Wednesday, April 09, 2008

CINDONESIA: Cina, India dan Indonesia (Bagian II)

CINDONESIA:
MEMBANGUN KEKUATAN TRIUMVIRAT ASIA
Oleh: Pan Mohamad Faiz

IV. MENGEJAR LAJU CINDIA

1. Ekonomi

Bangkitnya perekonomian Cina dan India dapat kita golongkan sebagai gelombang kebangkitan negara-negara Asia setelah Jepang dan Korea. Perbedaan fundamental dari lahirnya kedua gelombang tersebut yaitu bangkitnya industri Jepang dan Korea pasca Perang Dunia II ditempuh melalui dorongan ekspor, sedangkan bagi Cina dan India lebih banyak dipengaruhi oleh masuknya investasi asing yang begitu besar. Pola ekspor ke luar negeri merupakan strategi yang sangat penting manakala suatu negara tidak mempunyai pasar domestik yang mencukupi. Oleh karenanya, bagi Cina maupun India yang memiliki pasar domestik terbesar di dunia, mereka mencoba untuk lebih memanfaatkan potensi tersebut sebagai titik pangkal dalam membangun perekonomiannya.[1]

Cindia yang baru saja memulai perjalanan panjangnya kini menyandang gelar sebagai “laboratorium dunia”, dengan Cina sebagai laboratorium manufaktur dan India sebagai laboratorium jasa serta pelayanan IT. Namun demikian, sebagaimana negara-negara industri maju yang telah ada sebelumnya, seiring berjalanannya waktu Cina akan segera mengalihkan kegiatan manufakturnya dengan cara outsourcing kepada negara-negara ekonomi berkembang lainnya di Asia Tenggara, Karibia, Afrika, ataupun Eropa Timur. Salah satu yang sudah terjadi yaitu ketika Haier mulai membangun aplikasinya di Indonesia, Malaysia dan Yugoslavia, serta Shanghai Baosteel yang mulai melakukan operasinya di Brasil. Sementara itu, produk-produk manufaktur tekstil Cina juga telah dialihkan ke negara-negara Afrika. [2]

Begitu pula dengan India, bisnis call center dan outsourcing sebagai jantung dari pelayanan dan jasa IT lambat laun akan mulai beralih ke negara lain karena beberapa alasan utama, yaitu adanya perbedaan jam kerja yang begitu kontras, pelayanan yang kurang prima dari tenaga kerja India, serta adanya keinginan negara maju untuk mengurangi terciptanya ketergantungan terhadap satu negara tertentu. Peluang bisnis dalam bidang ini amatlah menjanjikan. Berdasarkan catatan yang terhimpun, sejak tahun 2003 Amerika Serikat telah memindahkan satu juta white-collar job dengan cara offshore dan Inggris telah memindahkan sebanyak 250.000 industri pelayanannya ke negara-negara lain. Pada tahun 2008, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa Amerika direncanakan akan kembali memindahkan sekitar 2,3 juta pekerjaan pelayanan industri ke berbagai negara dan Inggris akan melakukan offshoring sebanyak 650.000 pekerjaan ke berbagai negara.[3]

Melihat situasi seperti tersebut di atas, Indonesia bisa pula memanfaatkan kesempatan ini untuk mengangkat roda perekonomian nasional sekaligus membangun kerjasama profesional dengan negara-negara maju dunia. Terlebih lagi, Cina, India dan ASEAN telah dan terus bekerjasama untuk meingkatkan infrastruktur dasar ekonomi Asia, serta berencana untuk menciptakan integrasi ekonomi dan mata uang layaknya Uni Eropa, sebagaimana pernah diutarakan oleh Manmohan Singh dalam Asian Summit 2005 di Kuala Lumpur dengan menggagas Pan-Asian Economic Community.[4]

Cindia menyadari bahwa pola pekerjaan yang dilakukannya saat ini tidaklah akan berlangsung selamanya. Oleh karenanya, mereka kini akan menghadapi tantangan berikutnya, yaitu dengan menjadi mesin pencetak para ilmuwan, ahli, dan pakar di berbagai bidang.[5] Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan jumlah tenaga kerja tebesar kedua di masa yang akan datang, harus mampu mengambil alih posisi mereka sebagai awal mula partisipasi persaingan global sekaligus membuka lapangan kerja sementara waktu bagi jutaan anak bangsa.


