Wednesday, August 27, 2008

Di antara Inkonstitusional dan Inkonsistensi Putusan Mahkamah

DISKURSUS AMAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menguraikan implikasi praktis atas Putusan Pengujian Undang-Undang tentang APBN 2008 terkait dengan konstitusionalitas 20% anggaran pendidikan. Setelah empat kali menyatakan bahwa anggaran pendidikan di bawah 20% dari APBN merupakan ketentuan yang inkonstitusional, akhirnya Pemerintah berencana untuk menganggarkan 20% anggaran APBN untuk sektor pendidikan di tahun 2009.

Dalam tulisan kali ini, penulis hendak mengajak kita semua untuk masuk dalam tataran akademis kerangka putusan secara formil, dimana terdapat perbedaan penulisan amar antara Putusan yang dibacakan dengan ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).

Untuk memudahkannya, marilah kita cermati bersama perbandingan penulisannya satu-persatu:

I. KUTIPAN PUTUSAN NOMOR 13/PUU-VI/2008 dibacakan pada hari Rabu, 13 Agustus 2008

4. KONKLUSI

Berdasarkan seluruh pertimbangan terhadap fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Bahwa cara penghitungan persentase anggaran pendidikan yang diterangkan Pemerintah yaitu perbandingan anggaran fungsi pendidikan terhadap total anggaran belanja negara (yang telah dikurangi dengan anggaran untuk beban subsidi energi dan pembayaran bunga utang) bukanlah cara penghitungan yang dianut oleh UU APBN-P 2008, sehingga tidak memiliki nilai hukum sebagai alat bukti untuk mempertimbangkan konstitusionalitas anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 dan oleh karenanya harus dikesampingkan;

[4.2] Bahwa telah ternyata anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 hanya sebesar 15,6%, sehingga tidak memenuhi ketentuan konstitusional sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian, UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon beralasan;

[4.3] Bahwa meskipun UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, tetapi untuk menghindari risiko kekacauan dalam penyelenggaraan administrasi keuangan negara, UU APBN-P 2008 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2009.
5. AMAR PUTUSAN

Dengan mengingat Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengadili,

Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;

Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) tetap berlaku sampai diundangkannya Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.

II. PETIKAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 06/PMK/2005 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Pasal 36

Amar putusan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruf f berbunyi:

a. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003;
b. “Mengabulkan permohonan Pemohon”;
“Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945”;
“Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003;

c. “Mengabulkan permohonan Pemohon”;
“Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945”;
“Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat“, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (4) dan
Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003;
d. “Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”, dalam hal UU yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (5).

III. PETIKAN UNDANG-UNDANG NO 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 56

(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 57

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

IV. ANALISA

Setelah kita membandingkan antara bunyi amar dengan pedoman penulisannya, seharusnya permohonan yang dikabulkan haruslah dinyatakan muatan ayat, pasal; dan/atau bagiannya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, muatan ayat, pasal dan/atau bagiannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Tetapi dalam Putusan No. 13/PUU-VI/2008, amarnya justru berbunyi: (1) mengabulkan permohonan; (2) UU bertentangan dengan UUD; namun (3) UU dinyatakan tetap berlaku dengan syarat tertentu.

Apakah dalam hal formil Putusan tersebut mempunyai kekuatan yang sah dan mengikat? Dapatkah amar putusan memuat isi yang berbeda dengan syarat formil pembuatan putusan? Inilah yang dapat dijadikan diskursus akademis terhadap beberapa Putusan Mahkamah yang sejenisnya.

Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut, dalam Putusan terhadap Pengujian Undang-Undang APBN 2006, Mahkamah memutus dengan amar: (1) Permohonan dikabulkan; (3) syarat maksimum katup anggaran pendidikan bertentangan dengan UUD; (3) UU dinyatakan tetap berlaku.

Terhadap bentuk putusan tersebut, menurut saya terdapat tiga argumentasi yang berbeda dalam menyikapi putusan tersebut, yaitu:

1. Penulisan amar putusan sudah tepat, karena apabila UU dinyatakan tidak berlaku maka akan terjadi kekacauan penyelenggaraan negara, khususnya di bidang anggaran negara. Oleh karena itulah, sifat negarawan menjadi prasyarat mutlak untuk menjadi Hakim Konstitusi semata-mata agar Hakim dapat menemukan Putusan yang didasarkan pada kemaslahatan dan keadilan rakyat banyak.

2. Penulisan amar putusan tidak tepat, seharusnya Mahkamah bisa memberikan putusan yang tegas, konsisten dan sesuai pedoman memutus tanpa harus memperhitungkan efektifitas atau implikasi yang akan terjadi atas putusannya itu.

3. Amar putusan tidak tepat untuk menerima permohonan. Dikarenakan UU APBN merupakan UU yang karena pembuatan dan keberlakuannya khusus, maka tidak dapat menjadi obyek pengujian undang-undang. Jika hal ini diikuti maka tidak akan terjadi kerancuan penulisan amar, sebab putusan tentunya akan berakhir NO (niet ontvankelijk verklaard).

PENUTUP

Palu sidang sudah diketuk. Artinya, semanis atau sepahit apapun Putusan, haruslah kita terima dengan lapang dada. Dengan tetap mengkritisi putusan yang ada, diharapkan dapat memperkaya referensi kaidah dan praktik hukum di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan pembaharuan hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi.

Satu hal yang dapat dipastikan, dalam memutuskan perkara APBN tersebut, sebagian besar hakim konstitusi telah mengambil langkah yang terbilang cukup berani, bahkan dapat dikatakan memasuki ranah judicial activism. Hemat penulis, hal demikian tidaklah dilarang, selama judicial activism ini tidak berubah menjadi judicial adventure yang muaranya justru mencoba mencari jalan di tengah-tengah kegelapan hukum.

Semoga uraian pengantar ini dapat menjadi stimulus diskusi terhadap praktik ketatanegaraan di tanah air. Bagaimana dengan pendapat anda?

