rendah.[8]


Oleh karenanya, negara-negara kepulauan seperti Indonesia inilah yang nantinya akan dengan sangat mudah menerima efek dahsyat akibat meningkatnya ketinggian air laut dan munculnya topan badai. Lebih parahnya lagi, Indonesia sebagai negara yang menggunakan sebagian wilayah garis pantainya sebagai kunci aktivitas perekonomian, seperti misalnya di bidang pariwisata, perikanan bagi para nelayan, pertanian berbasis air, sistem pengendalian banjir, serta ekstrasi dan pengeboran minyak bumi-gas, sudah pasti akan menerima dampak negatif yang lebih besar akibat perubahan iklim apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia.

Konsekuensi masa depan terhadap perubahan iklim juga diprediksi akan lebih dramatis lagi dan menggangu kehidupan umat manusia, seperti terancamanya distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati, erosi dan badai yang akan memaksa relokasi penduduk di sepanjang pantai, beban biaya yang sangat besar untuk rekonstruksi infrastruktur pembangunan, meningkatnya alokasi dana untuk pengendalian potensi kebakaran dan beragam penyakit, serta investasi yang sangat besar untuk pelayanan kesehatan.


Ketika menyadari sepenuhnya akan dampak buruk perubahan iklim bagi negara-negara dunia dan khususnya Indonesia, maka sudah seyogyanya diambil langkah-langkah penting dan strategis dengan cara mitigasi dan adaptasi guna mencegah kerusakan yang lebih besar.

Untuk selanjutnya, pembahasan akan lebih difokuskan pada kajian bidang hukum yang terkait erat dengan aspek-aspek HAM dan keadilan berdasarkan kerangka hukum internasional dan hukum konstitusi.

1. Konvensi Perubahan Iklim

Momentum keterlibatan aktif Indonesia di dunia internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim tersebut kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 yang menandakan telah dimulainya komitmen bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas oleh lembaga pemerintah, namun juga berbagai sektor-sektor swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat luas.[9]


Adapun tujuan utama dari Konvensi Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, yaitu untuk mestabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Guna mencapai tujuan tersebut disepakatilah prinsip-prinsip dasar Konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan (equality principle) dan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), seperti misalnya tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap Pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities).[10]

Seluruh ketentuan kewajiban yang terdapat di Pasal 4 dalam Konvensi tersebut berlaku terhadap seluruh pihak, salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan saling berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim dan perubahan iklim, termasuk terhadap konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi kebijakan. Namun demikian, terdapat perbedaan kewajiban antara negara-negara industri (Annex I dan Annex II) dengan negara-negara berkembang, dimana negara-negara Annex I secara kolektif berkewajiban untuk menurunkan emisinya sebesar 5% dari tingkat emisi pada tahun 1990 dalam kurun waktu tahun 2008 s.d. 2012.[11]


Dalam perjalanan dan pelaksanaannya ternyata terbentuk dua blok besar yang tergabung dalam blok negara-negara maju (developed countries) dan blok negara-negara berkembang (developing countries). Selanjutnya kedua blok besar tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok yang lebih kecil guna memperjuangkan kepentingan dan pendapatnya masing-masing.

Untuk negara-negara Annex I, terdiri dari Uni Eropa (15 negara), JUSSCANNZ (7 negara), Kelompok Payung (9 negara), serta Rusia dan CEIT (14 negara). Sedangkan untuk negara-negara Non-Annex I, terdiri dari G77 + Cina (131 negara), OPEC (11 negara), GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53 negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11 negara). Posisi Indonesia yang tergabung dalam kelompok G77 + Cina dan OPEC seringkali mengalami kesulitan dan dilema ketika dalam proses pengambilan keputusan pada forum-forum internasional, karena tidak mampu menahan laju kepentingan pragmatis dari sebagian anggota kelompoknya.[12]


2. Protokol Kyoto, 1997 dan Bali Roadmap, 2007

Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu sistem iklim bumi.


Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi kepentingan antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih tegas dan terikat hukum.

Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.