Grafik 4: Angkatan Kerja Dunia dalam Kurun Waktu 2005-2030

(Format Statistik tidak dapat ditampilkan di sini)

Sumber: Economist Intelligent Unit (2007)

2. Pendidikan

Dengan semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas lulusan yang dimiliki oleh Cina dan India, kini pengembangan ilmu dan teknologi tingkat tinggi tidak lagi dimonopoli oleh negara-negara tertentu saja. Di tahun 2006, Cina memproduksi lulusan universitas sebanyak 4,1 juta orang dengan 800.000 lulusan diantaranya berasal dari bidang ilmu alam dan teknologi. Sedangkan India menghasilkan lulusan sekitar 2,7 juta orang, dimana sekitar 500.000 diantaranya merupakan lulusan dengn kualitas yang siap dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar dari Amerika dan Inggris.[6]

Pada masa yang lalu, banyak para elit Cindia di bidang pendidikan memilih untuk melanjutkan studi atau berkarir di Amerika, Inggris ataupun negara-negara lainnya guna memperoleh penghasilan yang lebih menjanjikan. Namun dengan seiring membaiknya perekonomian dan iklim usaha di dalam negeri, kini mereka secara hampir bersamaan kembali hijrah ke negaranya masing-masing. Sebagi contoh, terdapat lebih dari 40.000 warga negara India yang kembali dan mulai bekerja di kota Bangalore selama beberapa tahun terakhir ini.[7]

Tentunya kondisi-kondisi di atas terjadi setelah kedua negara berhasil menciptakan atmosfer pendidikan yang sangat baik, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar, diundangkannya UU tentang Wajib Belajar oleh pemerintah Cina di tahun 1986 dengan target seluruh anak yang berumur enam tahun diwajibkan untuk memperoleh pendidikan dasar sembilan tahun, telah membawa perubahan meningkatnya persentase melek huruf dari sebesar 66 persen di tahun 1950-an menjadi 80 persen di tahun 1990-an.[8]

Untuk memacu hasil riset dan teknologi yang menunjang terciptanya kemakmuran suatu bangsa, UNDP telah mensyaratkan angka minimal 1% dari GDP masing-masing negara. Oleh karenanya, baik Cina maupun India hampir setiap tahunnya selalu berusaha menaikkan anggaran di bidang Research and Development (R&D). Di akhir tahun 1990-an, Cina hanya mengalokasikan anggaran R&D kurang dari 1% dari total GDP, namun saat ini anggaran telah meningkat menjadi 1,5% dan direncanakan akan terus meningkat hingga mencapai angka 2,5% di tahun 2020. Inovasi ilmu pengetahuan yang telah diciptakan oleh Cina telah turut mendongkrak terjadi permohonan aplikasi paten sebesar lebih dari 130.000 di tahun 2004. Menurut laporan Paris-based Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Cina menghabiskan lebih dari US$ 136 miliar khusus untuk R&D di tahun 2006, melewati anggaran yang dialokasikan oleh Jepang sebesar US$ 130 miliar

Saat ini, kebanyakan dari perusahaan multinasional besar telah mempunyai pusat R&D secara khusus dan tersendiri di kota-kota Cina dan India, sehingga locus pengembangan teknologi secara otomatis juga berpindah ke dalam dua negara tersebut.[9] Menilik keberhasilan India di bidang ITC, tentunya tidak dapat pula dipisahkan dari peran human capital yang ditelurkan dari tujuh institut elit di bidang ilmu alam dan teknik yang dikenal dengan Indian Institute of Technology (IITs).[10] Keterlibatan yang tidak kalah pentingnya yaitu berasal dari organisasi-organisasi profesi diaspora India, seperti halnya Silicon Valley Indian Professionals Association (SIPA) yang telah menjadi organisasi dunia dalam menjembatani pernyediaan informasi dan kontak bagi perusahan-perusahaan besar yang ingin melakukan outsourcing terhadap para ahli IT asal India.