Monday, August 25, 2008

Implementasi 20% Anggaran Pendidikan

MENGAWAL DAN MENGAWASI 20% ANGGARAN PENDIDIKAN

Menyambut Hari Kemerdekaan ke-63 yang lalu, rakyat Indonesia baru saja menerima kado istimewa di bidang pendidikan. Pidato kenegaraan Presiden di depan anggota Parlemen mengisyaratkan bahwa akan terjadi kenaikan anggaran APBN 2009 secara besar-besaran untuk sektor pendidikan hingga menjadi 20% sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi.

Kendati demikian, rancangan tersebut ternyata disambut ‘panas-dingin’ oleh banyak pihak. Di satu sisi, pemenuhan 20% anggaran pendidikan diprediksi akan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan bangsa kita. Namun di sisi lain, tingginya kekhawatiran akan realisasi dan penggunaan anggaran tersebut justru melanda sebagian besar kalangan pemerhati pendidikan. Pasalnya, anggaran pendidikan sebesar Rp. 224 triliun yang nantinya akan dikelola oleh beberapa lembaga pemerintah, seperti Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama, bisa jadi berubah menjadi ladang emas penyelewengan anggaran dan praktik korupsi. Kekhawatiran ini berangkat salah satunya dari hasil evaluasi BPK terhadap kinerja penyelenggaran anggaran di tahun 2007 yang memberikan stempel “disclaimer” (buruk) terhadap kedua Departemen tersebut.

Pengawalan dan Pengawasan

Terjadinya lonjakan anggaran pendidikan sebesar Rp. 40 triliun lebih dari APBN tahun sebelumnya tentunya harus disikapi dengan hati-hati. Realisasi anggaran pendidikan yang tepat sasaran harus selalu dikawal tidak saja oleh Pemerintah, namun juga oleh seluruh elemen masyarakat. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam proses pengawalan dan pengawasan realisasi anggaran pendidikan ini.

Pertama, pengawalan utama harus dilakukan pada saat terjadinya kesepakatan bersama antara Presiden dan DPR ketika melakukan pembahasan RAPBN 2009 mendatang terkait dengan sektor pendidikan. Sebab yang harus kita pahami bahwa kenaikan anggaran pendidikan di tahun 2009 ini barulah rencana sepihak dari Pemerintah dan belum memperoleh ketukan palu tanda persetujuan di DPR. Oleh karenanya, para wakil rakyat harus senantiasa dikawal untuk menyetujui dan turut memeriksa rancangan penggunaan anggaran pendidikan yang cukup visioner tersebut.

Kedua, bilamana telah terjadi persetujuan dan pengesahan, maka implementasi program pendidikan haruslah yang bermutu dan sesuai dengan tujuan pengembangan pendidikan nasional. Departemen yang terakit wajib memberikan transparansi dan akuntabilitas terhadap seluruh rancangan program dan penggunaan anggaran kepada masyarakat luas. Artinya, tugas Departemen tersebut bukan hanya sekedar menghabiskan anggaran yang berlimpah-ruah demi tercapainya penyerapan anggaran yang maksimal, tetapi juga harus mengutamakan unsur kualitas penggunaan (quality of spending).

Ketiga, agar tidak terjadinya kebocoran dan penyelewenangan anggaran pendidikan, seluruh komponen bangsa wajib untuk ikut serta memasang mata dan telinganya setiap saat, dalam rangka memonitor penggunaan anggaran pedidikan. Sudah pasti untuk tahun-tahun berikutnya, BPK dan KPK harus membidik dan memberikan prioritas pengawasan anggaran di kedua Departemen tersebut, termasuk terhadap instansi-instansi turunannya. Begitu pula dengan lembaga-lembaga pengawasan anti-korupsi dan berbagai organisasi tenaga pendidik, haruslah bersatu padu untuk bersama-sama melakukan pengawasan yang terintegrasi (integrated monitoring). Sebab, kedua departemen inilah yang sebenarnya menjadi teknisi dan pembuka pintu gerbang kecerdasan, moral dan akhlak bangsa ini. Seandainya ditemukan praktik penyelewengan anggaran negara, pejabat yang terlibat harus segera diseret ke meja hijau dan diadili dengan hukuman administratif dan pidana yang seberat mungkin.

Anggaran Daerah

Sebagian besar masyarakat kita hingga saat ini masih berpandangan bahwa kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan hanyalah terletak di pundak Pemerintah Pusat melalui APBN-nya. Padahal, sebagaimana dituliskan secara tegas di dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, pengalokasian minimum 20% anggaran pendidikan juga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah melalui APBD-nya. Artinya, setiap Pemerintah Daerah di tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kotamadya harus juga melaksanakan amanat konstitusi yang sama tersebut.

Ironinya, berdasarkan data yang terbaru, saat ini hanya sekitar 44 Kabupaten saja yang baru mengalokasikan anggaran pendidikan di atas 20% dari APBD-nya. Dengan kata lain, pelaksanaan kewajiban konstitusi (constitutional obligation) itu baru dipenuhi tidak lebih dari 10% dari total 483 Kabupaten yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari yang belum menyentuh 20% anggaran pendidikan tersebut, sekitar 90% Kabupaten masih mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 10%, bahkan beberapa di antaranya masih saja ada yang menganggarkan di bawah 5%.

Dari gambaran tersebut di atas, maka kita semua mempunyai tugas lanjutan yang lebih besar yaitu bagaimana menumbuhkembangkan kesadaran akan arti pentingnya pendidikan di tengah-tengah roda jaman yang begerak begitu cepat. Tentunya bukan sekedar dari sisi anggaran, tetapi juga dimulai dari peningkatan budaya belajar-mengajar hingga membangun komitmen tinggi bagi para penentu kebijakan di seluruh penjuru tanah air terhadap dunia pendidikan Indonesia.

