Thursday, November 29, 2007

Indonesian Law Reform Expo 2007

SEMINAR AKBAR VISI PEMBANGUNAN HUKUM 2025
Jakarta Convention Center, 3 Desember 2007

"Mewujudkan Sistem Hukum Nasional yang Menjamin Tegaknya Supremasi Hukum dan HAM Berdasarkan Keadilan dan Kebenaran"

Latar Belakang Pemikiran

Sejak Negara Indonesia diproklamirkan menjadi Negara yang merdeka, para pendiri republik ini sepakat bahwa negara ini berlandaskan pada hukum (yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis) yang mencerminkan penghormatan kepada hak asasi manusia (HAM). Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Maachstaat). Gagasan negara yang berlandaskan konstitusi dan hukum juga secara jelas terekam dalam perdebatan di sidang pleno Kostituante pada saat membahas falsafah negara atau dasar negara, hak asasi manusia, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu 1956-1959 (Nasution, 1992-xxx).

Namun demikian, wacana negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Konstitusi dan sebagaimana dinyatakan oleh founding fathers kita tidak berkembang dan terinternalisasi kedalam berbagai norma hukum dan praktek hukum serta ketatanegaraan di Indonesia saat ini. Akibatnya, Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama mengalami suatu periode dimana hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam melanggengkan berbagai kepentingan yaitu kepentingan kelompok dan kekuasaannya.

Kondisi “kembali kepada konstitusi dan hukum yang berlandaskan kepada HAM” inilah yang kemudian diupayakan oleh pemerintah pasca orde baru sebagaimana terwujud dalam berbagai amandemen Konstitusi (empat amandemen), Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, dan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Ikhtiar ini tidak terlepas dari berbagai tuntutan mahasiswa dan elemen-elemen reformasi pada tahun 1997 untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, taat hukum, dan tata pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dalam perjalanan satu dekade reformasi (1997-2007), wacana tentang arah pembangunan hukum nasional terasa tidak berkembang. Perdebatan-perdebatan yang mendalam dengan menggunakan nurani, akal sehat dan kepentingan bangsa serta kehidupan hukum jangka panjang tidak pernah kita jumpai sebagaimana pernah dilakukan oleh founding fathers kita menjelang kemerdekaan dan dalam Konstituante. Dokumen-dokumen perencanaan pembangunan hukum saat ini (Propenas, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), RPJM, dan RPJP) tidak hanya saja ditetapkan serta dirumuskan secara eksklusif tetapi juga tidak dilandasi oleh konsepsi hukum, pembangunan hukum dan negara hukum yang jelas. Kerancuan konsepsi negara hukum dan pembangunan hukum (baca: rule of law) memang bukanlah gejala spesifik Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Kleinfeld dalam Thomas Carothers, Promoting the Rule of Law Abroad: In Search of Knowledge (2006) bahwa, ”Read any set of articles discussing the rule of law, and the concept emerges looking like the proverbial blind man’s elephant- a trunk to one person, a tail to another….”

Kerancuan konsepsi ini berakibat terhadap kesulitan dalam mendefinisikan tujuan dan kriteria keberhasilan program-program rule of law sebagai bagian dari program pemerintah maupun program-program bantuan internasional atau negara donor. Secara umum, kerancuan konsep dan definisi rule of law memunculkan berbagai problematika seperti yang dikemukakan Channel dalam Carothers, Promoting Rule of Law Abroad: In Search of Knowledge, (2006) sebagai berikut: (1) ketiadaan rasa kepemilikan (lack of ownership) dari negara dan masyarakat akibat dari hasty transplants dari negara atau sistem hukum lain; (2) tidak memadainya sumber daya (insufficient resources) sehingga mengakibatkan proyek-proyek pembangunan hukum diselenggarakan dengan sangat singkat dengan mekanisme dan proses seadanya; (3) munculnya gejala segmentasi yang eksesif (excessive segmentation) yang mengakibatkan diagnosis dan respon yang sangat sempit (overly narrow) yang mengabaikan perlunya perbaikan hukum secara sistemik dan terintegrasi.

Sejak diundangkannya UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) tahun 2005-2025, maka pembangunan hukum di tingkat nasional maupun daerah wajib mengacu kepada RPJP ini. Tujuan pembangunan hukum dalam RPJP adalah mempromosikan sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis berdasarkan hukum dan keadilan. Program-program tersebut meliputi program: (1) pengembangan materi hukum; (2) pembangunan struktur hukum; (3) penerapan dan penegakan hukum dan HAM yang profesional, lugas dan tidak diskriminatif; (4) pembangunan prasarana hukum; dan (5) peningkatan perwujudan masyarakat yang memiliki kesadaran hukum dan budaya hukum.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka beberapa pertanyaan yang perlu dikaji serta dicarikan jawabannya dalam seminar ini :
  1. Apakah kita perlu membangun sebuah konsepsi negara berdasarkan hukum (rule of law) dalam konteks Indonesia? Apabila diperlukan, bagaimana proses membangun konsepsi ini dan bagaimana mengintegrasikannya kedalam dokumen negara tentang pembangunan hukum?

  2. Apakah program pembangunan hukum jangka panjang sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2007 telah memenuhi dan merespon kebutuhan riil bangsa Indonesia? Apabila belum, bagaimana membangun sebuah analisis kebutuhan yang responsif dan aspiratif untuk merumuskan program-program pembangunan hukum jangka panjang yang merespon kebutuhan bangsa, terutama kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

  3. Apabila pembangunan hukum versi RPJP telah memadai, bagaimana memberi isi dan menjabarkan kelima program pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam UU No.17/2007 ?

  4. Bagaimana peran hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang kini sedang dihadapi bangsa Indonesia seperti: (a) pendidikan hukum (akademis dan profesi) yang mampu membentuk profesi hukum yang memiliki empati pada upaya memerangi penyimpangan etika profesi hukum, khususnya judicial corruption; (b) peranan hukum dalam mendukung investasi ekonomi yang berdimensi pembangunan berkelanjutan (sustainable development); (c) peranan hukum dalam mendukung tata pemerintahan yang baik (good public governance); (d) peranan hukum dalam mendukung serta mengawal kebebasan pers yang bertanggung jawab; dan (e) pluralisme hukum dan koeksistensi antara hukum negara dengan hukum adat.

Kegiatan

  • Pra Seminar Akbar
  • Kelompok Diskusi Pakar Terfokus (Focus Group Discussion)
  • Seminar Akbar Visi Pembangunan Hukum 2025

A. Pra Seminar

Peserta kurang lebih 150 orang yang akan memaparkan ide baik akademis maupun non akademis yang terkait dengan aspek konsep rule of law dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan hukum akademis dan profesi, memulihkan citra lembaga penegak hukum, peranan hukum dalam mendukung serta merealisasikan tata pemerintahan yang baik (good public governance), peranan hukum dalam mendorong investasi ekonomi yang berdimensi pembangunan berkelanjutan, peranan hukum dalam mendrorong serta merealisasikan kebebasan pers yang berkualitas, serta pluralisme hukum dan koeksistensi antara hukum negara dengan hukum adat. Dalam setiap topik juga akan didukung oleh 2-3 ahli yang akan memberikan pemaparan secara ilmiah.

B. Diskusi Terbatas Kelompok Pakar

Diskusi terbatas kelompok pakar (5-7 orang) akan mengolah serta mengkaji hasil Pra Seminar untuk dirumuskan dalam bentuk rancangan konsep operasional pembangunan hukum jangka pendek, menengah dan panjang. Kelompok Pakar ini dalam mengolah, mengkaji serta merumuskan rancangan konsep dapat mengundang berbagai narasumber untuk mengisi berbagai kekurangan, menajamkan serta mengoperasionalisasikan konsep tersebut.

C. Seminar Akbar Visi Pembangunan Hukum 2025

Seminar akan dihadiri oleh 200-300 peserta dan merupakan acara puncak dari rangkaian kegiatan untuk merumuskan konsep tentang visi, misi , tujuan, sasaran dan program serta strategi pelaksanaan pembangunan hukum yang perlu diintegarsikan dalam perencanaan hukum di tahun 2010 maupun yang bersifat lebih jangka panjang (sampai dengan 2025). Seminar ini menghadirkan berbagai pembicara nasional dan internasional dengan topik-topik yang ditentukan sebagai berikut:

(1) Konsepsi Rule of Law Dalam Konteks Indonesia; (2) Memulihkan Kepercayaan Publik terhadap Kinerja Lembaga Penegak Hukum di Indonesia; (3) Membangun Sistem Pendidikan Hukum (Akademis dan Profesi) yang Mampu Membentuk Profesi Hukum yang Memiliki Empati Terhadap Upaya Memerangi Penyimpangan Etika Profesi Hukum, khususnya Judicial Corruption; (4) Peranan Hukum Dalam Mendukung Investasi yang berdimensi Pembangunan Berkelanjutan; (5) Peranan Hukum Dalam Mendukung Tata Pemerintahan Yang Baik; (6) Peranan Hukum Dalam Mendorong Kebebasan Pers Yang Berkualitas; dan (7) Pluralisme Hukum dan Potensi Koeksistensi antara hukum formal dan adat dalam ke-Indonesia-an; (8) Strategi Perwujudan Akses Rakyat terhadap Keadilan.

Seminar ini akan menghadirkan penentu kebijakan negara di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bersamaan dengan penyelengaraan Seminar Akbar ini akan diselenggarakan Pameran Kinerja Pembaruan Hukum Nasional 2007 secara pararel yang bersifat terbuka untuk umum.

Tujuan:

  1. Mengembangkan konsepsi sistem hukum nasional yang responsif terhadap kebutuhan (real needs) bangsa Indonesia;
  2. Mengembangkan program-program prioritas pembangunan hukum dalam menanggapi ketujuh isu di atas;
  3. Memberikan masukan terhadap perencanaan pembangunan nasional di bidang hukum.

Keluaran/Hasil:

  1. Konsep sistem hukum nasional,
  2. Rekomendasi program pembangunan hukum nasional

Tanggal & Tempat Pelaksanaan:

  • Pra Seminar, 10 Nopember 2007, Kampus FHUI, Depok
  • Seminar Akbar Visi Pembangunan Hukum 2025, 3 Desember 2007, Jakarta Convention Centre (JCC)

Penyelenggara:

  • Ikatan Alumni Fakultas Hukum UI
  • Fakultas Hukum UI
  • Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FHUI

Institusi Pendukung

Mahkamah Agung RI, Mahkamah Konstitusi RI, Komisi III DPR RI, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI, Departemen Hukum dan HAM, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Hukum Nasional, Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komnas Perempuan, Komisi Kejaksaan, Kompolnas, IALDF-AUSAID, GGIJ-EU, USAID, UNDP, TAF, Partnership for Governance Reform Indonesia, MaPPI, LeIP, PSHK, ICEL, ICW, TII, KRHN, Hukum Online, YLBHI, dll.

Alamat Sekretariat

Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa FHUI Student Center, Kampus Baru Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 16424 Telp: 6221 727 00 03, Fax: 6221 727 00 52

Kantor Tim Pembaruan Kejaksaan, Lantai 5 Gedung Utama Kejaksaan Agung RI Jl. Sultan Hasanudin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta 12160

Contact Persons

FHUI: Arman Nefi (0818 883 725)/Nisa Istiani (0811 994 079) - Iluni FHUI: Wirianto Birin/Laode Ronald Firman (0811 163 477) - BEM FHUI: Muhammad Ajisatria (0816 910 958)/Abdillah Tadjoedin (0812 949 7789)

Ikuti perkembangannya di http://www.law.ui.ac.id/

***

LAMPIRAN

Dalam rangka Dies Natalis FHUI yang ke 83, BEM-FHUI bekerja sama dengan ILUNI FHUI dan Dekanat FHUI akan mengadakan rangkaian kegiatan yang diselenggarakan pada:

  • Hari/Tanggal : MINGGU, 2 Desember 2007 dan SENIN, 3 Desember 2007
  • Tempat : Ruang Cendrawasih, Balai Sidang Jakarta/Jakarta Convention Center.

Rangkaian Acara :

1. Pameran Pembaruan Hukum (Law Reform Expo)

Waktu: 2 dan 3 Desember 2007 - Pukul 09.30 s/d 16.30.

Diikuti Peserta dari hampir semua Lembaga Negara dan/atau Pemerintah serta non pemerintah yang bergerak di bidang (penegakan) hukum, antara lain:- Mahkamah Konstutusi RI- Mahkamah Agung RI- Kejaksaan Agung RI- Dephukham- Komisi Yudisial- Komisi Pemberantasan Korupsi- PERADI- HUKUM ON LINE & PSHK- ICW- Ombudsman- ELSAM- Partnership- UNDP- AUSAID - IALDF- ICEL - IICT- KRHN- TII- MAPPI- CFISEL

Rencana akan dibuka oleh Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Widodo A.S.

2. Talk Show

Waktu: 2 Desember 2007 - Pukul 11.00 s/d 12.30 dan Pukul 13.30 s/d 15.00.

a. Topik : "Transparansi Peradilan" (Pukul 11.00 s/d 12.30)

  • Mariana Sutadi (Mahkamah Agung RI)
  • Bambang Harimurti (Pers)
  • Mas Achmad Santosa (Iluni FHUI)

Moderator : Rosianna Silalahi

b. Topik : "Efektifitas Komisi Negara Pasca Reformasi" (Pukul 13.30 s/d 15.00)
  • Benny K. Harman (DPR-RI)
  • Luhut M.P. Pangaribuan (Advokat)
  • Nasrullah (FHUI)
Moderator : Wina Armad

3. Seminar Akbar (Rangkuman dari 9 pra seminar sebelumnya)

Waktu: 3 Desember 2007 - Pukul 09.00 s/d 15.30.

  • Konsepsi Rule of Law dalam konteks Indonesia - Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., M.H.
  • Memulihkan Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegak Hukum - Taufiqurahman Ruki.
  • Strategi Perwujudan Akses Rakyat terhadap Keadilan - DR. Adnan Buyung Nasution.
  • Peran Hukum dalam Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik - Prof. Dr. Eko Prasojo.
Moderator: Najwa Shihab, S.H.

Rencana akan dibuka oleh Wakil Presiden RI: Jusuf Kalla

4. Gala Dinner/Alumni Gathering - 3 Desember 2007, Jam 18.00 s/d 22.30

Saturday, November 24, 2007

Penelitian Hukum: Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN
MELALUI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA:
Analisa Perbandingan antara Indonesia dan India

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban.[1] World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.[2] Laporan Khusus dari PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga.” [3]

Signifikansi menggunakan jender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma terhadap KDRT dengan obeservasi sebagai berikut, “Daripada menanyakan kenapa pihak pria memukul, terdapat tendensi untuk bertanya kenapa pihak perempuan berdiam diri” [4] Analisa jender mendorong kita tidak hanya menanyakan mengapa pria melakukan kekerasan, tetapi juga menanyakan kenapa kekerasan terhadap perempuan terjadi dan diterima oleh banyak masyarakat. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting dalam melakukan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan oleh Sally E. Merry, “Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”. [5]

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Di sebagian besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan. Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup HAM internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara bertahap telah diakui sebagian besar negara di dunia.

Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri. KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun wilayah.

Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap perempuan telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar perempuan serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak, pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis for the Advancement of Women[6], yang merekomendasikan satu perangkat tindakan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT melalui kombinasi berbagai langkah serius.

KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing. [7]

Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”). Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban.

The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights (“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the African Charter on Human and Peoples' Rights (“African Charter”) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT.

Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial.

Kekerasan di antara mereka yang mempunyai hubungan dekat sebagaimana telah dideskripsikan di atas merupakan salah satu masalah utama di Indonesia, sebagaimana juga di seluruh dunia termasuk India. Satu pendekatan umum untuk mengatasi permasalahan ini haruslah dilihat dari peranan hukum. Dengan demikian, advokasi perempuan baik di Indonesia maupun di India haruslah dengan melakukan perbaikan legslasi dan kebijakan yang mengkriminalisasi tindak-tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

Penelitian ini memeberikan fokus pada isu perlindungan terhadap perempuan melalui UU KDRT di negara berkembang, yaitu Indonesia dan India. Deskripsi dan analisa perbandingan dihadirkan untuk memberikan solusi hukum terhadap permasalahan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat di suatu negara memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan proses UU KDRT, di mana antara India dan Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda untuk mendefinisikan apa itu KDRT. Sebagai contoh, India menamakan UU-nya sebagai the Protection of Women from Domestic Violence Act, 2005, sementara Indonesia menyebutkannya dengan the Elimination of Violence in Household Act, 2004.

Lebih lanjut, India mengenal “dowry” dan “sati” sebagai KDRT yang bersifat spesifik, sementara Indonesia tidak mengenai kedua hal tersebut. Namun demikian, Indonesia memberikan definisi yang sangat luas untuk mengatasi segala bentuk tindakan KDRT. Akhirnya, penelitian ini mencoba untuk memberikan beberapa masukan dalam rangka mengatasi salah satu kekerasan yang sangat signifikan ini.

Agar memudahkan untuk memahami penelitian ini secara mudah, maka makalah telah disajikan dengan membuat beberapa bagian secara terpisah.

PROTECTION OF WOMEN WITH SPECIAL EMPHASIS ON DOMESTIC VIOLENCE ACT: A Comparative Analysis between India and Indonesia

ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
ABSTRACT

CHAPTER I: INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Statement of Problem
1.3. Objectives
1.4. Methodology
1.5. Conceptual Definitions
1.5.1 Domesticity
1.5.2. Understanding Domestic Violence
1.5.3. Defining Domestic Violence
1.6. Structure of Research Paper

CHAPTER II: WOMEN UNDER INTERNATIONAL LAW
2.1. Overview
2.2. Universal Declaration on Human Rights, 1948
2.2.1. Civil and Political Rights
2.2.2. Economic and Social Rights
2.2.3. Legal Effect of the Declaration
2.2.4. India-Indonesia and Universal Declaration on Human Rights
2.3. Convention on the Political Rights of Women, 1953
2.4. Convention on the Nationality of Married Women, 1957
2.5. Declaration on Elimination of Discrimination Against Women, 1967
2.6. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women, 1979
2.7. Declaration on the Elimination of Violence Against Women, 1993
2.8. Optional Protocol to the Convention on the Elimination of Discrimination
Against Women, 1999
2.9. Commission on the Status of Women
2.9.1. Vienna Conference
2.9.2. Beijing Conference

CHAPTER III: THE PROTECTION OF WOMEN FROM DOMESTIC VIOLENCE
IN INDIA
3.1. Overview
3.2. Highlights of the Act
3.3. Meaning of Important Expression used under the Act
3.4. Duties and Functions of Protection Officers
3.4.1. Service Providers
3.4.2. Duties of Government
3.5. Procedure for Obtaining Orders of Relief
3.5.1 Protection Orders
3.5.2. Monetary Reliefs
3.6. Jurisdiction
3.7. Miscellaneous

CHAPTER IV: THE ELIMINATION OF VIOLENCE IN HOUSEHOLD IN INDONESIA
4.1. Overview
4.2. Highlights of the Act
4.3. Meaning of Important Expression used under the Act
4.4. The Obligation of Government and Public
4.4.1. Duties and Functions of Protection Officers
4.4.2. Victim of Violence
4.5. The Application and the Court
4.5.1. Perpetrator
4.5.2. Recovery of Victim
4.6. Criminal Stipulation
4.6.1. Additional Sentence
4.6.2. Other Stipulations

CHAPTER IV: CONCLUSION AND SUGGESTION
5.1. Conclusion
5.2. Suggestion

BIBLIOGRAPHY

Bagi para pembaca setia yang ingin memperoleh tulisan secara lengkap dapat menghubungi penulis dengan meninggalkan pesan pada kolom tanggapan yang telah disediakan atau mengirimkan email secara langsung kepada penulis.

Perempuan bukan diciptakan dari tulang ubun-ubun,
karena berbahaya jika membiarkannya dalam sanjung puja
Bukan pula diciptakan dari tulang kaki ,
karena nista, diinjak dan diperbudak

Melainkan Perempuan diciptakan dari tulang rusuk kiri,
dekat di hati untuk dicintai, dekat dg tangan untuk dilindungi..
selama-lamanya......


Salam Hangat,

Pan Mohamad Faiz ~ New Delhi

Catatan Akhir

[1] Kumaralingam Amirthalingam, Women’s Rights, International Norms, and Domestic Violence: Asian Perspectives, Human Rights Quarterly 27 (2005), hal. 684.

[2] World Health Organization, World Report on Violence and Health 93 (2002), dapat diakses melalui www.who.int/violence_injury_prevention/violence/world_report/en/.

[3] Report of the Special Rapporteur on Violence Against Women, Its Causes and Consequences, Ms. Radhika Coomaraswamy, disampaikan kepada Commission on Human Rights Resolution 1995/85, a Framework for Model Legislation on Domestic Violence, U.N. ESCOR, Comm’n on Hum. Rts., 52d Sess., Agenda Item 9(a), addendum, 28, U.N. Doc. E/CN.4/1996/53/Add. 2 (1996).

[4] Helen M. Eigenberg, ed., “Societal Change and Change in Family Violence from 1975 to 1985: As Revealed by Two National Surveys”, dalam Woman Battering in the United States: Till Death Do Us Part, 2001, hal. 131.

[5] Sally E. Merry, Rights Talk and the Experience of Law: Implementing Women’s Human Rights to Protection from Violence, 25 HUM. RTS. Q. 343, 350, 2003.

[6] Lihat Laporan dari the World Conference to Review and Appraise the Achievements of the United Nations Decade for Women: Equality, Development and Peace, U.N. Doc. A/CONF. 116/Rev.1, U.N. Sales No. E.85.IV.10 (1986).

[7] Yuhong Zhao, Domestic Violence in China: In Search of Legal and Social Responses, 18 UCLA PAC. BASIN L.J. 211. 2001, hal. 223.

Monday, November 19, 2007

Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia

EMBRIO DAN PERKEMBANGAN PEMBATASAN HAM DI INDONESIA*
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.

Rujukan Dasar

Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.

Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

Konstitusionalisme Indonesia

Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;

3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;

4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):

1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares

Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.

Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Kesimpulan

Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.

Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.

Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.

* Disampaikan sebagai Bahan Pengantar "Online Discussion" di salah satu Forum Hukum.

Thursday, November 08, 2007

Musharraf dan Mahkamah Agung Boneka

RESPONS MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
KEADAAN DARURAT DI PAKISTAN

Keadaan darurat (state of emergency) yang dideklarasikan oleh Jenderal Pervez Musharraf di Pakistan baru-baru ini dapatlah dikatakan sebagai keadaan darurat yang teraneh yang pernah terjadi dalam katalog kepemimpinan otoriter.

Di salah satu bagian teks resmi deklarasi tersebut, Musharraf mengeluhkan bahwa beberapa anggota kekuasaan kehakiman telah bekerja berlawanan dengan tujuan dari fungsi kekuasaan eksekutif dan legislatif dan meningkatnya intervensi kekuasaan kehakiman terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Musharraf juga mengeluhkan keluarnya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan keputusannya tentang pemberhentian Ketua Mahkamah Agung Pakistan, Ifthikar Chaudhary.

Terhadap alasan-alasan tersebut, sepertinya kita tidak perlu memutar analisa politik yang rumit guna menyimpulkan bahwa salah satu intensi sesungguhnya atas keadaan darurat yang diterapkan oleh Musharraf adalah untuk menjinakkan Mahkamah Agung Pakistan. Sebab sesuai rencana, Mahkamah Agung akan mengumumkan keputusan hasil pemilihan Musharraf sebagai Presiden pada minggu yang akan datang. Tindakan-tindakan yang terjadi selama dijalankannya keadaan darurat hingga hari ini, semakin memberikan sinyal kuat atas adanya intensi terselubung tersebut.

Sesaat setelah diumumkannya keadaan darurat, tujuh orang Hakim Agung menyatakan bahwa keputusan Musharraf tersebut bertentangan dengan hukum. Namun seketika itu juga, Musharraf membalas tindakan tersebut dengan melakukan penghukuman terhadap kedudukan Ketua Mahkamah Agung, Ifthikar Chaudry, dengan menempatkanya sebagai tahanan rumah bersama dengan enam orang Hakim Agung lainnya.

Selanjutnya, Hakim Agung Hameed Dogar yang kini menempati urutan keempat sebagai hakim senior, diambil sumpahnya oleh Musharraf untuk menggantikan posisi Ketua Mahkamah Agung di bawah ketentuan konstitusi yang baru. Pemerintah Pakistan juga mengangkat Ketua Pengadilan Tinggi di Sindh, Lahore, dan Balochistan secara berkesimbangungan. Hasilnya, Ketua Mahkamah Agung yang baru saja diangkat segera meninjau kembali keputusan yang diambil oleh tujuh Hakim Agung dan membatalkan keputusan yang menyatakan bahwa keadaan darurat ilegal, sekaligus menunda pemeriksaan perkara yang melibatkan Mahkamah Agung melawan Musharraf.

Doktrin Kebutuhan Negara

Perkembangan terkini menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan dan memilukan bagi sejarah kekuasaan kehakiman di Pakistan. Pada masa lalu, kekuasaan kehakiman Pakistan hanya menunjukkan sikap yang malu-malu dan penuh kerelaan terhadap kebijakan rezim penguasa militer yang telah memerintah Pakistan selama lebih dari 12 tahun. Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sangat protektif terhadap eksistensi kekuasaan militer, dan sebaliknya tidak responsif terhadap kebutuhan hak-hak dasar warga negara. Kondisi tersebut bertahan seiring dengan dikembangkannya doktrin mengenai legalitas revolusi (revolutionary legality) dan kebutuhan negara (state necessity) untuk melegitimasi penguasa militer (Aziz Z. Huq, 2006).

Pada tahun 1958 terdapat satu perkara yang cukup terkenal yaitu perkara Dosso, di mana Mahkamah Agung memberikan putusan terhadap sahnya perebutan kekuasaan oleh Jenderal Ayub Khan. Dari sinilah dimulainya pengembangan doktrin legalitas revolusi untuk memberikan legitimasi terhadap pengambilalihan kekuasaan. Ketua Mahkamah Agung pada saat itu mengatakan bahwa ketika suatu revolusi berhasil maka ia akan memberikan ruang terhadap perbaikan dan menciptakan hukum dasar terhadap fakta-fakta yang sedang terjadi. Mahkamah Agung berpegang teguh bahwa dalam kondisi tersebut hak-hak fundamental tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena pemerintahan militer melarang adanya tuntutan dan gugatan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Kondisi ini memperkuat terjadinya legitimasi penguasa militer selama lebih dari satu dekade.

Pada 1 April 1969, Jenderal Yahya Khan juga pernah mengumumkan adanya keadaan darurat. Kemudian pada tahun 1972, Mahkamah Agung Pakistan dalam perkara Asma Jilani kembali menguji legalitas revolusi dan mengatakan bahwa terdapat jalan lain untuk menyatakan keadaan darurat yaitu melalui doktrin kebutuhan negara.

Pengambilalihan Militer oleh Jenderal Zia kembali dilegitimasi oleh Mahkamah Agung Pakistan dalam perkara Begum Nusrat Bhutto pada tahun 1977 dengan berlindung pada doktrin kebutuhan negara. Dalam perkara Z.A. Bhutto tahun 1978, Mahkamah Agung menyatakan bahwa judicial review mempunyai hubungan logis terhadap berkembangnya doktrin kebutuhan negara. Pada akhirnya, pengambilialihan militer oleh Jenderal Musharraf pada 12 Oktober 1999 kembali dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam perkara Syed Zafar Ali Shah juga dengan dasar doktrin kebutuhan negara. Mahkamah Agung pada saat itu berpendapat bahwa kekuasaan militer hanyalah suatu deviasi konstitusional selama periode transisi agar kepala pemerintahan dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah dirancangnya.

Bermodal latar belakang tersebut, Jenderal Musharraf berhasil mengumpulkan berbagai alasan untuk tidak mempercayai Ketua Mahkamah Agung, Ifthikar Choudhary, untuk kemudian memberhentikannya pada Maret 2007 yang lalu. Banyak pihak berpendapat bahwa keputusan tersebut merupakan sebuah “blunder” bagi standar seorang penguasa militer di suatu negara. Akibatnya, hal tersebut memicu kemarahan komunitas hukum yang dimotori oleh para pengacara serta sebagian masyarakat sipil untuk melawan dirinya.

Di dalam proses mengembalikan kredibilitas atas rencananya untuk menjadi penguasa sipil dengan melepaskan seragam militernya, kondisi yang demikian justru menjadi tidak menguntungkan bagi posisi Musharraf, baik itu di tingkat nasional maupun internasional.

Instabilitas Pemerintahan

Untuk sementara ini Musharraf masih mempunyai alasan untuk tetap optimis. Sebab, tidak ada tindakan cepat yang diambil oleh Mahkamah Agung terhadap perlawanannya terhadap keputusan Mahkamah Agung sebelumnya yang mengizinkan Nawaz Sharif untuk kembali ke Pakistan dari tempat pengasingannya. Sebuah gugatan yang diajukan kepada Komisi Pemilihan Umum mengenai penerimaan nominasi Musharraf sebagai salah satu kandidat calon Presiden juga telah ditolak oleh Mahkamah Agung. Hal ini mendapat kritik keras dari para aktivis hukum dan demokrasi, karena putusan tersebut hanya didasarkan pada beberapa pertimbangan alasan teknis. Sehingga pemilihan Musharraf sebagai Presiden tetap diperbolehkan untuk dilaksanakan tanpa adanya satupun putusan Pengadilan yang dapat menghentikannya.

Namun demikian, awal minggu lalu Mahkamah Agung kembali mempertanyakan kebijakan atas deportasi Nawaz Sharif dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut. Berdasarkan proses dan perkembangan pemeriksaan persidangan, Intelejen Rahasia Pakistan mengindikasikan bahwa mayoritas anggota Mahkamah Agung ternyata masih berprinsip bahwa pemilihan Musharraf sebagai presiden adalah ilegal. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka secara otomatis posisi Musharraf masihlah sangat rawan bahkan dapat membahayakan keselamatan dirinya sendiri setelah ia selesai memerintah.

Dengan demikian, keputusan menerapkan keadaan darurat untuk menjaga keutuhan bangsa, sejatinya telah bertentangan dengan aktivitas kekuasaan kehakiman Pakistan. Terhadap semua itu, satu hal yang dapat dijadikan sebuah revisi terhadap pernyataan Hamilton yang cukup terkenal yaitu kekuasaan kehakimanlah yang paling lemah dari tiga kekuasaan negara, kini telah terbantahkan oleh pengalaman Pakistan. Sebab, untuk mengontrol kekuasaan kahakiman, kekuatan eksekutif haruslah berjibaku untuk mendeklarasikan ”keadaan darurat” terlebih dahulu.

Thursday, November 01, 2007

Konstitusi dan Kitab Suci

CONSTITUTION OR HOLY BOOK?
By: Pan Mohamad Faiz, New Delhi

This article was published on the Jakarta Post (01/11/07)

One of the important developments in our constitutional structure was the establishment of the Constitutional Court as a response to the demand for a strengthening of the checks and balances in the system of state administration.

The improvement in the constitutional situation post the amendment has been very fast. Recently, Indonesian society entered a new stage of constitutional practice as regards the fight for the basic right of freedom of religion.

This basic right is clearly stated in Article 28B(1), Article 28I(1), and Article 29 of the Constitution, as well as in international human rights instruments, particularly Article 18 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Article 18 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Until today, the main problems regarding the protection of freedom of religion have never entered the arena of constitutional review. The Constitutional Court's decision No. 12/PUU-V/2007 on the Marriage Law, especially the articles on polygamy, has opened the gate to constitutional activism for the protection of freedom of religion as a fundamental right of every Indonesian citizen.

A constitution as the supreme law of the land sets out the basic structure of the governmental system in every nation. The constitution of every country, however, has different characteristics that can influence the form of the state. As regards the freedom of religion, we often hear about the different concepts of a religious state, secular state and other types of state.

The 46th amendment of Indian Constitution, which added the word "secular" to its Preamble, shows that India is a secular state that places special emphasis on the values of freedom of religion and tolerance.

The First Amendment to the American Constitution guarantees freedom of religion for each of its citizen, but it doesn't afford the opportunity to the legislature to make laws governing religious practice.

In their research on the relationship between constitutions and freedom of religion, Tad Stahnke and Robert C. Blitt (2005) divides the countries that have majority Muslim populations into four categories.

First, countries that openly declare themselves to be Islamic states.

Second, countries that have officially adopted Islam as the official religion of the state.

Third, countries that declare themselves to be secular states.

Fourth, countries that make no such declarations in their constitutions. Indonesia belongs to this category.

If Indonesia belongs to the last category, then the question arises as to what is the real concept of the state that was created by our founding fathers?

From the constitutional perspective Indonesia is a "Pancasila State". This means that it is neither a confessional state nor a secular state. A confessional state can only be based on a particular religion, while a secular state prevents religion from interfering with state affairs. Moreover, the Pancasila State is a religious nation state that protects and facilitates the development of all religions adhered to by the people without any differences in treatment arising from the number of a religion's adherents.

In this context, it is essential that the State has a constitutional obligation to protect the freedom of religion of each of its citizens. Quoting the association is used by Jimly Asshiddiqie, when the Constitution is held in one of our hands, the holy book must be held in the other hand. This means that these two things have to work in harmony and that one cannot contradict the other.

Using the comparative studies approach, Indonesia is one of the countries that lacks experience as regards the protection of freedom of religion through the constitutional review mechanism. In fact, this mechanism is an important tool in other countries when the freedom of religion finds itself under attack by state action.

In some countries, such as India, the United States and Germany, constitutional review on the ground of freedom of religion is common practice. For instance, the case of Mudghal v. India (1995), which involved the proposed unification of laws as a result of the growing practice of polygamy in India, or the case of Wels v. United States (1970) on a person's right to refuse to serve in a war because it is against his beliefs.

Another interesting case came before the Federal Constitutional Court of Germany (Bundesverfassungsgericht). This was the "traditional slaughter case" (BvR 1783/99, 2002). in which the court accepted a constitutional review petition on the methods of slaughter permitted under the Animal Protection Act. Several provisions of this Act, according to the petitioner, were contrary to the tenets of his religion.

Unfortunately, constitutional review in Indonesia is confined to the review of laws.

Consequently, all the government actions, regulations and court decisions that are believed to violate the provisions on freedom of religion contained in the Constitution cannot be reviewed comprehensively by the Constitutional Court.

This means that the Indonesian constitutional system and its practice need to be developed more seriously. Due to the lack of constitutional protection mechanisms, there are currently huge obstacles in the way of citizens seeking to affirm their basic and intrinsic rights to freedom of religion.

* The writer is a postgraduate student on Comparative Constitutional Law at the University of Delhi. He can be reached on http://faizlawjournal.blogspot.com/