Melihat persaingan global yang begitu ketat, Indonesia mau tidak mau harus segera memberikan perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan. Setiap kebijakan nasional harus pula bermuara pada dorongan terhadap peningkatan mutu, kualitas, anggaran pendidikan dan riset, serta penuntasan program buta huruf dan wajib belajar sembilan tahun. Investasi di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.[11]

Selain terus memacu peningkatan anggaran di bidang Research and Development (R&D), setidaknya terdapat empat hal yang patut dipertimbangkan dengan melihat kebijakan umum pemerintah India terhadap dunia pendidikannya:
  1. Pendidikan yang murah, terjangkau dan berkualitas disediakan bagi seluruh anak bangsa, baik dari tingkat sekolah dasar hingga tingkatan Universitas;

  2. Kebijakan harga dasar kertas dan buku-buku, khususnya buku pelajaran dikontrol secara ketat oleh National Book Trust of India (NBT) agar selalu sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, khususnya bagi kalangan terpelajar dan akademisi;

  3. Perhatian khusus pemerintah melalui University Grant Commission (UGC) untuk memberikan beasiswa sebesar satu hingga dua bulan gaji rata-rata di India kepada setiap mahasiswa S-3 yang terdaftar. Hal ini maksudkan untuk memacu para calon mahasiswa S-3 lainnya dan penelitian yang dikerjakan benar-benar terfokus;

  4. Kesejahteraan dan fasilitas yang memadai disedikan bagi para tenaga pendidik sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk mengajar tanpa harus melakukan aktivitas lain guna menambah pendapatannya yang dirasakan kurang layak.
Grafik 5: Peringkat Indikator Sosial antara Cina, India dan Indonesia

(Format Statistik tidak dapat ditampilkan dalam halaman ini)

Sumber: Human Development Index Report (2007)


3. Lingkungan Hidup

Dalam pandangan penulis, hal utama yang dapat menghambat keberlangsungan perekonomian Cina dan India justru ancaman yang datang dari penelantaran terhadap lingkungan hidup. Pemuka pro-lingkungan ternama, Lester R. Brown, dalam bukunya Plan B.2.0 menegaskan bahwa Cina dan India tidak mempunyai pilihan lain selain menjaga kestabilan lingkungan untuk tetap mempertahankan prestasi yang telah diraihnya saat ini.[12] Uraian berikut setidaknya menunjukan mengapa kedua negara tersebut harus memberikan perhatian penuh terhadap lingkungan sekitarnya.

Menurut Bank Dunia, 16 dari 20 kota-kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia berada di negara Cina dengan tiga kota besarnya yang memiliki nilai tiga kali lipat dari batas normal keselamatan yang telah ditetapkan oleh World Health Organisation (WHO). The Word Bank memperkirakan efek negatif polusi yang menyerang kesehatan di Cina mengakibatkan kerugian sedikitnya US$ 53 miliar pertahun dan secara tidak langsung telah mempercepat kematian sekitar 178.000 jiwa setiap tahunnya.[13] Air yang mengalir pada sungai yang membentang sepanjang 5.464 km di bagian Utara Cina, meskipun sudah melalui proses penyulingan, dua pertiganya tidak lagi memenuhi standar air minum. Lebih mencekam lagi, pada tahun 2006 pemerintah Cina melaporkan setidaknya terdapat 161 kecelakan lingkungan yang cukup membahayakan setiap dua hari sekali.

Setali tiga uang, kondisi lingkungan di India juga tidak lebih baik dari Cina. Struktur kemasyarakan yang kurang menghargai budaya kebersihan ditunjang dengan iklim yang kurang bersahabat menjadikan negara ini sulit untuk dihuni. Ibukota India, New Delhi dinyatakan pula sebagai salah satu kota terpolusi di dunia sesaat sebelum dimulainya kampanye pembersihan kota “Green Delhi”. Sungai suci di India, The Ganges, sangatlah tidak bersih dikarenakan terdapat campuran limbah kimia industri berbahaya, pestisida material, hingga berjenis bangkai dan kotoran hewan.

Asian Development Bank memprediksi bahwa ketika jumlah kendaraan di Cina meningkat 15 kali lipat dalam 30 tahun ke depan, jumlah kendaraan di India kemungkinan meningkat sebesar 13 kali lipat. Hal yang paling mengkhawatirkan kemudian adalah limbah nuklir. Tanpa memperhatikan berbagai malapetaka yang kemungkinan ditimbulkannya, India telah sepakat menjalin kerjasama dengan Amerika untuk memperbanyak pembangkit tenaga nuklir, sedangkan Cina berencana untuk membangun 20 pembangkit nuklir lainnya hingga tahun 2020.