Hadirnya political will dari pemerintah pusat dalam hal penganggaran pendidikan diharapkan pula dapat menjadi trickle down effect yang menggugah kesadaran seluruh pemangku kepentingan pendidikan di tiap tingkatan pemerintahan dan lapisan masyarakat. Semoga awal yang baik ini dapat menjadi titik bangkit dunia pendidikan Indonesia yang bertepatan dengan tahun peringatan seabad Hari Kebangkitan nasional.



Wednesday, August 20, 2008

Tanggapan Diskusi Online (1): IndoBlawgger

Berikut merupakan tanggapan saya atas diskusi yang sedang berkembang dalam Milis Blogger Hukum Indonesia (indoblawgger) terhadap Putusan Pengujian KUHP terhadap UUD 1945 dalam kaitannya tindak pidana penghinaan. Semoga tanggapan ini dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut pada pengamat, pakar dan mahasiswa hukum dimana pun berada.

PENANGGAP I, Sdr. ANGGARA (KUASA HUKUM PEMOHON):

Jumat, 15 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa tindak pidana penghinaan dalam KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945 begitu pula pidana penjara juga dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu pula Pejabat Negara memiliki reputasi dan kehormatan.

Putusan MK tersebut saya pandang, sebuah hadiah memilukan bagi Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Mahkamah ternyata lebih memikirkan perlindungan pribadi tanpa memikirkan kepentingan umum yang lebih luas. Terlepas dari itu semua, saya memiliki beberapa catatan tentang putusan yang dalam pandangan saya tidak bijak tersebut

Secara prosedural justice, saya melihat dalam putusan setebal 289 halaman tersebut memuat berbagai keterangan/tanggapan tertulis dan kesimpulan tertulis pemerintah dan para ahli, namun kami selaku kuasa hukum dari Para Pemohon malah tidak pernah memperolehnya, saya heran, bagaimana mungkin kami dapat mempersiapkan dengan baik seluruh pembelaan, jika kami tidak pernah mendapat keterangan-keterang an dari pihak yang lain? Yang ada dan tersimpan di kami hanyalah risalah sidang dan keterangan dari Pak Mudzakkir yang nota bene saya minta sendiri. Saya pikir dari titik sini, saya secara pribadi merasa hak saya telah dilanggar secara sewenang-wenang. [Paragraf 1]

Dari substansi, MK telah sempat menyatakan bahwa Permohonan dari Para Pemohon adalah masuk dalam ranah Constitutional Complaint, suatu hal yang tidak dimiliki kewenangannya oleh MK. Namun dari sisi hukum, ketika mereka tidak punya kewenangan untuk memeriksa Constitutional Complaint, seharusnya sejak semula MK harusnya menyatakan permohonan tidak dapat diterima (NO), bukannya terus diperiksa dan malah ditolak. [Paragraf 2]

Lalu yang ketiga, soal kedudukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yang rasa kewenangannya terlampau berlebihan. Dalam putusan tersebut dibuat logika hukum yang menurut saya agak aneh dan bertentangan dengan Pasal 28 UU 24/2003 yaitu putusan tersebut dikonstruksikan telah diputus dalam RPH yang dihadiri oleh 9 Hakim Konstitusi dan ditandatangani dan diucapkan oleh 8 Hakim Konstitusi dalam sidang pleno. Pertanyaan lebih lanjutnya kewenangan manakah yang lebih tinggi dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum atau dalam RPH yang tertutup? Dalam pandangan saya sih tentunya yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum ya dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum. [Paragraf 3]

TANGGAPAN SAYA:

Untuk lebih fokus pada arah pembahasan, maka tanggapan saya akan ditujukan untuk setiap paragraf yang telah saya berikan catatan di atas agar siapapun dapat memahami pertanyaan dan jawaban/tanggapan lebih mudah.

[Paragraf 1]:

Sepanjang sepengetahuan saya memantau persidangan di MK, biasanya setelah pembacaan keterangan dari Pihak Pemerintah atau DPR, pihak-pihak tersebut telah menyiapkan salinannya sekitar 9 rangkap untuk langsung dibagikan oleh Petugas pada saat sidang kepada Hakim, Pemohon dan pihak lainnya yang hadir. Kecuali tidak dibuat salinannya, maka cara untuk memperolehnya adalah dengan meminta kepada bagian Administrasi Perkara dan Persidangan.

Karena pada saat persidangan perkara ini saya tidak memantau, maka dalam hal ini yang harus kita telaah adalah: (1) Apakah Mahkamah dengan sengaja tidak memberikan atau mempersulit pengambilan salinan tersebut? (2) Apakah Mahkamah tidak mengambil inisiatif pertama untuk memberikan keterangan yang disampaikan kepada Pihak Pemohon? Atau (3) Apakah Pemohon harus mengambil langkah inisiatif apabila dalam sidang tidak dibuat salinannya oleh Pihak Pemerintah, DPR atau ahli.

Sedangkan untuk keterangan pihak terkait, kekuatannya hanyalah sebatas bahan tambahan dan pertimbangan yang tidak mengikat mutlak untuk hakim.

Dari kondisi-kondisi tersebut akan membawa implikasi yang berbeda-beda. Untuk itu patut kita jernihkan terlebih dahulu duduk persoalannya. Misalnya, menanyakan kembali kepada petugas yang bersidang atau melihat risalah sidang yang telah memuat secara lengkap acara persidangan; dan cara-cara lainnya.

Jika seandainya memang terjadi pelanggaran hak dalam hal ini, maka sudah seharusnya dicarikan solusi dan mekanisme yang tepat untuk penanganan kasus yang demikian. Sehingga tidak lagi terjadi persoalan yang serupa di kemudian hari.

[Paragraf 2]:

Sebelum Mahkamah memutus perkara dengan putusan NO (niet ontvankelijk verklaard), maka akan mempertimbangkan 2 (dua) hal yang cukup penting, yaitu perihal Kewenangan dan Legal Standing (kedudukan hukum).

1. Perihal Kewenangan

Sebagaimana telah diuraikan secara jelas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 bahwa salah satu kewenangan MK adalah “menguji undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945”.

Sesuai maksud dan tujuan permohonananya, para pemohon datang untuk menguji KUHP (dalam hal ini merupakan UU) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Oleh karena itu jelas bahwa Mahkamah telah diberikan kewenangan dalam mengadili, memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan (Lihat juga Putusan Perkara No. 066/PUU-II/2004).

2. Perihal Legal Standing (Kedudukan Hukum)

Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga negara.
Lebih lanjut disebutkan bahwa Pemohon tersebut merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Untuk menentukan apakah Pemohon mempunyai mempunyai Legal Standing, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan: (1) Pemohon mampu membuktikan kedudukannya, in casu sebagai perorangan WNI, dan (2) dapat menjelaskan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana saya sebutkan di atas.

Dalam permohonan disebutkan bahwa para pemohon prinsipal yaitu Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis yaitu perorangan WNI, maka poin pertama sudah terbukti jelas. Kemudian, untuk membuktikan bahwa pemohon memenuhi poin kedua, maka harus pula memenuhi 5 (lima) syarat yang sudah menjadi yurisprudensi Mahkamah, yaitu:
1. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
2. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
3. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
4. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Setelah dijelaskan dan dianalisa panjang lebar (vide hal 251-253), Pemohon dinyatakan telah memenuhi semua persyaratan tersebut. Oleh karena telah jelas kewenangan dan kedudukan hukum pemohon, maka persidangan biasanya akan langsung menuju pokok perkara. Sebaliknya, jika seandainya tidak dapat dibuktikannya bahwa Mahkamah mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan/atau pemohon tidak mempunyai legal standing, maka biasanya Mahkamah tidak perlu sampai membahas pokok perkara, artinya putusan besar kemungkinan akan jatuh dengan amar permohon tidak dapat diterima (NO).

Namun demikian, berdasarkan perkara-perkara yang ada sebelumnya, tidak jarang Mahkamah harus sedikit masuk ke dalam pokok perkara guna mengetahu lebih jelas apakah ada-tidaknya kerugian konstitusional sang Pemohon. Sehingga harus pula kita mencermati substansi permohonan secara case by case.

3. Constitutional Complaint

Lalu bagaimana dengan Constitutional Complaint? Constitutional Complaint atau Pengaduan Konstitusional harus pula dibedakan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutional review). Jika UUD 1945 dan UU MK telah jelas memberikan kewenangan constitutional review kepada MK, namun tidak ada satu pun dasar hukum yang secara verbal memberikan kewangan Pengaduan Konstitusional kepada Mahkamah. (Lebih lanjut mengenai Constitutional Complaint lihat tulisan saya dengan judul “Menabur Benih Constitutional Complaint, “Human Rights Protection dan Constitutional Review”, dan beberapa artikel sejenis lainnya).

Secara singkat, saya berikan gambaran bahwa Pengaduan Konstitusional ini cakupannya lebih luas daripada pengujian undang-undang (PUU). Jika PUU obyek pengujiannya hanya terbatas pada UU, maka Pengaduan Konstitusional dapat memasuki ranah apapun yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional sang Pemohon, termasuk pada penerapan norma ataupun keputusan yang dijalankan oleh pejabat negara. Artinya, constitutional protection secara total menjadi ruh dalam kewenangan ini. Maka dapat dikatakan, semua pengujian UU besar kemungkinan bersinggungan dengan pengaduan konstitusional, namun tidak semua pengaduan konstitusional akan bersinggungan dengan pengujian UU

Dalam perkara yang sedang kita bahas ini, seandainya Mahkamah mempunyai wewenang Pengaduan Konstitusional, maka kemungkinan permohonan dapat dikabulkan bisa saja terjadi, walaupun pembuktiannya akan lebih mendalam dan spesifik. Sebab ternyata permohonan yang diajukan lebih condong kepada constitutional complaint.

Kesimpulannya: Dikarenakan Mahkamah mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan pemohon telah memenuhi syarat kedudukan hukum maka tidak mungkin Mahkamah memutus NO. Sedangkan mengenai Pengaduan Konstitusional haruslah dipahami sebagai cara berpikir untuk membentuk suatu konstruksi hukum yang baru sebagai mekanisme di masa yang akan datang untuk lebih memberikan perlindungan konstitusional kepada setiap warga negara.

Mengenai substansi perkara dan pokok permohonan belum saya tanggapi dalam kesempatan ini, karena menunggu ada pihak-pihak yang ingin melakukan diskusi lebih lanjut dalam koridor akademis dan diseminasi publik yang terarah.

[Paragraf 3]:

Dalam tanggapan ini muncul penyebutan tiga frasa yang berbeda, yaitu “kedudukan”, “kewenangan”, “kekuatan” yang masing-masingnya mempunyai pengertian berbeda satu sama lain. Oleh karenanya, perlu kiranya bagi saya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut yang mungkin dimaksudkan oleh sang penanggap.

Bagi saya pribadi, Pasal 28 dan Pasal 45 UUMK sebenarnya merupakan pasal yang justru menjadikan kerancuan. Sebab, pembuat UU kurang memberikan pengertian penggunaan istilah “sidang” dan “sidang pleno”. Oleh karena itu, dibuatlah PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang untuk memberikan lebih lanjut tentang “Pleno”. Dalam Pasal 1 angka 10 dijelaskan bahwa Pleno adalah “alat kelengkapan Mahkamah dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.”

Sedangkan dalam Pasal 45 UUMK disebutkan bahwa putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi. Jika dibaca secara utuh sepuluh ayat yang tercantum di Pasal 45 tersebut, maka yang dimaksud dalam “sidang pleno” di sini sebenarnya adalah suatu pertemuan (RPH) untuk mencapai konsensus akhir putusan.

Oleh karena itu, hemat saya, dalam hal ini RPH hanya mempunyai kewenangan untuk memutuskan rancang akhir putusan terkait dengan substansi dan amar (vide Bab VII PMK No.06). Sulit untuk membayangkan apabila, sebelum dibacakan dalam persidangan belum diputuskan oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi. Besar kemungkinan akan terjadi chaos perdebatan di depan publik untuk menentukan isi dan arah putusan.

Sedangkan untuk dapat memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat semua pihak, maka Putusan tersebut memang harus dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Jika tidak, maka putusan tersebut tidak akan mempunyai kekuatan hukum apapun. Hal ini pun sudah ditegaskan dalam Pasal 47 UUMK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

Apabila terjadi pembetulan putusan pada saat diucapkan dalam persidangan, hal tersebut hanya dapat dilakukan pada kesalahan penulisan huruf, angka, kata dan/atau kalimat setelah mendapat perintah Ketua Mahkamah berdasarkan kesepakatan Hakim Konstitusi. (vide Bab III PMK No. 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Penulisan Putusan MK).

PENUTUP

Demikian tanggapan dan cara konstruksi berpikir saya pribadi tanpa mewakili unsur atau institusi manapun, semata-mata untuk dapat berpartisipasi dalam diskusi online yang mengedepankan nilai-nilai pengembangan hukum dalam koridor informal-akademis. Oleh karena itu, apa yang saya sampaikan di sini tentunya belum tentu mutlak kebenarannya dan masih perlu diperdalam lebih lanjut. Semoga hal ini dapat memacu rekan-rekan lainnya untuk turut serta dalam diskusi. Terima kasih.

[PMF]


Wednesday, August 13, 2008

Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia (2)

KEEP THE DEATH SENTENCE

Ahmad Qisa'i (Jakarta) and Pan Mohamad Faiz (New Delhi)

This article was published at the Jakarta Post on Wed, 08/06/2008

In the past week, debate over the pros and cons of using capital punishment in Indonesia has made the news on several TV stations, pitching two opposing camps against each other. The execution of five convicts found guilty of drug trafficking and murder in July 2008 have triggered the question: "Should capital punishment in Indonesia be retained or abolished altogether?"

Abolitionists, those who oppose capital punishment, claim the right to life cannot be abrogated, at any cost, by anyone and that the state is responsible for ensuring this. A convict proven guilty of a serious crime cannot be put to death, but should instead be imprisoned for the longest term possible.

Second, they argue, the decision by the Indonesian government to ratify the ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) into law No. 12/2005 makes the abolition of capital punishment mandatory for Indonesia, if it wants to move forward in this globalized world.

Third, Article 28I (1) of the 1945 Constitution guarantees the right to life of each and every Indonesian citizen, in line with the ICCPR and law No. 12/2005. Retaining the death penalty in Indonesia's penal code (KUHP) is therefore a contradiction and proof of the inconsistency in Indonesia's system of constitutional laws.

Finally, on the question of justice for the victim, abolitionists argue that punishing the perpetrator with death does not do justice to the suffering caused by the crime itself. Life imprisonment will, in their opinion, bring more justice to the victim since it will amount to multiple forms of misery -- both mental and physical -- for the perpetrator.

Retentionists, those who support the use of capital punishment in Indonesia, argue Indonesia is a sovereign, independent state that has the constitutional right to define the class of serious crimes and the proper punishment for such crimes, even though it ratified the ICCPR. The ICCPR, they say, provides this option and has nothing to do with Indonesia's future in this globalized world.

Furthermore, even though Indonesia's Constitution guarantees the right to life of each and every citizen, that same document gives the state the right to take life if -- and only if -- such an action guarantees the recognition and respect of the rights and freedom of others.

Moreover, retentionists say, the claim of inconsistencies in the Constitution has been obviated by a ruling recently issued by Indonesian's Constitutional Court -- Decision No. 2-3/PUU-V/2007. According to the ruling, no inconsistency exists with respect to this matter and Indonesia therefore requires capital punishment for crimes deemed serious under international law.

Those in support of capital punishment say it provides justice for any serious crime committed. However, review of the legal process is necessary to arrive at a justifiable final conclusion on applying capital punishment to such offenses. A competent legal system and judges play the most important role in this matter.

In our view, since it has been officially interpreted as constitutional, capital punishment should still be used in Indonesia. Moreover, ratification of ICCPR does not mean Indonesia cannot decide on its own which of its laws are applicable, especially with respect to capital punishment, which is a deterrent to the perpetrators of serious crimes.

Even though the majority of the world's nations have approved the abolition of the death penalty (129 out of 196), being in the minority on this matter does not leave Indonesia incapable of fitting into the new world. As a sovereign nation, Indonesia has the right to decide its own future.

Everyone has the right to live, perpetrators and victims alike. The Constitution guarantees that right and, in our opinion, the state and its citizens must respect and uphold this basic human right.

With a democracy in place that allows transparency and with modifications and improvements to its legal system, Indonesia should have no trouble deciding the question of justice and the use of capital punishment. The debate surrounding this issue only strengthens it as a democratic society.

Ahmad Qisa'i has a Ph.D. in political science from Aligarh Muslim University in India and works for the Security and Justice Governance Cluster at the Partnership for Governance Reform.

Pan Mohamad Faiz has an M.C.L. from the law faculty at the University of Delhi in India. He currently works at Indonesia's Constitutional Court.


Indonesia Bukan Negara Agama ataupun Negara Sekuler

TAFSIR RESMI MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM PUTUSAN PENGUJIAN UU PERADILAN AGAMA

"Lalu bagaimanakah dengan pengaturan Hukum Islam dalam bingkai Nanggroe Aceh Darussalam beserta Perda-Perda bernuansa Islam yang akhir-akhir ini bermunculan di wilayah Indonesia? "

Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-VI/2008 yang kurang memperoleh banyak sorotan publik pada tanggal 8 Agustus yang lalu, ternyata justru mengungkap satu hal yang sangat fundamental dan menjadi tafsir resmi UUD 1945 guna menjawab perdebatan panjang banyak pihak, yaitu hubungan antara Negara dan agama dalam kerangka NKRI.

Awalnya, pertimbangan Mahkamah ini berasal dari permohonan Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Suryani, salah satu warga negara Indonesia yang berasal dari Kabupaten Serang.

Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) guna menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama yaitu Islam telah “dibatasi” dengan hadirnya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama, yang berbunyi:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf;f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah”

Lebih dari itu, Pemohon juga meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup komptensi peradilan agama diperluas dengan mencakup hukum Islam yang lain, termasuk hukum pidana (jinayah). Menurutnya, hukum Islam dengan semua cabangnya termasuk jinayah harus diberlakukan di Indonesia, karena Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kontradiktif

Apabila kita menelaah secara cermat, sebenarnya kedua permohonan Pemohon menjadi kontrafiktif satu sama lainnya. Di satu sisi, Pemohon meminta agar Pasal 49 UU Peradilan Agama diputuskan inkonstitusional karena membatasi dirinya untuk menjalankan ibadahnya dengan sempurna. Akan tetapi di sisi lain, Pemohon juga meminta agar kompetensi Peradilan Agama diperluas cakupannya sesuai dengan hukum Islam dalam arti luas, termasuk Hukum Pidana (jinayah) di dalamnya.

Terhadap hal ini Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) memberikan pertimbangan bahwa Mahkamah tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan Agama yang telah ditentukan. Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau dalam kata lain menjadi positive legislator.

Interpretasi Hubungan Negara-Agama

Pemohon yang mendalilkan bahwa setiap penganut agama yang sah di Indonesia dapat meminta kepada Negara untuk memberlakukan hukum agamanya masing-masing mendasarkan argumennya pada Pasal 28I UUD 1945 yang berbunyi:

Ayat 1: “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.

Terhadap dalil tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa pemahaman yang demikian tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama.

Mahkamah menafsirkan bahwa Indonesia bukan Negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Sedangkan dalam falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah Negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban.

Hubungan antara negara dan agama yang demikian pernah juga Penulis utarakan dalam salah satu artikelnya yang dimuat di the Jakarta Post pada akhir tahun 2007 yang lalu dengan judul “Constitution or Holy Book?”.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan YME harus melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing. Dengan demikian, lanjut Mahkamah, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.

‘Nasib’ Hukum Islam di Indonesia

Ketika Mahkamah menjelaskan bahwa hukum nasional menjadi sumber hukum yang utama dan meliputi seluruh wilayah kesatuan Indonesia, lalu bagaimanakah dengan posisi Hukum Islam itu sendiri sebagai sumber hukum?

Dalam hal ini, hukum Islam memang telah lama menjadi sumber hukum nasional, namun demikian hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional. Sumber hukum nasional selain hukum Islam, diantaranya yaitu hukum adat, hukum barat, serta sumber tradisi hukum lainnya.

Mahkamah menegaskan hukum Islam dapat berperan menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal yang dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya untuk membentuk peraturan perundang-undangn yang berlaku sebagai hukum nasional.

Dari seluruh penafsiran di atas maka penulis menyimpulkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan juga Negara sekuler, melainkan sebagai Negara Pancasila (Pancasila State). Hukum Islam hanyalah dijadikan salah satu sumber hukum nasional dalam peraturan perundang-undangan di wilayah Indonesia.

Lalu bagaimanakah dengan pengaturan Hukum Islam dalam bingkai Naggroe Aceh Darussalam beserta Perda-Perda bernuansa Islam yang akhir-akhir ini bermunculan di wilayah Indonesia? Apakah peraturan-peraturan tersebut mempunyai nilai konstitusionalitas untuk diterapkan di bumi Nusantara ini? Penulis akan membahasnya melalui artikel Hukum dan Konstitusi selanjutnya di Blog Jurnal Hukum ini.

Keterangan: Unduh Putusan lengkap Putusan MK terkait artikel di atas (click)


Monday, August 11, 2008

Berita Profil di KabarIndonesia.com

PROFILE: KESUKSESAN MENIMBA ILMU
DARI SALAH SEORANG EDITOR HOKI

Profile ini dimuat pada Harian Online KabarIndonesia.com (HOKI). Artikel selengkapnya dapat juga dilihat pada halaman asli ini (click)


Di tengah-tengah maraknya gelombang studi para pelajar Indonesia ke negara-negara barat (western countries), dua tahun yang lalu seorang putra bangsa bernama Pan Mohamad Faiz justru membuat banyak orang heran ketika dirinya memutuskan untuk memburu ilmu ke negeri Gandhi, negeri the Incredible India!

Alasan keputusannya itu sebenarnya cukup sederhana, "Antara India dan Indonesia memiliki banyak kesamaan dalam hal kelebihan maupun kekurangannya di berbagai bidang, mulai dari permasalahan sosial, politik, dan ekonomi; struktur kemasyarakatan; hingga sifat pluralitasnya yang sangat tinggi. Namun demikian, India justru kini mampu menjadi macan Asia yang sangat diperhitungkan oleh negara-negara superpower. Oleh karenanya, tepat kiranya apabila kita menganalisa dan mempelajari strategi mereka yang sebagian besar di antaranya juga dapat diaplikasikan di dalam negeri", ujarnya dengan penuh keyakinan.

Sebagai salah seorang pelajar Indonesia yang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri melalui program beasiswa penuh dari ICCR, Faiz - panggilan akrab yang biasa dilontarkan oleh rekan-rekannya - selalu memegang teguh rasa cintanya terhadap tanah air. Menurutnya, apapun yang dia lakukan selama studi di luar negeri, semata-mata dilakukannya juga untuk memperbaiki kualitas hidup bangsa, baik untuk waktu sekarang ini maupun untuk masa yang akan datang. Oleh sebab itu, ketika HOKI berdiri pertama kali, Faiz kerap mengirimkan tulisan dan gagasannya hingga akhirnya diangkat dan dipercaya untuk duduk sebagai salah satu sukarelawan Editor HOKI angkatan pertama dan dia terus mengabdikan dirinya dengan komitmen tinggi dan keikhlasan penuh sampai dengan hari ini.

"Saya sangat mendukung visi da misi yang dibawa oleh Harian Online KabarIndonesia (HOKI), sebab media ini dapat menjembatani masyarakat Indonesia untuk menyuarakan aspirasi sekaligus memfasilitasi kegiatan tulis-menulisnya, termasuk saling memberikan informasi dan berita terkini bagi sesama pembaca yang juga penulisnya. Bukankah segala sesuatu yang mendukung tercapainya tujuan Negara Indonesia adalah salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus kita sokong dengan sepenuh hati?" ungkapnya.

Dua tahun sudah terlewati, Editor HOKI yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia di seluruh India (PPI-India) periode 2007-2008 ini, akhirnya berhasil menyelesaikan studi pascasarjananya untuk program Master of Comparative Laws (M.C.L.) dengan spesialisasi di bidang Comparative Constitutional Law pada Faculty of Law, University of Delhi. Dengan perjuangan yang cukup berat, ia menjadi salah satu dari hanya 8 (delapan) mahasiswa dengan jumlah keseluruhan mahasiswa sebanyak 42 orang yang berhasil lulus tepat waktu. Tidak tanggung-tanggung, predikat First Division berhasil ia raih dan menjadi lulusan terbaik dengan nilai tertinggi di antara rekan-rekan satu angkatannya.

Mantan aktivis mahasiswa yang pernah menjadi Ketua Pers, Fotografi dan Film Mahasiswa (Perfilma) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini memang telah menggeluti dunia tulis-menulis sejak lama. Maka dari itu tidak mengherankan ketika kita mengunjungi situs pribadinya yang beralamatkan di http://panmohamadfaiz.com, akan kita temukan ratusan artikel dan analisanya seputar isyu hukum, pendidikan, hubungan internasional, sosial dan politik. Atas daya kreatifitasnya seputar blogging yang juga berakar pada ranah citizen journalism, ia disebut-sebut juga sebagai salah satu pelopor terbentuknya komunitas Blogger Hukum Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan Indonesian Blawgger Network (IBN).

Terhadap keberhasilan atas studi dan prestasinya, kami segenap Keluarga Besar HOKI mengucapkan untaian rasa syukur dan menyampaikan ucapan selamat yang setinggi-tingginya. Semoga bekal ilmu pengetahuan yang diperolehnya selalu dapat dipergunakan untuk membangun bangsa dan tanah air Indonesia, baik itu melalui sarana dan media online KabarIndonesia.com ataupun melalui ruang praktik keilmuannya di salah satu Lembaga (Tinggi) Negara RI di bilangan Merdeka Barat, Jakarta. Felicitatie!

Thursday, August 07, 2008

Hakim Konstitusi Perempuan

MENANTI NEGARAWATI DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.*

Belum lama ini, Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi bentukan Presiden SBY telah mengumumkan 16 (enam belas) nama calon hakim konstitusi. Atas dasar kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang dituangkan secara terperinci melalui Pasal 18 ayat (1) UU MK, Presiden kemudian akan memilih 3 (tiga) orang untuk duduk sebagai Hakim Konstitusi RI untuk masa periode 2008-2013.

Terdapat hal yang menarik dalam penyeleksian hakim konstitusi kali ini. Panitia Seleksi yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution menjanjikan bahwa satu dari tiga hakim konstitusi yang akan dipilih oleh Presiden, nantinya akan berasal dari kalangan perempuan. Apabila kita mencermati daftar nama calon hakim konstitusi yang ada -- dan seandainya janji tersebut benar-benar dilaksanakan --, maka tentunya pilihan tersebut akan jatuh kepada salah satu dari empat calon hakim konstitusi perempuan yang telah terdaftar, yaitu Maria Farida Indrati (Universitas Indonesia), Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM Departemen Hukum dan HAM), Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara), atau Andayani Budisetyowati (Universitas Tarumanegara).

Tentunya rencana yang cukup visioner ini akan membawa angin segar pada dinamika ketatanegaraan Indonesia yang berarena di persidangan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, enam hakim yang telah terpilih lebih dahulu dari DPR dan Mahkamah Agung, tidak satu pun berasal dari kalangan perempuan. Perdebatan antara ada-tidaknya perwakilan perempuan sebagai hakim konstitusi, memang tidak seyogyanya menjadi diskursus yang justru menimbulkan sikap resistensi terhadap perjuangan melawan diskriminasi atas peran antara perempuan dan laki-laki di ranah publik. Sebab, mengawal Konstitusi Indonesia bukan sekedar ditentukan dari keterwakilan jenis kelamin saja, namun juga dibutuhkan pengetahuan hukum dan ketatanegaraan yang luas serta mendalam terkait dengan pelbagai disiplin bidang ilmu.

Namun demikian, kehadiran hakim konstitusi dari kalangan perempuan sangatlah diharapkan untuk dapat membawa keputusan-keputusan yang memuat perspektif jender. Terlebih lagi, produk perundang-undangan yang ada saat ini maupun yang akan disahkan di kemudian hari oleh lembaga legislatif, akan banyak bersinggungan dengan pelaksanaan hak-hak konstitusional kaum perempuan (constitutional rights of women), seperti misalnya, UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, RUU KUHP, ataupun RUU Pornografi dan Pornoaksi. Oleh karenanya, adanya hakim konstitusi perempuan setidaknya dapat memberikan keseimbangan dalam nuansa persamaan hak dan kewajiban atas dasar perlindungan konstitusi (constitutional protection).

Tren Internasional

Tren yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa lembaga publik diharapkan mampu memberikan kuota tersendiri bagi perempuan. Berbagai konvensi dan seminar internasional yang mengusung pencapaian kuota 30% untuk meningkatkan partisipasi perempuan pada pengambilan kebijakan dan keputusan, telah nyata memberikan sinyalemen kuat di mata masyarakat internasional bahwasanya partisipasi aktif dari kalangan perempuan akan sangat menentukan arah kebijakan yang berdampak positif bagi pemenuhan hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya bagi perempuan itu sendiri.

Lebih dari itu, perkembangan konstitusionalisme baru di beberapa negara telah memperlihatkan tempat yang terhormat bagi perempuan sebagai hakim konstitusi pada mahkamah konstitusinya masing-masing. Untuk menyebut beberapa di antaranya yang dikenal telah memiliki reputasi internasional pada setiap putusannya, yaitu Dr. Christine Hohmann-Dennhardt, Prof. Dr. Gertrude Lübbe-Wolff dan Prof. Dr. Lerke Osterloh dari Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht); Brigitte Bierlein, Lisbeth Lass, Eleonore Berchtold-Ostermann, dan Claudia Kahr dari Mahkamah Konstitusi Austria (Verfassungsgerichtshof); serta Yvonne Mokgoro, Bess Nkabinde-Mmono, dan Kate O'Regan dari Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.

Tidak ketinggalan dengan negara-negara lainnya, Mahkamah Konstitusi Belarus juga telah memilih empat hakim konstitusi perempuan dari total dua belas hakim konstitusinya, Mahkamah Konstitusi Ukraina menempatkan dua hakim konstitusi perempuan dari total lima belas hakim konstitusinya, dan Mahkamah Konstitusi Romania (curtea constituţională) menetapkan satu dari sembilan hakim konstitusinya dari kalangan perempuan, serta sejumlah contoh negara lainnya yang telah menerapkan kebijakan yang sama.

Negarawati Indonesia

Kiranya apabila Presiden SBY juga menelaah adanya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, maka seharusnya tidak ada lagi keraguan untuk memilih dan menetapkan hakim konstitusi perempuan sebagai pelaksanaan dari hak prerogratifnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, baik untuk saat ini maupun di masa mendatang, hakim konstitusi terpilih dari kalangan perempuan bukan saja hanya satu jumlahnya, tetapi bisa dua atau lebih, selama mereka memang mampu dan memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 16 UUMK, yaitu berpengalaman di bidang hukum, mampu bersikap adil, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, serta negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraan.

Dari keempat nama calon hakim konstitusi perempuan tersebut di atas, apabila kita melihat dari kacamata pengalaman dan keahliannya masing-masing di bidang hukum, sepertinya tidak perlu lagi adanya rasa sanksi di antara kita. Oleh karenanya, siapapun yang nantinya terpilih sebagai Hakim Konstitusi, mereka pun harus siap menyandang dan mempertanggungjawabkan gelarnya sebagai seorang negarawati Indonesia (Indonesian Stateswomen).

* Penulis adalah Staf pada Mahkamah Konstitusi RI. Alumnus Faculty of Law, University of Delhi (India) pada program pascasarjana Comparative Constitutional Law.

Keterangan Foto: Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.Hum.

Monday, August 04, 2008

Berita Kelulusan

LULUS DENGAN PREDIKAT "FIRST DIVISION"

Syukur Alhamdulillah, setelah melalui perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan akhirnya saya dapat menyelesaikan Studi S2 untuk program Master of Comparative Laws (M.C.L.) pada Faculty of Law, University of Delhi dengan tepat waktu dan berhasil memperoleh predikat First Division (Memuaskan).

Menembus kelulusan tepat waktu dari Sekolah Hukum di India ternyata bukanlah perkara yang mudah. Terbukti bahwa saya hanya merupakan salah satu dari 8 (delapan) mahasiswa dengan total sejumlah 42 mahasiswa untuk satu angkatan yang berhasil lulus tepat waktu untuk jangka waktu masa studi selama 2 (dua) tahun. Sedangkan untuk penulisan akhir (Thesis), saya mengambil judul “Critical Analysis on the Amendment Procedure under the Constitution of Indonesia: A Comparative Study from Selected Constitutions of the World (Japan, South Korea, India, United States and Germany)”.

Saya melihat bahwa tentunya kelulusan ini tidak terlepas dari doa dan dukungan seluruh rekan-rekan saya, baik yang berada di India maupun di tanah air, Indonesia. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para pengunjung Blawg ini, karena dapat saya katakan dengan jujur bahwa seluruh komentar dan kunjungan rekan-rekan telah menjadi suatu obor motivasi tersendiri bagi saya secara tidak langsung agar terus mengasah dan mengupdate ilmu hukum di berbagai bidang disiplin terkait dengan mata kuliah yang saya ambil selama menjalani pendidikan di India.

Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih bagi seluruh rekan-rekan. Semoga ilmu yang saya peroleh selama menempuh pendidikan di University of Delhi dapat bermanfaat bagi arah Pembangunan Nasional, khususnya di bidang pembaharuan dan penegakkan hukum di Indonesia.

Untuk selanjutnya, saya akan selalu mencoba untuk terus melakukan penulisan dalam Blawg ini dan melayani tanya-jawab melalui email seperti sedia kala, walaupun besar kemungkinan saya akan berada pada posisi sempitnya waktu dikarenakan padatnya aktivitas di tempat asal, yaitu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).

Sekali lagi saya ucapkan Terima Kasih dan Salam Perjuangan!

Jakarta, 4 Agustus 2008

Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L

Blawg : http://panmohamadfaiz.com
Email : pan.mohamad.faiz@gmail.com
HP : 0812.900.600.5