Kendati sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat adanya penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya Protokol Kyoto tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya 2 (dua) syarat utama sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil diratifikasi oleh 55 negara pada tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya jumlah emisi total dari negara ANNEX I lebih dari 55% pada tanggal 16 Februari 2005. Indonesia sendiri meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004.[13]

Join Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM) merupakan tiga mekanisme yang ditentukan di dalam Protokol Kyoto guna mengatur masalah pengurangan emisi GRK. JI merupakan mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. ET adalah mekanisme yang memungkinkan negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya.


Sedangkan CDM yaitu mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I untuk berperan aktif dalam membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh negara maju. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka setidaknya negara penandatangan Protokol, khususnya negara-negara berkembang, akan memperoleh keuntungan dari segi bisnis, lingkungan, dan politis.

Dalam perkembangannya yang terakhir, UNFCCC ke-13 yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 juga menorehkan langkah maju. Setelah menggelar pertemuan selama dua minggu secara berturut-turut, akhirnya seluruh delegasi dari 190 negara menyepakati konsensus untuk menekan laju perubahan iklim. Keputusan tersebut diperoleh secara mengejutkan setelah delegasi Amerika Serikat akhirnya “insyaf” dan bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan pada Peta Jalan Bali (Bali Roadmap).


Kendati demikian, hasil kajian ilmah dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) membawa berita yang kurang baik dengan kesimpulan bahwa dalam kurun tidak lebih dari 50 tahun ke depan, bongkahan-bongkahan es yang berada di Kutub Utara akan hilang. Lebih lanjut, IPCC memperkirakan akan terjadinya kenaikan suhu antara 1,8 - 4°C dan kenaikan permukaan air laut antara 28 hingga 34 cm, serta terjadinya peningkatan gelombang udara panas dan badai tropis.

Secara ringkas, hasil pokok dari Bali Roadmap tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa keterlambatan pengurangan emisi GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan lingkungan; Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama; Ketiga, keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan.


Keempat, penegasan kesediaan sukarela negara berkembang untuk mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi, dana, dan peningkatan kapasiatas; Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi; dan Keenam, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.[14]

Sedangkan komitmen dasar yang dihasilkan dari Bali Roadmap, yaitu: Pertama, memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012); Kedua, menjalankan program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi; Ketiga, mengadopsi usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara berkembang (Reduction Emission from Deforestation and Degradation/REDD); Keempat, melipatgandakan skala CDM dari sektor kehutanan; Kelima, memasukan teknologi carbon capture and storage ke CDM; dan Kelima, menyepakti perluasan kerja kelompok pakar untuk adaptasi di negara LDC (Least Developed Countries).[15]


Walaupun bernilai positif, namun harus ditekankan bahwa kelima komitmen tersebut jangan sampai menjadi instrumen yang justru menjadi legitimasi “penggadaian” sumber daya hutan Indonesia dan negara-negara Selatan yang tidak berimbang dengan skema perdagangan karbon.
C. PERLINDUNGAN KONSTITUSI

Kajian tentang hukum konstitusi semakin hari dianggap semakin penting bagi kebanyakan negara di dunia, khususnya oleh negara-negara yang memiliki sistem negara demokrasi konstitusional. Hal tersebut menjadi relevan mengingat konstitusi adalah hukum tertinggi di dalam suatu negara (the supreme law of the land). Oleh karena konstitusi merupakan landasan fundamental terhadap segala bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan, maka sebagai prinsip hukum yang berlaku secara universal, bentuk hukum dan peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

Konstitusi kini juga dipahami bukan lagi sekedar suatu dokumen mati, tetapi lebih dari itu, konstitusi telah menjelma dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar dalam penyelenggaraan suatu negara yang selalu hidup mengikuti perkembangan zamannya (the living constitution). Dilihat dari sudut kedudukannya, konstitusi adalah kesepakatan umum (general consensus) atau persetujuan bersama (common agreement) dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar yang terkait dengan prinsip dasar kehidupan dan penyelenggaraan negara, serta struktur organisasi suatu negara.[16]


Artinya, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi memiliki makna penting dan konsekuensi besar untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tanpa terkecuali, baik melalui beragam kebijakan maupun produk peraturan perundangan-undangan. Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap lingkungan, maka dapat tarik kesimpulan sementara bahwa keberadaan norma atau ketentuan tentang lingkungan hidup atau konsep pembangunan berkelanjutan di dalam konstitusi akan sangat memiliki pengaruh hukum yang cukup signifikan.