Terhadap kondisi tersebut, Indonesia yang masih memiliki struktur lingkungan bersahabat, sebelum terlambat harus pula melakukan rancang bangun kebijakan untuk tetap menjaga keutuhan lingkungannya, terutama terhadap udara, air dan hasil hutan. Maka ketika proses kebangkitan industri itu tiba, Indonesia sudah mampu mengelola lingkungan dari potensi ancaman menjadi potensi harapan melalui terciptanya lingkungan lestari yang berkesinambungan.

Hal ini haruslah diperkuat lagi setelah Indonesia sukses menggelar United Nations Climate Change Conference di Bali pada Desember 2007 yang lalu.[14] Maka amatlah beralasan ketika Thomas L. Friedman, peraih Pulitzer Prize, memberikan segmen khusus mengenai eksistensi negara Indonesia di kancah percaturan dunia dalam buku terbarunya yang berjudul “Hot, Flat and Crowded”.

Indonesia memang telah memiliki berbagi peraturan bagi perlindungan lingkungan, tetapi masalahnya hingga kini implementasi tidaklah dijalankan secara sungguh-sungguh. Tanpa keberanian dan pembenahan aparatur terkait, peraturan hukum hanya akan selalu menjadi macan kertas saja.

V. PENUTUP

Kebangkitan Cindia haruslah disikapi secara bijak oleh kita semua, karena dampaknya terhadap Indonesia bisa saja merugikan namun bisa pula justru menguntungkan. Dengan adanya keterbatasan tempat, tulisan singkat ini tentu saja belum sampai pada uraian terperinci mengenai keunggulan dan kekurangan dari kedua negara tersebut. Pun tulisan ini juga bukan bermaksud untuk membandingkan konsep manakah yang terbaik dari kedua negara tersebut untuk dapat diterapkan di Indonesia. Hanya berbagai kelebihan dan energi positifnya sajalah yang harus kita ambil, untuk kemudian kita gunakan dalam membangun bangsa Indonesia dengan pola dan karakter kita sendiri.

Kurangnya perhatian terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak dan perempuan, diyakini sebagai salah satu alasan utama mengapa bangsa Indonesia sangat sulit untuk keluar dari keterpurukannya. Untuk itu, sementara struktur pendidikan nasional terus dibenahi guna membangun infrastruktur dasar para intelektual, brain-power secara cepat dapat diperoleh dengan melakukan technology transfer. Selain dapat menjadi saluran yang tepat agar terciptanya transfer teknologi, pola pengembangan Special Economic Zones (SEZs) juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan di bidang manufaktur, pelayanan jasa, serta modernisasi di bidang pertanian. Untuk itu, jiwa kewirausahaan dan bisnis harus pula mulai ditumbuhkembangkan sejak dini di setiap sanubari anak negeri.

Dengan nilai indeks yang lebih baik dari Cina di ranah demokrasi sipil dan politik, serta infrastruktur pembangunan fisik yang lebih mumpuni dibandingkan dengan India, Indonesia sudah selayaknya masuk dalam jajaran pemain kelas atas di Asia. The new Chindian dapat menjadi jembatan emas untuk meraih cita-cita tersebut, sebab agresifitas mereka memiliki karakter yang berbeda dengan negara-negara superpower lainnya. Esensi kerjasama dengan Cindia berangkat bukan dari nilai “power politics” tetapi “economy partnership”, bukan pula melalui pola “exploitation” melainkan dengan “cooperation”.

Persaingan yang terjadi antara Cina dan India dapat pula kita ibaratkan sebagai dongeng tentang perlombaan sang kura-kura. India seringkali disematkan dengan simbol gajah dalam pembangunannya. Ia tidak mempunyai kecepatan tinggi, tetapi akan selalu mempunyai stamina yang konstan dan akhirnya akan memenangkan perlombaan. Dengan gaya otoritariannya, Cina tentu akan sangat mudah memenangkan pertandingan lari cepat, namun India sebagai negara demokrasi akan tampil sebagai pemenang dalam pertandingan marathon.

Cina, India, dan Indonesia (Cindonesia) yang diikat dalam satu regional benua yang sama dan menjadi tempat hunian dari hampir separuh umat manusia di muka bumi, sudah seyogyanya saling bekerjasama dan belajar satu sama lainnya. Dengan memberikan perhatian lebih khusus terhadap Cindia seraya memperkuat hubungan kerjasama dengan keduanya, mulai dari sektor perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, hingga militer, Indonesia diprediksi akan menjelma menjadi “Macan” Asia berikutnya untuk kemudian bergabung menjadi pemain utama dunia bersama dengan Cina dan India membentuk kekuatan baru, “Triumvirat Asia”.

