Wednesday, August 13, 2008

Indonesia Bukan Negara Agama ataupun Negara Sekuler

TAFSIR RESMI MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM PUTUSAN PENGUJIAN UU PERADILAN AGAMA

"Lalu bagaimanakah dengan pengaturan Hukum Islam dalam bingkai Nanggroe Aceh Darussalam beserta Perda-Perda bernuansa Islam yang akhir-akhir ini bermunculan di wilayah Indonesia? "

Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-VI/2008 yang kurang memperoleh banyak sorotan publik pada tanggal 8 Agustus yang lalu, ternyata justru mengungkap satu hal yang sangat fundamental dan menjadi tafsir resmi UUD 1945 guna menjawab perdebatan panjang banyak pihak, yaitu hubungan antara Negara dan agama dalam kerangka NKRI.

Awalnya, pertimbangan Mahkamah ini berasal dari permohonan Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Suryani, salah satu warga negara Indonesia yang berasal dari Kabupaten Serang.

Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) guna menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama yaitu Islam telah “dibatasi” dengan hadirnya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama, yang berbunyi:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf;f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah”

Lebih dari itu, Pemohon juga meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup komptensi peradilan agama diperluas dengan mencakup hukum Islam yang lain, termasuk hukum pidana (jinayah). Menurutnya, hukum Islam dengan semua cabangnya termasuk jinayah harus diberlakukan di Indonesia, karena Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kontradiktif

Apabila kita menelaah secara cermat, sebenarnya kedua permohonan Pemohon menjadi kontrafiktif satu sama lainnya. Di satu sisi, Pemohon meminta agar Pasal 49 UU Peradilan Agama diputuskan inkonstitusional karena membatasi dirinya untuk menjalankan ibadahnya dengan sempurna. Akan tetapi di sisi lain, Pemohon juga meminta agar kompetensi Peradilan Agama diperluas cakupannya sesuai dengan hukum Islam dalam arti luas, termasuk Hukum Pidana (jinayah) di dalamnya.

Terhadap hal ini Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) memberikan pertimbangan bahwa Mahkamah tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan Agama yang telah ditentukan. Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau dalam kata lain menjadi positive legislator.

Interpretasi Hubungan Negara-Agama

Pemohon yang mendalilkan bahwa setiap penganut agama yang sah di Indonesia dapat meminta kepada Negara untuk memberlakukan hukum agamanya masing-masing mendasarkan argumennya pada Pasal 28I UUD 1945 yang berbunyi:

Ayat 1: “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.

Terhadap dalil tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa pemahaman yang demikian tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama.

Mahkamah menafsirkan bahwa Indonesia bukan Negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Sedangkan dalam falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah Negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban.

Hubungan antara negara dan agama yang demikian pernah juga Penulis utarakan dalam salah satu artikelnya yang dimuat di the Jakarta Post pada akhir tahun 2007 yang lalu dengan judul “Constitution or Holy Book?”.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan YME harus melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing. Dengan demikian, lanjut Mahkamah, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.

‘Nasib’ Hukum Islam di Indonesia

Ketika Mahkamah menjelaskan bahwa hukum nasional menjadi sumber hukum yang utama dan meliputi seluruh wilayah kesatuan Indonesia, lalu bagaimanakah dengan posisi Hukum Islam itu sendiri sebagai sumber hukum?

Dalam hal ini, hukum Islam memang telah lama menjadi sumber hukum nasional, namun demikian hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional. Sumber hukum nasional selain hukum Islam, diantaranya yaitu hukum adat, hukum barat, serta sumber tradisi hukum lainnya.

Mahkamah menegaskan hukum Islam dapat berperan menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal yang dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya untuk membentuk peraturan perundang-undangn yang berlaku sebagai hukum nasional.

Dari seluruh penafsiran di atas maka penulis menyimpulkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan juga Negara sekuler, melainkan sebagai Negara Pancasila (Pancasila State). Hukum Islam hanyalah dijadikan salah satu sumber hukum nasional dalam peraturan perundang-undangan di wilayah Indonesia.

Lalu bagaimanakah dengan pengaturan Hukum Islam dalam bingkai Naggroe Aceh Darussalam beserta Perda-Perda bernuansa Islam yang akhir-akhir ini bermunculan di wilayah Indonesia? Apakah peraturan-peraturan tersebut mempunyai nilai konstitusionalitas untuk diterapkan di bumi Nusantara ini? Penulis akan membahasnya melalui artikel Hukum dan Konstitusi selanjutnya di Blog Jurnal Hukum ini.

Keterangan: Unduh Putusan lengkap Putusan MK terkait artikel di atas (click)