Pertama, ketentuan tersebut akan berpengaruh terhadap pengembangan kebijakan dalam rangka perlindungan nilai-nilai dan prinsip dasar lingkungan hidup pada skala nasional dan regional. Kedua, konstitusionalisasi prinsip-prinsip lingkungan hidup akan menciptakan yuridiksi atas hukum nasional yang berlaku di setiap tingkatan wilayah pemerintahan, baik provinsi, kotamadya, maupun kabupaten, dengan tingginya kapasitas dan komitmen hukum para penyelenggara negara yang diwajibkan oleh Konstitusi untuk mengelola fungsi-fungsi negara dalam konteks perlindungan terhadap lingkungan. Ketiga, isi konstitusi juga akan mempengaruhi hubungan yang akan terbentuk antara hukum lingkungan substantif dan prosedural, serta sulit-tidaknya hukum lingkungan di tingkat nasional diintegrasikan dan diharmonisasikan dengan norma-norma lingkungan di tingkat internasional.


Lebih dari itu, konstitusi yang memuat ketentuan lingkungan juga akan menentukan arah dan batas lingkup mengenai hak atas benda (property rights) yang kemudian secara tidak langsung berpengaruh terhadap konsepsi perlindungan atas kepemilikan pribadi (private ownership).

Kemudian yang menjadi pertanyaan klasik dalam kajian perbandingan hukum konstitusi adalah tradisi sistem hukum apakah yang diikuti oleh negara-negara yang bersangkutan, apakah civil law, common law, socialist law, atau religious law?[17] Sebab, pilihan sistem hukum ini nantinya akan memberi pengaruh terhadap peranan pengadilan di dalam sistem politik suatu negara dan keseragaman hukum melalui yurisdiksi yang berbeda.[18]


Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara yang menganut prinsip demokrasi (democracy) dan nomokrasi (nomocracy). Keduanya disejajarkan secara seimbang untuk menutupi kelemahannya masing-masing. Lebih spesifik lagi, Indonesia juga tengah menganut sistem demokrasi konstitusional (constitutional democracy), dimana proses dan pelaksaaan prinsip-prinsip demokrasi harus tunduk pada ketentuan norma yang dicantumkan dalam UUD 1945.

Walaupun tidak ada syarat mutlak bahwa sebuah konstitusi negara haruslah menggunakan sistem demokrasi, akan tetapi menurut “Teori Demokratik”, antara konstitusionalisme dan demokrasi sangatlah berkesesuaian. Sebab, adanya kewenangan yang limitatif dari cabang-cabang kekuasaan negara akan memberikan tempat penting terhadap tumbuhnya interaksi sosial dan pengambilan keputusan bagi individu dan kelompok secara bebas. Oleh karenanya, sistem konstitusi yang demikian akan sangat memberikan ruang luas bagi berkembangnya semangat yang lebih besar bagi gerakan pro-lingkungan.[19]


Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang dinobatkan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki mandat konstitusi (constitutional mandate) untuk melindungi dan meningkatkan fungsi lingkungannya. Bahkan hal tersebut sudah sepantasnya dijadikan komitmen dan konsekuensi pokok bagi negara yang menganut gagasan negara kesejahteraan (welfare state).

Akan tetapi, seberapa jauh keberhasilan gerakan tersebut dan seberapa besar efektifitas penyelesaian masalah lingkungan akan sangat tergantung dari pengaturan norma dan karakteristik institusionalnya.

1. Konstitusionalisasi Norma Lingkungan

Meskipun sudah lewat tujuh tahun dari proses perubahan terakhir UUD 1945 pada tahun 2002, belum banyak pihak-pihak yang menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup. Padahal ketentuan hasil perubahan membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di dalam konstitusi. Secara berturut-turut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)

Pasal 33 ayat (4): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)


Berdasarkan kedua Pasal tersebut di atas maka sudah jelas bahwa UUD 1945 juga telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection) baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Untuk lebih memperjelas penafsiran konstitusi terhadap ketiga frasa di atas, maka akan diuraikan penjelasannya secara satu-persatu.

a. Hak hidup dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guranteee) untuk hidup dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Ketentuan ini dapat juga disandingkan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebutkan, “everyone has the right to a standart of living adequate for the health and well-being of himself and of his family”. Sedangkan di dalam Pasal 12 ayat (1) ICESCR ditegaskan, “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyement of the highest attaintable standard of physical and mental health”.

Artinya, kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.


Sebagai perbandingan interpretasi frasa, Mahkamah Agung India dalam menafsirkan Pasal 21 Konstitusi India mengenai “hak untuk hidup” (right to life) dan “kemerdekaan pribadi” (personal liberty) menggunakan doktrin Public Trust yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan hidup dan ekologi. Dalam putusannya disebutkan bahwa:[20]

“The major ecological tenet is that world is finite. The earth can support and bear such quantity of pollution. When the pollutants exceed such quantity, the earth cannot bear. Hence the industries are not entitled to pollute the enviroment and cause danger to the people to live in the surroundings of the industries.”

Dengan demikian, hak untuk hidup dan kemerdekaan pribadi dalam Konstitusi India ditafsirkan juga meliputi ‘right to a wholesome environment’.[21]


Dalam kaitannya dengan perubahan iklim dapatlah ditarik benang merah bahwa oleh karena perubahan iklim membawa efek negatif dan sangat mempengaruhi atas kehidupan setiap orang sehingga dapat menggangu kestabilan dan kedayatahanan hidupnya, maka sudah seharusnya demi konstitusi segala sesuatu yang menimbulkan efek GRK yang berlebihan harus dihapuskan atau setidak-tidaknya dibatasi penggunaannya agar tidak menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan warga negara.

Selanjutnya, walaupun hak untuk hidup dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dapat berdiri sendiri, namun adakalanya hak tersebut sangat berkaitan erat denga norma konstitusi lainnya yang bersinggungan dengan lingkungan, yaitu norma “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”.


b. Pembangunan berkelanjutan

Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.[22] Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu sederhana, akan tetap issu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.

Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik.[23]


Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional.[24]

Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi manusia di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.[25]


Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga diperhatikan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED tersebut, terdiri dari: (1) keadilan antargenerasi (intergenerational equity); (2) keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); (3) prinsip pencegahan dini (precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism).

Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21.[26]


c. Berwawasan lingkungan

Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan.


Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah pokok-pokok kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: [27]

a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan.
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan;
g. Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;
i. Pengembangan kerja sama luar negeri.

Dari seluruh uraian di atas, maka sudah tampak jelas bahwa terdapat kesesuaian antara norma “berwawasan lingkungan” dengan perubahan iklim. Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan menjadi tafsir konstitusi secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Hal tersebut harus dipahami semata-mata untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar dari perubahan iklim.



(Bersambung: Baca selengkapnya pada BAGIAN KEDUA tentang Ekokrasi dan Juristokrasi; atau Download Makalah dalam Format PDF)



CATATAN KAKI:

[1] Disampaikan sebagai paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009.


[2] Pengadministrasi Yustisial Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi RI. Pengamat Hukum dan Konstitusi, alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005) dan Faculty of Law University of Delhi (2008) untuk program Master of Comparative Law (M.C.L.) pada bidang Comparative Constitutional Law. Tulisan ini adalah pandangan personal penulis.

[3] Matthias Finger, “Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, eds., The Crisis of Global Environmental Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability, Routledge Taylor & Francis Group, New York, 2006, hlm. 125.


[4] Pada masa yang akan datang dapat pula dijajaki kemungkinan untuk membentuk subsistem kajian “Hukum Konstitusi Lingkungan” sebagai penyempurnaan dari subsistem hukum lingkungan yang telah ada di Indonesia saat ini menurut Soemartono, yaitu subsistem Hukum Penataan Lingkungan, Hukum Acara Lingkungan, Hukum Perdata Lingkungan, Hukum Pidana Lingkungan, dan Lingkungan Internasional. Sebagai perbandingan lihat R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 62.

[5] Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan melalui empat tahapan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Apabila UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 71 butir ketentuan, maka setelah perubahan kini menjadi 199 butir ketentuan. Oleh karenanya dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa isi UUD 1945 telah mengalami penambahan sekitar 200% [sic]. Lebih lanjut lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer (BIP), Jakarta, 2007.


[6] Daniel Murdiyarso mendefinisikan “Perubahan Iklim” sebagai perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka yang panjang (50 tahun s.d. 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Lihat Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 11.

[7] Emil Salim, “Jika Iklim Berubah”, dalam Daniel Murdiyarso, ibid., hlm. xii.


[8] Lihat misalnya Gunther Weller dan Patricia Anderson, eds., Implications of Global Climate Change in Alaska and the Bering Sea Regions, Center for Global Change and Arctic System Research, University of Alaska Fairbanks, 1998; dan National Assessments Synthesis Team, Climate Change Impacts on the United States, Cambridge University Press, Cambridge, 2000.

[9] Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim), Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara 3557. Konvensi Perubahan Iklim ini diratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 November 1994.


[10] Lihat Naskah Konvensi Perubahan Iklim yang asli dalam beberapa bahasa resminya, tersedia pada http://unfccc.int/280.php, diakses terakhir kali pada 22 April 2009.

[11] Negara-negara yang saat ini masuk dalam kategori Annex I terdiri dari Australia, Austria, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Ceko, Denmark, Estonia, Uni Eropa, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Lativia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monaco, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Poland, Portugal, Rumania, Russia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Sweden, Swiss, Turki, Ukraina, Inggris, dan Amerika Serikat. Lihat pada UNFCCC, List of Annex I Parties to the Convention, tersedia pada http://unfccc.int/parties_and_observers/parties/annex_i/items/2774.php, diakses terakhir kali pada tanggal 22 April 2009.


[12] Lihat lebih lanjut dalam Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto: Implikasinya bagi Negara Berkembang, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.

[13] Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan United Nations Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim), Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara 3557. Konvensi Perubahan Iklim ini diratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 November 1994.


[14] Lihat Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 195-197.

[15] Ibid., hlm. 197.


[16] Lebih lanjut lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 19-34.

[17] Robinson, “Comparative Environmental Law: Evaluating How Legal Systems Address Sustainable Development”, dalam Environmental Policy and Law, Vol. 27, No. 4, 1997, hlm. 338-345.


[18] Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998.

[19] Jerry McBeath dan Jonathan Rosenberg, Comparative Environmental Politics, Springer, 2006, hlm. 92.


[20] R.K. Khitoliya, Environment Protection and the Law, A.P.H. Publishing Corporation, New Delhi, 2002, hal. 27-29.

[21] Lihat misalnya Putusan Mahkamah Agung India pada perkara M.C. Mehta Vs. Kamal Nath, Ganga Pollution Tanneries Case, dan Rural Litigation Entitlement Kendra Dehradun Vs. State of U.P.


[22] World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43.

[23] Dinah M. Payne dan Cecily A. Rainborn, “Sustainable Development: The Ethics Support the Economics”, dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw Hill, 2008, hlm. 28-33.


[24] Dominic McGoldrick, “Sustainable Development and Human Rights: An Integrated Conception”, dalam The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 45, No. 4, Oktober, 1996, hlm. 2-7.

[25] Pan Mohamad Faiz, Human Rights Protection and Constitutional Review: A Basic Foundation of Sustainable Development in Indonesia, makalah dipresentasikan pada ISSM 2008 di Delft, Belanda pada tanggal 13 Mei 2007.


[26] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 104-107

[27] Surna T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta, hlm. 6-9.