*** SELESAI ***

Catatan: Penulis sangat menantikan Pendapat, Saran ataupun Sanggahan dari Para Pembaca atas informasi dan gagasan yang telah diutangkan dalam artikel di atas.

End Notes:

[1] Lihat Pan Mohamad Faiz, “Meneropong Visi Bangsa: Analisa Kritis Visi Indonesia 2030 vis-a-vis Visi India 2020”, Jurnal Visi, No. 1 Vol IX, 2007, hal. 20-38; dan Abdul Kalam dan YS Rajan, India Vision 2020: A Vision for the New Millenium, Penguin Books, New Delhi, 2002.
[2] Lihat David Smith, The Dragon and the Elephant, Profile Books, London, 2007.
[3] Lihat juga Diana Farrell, “U.S. Offshoring: Small Steps to Make It a Win-Win”, Barkeley Electronic Press, Maret 2006.
[4] Menurut pengamat Timur-Tengah, Anthony Cordesman, salah satu buah manis dari inisiatif terciptanya Pan-Asian kemungkinan adalah terbentuknya Asian Monetary System (AMS) dengan menginternasionalisasikan mata uang yuan sebagai nilai awal mata uang Asia (“Asyuan”).
[5] Menurut data yang dikeluarkan oleh United Nations Population Division, selain akan menjadi negara terpadat penduduk di dunia, India juga akan mempunyai tenaga kerja terbesar berjumlah 986 juta orang pada tahun 2030. Sedangkan Cina, akibat program one-child policy yang dimulai sejak tahun 1979, akan memperoleh penurunan angka angkatan kerja, termasuk efek negatif dari “1:2:4 problem” yaitu di masa yang akan datang setiap anak harus menanggung beban hidup dua orang tua dan empat orang kakek-neneknya.
[6] Lihat laporan dari China’s National Development and Reform Commission bertanggal 28 Juli 2006; dan “India and China: New Tigers of Asia, Part II” dalam Morgan Stanley, Juni 2006.
[7] Data lengkap dapat dilihat pada Returned Non-Resident Indians Association, India.
[8] Untuk mempromosikan dan mengkonsolidasi program wajib belajar sembilan tahun, pemerintah Cina juga telah menaikkan anggarannya menjadi 4% dari total GDP atau sekitar US$ 27 miliar. Lihat The Guidelines for the 11th Give-year Plan for National Economic and Social Development in China, 2006 dan “China to Raise Education Expenditures to 4 Percent of GDP,” Xinhua News Agency, CEIS, 6 Maret 2006, hal. 1.
[9] Richard Freeman, “China, India and the Doubling of the Global Labour Force”, Globalist, 3 Juni 2005.
[10] Ketujuh Institut yang berada di Khararakpur, Mumbai, Madras, Kanpur, Delhi, Guwahti, dan Roorkee didirikan setelah masa kemerdekaan India dengan tujuan menyediakan pendidikan yang mendekati kesempurnaan di bidang ilmu alam, teknologi, dan teknik dengan mengusung model yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT). Di tahun 2005, The Times of Higher Educational Supplement menempatkan IITs sebagai salah satu institusi pendidikan terbaik di dunia untuk bidang teknologi, hanya terpaut di bawah MIT dan California Institute of Technology.
[11] Lihat Pan Mohamad Faiz, “Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan”, Jurnal Visi No.1 Vol. VIII, 2006, hal. 14-21.
[12] Lester R. Brown, Plan B: Rescuing a Planet Under Stress and a Civilization in Trouble, Earth Policy Institute, New York, 2006, hal. 11.
[13] Lihat Jonathan R. Woetzel, “Checking China’s Vital Signs: The Social Challenge,” McKinsey Quarterly, 2006.
[14] United Nations Climate Change Conference 2007 dilangsungkan di Nusa Bali pada tanggal 3-15 Desember 2007. Konferensi tersebut mengulas beberapa hasil pertemuan sebelumnya, seperti 13th Conference of the Parties to the UNFCCC (COP 13) dan 3rd Meeting of the Parties to the Kyoto Protocl (MOP 3 atau CMP 3).

DAFTAR PUSTAKA

  • A CII-McKinsey Report, Learning from China to Unlock India’s Maufacturing Potential, Oktober 2002.

  • Ahuja, Sandep, et al., Indian Economic Reform: Task Force Report, International Policy Practicum 2005, University of Chicago, Januari 2006.

  • Brown, Lester R., Plan B: Rescuing a Planet Under Stress and a Civilization in Trouble, Earth Policy Institute, New York, 2006.

  • Das, Gurcharan, India Unbound: From Independence to the Global Information Age, Penguin Books India, New Delhi, 2002.

  • Faiz, Pan Mohamad, Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India, disampaikan pada International Conference for Indonesian Students di Sydney, Australia, September 2007.

  • _________, “Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan”, Jurnal Visi No.1 Vol. VIII, 2006.

  • _________, “Meneropong Visi Bangsa: Analisa Kritis Visi Indonesia 2030 vis-a-vis Visi India 2020”, Jurnal Visi, No. 1 Vol IX, 2007.

  • Farrell, Diana, “U.S. Offshoring: Small Steps to Make It a Win-Win”, Barkeley Electronic Press, Maret 2006.

  • Fishman, Ted, China Inc.: How the Rise of the Next Superpower Challenges America and the World, Scribner, edisi paperback, New Delhi, 2006.

  • Freeman, Richard, “China, India and the Doubling of the Global Labour Force’, Globalist, 3 Juni 2005.

  • Friedman, Thomas L., The World Is Flat: A Brief History of the Tweny-First Century, Penguin Book, New Delhi, 2005.

  • Goldman Sachs Economic Research, Dreaming with BRIC’s: The Path to 2050, Global Economics Paper No. 99.

  • Goldman Sachs Economic Research, India: Realizing BRICs Potential, Global Economics Paper No. 109.

  • Kalam Abdul dan YS Rajan, India Vision 2020: A Vision for the New Millenium, Penguin Books, New Delhi, 2002.

  • Luce, Edward, In Spite of the Gods: The Strange Rise of Modern India, Doubleday, 2007.

  • Meredith, Robyn, The Elephant and The Dragon: The Rise of India and China and What It Means for All of Us, Viva Books, New Delhi, 2008.

  • Nalapat, Madhav D., “Partnership for Peace, Prosperity, and Parity”, China Daily, 14 Februari 2007.

  • Nasscom-McKinsey, Chindia: How China and India are Revolutionizing Global Business, McGraw-Hill, 2007.

  • Saraf, Vishnu, India and China: Comparing the Incomparable, Observer Research Foundation dan Macmillan India Ltd., 2008.

  • Sheeth, Jagdish N., Chindia Rising: How China and India Will Benefit Your Business, Tata McGraw-Hill, New Delhi, 2008.

  • Shenkar, Odded, The Chinese Century: The Rising Chinese Economy and Its Impact on the Global Economy, The Balance of Power, and Your Job, Whartoon School Publishing, 2006.

  • Smith, David, The Dragon and the Elephant, Profile Books, London, 2007.

  • Stiglitz, Joseph, Making Globalization Work, Penguin, edisi paperback, New Delhi, 2006.

  • The Berkman Center for Internet and Society, Internet Filtering in China 2004-05: A Country Study, Harvard Law School, tersedia pada http://opennet.net/studies/china/, diakses terakhir kali pada tanggal 20 Maret 2008.

  • Virmani, Arvind, A Tripolar Century: USA, China and India, Working Paper No 160, Indian Council for Research on International Economic Relation, Maret 2005.

  • Woetzel, Jonathan R., “Checking China’s Vital Signs: The Social Challenge,” McKinsey Quarterly, 2006.

  • Wolfitz, Paul, Statement Issued on Visit to China, World Bank, Washington, Oktober 2005. Wong, Venessa, “Step into the Future”, Insight Magazine, American Chamber of Commerce in Shanghai, Juli-Agustus 2006.

  • Yew, Lee Kuan, From Third World to First: The Singapore Story, 1965-2000, Harper Collins, New York, 2000.

  • Zhenghui, Feng, ed., Stories of China’s Reform and Opening-Up, Story of China Publishing, Shenzhen, Agustus 2004.

  • “China to Raise Education Expenditures to 4 Percent of GDP,” Xinhua News Agency, CEIS, 6 Maret 2006.

  • “From cars for Rs one lakh to Rs one crore, Tata makes them all”, The Economic Times, 26 Maret 2008. “George W. Bush in Dr. Strangedeal”, The Economist, edisi 22-27 Maret 2006.

No comments: