Saturday, September 22, 2007

Liputan Khusus: Parlemen Australia

OBJEK STUDI DAN WISATA PARLEMEN SEBAGAI PENDIDIKAN HUKUM DAN POLITIK WARGA NEGARA AUSTRALIA

Pada kesempatan kali ini, penulis akan berbagi pengalaman dengan mengajak para pembaca setia untuk membuka lembaran mengenai Parlemen Australia yang terletak di pusat ibukota Canberra.

Parlemen Australia merupakan fokus utama dari kehidupan politik nasional warga Australia. Di sinilah pemerintahan Australia dibentuk maupun dibubarkan. Di dalam gedung monumental ini pula berbagai isu-isu besar diperdebatkan, termasuk penentuan sah atau tidaknya seperangkat hukum yang sedang dibentuk.

Walaupun Australia dapat dikatakan sebagai negara muda, tetapi dapat dikatakan bahwa ia merupakan salah satu negara demokrasi tertua di dunia. Australia merupakan negara pertama yang memberikan hak memilih dan dipilih yang sama antara pria dan wanita, di samping juga mereka merupakan salah satu pionir di mana kedua kamar di parlemennya dipilih secara langsung oleh rakyat.

A. The House of Representative dan The Senate

Konstitusi Australia memuat ketentuan dua kamar dalam Parlemen Federal, yaitu the House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) dan the Senate (serupa dengan Dewan Perwakilan Rakyat/DPD). Setiap kamarnya dipilih secara langsung oleh rakyat, yaitu seluruh warga negara Australia yang berumur di atas 18 tahun Kekuasaan kedua kamar tersebut dapat dikatakan cukup seimbang, kecuali terhadap beberapa rancangan undang-undang terkait dengan perpajakan dan pembelajaan negara yang harus dipersiapkan oleh DPR.

1. The Senate

Dalam Parlemen Australia, terdapat 76 anggota Senat yang biasa disebut dengan istilah senator, di mana 12 orang masing-masing berasal dari 6 negara bagian dan 2 orang masing-masing berasal dari 2 wilayah khusus. Anggota Senat dipilih untuk jangka waktu 6 (enam) tahun, dengan setengah pemberhentian setiap tiga tahun sekali. Dengan mengggunakan sistem pemilihan proposional, setiap negara bagian dan wilayah khusus di Australia akan menjadi satu daerah pemilihan di saat mereka memilih calon anggota Senatnya.

Pada praktinya, sistem ini akan memberikan kemudahan bagi calon independen dan para kandidat dari partai-partai kecil untuk dipilih. Sebaliknya, sistem ini akan lebih menyulitkan partai-partai besar untuk memperoleh suara mayoritas di dalam Senat.

2. The House of Representative

Jumlah anggota the House of Representative (DPR) hampir mendekati dua kali jumlah anggota Senat. Jumlah pastinya selalu bervariasi berdasarkan dengan pertumbuhan populasi, tetapi pada umumnya selalu berjumlah sekitar 150 anggota. Untuk tujuan pemilihan anggotanya, Australia dibagi menjadi distrik-distrik, di mana masing-masing memiliki jumlah pemilih yang hampir sama besar dan setiap calon anggota akan dipilih oleh setiap distrik. Anggota DPR Australia dapat menjabat lebih dari tiga tahun apabila pada pemilihan umum yang baru yang bersangkutan terpilih kembali. Partai yang memenangkan kursi mayoritas pada DPR diberikan kewenangan untuk membentuk Pemerintahan Australia.

3. Ciri Khas

Untuk membedakan kedua kamar ini, ruang sidang Senat mempunyai ciri khas berwarna merah, sedangkan ruang sidang DPR diberi warna hijau. Pada bagian depan setiap kamar terletak satu kursi khusus yang diperuntukan bagi presiding officer atau biasa disebut dengan istilah President untuk Senat dan Speaker untuk DPR. Anggota dari pemerintah yang berkuasa selalu duduk di sebelah kanan presiding officer dan anggota parlemen di luar pemerintahan atau kelompok oposisi berada di sebelah kirinya. Tepat di depan presiding officer terdapat sebuah meja besar di mana pemimpin dari partai-partai berkuasa duduk mengelilinginya. Selain pemimpin partai, pada meja tersebut duduk pula para asisten yang bertugas untuk memberikan saran dan masukan mengenai prosedural serta mempersiapkan agenda sidang beserta pencatatan kegiatannya untuk di tiap kamar.

Ketika DPR sedang bersidang, the gold mace (semacam tongkat kebesaran) diletakkan di atas meja sebagai simbol dari pemegang kekuasaan DPR. Pada persidangan di dalam Senat, the Black Rod yang dibawa oleh petugas sidang diletakkan di sebelah kursi pimpinan sidang.

B. Empat Fungsi Parlemen Australia

1. Formasi Pemerintahan

Setiap selesainya pemilihan umum, partai politkk atau koalisi partai politik yang memiliki anggota terbanyak di DPR akan menjadi partai pemerintah. Pemimpinnya menjadi Perdana Menteri dan para menterinya diangkat dari anggota partai dan anggota Senat. Untuk terus menjalankan kekuasaannya, pemerintah berkuasa harus menjaga dukungan dari mayoritas anggota DPR.

2. Pembentukan Undang-Undang

Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh setiap anggota Senat maupun DPR, tetapi dalam praktiknya rancangan tersebut lebih sering diajukan oleh para menteri pada pemerintahan. RUU yang diajukan harus disetujui oleh mayoritas anggota pada setiap kamarnya. Jika Senat dan DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang, maka Konstitusi Australia menentukan bahwa untuk beberapa kondisi tertentu, pemilihan ulang dapat dilaksanakan untuk seluruh anggota di kedua kamar. Namun demikian, hingga saat ini baru terjadi enam kali pemilihan ulang seperti tersebut selama lebih dari 100 tahun perjalanan politik Australia.

3. Forum Debat

Kedua kamar parlemen memberikan kesempatan kepada anggotanya masing-masing untuk berpendapat mengenai hal-hal yang menjadi perhatian bagi mereka yang diwakilkannya. Mereka juga memperdebatkan mengenai isi RUU, kebijakan pemerintah, serta kebijakan publik lainnya yang dianggap cukup penting. Tim khusus dibentuk oleh tiap kamar untuk melakukan investigasi dan kemudian melaporkan hasilnya terkait dengan kepentingan publik.

4. Bertindak sebagai Pengawas Tindak-Tanduk Pemerintah

Di dalam kedua kamar parlemen terdapat sesi harian berupa ”Question Times”, di mana anggota parlemen dapat bertanya secara mendalam tentang sesuatu hal kepada Menteri terkait. Mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk menggali informasi dan dalam hal anggota non-pemerintah kesempatan tersebut digunakan sebagai sarana untuk menguji para menteri. Kebijakan dan tindakan pemerintah, termasuk mengenai Anggaran Belanja, juga diperiksa secara seksama oleh tim khusus dari Parlemen.

C. Sistem Kerja

Ketika parlemen bersidang, badan pekerja parlemen difokuskan untuk membantu pada rapat kerja kedua kamar, yaitu DPR dan Senat. Di sinilah mereka berdebat dan melakukan pemungutan suara terhadap rancangan undang-undang dan berbagai macam hal terkait dengan kepentingan publik. Namun demikian, kesepakatan-kesepakatan penting dari kinerja anggota tidak jarang justru dilakukan di luar ruang persidangan. Jalannya pembahasan di ruang sidang Senate dan DPR disiarkan langsung melalui televisi, sehingga para anggota dapat selalu memonitor terhadap apa yang sedang terjadi dan berkembang dalam rapat tersebut. Kondisi ini dilakukan apabila mereka sedang melakukan pekerjaan lain di luar gedung parlemen, seperti misalnya, mempersiapkan pemaparan sidang, memeriksa rancangan undang-undang terbaru, dan ketika mereka sedang mengadiri berbagai acara sebagai atensi terhadap komunitas yang mereka wakili. Para anggota parlemen lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menginvestigasi hasil kerja tim yang dibentuk oleh parlemen dalam rangka memenuhi kebutuhan pertanyaan para anggota, tidak hanya dalam lingkup seputar Canberra tetapi juga meliputi seluruh bagian Australia.

Dalam kaitannya dengan pemaparan berbagai pertanyaan pada kamar DPR dan Senate, anggota parlemen juga berkontribusi dalam diskusi mengenai masalah-masalah publik melalui:

  • Partisipasi dalam kinerja parlemen dan kepanitiaan partai;
  • Turut serta dalam pembahasan di berbagai program radio dan televisi, menulis artikel di media massa dan majalah; serta
  • memberikan ceramah pada pertemuan publik dan konferensi.

Anggota Parlemen juga harus mengetahui apa yang sedang terjadi pada konstituen mereka guna menjaga pandangan buruk dari orang-orang yang mereka wakilkan. Menjaga hubungan mereka dengan masyarakat, bagi sebagaian besar anggota Parlemen, cukup menyita waktu selama di Parlemen, hal ini dilakukan termasuk di antaranya dengan:

  • Bertemu dengan dan mendengarkan perseorangan maupun organisasi yang mencari informasi dan saran, memberikan suatu pandangan, atau meminta bantuan penyelesaian suatu masalah;
  • Merespon kebutuhan komunitas dengan menjawabnya melalui sepucuk surat dan dialamatkan kepada menteri, badan pemerintah, dan kelompok-kelompok lainnya yang berkepentingan;
  • Mengalisa berbagai pandangan dan bukti-bukti yang diberikan oleh anggota masyarakat kepada tim khusus di parlemen terkait dengan permasalahan yang menjadi perhatian penting bagi publik.

D. Parlemen sebagai Objek Studi dan Wisata

1. Gambaran Umum Gedung Parlemen

Parliament House, rumah dari Parlemen Australia dan tempat pertemuan nasional, didirikan pada lahan seluas 32 hektar pada Capital Hill dan berlokasi tepat pada jantung kota Canberra, ibukota dari negara Australia.

Gedung parlemen ini didisain oleh Romaldo Giurgola, Arsitek dari Giurgola & Thorp, dan dibuka pada tanggal 9 Mei 1988 oleh Ratu Elizabeth II. Gedung ini sangat menarik perhatian banyak warga, termasuk para warga negara asing, sehingga banyak pihak yang mengatakan bahwa Parliament House merupakan salah satu objek wisata yang wajib dikunjungi di Australia. Para pengunjung yang datang akan merasakan pengalaman mengenai perjalanan simbolik dari sejarah Australia.

Tema yang ingin disampaikan di dalam bangunan ini sangat kental, yaitu dimulai dengan karya mosaik Aborigin pada bagian depannnya (the Forecourt). Mosaik tersebut menggambarkan tempat pertemuan dan mensimbolkan benua australia yang dihuni oleh orang-orang aborigin terlebih dahulu sebelum kemudian didiami oleh warga negara Eropa secara tetap.

Penggunaan marmer dan kayu jati pada bagian the Foyer mengkiaskan pada tibanya orang-orang Eropa ke Australia. Di dalam the Great Hall, terlukis kaya rayanya hasil hutan Australia, the Great Hall Tapestry dan Embroidery mereferensikan secara halus terhadap pengerjaan dan penyelesaian lahan wilayah.

The Member’s Hall, didisain dengan begitu megah sebagai ruang seremonial sekaligus sebagai pusat gedung yang terletak tepat di bawah the Flagmast, lambang khusus parlemen India. Di dalam ruang ini, poros utara-selatan membagi gedung menjadi dua bagian. Sedangkan, poros legislatif barat-timur merupakan perpaduan antara kamar Senat dan DPR.

Masa depan Australia dibentuk dalam beberapa bagian pada bagian badan pekerja dan ruang utama badan pekerja merupakan sebuah pijakan terhadap masa depan bangsa. Bangunan ini dikenal sebagai prestasi internasional terhadap perpaduan seni dan arsitektur. Gedung ini juga telah menghadirkan berbagai macam hasil karya seni yang membentuk susunan-susunan khas. Hasil-hasil karya seni dari Parliament House Art Collection, foto-foto dari Historic Memorials Collection dan berbagai cinderamata khusus dapat ditemukan di dalam bangunan ini.

2. Persidangan Selalu Terbuka untuk Umum

Satu hal yang amat menarik yaitu setiap persidangan baik itu pada DPR maupun Senatnya, selalu terbuka dan dibuka untuk umum. Artinya siapa pun dapat mengikuti jalannya persidangan secara langsung dari tempat yang telah di sediakan pada lantai 2 dan lantai 3 ruang persidangan. Betapa pun pentingnya rapat yang akan digelar, termasuk bila dihadiri oleh Perdana Menteri Australia, pengunjung bisa dengan seksama melihat secara langsung perdebatan yang terjadi selama rapat. Hanya saja, selama berlangsungnya persidangan, sebagai syarat keamanan, pengunjung tidak diperbolehkan membawa barang-barang tertentu, seperti benda yang berbahan logam, makanan-minuman, alat dokumentasi, dan sebagainya.

Sesi ”Question Time” pada kedua kamar setiap harinya dimulai pada pukul 02.00 siang. Kursi yang tersedia dapat dipesan terlebih dahulu pada DPR dengan mengubungi nomor khusus, yaitu +62 02 6277 4889. Sedangkan reservasi tidak diperlukan untuk sesi ”Question time” dalam persidangan Senate. Jadwal hari dan waktu persidangan parlemen dapat kita temukan dengan mudah pada meja infromasi pada di bagian Foyer.

Fasilitas yang diberikan bukan hanya sebatas hal tersebut di atas saja, tetapi juga disediakan free guided tours oleh Parlemen yang dimulai pada pukul 09.00 pagi dan berlangsung setiap 30 menit secara berkelanjutan hingga batas akhir waktu pada pukul 04.00 sore hari. Jika parlemen sama sekali tidak mengadakan persidangan, maka tour akan memakan waktu sekitar 45 menit, sedangkan tour selama 20 menit dilakukan jika parlemen sedang melaksanakan persidangan.

3. Pelayanan dan Fasilitas Bagi Pengunjung

Kenyamanan melakukan observasi pada Parlemen Australia didukung oleh beberapa pelayanan dan fasilitas yang belum tentu dapat kita temukan pada gedung-gedung pemerintahan lainnya, khususnya di Indonesia. Beberapa pelayanan prima yang disediakan bagi para pengunjung parlemen Australia, di antaranya yaitu:

  • The Mother’s Room dan Barbies’ Change Room yang berlokasi pada lantai dasar gedung;
  • Wheelchairs dan Strollers tersedia pada meja informasi awal untuk dipinjamkan bagi mereka yang membutuhkan. Akses lift dapat ditemukan dengan mudah dengan membaca denah lantai;
  • Disable facilities juga tersedia sepanjang area public sebagaimana diindikasikan pada denah ruangan dan lantai;
  • Audio loops disediakan pada setiap kamar Parlemen sepanjang jalannya pembahasan guna kemudahan para pengunjung yang sedang mengobservasi jalannya sidang;
  • The Queen’s Terrace Cafe menyediakan makanan ringan dan segar yang kesemuanya telah terdaftar secara resmi. Para pengunjung dapat menikmati santapannya baik di dalam maupun di luar Cafe, sekaligus menikmati pemandangan National Triangle. Pelayanan ini dimulai sejal pukul 09.30 pagi hingga pukul 04.30 sore;
  • The Parliament Shop menyediakan secara khusus berbagai literatur mengenai politik dan mekanisme kerja parlemen. Toko ini juga memiliki buku terkait dengan politik satir hingga referensi bahan dan biografi para politisi Kesmuanya itu semata-mata untuk memenuhi kepuasan para pengunjung. Berbagai variasi cinderamata khas Australia juga tersedia pada toko yang dibuka pada pukul 09.00 pagi hingga pukul 05.00 sore ini.

E. Penutup

Kesakralan gedung parlemen sebagaimana umumnya terjadi pada negara-negara dunia, sama sekali tidak tampak pada keseharian gedung Parlemen Australia. Hampir setiap harinya, masyarakat dari tingkat pendidikan sekolah dasar, universitas, hingga pengamat politik ternama sekalipun, dapat dengan mudah kita temukan di dalam ruang-ruang sidang parlemen. Tentunya hal ini menjadi salah satu pembelajaran pendidikan politik sekaligus keterbukaan terhadap informasi yang menyangkut kinerja dan kepercayaan anggota parlemen kepada para pemilihnya.

Bagi anda yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Palemen Australia dan bagaimana kinerjanya, berbagai publikasi termasuk bahan pembahasan sidang harian, secara bebas dapat dengan mudah ditemukan di meja informasi. Kertas info dari DPR dan gambaran singkat mengenai Senate akan memberikan secara detail informasi mengenai tata cara bekerjanya masing-masing kamar dari Parlemen dan hal ini tersedia mulai dari anggota lokal, negara bagian hingga senator wilayah khusus.

Namun bagi anda yang belum sempat mengunjungi gedung bersejarah ini, berbagai informasi terkait dapat pula ditemukan melalui website Parlemen Australia pada http://www.aph.gov.au/. Di dalamnya terdapat hal-hal sebagai berikut:

  • Berbagai publikasi tentang Parlemen;
  • Kontak Info tiap-tiap anggota parlemen;
  • Bahan lengkap mengenai apa yang didebatkan dan diputuskan oleh Parlemen;
  • Bagian yang menangani berbagai pertanyaan seputar parlemen;
  • Fasilitas live webcast ketika berlangsung persidangan.

Selanjutnya, berikut ini adalah kontak yang terkait dengan beberapa bagian khusus:

Sebagai penutup, sebuah pertanyaan perbandingan kini mengemuka. Menurut anda, bagaimanakah dengan kondisi Parlemen di Indonesia?

***

Referensi:

  • Book Guide by the Department of the House of Representatives, the Department of the Senate, and the Department of Parliamentary Services.

Friday, September 21, 2007

Dari Pengacara Menuju Presiden India

PRATIBHA DEVISINGH PATIL, PRESIDEN WANITA PERTAMA DI INDIA

Dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Jalgaon, Maharashtra pada 19 Desember 1934, Paratibha Devisingh Patil merupakan wanita yang sangat aktif sejak berumur 13 tahun, masa di mana India baru saja memperoleh kemerdekaannya. Ia menempuh pendidikan di Jalgaon dan Mumbai untuk mencapai gelar pascasarjana di bidang hukum dan kemudian terjun menjadi praktisi hukum sebagai advokat di Jalgaon.

Ayahnya merupakan penuntut umum pada Kepolisian India yang mengajarkan kedisiplinan tinggi agar menjadi anak yang ramah di dalam hubungan keluarga. Tidak ada satupun dari anggota keluarganya yang mempunyai hubungan dengan kalangan politisi, sebelum akhirnya ia terlibat pada kegiatan sosial yang bermuara pada komunitas politisi Partai Congress. Mengawali karirnya, ia terpilih menjadi anggota majelis negara bagian Maharastha pada tahun 1962 hingga 1985.

Semenjak menjadi anggota partai Congress, karir Pratibha terus menanjak. Pada tahun 1985 ia terpilih sebagai anggota Rajya Sabha, Parlemen kamar atas India, dan menjadi Deputy Chairperson Rajya Sabha pada tahun 1986 selama dua tahun berturut-turut. Di tahun 1991 ia terpilih kembali menjadi anggota parlemen, namun kini pada Lok Sabha, Parlemen kamar rendah India.

Pergulatannya di bidang politk tidak saja berhenti sampai di Lok Sabha, tepat pada tanggal 8 November 2004 ia menjadi Gubernur Rajasthan. Salah satu kebijakannya yang cukup kontroversial dan bersejarah pada saat itu yaitu penolaknnya terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Beragama yang berisi larangan terjadinya perpindahan dari suatu agama ke agama lainnya. Ia berpendapat bahwa hal tersebut merupakan ketentuan yang mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, fundamental rights warga negara terkait dengan kebebasan beragama.

Sebelum pada jabatannya yang terakhir, ia seringkali memegang posisi penting dan terlibat langsung dengan berbagai kegiatan di bidang sosial dan kebudayaan. Beberapa di antaranya yaitu, mendirikan Working Women Hostel di Bombay, Women’s Co-Operative Bank at Jalgaon, Engineering College di Jalgaon, dan berbagai sekolah, di mana kesemuanya itu diperuntukan untuk memperoleh manfaat bagi pemuda di daerah pedalaman. Pratibha Patil mempunyai keahlian khusus dalam hal pengembangan ekonomi kedaerahan dan peningkatan kesejahteraan wanita. Pada bulan Juli yang lalu, ia mengambil sumpah sebagai Presiden India dan mencatatkan sejarah sebagai Presiden wanita pertama pada negara demokrasi terbesar di dunia.


Saturday, September 15, 2007

Pemanfaatan Siklus Brain Drain Indonesia

BRAIN DRAIN DAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA:
Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India

Makalah disampaikan pada Konferensi International Pelajar Indonesia (KIPI) 2007
Sydney, Australia - 9 September 2007.

Abstrak: Makalah ini berusaha mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Secara khusus, karya ini akan menguraikan problematika dan tantangan Indonesia dalam pengembangan SDM terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Pada akhir makalah, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM guna mencegah dan mengatasi efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain khususnya di sektor Information Technology (IT).

Kata Kunci: Brain drain, Diaspora, India, Sumber Daya Manusia

1. Pendahuluan

Sejarah melukiskan bahwa pasca meletusnya Perang Dunia II telah meyebabkan para tenaga ahli dan terdidik dari berbagai belahan dunia, terutama Eropa, bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Kemenangan yang diperoleh oleh negara-negara Sekutu membawa para imigran ahli untuk menjadikan negara tersebut sebagai pelabuhan ilmu. Berkisar pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, bermigrasinya para ilmuwan, dokter, dan teknisi dari negara berkembang seperti Cina, India, dan Korea Selatan ke negara maju semakin meningkat.[1] Hal ini terjadi terutama ke negara-negara yang memberikan banyak keunggulan dan kesempatan (land of opportunity), seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Fenomena migrasinya tenaga terdidik dan terlatih tersebut biasa dikenal dengan istilah brain drain.[2]

Faktor penyebab terjadinya brain drain ini seringkali dilihat dari model bipolar yaitu faktor penarik dan faktor pendorong. Pertama, faktor penarik yaitu faktor yang datang dari negeri tujuan, misalnya untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik; fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai; kesempatan memperoleh pengalaman bekerja yang luas; tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi; dan sebagainya. Kedua, faktor pendorong yaitu faktor yang datang dari negeri asal, misalnya dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian, tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan; keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi; ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu; diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi; dan lain sebagainya.[3]

Faktor penyebab ‘penarik-pendorong’ ini terkadang juga dapat dibedakan menjadi faktor penyebab obyektif-subyektif. Penyebab secara obyektif adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh negara asal maupun tujuan dan terkait erat dengan karakteristik negara tersebut, seperti misalnya lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan. Sedangkan penyebab secara subyektif biasanya terbatas pada motif-motif personal dari yang bersangkutan.[4]

Terjadinya brain drain bagi negara asal tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, seperti kondisi di mana kurangnya tenaga terlatih dan terdidik dari suatu negara, serta terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk diprediksi. Selain itu, brain drain dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan, inter alia, di mana para tenaga terdidik tersebut berasal. Namun demikian, di sisi lain justru beberapa negara berkembang kini telah mampu memanfaatkan kondisi brain drain menjadi reversed brain drain untuk kemajuan negaranya, misalnya Cina dan India, dua “macan Asia” yang mempunyai konsentrasi brain drain sangat tinggi.[5] Kondisi reversed brain drain yang terjadi sejak awal 1990-an tersebut, selain memacu produktivitas perekonomian negara asal, diyakini juga telah meninggalkan buah manis berupa jaringan keilmuan dan pemasaran yang kuat dan tersebar hampir di seluruh negara-negara maju yang pernah mereka huni sebelumnya. Tentunya hal ini semakin memperkuat hasil penelitian Goldman Sachs, sebagai bank investasi terbesar di dunia, terhadap BRIC yang menyebutkan bahwa Cina dan India akan menempati peringkat pertama dan kedua dalam hal pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2050. [6]

Kemudian, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara berkembang terbesar ketiga di dunia, bersama dengan Cina dan India yang mewakili 70% dari keseluruhan penduduk Asia, Indonesia diprediksi dapat semakin jauh tertinggal dalam hal pengembangan sumber daya manusia jika tidak segera menyadari sekaligus mempersiapkan strategi untuk mengatasi problematika brain drain.[7] Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia masih menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.[8]

Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan wajib untuk bersatu padu dan duduk bersama sesegera mungkin untuk mengatasi krisis sumber daya manusia dan keilmuan masyarakat Indonesia. Jika tidak, masa depan bangsa Indonesia yang gilang-gemilang hanya akan menjadi impian semu semata.

2. Dilema Brain Drain Indonesia

Angkatan kerja Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami keprihatinan yang teramat mendalam. Pada tahun 2005, dari 107 juta angkatan kerja Indonesia, persentase lulusan S1, D3, dan D1 secara berturut-turut hanya sebesar 3,13%, 1,26%, dan 1,03%. Untuk lulusan SMP dan SMA masing-masing sebesar 19,55% dan 18,8%. Sedangkan untuk mereka yang tamat maupun tidak tamat Sekolah Dasar (SD) masing-masing sebesar 37,3%.[9] Tentunya hal ini menjadi permasalahan yang sangat serius bagi keberlanjutan pembangunan Indonesia. Belum lagi jika kita melihat jumlah angka putus sekolah yang demikian besarnya, yaitu mencapai 334.000 siswa setiap tahunnya. Ini belum termasuk sekitar 14,6 juta penduduk Indonesia yang masih buta aksara untuk golongan umur 15 tahun ke atas.

Data-data di atas tentunya terlihat sangat ironis, mengingat Indonesia sebenarnya telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar (basic right) atas pendidikan bagi warga negaranya. Jaminan itu secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.[10] Demikian juga dengan cita-cita luhur bangsa yang dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Fenomena brain drain di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum atau tidak terdapat data empiris, diperkirakan telah mencapai angka 5%. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia yang disertai dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya menyisihkan sebesar 11,8 persen dari APBN.[11] Kondisi ini diperparah dengan alokasi anggaran riset dan teknologi yang tidak pernah mencapai angka minimal 1% dari produk domestik bruto. Padahal, menurut analisa UNDP, angka minimum tersebut merupakan anggaran minimum untuk terciptanya kemakmuran suatu bangsa.

Maka kini yang menjadi pertanyaan adalah haruskah para tenaga ahli dan terampil asal Indonesia yang kini telah menetap dan bekerja di luar negeri, sama-sama kita minta untuk segera kembali ke tanah air guna mengatasi berbagai permasalahan di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidaklah mudah. Penulis menyadari bahwa kedilematisan akan selalu menyelimuti para tenaga ahli Indonesia yang berada di luar negeri. Sebab diakui atau tidak, beberapa kondisi riil di dalam negeri menjadi pertimbangan penting bagi mereka untuk tetap menetap di luar negeri. Misalnya, ketiadaan fasilitas dan dana untuk melakukan riset; kurangnya jaminan sosial dan kenyamanan hidup, baik bagi sang tenaga ahli maupun keluarganya; kurangnya prospek dan kesempatan berkarir; masih terjadinya konsep senioritas yang kaku, lemahnya institusi, panjangnya birokrasi; hingga terjadinya pendeskriditan pendapatan dan fasilitas antara tenaga ahli asing dengan Indonesia walaupun berkualifikasi keahlian yang sama.[12] Artinya, untuk menarik kembali para cendekia kita yang tersebar di mancanegara, tugas utama dalam hal persiapan dan prakondisi yang matang mutlak dilakukan terlebih dahulu di dalam negeri. Jika tidak, maka yang terjadi laksana “memetik buah yang belum ranum”, hal tersebut tidak akan memberikan hasil yang cukup signifikan.

Di sisi lain, universitas unggulan di dalam negeri sebagai produsen utama tenaga ahli juga masih sangat minim, sehingga menyebabkan terjadinya kekeringan dalam rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi di tanah air. Padahal berdasarkan UNESCO Science Report 2005, pengembangan perguruan tinggi di negeri asal menjadi magnet yang paling efektif untuk menarik para peneliti kembali ke negara tempat kelahirannya. Secara kasat mata, salah satunya dapat kita nilai dari tidak masuknya universitas-universitas terbaik di Indonesia untuk 100 besar Asia Pasifik atau hanya menempatkan tiga universitas di urutan akhir dari 500 universitas di dunia.[13] Dikarenakan universitas di dalam negeri dianggap oleh sebagian kalangan masih belum terlalu prestisius dan bermutu, akhirnya banyak mahasiswa Indonesia memilih untuk melanjutkan studi di luar negeri sebagai pilihan utama, baik dengan biaya sendiri maupun dengan mencari berbagai jenis beasiswa yang ditawarkan oleh negara-negara lain.[14] Berbeda dengan beberapa negara berkembang lainnya, walaupun mereka sama-sama mengalami proses brain drain, akan tetapi lembaga pendidikan tinggi mereka masih sanggup memproduksi tenaga-tenaga ahli yang siap pakai untuk kemudian kembali mengembangkan pola keilmuan di dalam negerinya. Sehingga, kadar keilmuan mereka senatiasa terjaga dan selalu berkembang secara simultan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jikalau para tenaga ahli dan terlatih kita yang berada di luar negeri belum mau atau setidaknya masih berpikir dua kali untuk kembali ke tanah air, ditambah dengan kondisi dalam negeri yang dapat kita katakan belum siap secara total ‘menyambut’ kehadiran para tenaga terdidik dari luar negeri, maka apa yang harus kita lakukan saat ini yaitu mempersiapkan segala sesuatunya guna menyongsong terjadinya reversed brain drain di Indonesia. Salah satunya – secara berbesar hati – yaitu dengan memetik pengalaman dan perjalanan berharga bangsa lain yang telah berhasil menaklukan dan memanfaatkan brain drain sebagai aset utama terjadinya brain gain.

3. Reversed Brain Drain di India

Wabah brain drain telah menyerang India selama lebih dari 30 tahun yang lalu. India secara rutin merupakan negara pengekspor tenaga muda yang terampil ke negara-negara maju. Dimulai pada awal tahun 1960-an, lulusan terbaik dari beberapa Indian Institute of Technology (IITs)[15] meninggalkan India dalam jumlah yang cukup besar untuk kemudian bekerja pada Silicon Valley, Amerika Serikat. Tidak jauh berbeda, penduduk India juga bermigrasi secara tradisional ke Inggris dan Kanada. Awal tahun 1970-an, jumlah warga India yang bermigrasi ke Amerika memiliki besaran yang sama dengan mereka yang bermigrasi ke Inggris dan Kanada. Namun pada awal tahun 1990, jumlah penduduk India yang bermigrasi ke Amerika telah meningkat hampir dua kali lipat dari mereka yang pergi ke kedua negara tersebut di atas. Saat ini, komunitas India di Amerika, baik imigran maupun mereka yang terlahir di sana, merupakan komunitas dengan proposi cukup besar sehingga dianggap mewakili populasi asal Asia. Kini para profesional asal India tersebut telah menguasai sedikitnya 8.000 perusahaan di bidang komunikasi, informasi dan teknologi di kawasan Silicon Valley dengan pemasukan sebesar US$ 4 miliar ditambah dengan penyediaan lapangan kerja sebanyak 17.000 kursi.[16]

Namun kini, fenomena brain drain di India telah berangsur sirna dan berubah menjadi reversed brain drain. Sejak akhir tahun 1990-an, para ilmuwan dan profesional India yang telah menetap di luar negeri mulai kembali ke tanah airnya. Kesempatan itu dilakukan pada masa cuti panjang ataupun di tengah masa penelitiannya dengan cara mengajar di India dan berinteraksi secara langsung dengan sesama peneliti di negara asal. Hal ini terjadi hampir di berbagai bidang pegetahuan, khususnya IT, kedokteran, dan ekonomi. Saat ini, sedikitnya terdapat sekitar seratus ribu warga negara India yang sebelumnya bekerja di luar negeri telah kembali ke negaranya secara permanen, di mana 32.000 di antaranya merupakan non-resident Indian (NRI)[17] yang berasal dari Inggris. Hasilnya, brain drain yang dirasakan merugikan India mulai menjelma menjadi brain circulation yang membawa keuntungan secara mutual bagi India dan negara tujuan. Dalam konteks ini, Bindo Khadria menyebutnya sebagai second-generation effects of brain drain.[18]

Terhadap kondisi tersebut di atas, penulis menganalisa adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terciptanya pola reversed brain drain di India, yaitu: Pertama, terjadinya tansisi kebijakan pemerintah India secara gradual dari pola kontrol ekonomi sosialis melalui sebuah proses liberalisasi yang dimulai pada awal tahun 1990-an telah menciptakan tidak hanya tersedianya berbagai lapangan kerja baru di bidang manufaktur dan teknologi, tetapi juga meningkatnya reputasi berbagai lembaga tinggi pendidikan di bidang IT dan manajemen. Di samping itu, pengelolaan institusi-institusi swasta tidak lagi dipersulit oleh campur tangan pemerintah yang selama ini dirasa cukup dominan.[19]

Kedua, terjadinya reversed brain drain di India disebabkan pula akibat melemahnya kondisi perekonomian di Amerika Serikat sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang menutup aktivitasnya, termasuk memutuskan hubungan kerja dengan para tenaga ahlinya. Guna mengatasi masalah ini, Amerika mulai mengeluarkan kebijakan outsourcing dengan mencari tenaga-tenaga ahli yang lebih murah namun mempunyai kemampuan yang tinggi, salah satunya dengan memanfaatkan pengeluaran visa H-1B.[20] Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh para profesional dan pebisnis asal India. Mereka berduyun-duyun kembali ke negaranya sebagai fasilitator antara tenaga ahli yang berada di India dengan jaringan pasar internasional. Booming besar berikutnya terjadi ketika India menciptakan kota-kota IT yang diberi nama Indian Silicon Valley yang berpusat di Bangalore, di mana perusahan-perusahaan sekelas Hawlett-Packard, IBM, dan Microsoft mulai membuka laboratorium riset secara khusus di wilayah tersebut. Hasilnya yaitu penciptaan kekuataan baru para pekerja transnasional di berbagai sektor ekonomi, penguatan infrastruktur fisik dan sosial di Bangalore dan sekitarnya, serta penempaan dan penguatan hubungan transnasional antara India dan Amerika Serikat.[21]

Ketiga, kesuksesan India menarik kembali para ilmuwannya tidak terlepas dari jaringan diaspora yang selama ini dapat terus mereka pertahankan, baik diaspora yang bersifat keilmuan maupun diaspora yang bersifat komunitas kemasyarakatan. Beberapa diaspora keilmuan utama yang mereka miliki misalnya, Silicon Valley Indian Professional Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST). Dari sinilah mereka memperoleh sumber potensi yang sangat besar dalam menjalankan kerjasama secara efektif dan menguntungkan kedua belah pihak antara negara India sebagai negara berkembang dengan berbagai negara industri maju lainnya.[22]

Keuntungan dari terjadinya reversed brain drain tersebut, terhitung dalam lima belas tahun terakhir ini, industri teknologi India mulai berkembang menjadi teknologi kualitas tinggi dengan pertumbuhan dari US$ 150 juta menjadi US$ 3,9 miliar dalam hal penjualan. India saat ini juga telah mengekspor produksi piranti lunak ke hampir 100 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa. Meningkatnya ikatan rasa emosional dan budaya terhadap tanah kelahiran India menjadi modal tambahan meluasnya kesempatan bagi para profesional India.[23] Begitu pula dengan kesempatan bekerja di dalam negeri yang tidak kalah bersaing dengan perusahan-perusahaan terkenal lainnya di luar negeri. Sebagai contoh, salah satu tamatan terbaik Indian Institute of Management (IIM) di Bangalore memperoleh tawaran kerja dari Barclays Capital dengan gaji sekitar US$ 193.000 per tahun, atau lulusan Indian School of Business (SIB) di Hyderabad biasanya memperoleh tawaran kerja dari perusahaan India dengan gaji rata-rata sekitar US$ 200.000 per tahun.[24] Belum lagi tawaran-tawaran dari perusahan besar seperti Goldman Sachs, BNP Paribas, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Deutsche Bank, J.P. Morgan, McKinsey, Bain & Co. Boston Consulting Group, A.T. Kearney and Diamond Cluster, serta sederet perusahaan berkelas lainnya.

Beberapa tahun terakhir ini, India bukan saja mengalami reversed brain drain, akan tetapi kini mereka diuntungkan dengan terciptanya brain gain dari negara-negara lainnya. Meledaknya perekonomian India memicu sedikitnya puluhan tenaga ahli dari negara-negara Eropa, seperti Swedia, Norwegia, Perancis, Jerman, Swiss dan Inggris untuk berkerja pada industri teknologi di kawasan industri Okhla, New Delhi, India.[25] Lebih dari itu, survey yang dilakukan di Inggris pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa para lulusan Inggris tengah mempersiapkan dirinya untuk mengisi 16.000 lowongan pekerjaan pada Indian call-center di tahun 2009 mendatang. Bahkan dalam laporan tersebut disampaikan bahwa seorang lulusan sarjana dari Skotlandia rela untuk melepaskan pekerjaannya dari Sky Television dengan gaji £21.000 per tahun untuk kemudian bekerja pada Indian call-center.[26]

4. Jaringan Diaspora India

Migrasi internasional kini semakin menjadi permasalahan yang menyita perhatian banyak pihak. Transisi pada ilmu pengetahuan berbasis ekonomi menciptakan lebih banyak pangsa pasar yang terintegrasi bagi mereka yang mempunyai bakat dan keahlian yang tinggi. Bakat dan keahlian tersebut menjadi aset yang sangat berharga dalam percaturan ekonomi dunia. Akibatnya, gelombang brain drain dari negara-negara berkembang semakin menguat. Munculnya diaspora yang sangat luas adalah sebuah konsekuensi dari perburuan terhadap kesempatan terbaik bagi negara berkembang. Oleh karenanya, dalam tulisan ini penting kiranya untuk diuraikan bagaimana diaspora India mampu membuat jaringan dan memainkan perannya dengan sangat rapi dan teratur.[27]

Terjadinya reversed brain drain di India tidak dapat dipisahkan dari peran dan keuntungan yang diperoleh dari adanya diaspora India. Diaspora ini tersebar ke berbagai belahan dunia sebagai silent networking. Sekitar 20 juta orang yang tergabung dalam komunitas elektik ini tumbuh dan berkembang sebesar 10% setiap tahunnya, sehingga menempatkan komunitas ini sebagai diaspora terbesar di dunia setelah Cina dan Inggris. Setidaknya terdapat lebih puluhan ribu warga negara India yang menempati 48 negara di seluruh dunia.[28] Meskipun mendiami negara dan bahasa yang berbeda-beda, diaspora India mempunyai identitas yang sama dengan negara asalnya, yaitu suatu kesadaran akan warisan kebudayaan dan ikatan emosional yang sangat kuat terhadap garis keluarga dan negara asalnya. Dalam dua dekade terakhir, diaspora India telah mengalami perubahan, yaitu dari para imigran biasa menjadi pemegang peranan kunci pada posisi penting di bidang politik, lembaga universitas, dan sektor industri. Mereka menempati pos-pos penting sebagai pemimpin terpilih, politisi, profesor, dan status profesional lainnya. Beberapa contoh terbaiknya yaitu Bharrat Jagdeo, Presiden Guayana yang beraliran sosialis; anggota Kongres di Amerika Serikat; anggota parlemen di Kanada; serta penerima Nobel Ekonomi, Amartya Sen.[29]

Keberhasilan yang terjadi pada dekade belakangan ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, melainkan efek atas terbentuknya kekuatan India di sektor ekonomi, sosial, dan tenaga nuklir. Setelah terjadinya reformasi ekonomi, India tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat modern yang mempunyai peran utama dalam memainkan industri informasi dan teknologi (IT). Mereka juga telah berhasil mengubah pencitraan disapora India secara global. Hal tersebut bukan lagi dilihat sebagai penghambat laju perekonomian, tetapi kini telah berjasa dalam memainkan peran sebagai pembentuk opini publik untuk keuntungan komunitas mereka.

Bukan juga sebagai suatu keberuntungan semata bahwa diaspora ini telah membangkitkan India sebagai pemain global dan menjadi sebuah negara dengan martabat yang tinggi dan dihormati. Banyak yang meyakini bahwa diaspora tersebut dapat memberikan kontribusi penting bagi perekonomian India yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah India sendiri. Masyarakat India di luar negeri dapat juga memainkan perannya dalam memberikan kontribusi terhadap pengembangan pemmbangunan India, khususnya dalam memobilisasi dukungan politik terhadap isu-isu penting terkait dengan India di negara tempat mereka tinggal masing-masing.[30]

Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris adalah contoh berhasilnya diaspora India dalam menjalankan perannya secara pro-aktif. Dikarenakan oleh meningkatnya kekuatan ekonomi India, para anggota dari diaspora ini memiliki modal utama yang sangat menguntungkan untuk menjalankan peran yang lebih besar dalam mendorong dan memperbanyak terjadinya transaksi perdagangan bilateral, investasi, transfer teknologi, dan promosi pariwisata dari dan menuju negara-negara lainnya. Diaspora India memiliki sekitar 20 juta orang di seluruh dunia yang dapat menghasilkan pendapatan keseluruhan setara dengan 35% dari GNP India.[31] Bahkan menurut laporan Reverse Bank of India pada tahun 2003, komunitas NRI mampu menghasilkan remittance sebesar US$ 18,2 miliar.[32]

Terhadap gambaran di atas, dalam lingkup diaspora India, migrasi warga India kini tidak lagi menyebabkan terjadinya brain drain melainkan justru menjadi elemen awal terciptanya brain gain. Selain itu, anggota dari diaspora India yang tergabung dalam NRI dan PIO[33] juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan di India. Diaspora India juga merupakan komunitas yang berharga dalam memberikan kontribusi terhadap meningkatnya hubungan India-Amerika, sehingga hal tersebut menghasilkan keuntungan ganda bagi negaranya. Dengan terbuktinya keunggulan dari jaringan diaspora terhadap pertumbuhan dan perkembangan negara India, fenomena mengenai brain drain dan migrasinya tenaga ahli telah berubah menjadi mantra brain gain.[34] Oleh karenanya, diaspora semacam ini patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua, terutama mengenai kuatnya keterikatan mereka dengan keluarga dan negara asalnya. Tidak pelak jika banyak pihak kemudian mengatakan, “You can take Indians out of India and bring them to any place, but what you cannot do is take India out of Indians”.

5. Kesimpulan

Salah satu butir yang dibacakan dalam Deklarasi Ilmuwan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VIII yang diselenggarakan beberapa tahun silam menjelaskan bahwa tingginya laju arus tenaga ahli Indonesia ke negara-negara lain (brain drain) menjadi salah satu alasan yang menunjukkan lemah dan kurang tepatnya strategi kebijakan dan pandangan dalam menumbuhkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi secara adil dan memadai.

Untuk itu, guna memperoleh pergerakan asimetris arus dan distribusi tenaga ahli secara global, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang harus berani dan kreatif dalam mengimplentasikan strategi yang didukung secara penuh oleh kebijakan nasional. Hal itu bisa dilakukan dengan cara misalnya, menyediakan kesempatan pendidikan berkelas dunia, membangun penelitian ilmu pengetahuan dan pengembangan industri, serta pengelolaan keuangan yang berkesinambungan untuk menarik investasi luar. Cina dan India telah bergerak menuju ke arah tersebut dengan menawarkan pendidikan khusus di area yang penting dalam perkembangan pembangunan nasional, seperti misalnya bioteknologi dan teknologi informasi, diikuti dengan investasi di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.[35]

Beberapa negara besar telah berhasil menunjukkan bahwa diaspora ilmu pengetahuan (scientific diaspora) dapat bekerja sangat efektif, terutama untuk memanfaatkan efek negatif dari terciptanya arus brain drain. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, India dapat menjadi gambaran bagi Indonesia bahwa upaya dalam melakukan penelitian nasional sangat ditopang dan dibantu dengan adanya aktivitas jaringan sejagat (global network) dari para peneliti yang tinggal di luar negeri.[36] Oleh karena itu, diaspora Indonesia yang telah ada harus pula didukung agar mampu melakukan transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology transfer) secara bertahap.

Negara berkembang dengan infrastruktur research and development (R&D), seperti India, lebih memilih untuk menarik kembali para imigrannya, baik untuk pertambahan pemasukan negara maupun sebagai kontak bisnis, setelah kondisi dalam negerinya benar-benar siap. Profesional India di negara-negara maju telah pula menjadi pengemudi utama dalam hal perpindahan ilmu pengetahuan dan modal investasi. Pemerintah India pun menyambut baik hal tersebut dan kemudian memberikan kemudahan bagi jaringan swasta melalui lembaga legislatifnya dengan mengeluarkan peraturan mengenai pajak yang dapat meningkatkan remittance dan investasi dari warga India di luar negeri. Tantangan untuk mengubah brain drain menjadi brain gain bagi Indonesia, setidaknya dapat dihadapi dengan beberapa strategi sebagai berikut:


Pertama, mengimplentasikan rancang-bangun pendidikan yang dapat mendukung dan memelihara pengembangan inti ilmu pengetahuan melalui program nasional dan pelatihan luar negeri yang lebih terarah dan terencana. Pemenuhan target program pendidikan dasar bagi seluruh warga negara Indonesia, investasi pada infrastruktur untuk penelitian, pengembangan dan penciptaan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya sektor publik maupun swasta dalam lingkup hasil penelitian, serta pengembangan teknologi dan inovasi merupakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam kondisi sekarang ini. Oleh sebab itu, guna mewujudkan langkah-langkah strategis di atas, kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus pula dijalankan secara optimal.

Kedua, membangun kepemimpinan nasional yang tercerahkan terhadap komunitas ilmu pengetahuan nasional yang dapat menyokong terciptanya pengembangan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, seluruh ahli ilmu pengetahuan, politisi, dan penentu kebijakan di Indonesia, termasuk badan-badan internasional lainnya, harus memberikan apresiasi lebih terhadap terjadinya sinergitas kreasi ilmu pengetahuan. Sehingga, kebijakan dan sistem pendidikan dapat dirancang untuk menciptakan inovasi baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketiga, dalam jangka pendek para ilmuwan di luar negeri sedapat mungkin memperbanyak transfer ilmunya dengan cara kembali ke tanah air dalam rangka pemberian kuliah khusus, mendatangi seminar nasional, dan berdiskusi secara langsung, serta menjadi penghubung antara ilmuwan lokal dengan ilmuwan internasional. Sedangkan untuk tahapan jangka panjang, pemerintah sudah waktunya membentuk suatu program atau badan khusus untuk mengantisipasi negative snowball effect dari brain drain, sekaligus menerapkan strategi penciptaan reversed brain sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara lain.[37]

Pencapaian hal di atas tentunya tidak mudah dan memerlukan waktu, sebagaimana investasi SDM India di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kapabilitas R&D yang dimulai sejak tahun 1950-an. Begitu pula dengan Cina yang telah meluncurkan proyek pengembangan 100 Universitas menuju institusi pendidikan berkelas dunia yang bukan saja membutuhkan waktu pelatihan pendidikan tinggi yang cukup lama, tetapi juga sulitnya menarik para ilmuwan untuk terus berkarir pada dunia akademis. Namun demikian, tentunya harapan masih tetap harus digantungkan sampai kapanpun jua. Sebagai generasi penerus sudah menjadi kewajiban kita untuk memikirkan permasalahan ini sejak dini, dengan harapan kelak anak-cucu kita dapat berkreasi dan memperoleh pengetahuan yang tinggi. Sehingga, mereka akan mampu bersaing dengan negara-negara lain, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri sekalipun.


***


Catatan Akhir:

[1] Laporan Bank Dunia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa hingga hari ini masih terjadi brain drain secara besar-besaran dari negara-negara berkembang, khususnya dari negara kecil dan terbelakang. Lebih lanjut, setidaknya saat ini terdapat sekitar 180 juta orang yang bertempat tinggal di luar negara asalnya. Selengkapnya lihat Caglar Ozden dan Maurice Schiff, International Migration, Remittances, and Brain Drain, World Bank Publication, Oktober 2005.

[2] Dalam kerangka internasional, telah terdapat usaha untuk mendefinisikan istilah brain drain, salah satunya datang dari laporan UNESCO pada tahun 1969, “…brain drain dapat didefinisikan sebagai bentuk yang tidak biasa dari terjadinya pertukaran ilmuwan antarnegara yang dikarakterisasi oleh adanya keuntungan yang sangat tinggi untuk negara-negara maju”.

[3] Bandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Zahlan Tineste dalam Third World Academy of Sciences (1985) yang mengidentifikasikan empat alasan penyebab terjadinya faktor pendorong, yaitu: (1) faktor politik; (2) lingkungan kerja dan promosi karir; (3) sistem pendidikan tinggi; dan (4) kebijakan teknologi terkait dengan pengembangan ekonomi.

[4] Lebih lanjut lihat AUN Report dalam Study of Concepts and Causes of Brain Drain.

[5] Simon Commander, Mari Kangasniemi, dan L. Alan Winters, The Brain Drain: Curse or Boon? The Institute for the Study of Labor, Discussion Paper No. 809, Juni 2003, hal. 29.

[6] BRIC (Brazil, Rusia, India dan Cina) merupakan empat negara yang memperoleh perhatian khusus dari Goldman Sachs sejak tahun 2003 untuk memetakan mengenai pertumbuhan GDP, pendapatan perkapita dan pergerakan mata uang negara-negara tersebut. Lihat Goldman Sachs, Dreaming with BRIC’s: The Path to 2050, Global Economics Paper No. 99.

[7] Untuk mengetahui persebaran migrasi pada negara-negara berkembang, lihat Frédéric Docquier, Oliver Lohest, Abdeslam Marfouk, Brain Drain in Developing Regions, Discussion Paper No. 1668, The Institute for the Study of Labor, Juli 2005.

[8] Dalam peringkat daya saing dunia tahun 2004, Indonesia menempati ranking ke-60 tertinggal jauh di bawah Singapura (2), Malaysia (16), Thailand (29), dan Filipina (52).

[9] Lihat Sri Hartati Samhadi, Diaspora Tenaga Profesional Indonesia, Kompas 20 Mei 2006.

[10] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), hasil amandemen keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

[11] Lihat kembali Pan Mohamad Faiz, Membangkitkan “Political Will” Pemerintah di Sektor Pendidikan Melalui Instrumen Hukum, Jurnal Jurist, Desember 2006.

[12] Salah satu contoh hasil temuan penulis dalam diskusi dengan salah satu tenaga ahli yang lebih memilih menetap di luar negeri bahwa setibanya kembali ke tanah air setelah memperoleh gelar di bidang teknik nuklir, ia justru ditempatkan pada bagian kepustakaan. Lihat juga Dani Hamdani, “Bila Cendekiawan Betah di Rumah Orang”, Gatra Edisi 48 Tahun 2003.

[13] Cermati dan bandingkan peringkat universitas Indonesia dengan negara berkembang lainnya di Asia yang dikeluarkan oleh Webometrics Ranking of World Universities, The Academic Ranking of World Universities, serta The Times Higher World Universities Rankings.

[14] Berdasarkan statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah, setidaknya lebih dari 85.000 warga Indonesia memutuskan untuk menempuh pendidikan di luar negeri setiap tahunnya. Lihat “Indonesian Universities Want Reform to End Brain Drain”, Electronic Engineering Times, 17 September 2004.

[15] The Indian Institues of Technology (IITs) adalah kelompok elit dari tujuh lembaga pendidikan yang berorientasi dan mempunyai sifat otonomi di bidang teknik dan teknologi. Di samping Indian Institutes of Management (IIM) dan All India Institue of Medical Science, IIT didirikan oleh Pemerintah India sebagai salah satu bagian dari Institutes of National Importance. IIT diciptakan untuk memproduksi para ilmuwan dan teknisi ahli untuk tujuan pengembangan kemampuan tenaga kerja guna menopang pembangunan ekonomi dan sosial di India. Penyaringan dan ujian untuk masuk IIT sangatlah ketat dengan kisaran perbandingan penerimaan 1:200. Ketujuh Institut tersebut berlokasi di Kharagpur, Mumbai, Chennai, Kanpur, Delhi, Guwahati, dan Roorkee.

[16] Lihat Is Helianti, Brain Drain, Dari Cibiran Menjadi Aset?, Inovasi Online, 7 April 2005.

[17] Mereka yang dapat dikategorikan sebagai NRI yaitu seorang warga negara India yang telah bermigrasi ke suatu negara lain, seorang warga India asli yang lahir di luar India, atau seorang warga India asli yang tinggal di luar India.

[18] Binod Khadria, The Migration of Knowledge Workers: Second-Generation Effects of India’s Brain Drain, Sage Publication, New Delhi, 1999.

[19] Lihat Permanand Singh, State, Market and Economic Reforms, XVIII Delhi Law Review, 1996; dan Upendra Baxi, “Law and State Regulated Capitalism in India”, dalam Capitalist Development, Critical Essay, 1998, hal. 189-219.

[20] Visa H-1B merupakan visa yang dikategorikan kepada meraka yang bukan imigran di Amerika berdasarkan Pasal 101(a)(15)(H) Undang-undang Keimigrasian dan Nasionalitas. Ketentuan tersebut memperbolehkan para pekerja untuk mencari bantuan dari warga negara asing terlatih yang memiliki gelar setara dengan sarjana pendidikan di Amerika. Pemegang H-1B ini dipekerjakan secara sementara hanya pada bidang pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, seperti misalnya arsitektur, teknik, kedokteran, hukum, akutansi, dan sebagainya. India adalah negara yang memperoleh visa H-1B terbanyak dari Amerika, di mana pada tahun 2006, sembilan perusahaan India memperoleh 19.512 dari 65.000 H-1B visa yang disediakan oleh Pemerintah Amerika. Empat dari lima perusahaan teratas yang memperoleh H-1B visa terbanyak tersebut, merupakan perusahaan India yang memiliki reputasi besar dalam bidang outsourcing, yaitu Infosys, Satyam, Tata Consultancy Services, dan Wipro.

[21] Lebih lanjut lihat Anthony P. D’Costa, Export, University-Industry Linkages, and Innovation Challenges in Bangalore, India, World Bank Policy Research Working Paper 3887, April 2006; dan Elizabeth Chacko, From Brain Drain to Brain Gain: Reverse Migration to Bangalore and Hyderabad, India’s Globalizing High Tech Cities, GeoJurnal Vol. 68, Numbers 2-3/February, 2007, Springer Netherlands, Mei 2007.

[22] Studi mengenai pendekatan diaspora keilmuan terhadap brain drain dapat lihat pada Jean-Baptiste Meyer and Mercy Brown, Scientific Diasporas: A New Approach to the Brain Drain, Management of Social Transformations (MOST), Discussion Paper No. 41, Juli 1999.

[23] Berdasarkan survey yang dilakukan oleh India’s National Association of Software and Service Companies, pada tahun 1993 sekitar 84% lulusan ilmu komputer di India berkeinginan untuk bekerja atau melanjutkan studinya ke Amerika Serikat, namun kini hanya sekitar 60% saja yang ingin melakukan hal demikian.

[24] Lihat Pamela Constable, India’s Brain Drain Eases Off, Washington Post Foreign Service, 14 September 2000.

[25] Pada akhir Agustus 2007 yang lalu, salah satu portal pencari kerja ternama asal India telah sukses menyelenggarakan Job Fair di New Jersey, Amerika Serikat. Tujuannya tidak lain adalah untuk menarik kembali NRI dari Amerika sekaligus mencoba ‘menggoda’ tenaga ahli asing untuk bekerja di India. Oracle, Hawlett-Packard, GSSA America Infotech IBM, Yahoo India, dan Ma Foi Management Consultant merupakan perusahaan-perusahaan yang kini mengincar para tenaga ahli muda India yang berbakat.

[26] Philip Thornton, Brain Drain from UK is ‘Worst in the world’, The Economist, 25 Oktober 2005.

[27] Yevgeny Kuznetsov, ed., Diaspora Networks and the International Migration of Skill: How Countries Can Draw on Their Talent Abroad, the World Bank, 2006, hal. 71-98.

[28] Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya terdapat lebih dari 1200 asosiasi yang terdaftar pada NRI World yang merupakan jaringan diaspora India dari berbagai negara di dunia.

[29] Untuk mendefinisikan karakteristik dari jaringan profesional expatriat (diaspora network) umumnya mereka mempunyai bakat, baik sebagai teknisi, manager, ataupun wirausaha. Bakat yang mereka miliki merupakan kategori yang elusif, tetapi sebenarnya merupakan kekuatan yang maha dahsyat. Akibatnya dapat mempengaruhi kebijakan di berbagai bidang, seperti misalnya pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bisnis, kebudayaan, hingga dunia politik.

[30] Lihat Tim Kompas, India: Bangkitnya Raksasa Baru Asia - Calon Pemain Utama Dunia di Era Globalisasi, Penerbit Buku Kompas, 2007.

[31] Dengan pendapatan rata-rata sekitar US$ 60.000 per tahun, warga negara keturunan India yang menetap di Amerika pada saat ini tercatat sebagai kelompok etnis dengan pendapatan per kapita tertinggi. Lebih lanjut, dalam kurun waktu terakhir ini setidaknya terdapat sekitar 200.000 jutawan keturunan India yang bertempat tinggal di negara tersebut. Lihat India Diaspora, dari Fortune 500 hingga Peraih Nobel, Kompas, 12 Februari 2005.

[32] Untuk mengetahui model penghitungan terhadap pengiriman uang yang dihasilkan oleh brain drain, lihat Riccardo Faini, Remittances and the Brain Drain, Discussion Paper No. 2155, The Institute for the Study of Labor (IZA), Juni 2006.

[33] Person of Indian Origin (PIO) biasanya merupakan seseorang India asli yang bukan berkewarganegaraan India. Untuk memiliki kartu PIO, Pemerintah India akan mempertimbangkan apakah sang pemohon merupakan orang India asli hingga garis keturunan keempat.

[34] Untuk penjelasan lebih mendalam lihat “Brain Drain Gain: Indian Diasporic Roles in Development”, International Studies Association, Hilaton Hawaiian Village, Honolulu, Hawai, Maret 2005.

[35] Dalam bidang pendidikan, India telah melaksanakan program pendidikan gratis untuk anak hingga berumur 14 tahun (Pasal 45 Konstitusi India), kebijakan biaya kuliah yang sangat murah dan terjangkau oleh masyarakat, penerbitan buku-buku dan kertas dengan pajak yang sangat kecil melalui kontrol dari National Book Trust of India, pemberian dana penelitian kepada seluruh mahasiswa Ph.D sebesar Rp. 1-5 juta perbulan oleh University Grant Commission (UGC), hingga pemberian beasiswa kepada mahasiswa asing (foreign students) yang setiap tahunnya berjumlah sekitar 5.000 orang melalui Indian Cultural and Council for Cultural Relation (ICCR). Hal tersebut ditempuh semata-mata guna mempertahankan mutu dan kualitas pendidikan dalam negeri serta memperoleh akreditasi internasional terhadap sistem pendidikan India.

[36] Beberapa negara lain yang juga sudah mengembangkan pola semacam ini, seperti Korea melalui KSEA yang merupakan organisasi profesional guna mendorong kerjasama internasional antara Amerika dengan Korea dalam rangka pengembangan potensi karir para peneliti dan teknisi ahli dari kedua negara tersebut; Afrika melalui Digital Diaspora Network (DDN), yaitu usaha bersama antara UN ICT Task Force, UN Fund for International Partnerships, UN Development Fund for Women, Digital Partners dan Grupp DERFE yang bertujuan untuk mempromosikan pengembangan Afrika melalui mobilisasi teknologi, kewirausahaan, dan profesional ahli lainnya. Sedangkan, negara-negara Arab memiliki ASTA sebagai jaringan para ahli yang bekerja di negara barat pada bidang akademik dan industri yang bertujuan untuk mentransfer ilmu ke wilayah Timur Tengah.

[37] Sebagai contoh, Pemerintah Thailand telah membentuk Reversed Brain Drain Project (RBD) di bawah Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional Thailand yang bertujuan untuk lebih memaksimalkan pemanfaatan ilmu dan jaringan dari tenaga ahli profesional Thailand yang masih menetap di luar negeri guna membantu pengembangan pembangunan Thailand, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

DAFTAR PUSATAKA
  • Baxi, Upendra, 1998. “Law and State Regulated Capitalism in India”, dalam Capitalist Development, Critical Essay, hal. 189-219.

  • Chacko, Elizabeth, 2007. From Brain Drain to Brain Gain: Reverse Migration to Bangalore and Hyderabad, India’s Globalizing High Tech Cities, GeoJurnal Vol. 68, Numbers 2-3/February, Springer Netherlands.

  • Commander, Simon, Mari Kangasniemi, dan L. Alan Winters, 2003. The Brain Drain: Curse or Boon? The Institute for the Study of Labor (IZA). Discussion Paper No. 809.

  • ________, Simon, Rupa Chanda, Mari Kangasniemi, dan L. Alan Winters, 2004. Must Skilled Migration Be a Brain Drain? Evidence from the Indian Software Industry, The Institute for the Study of Labor (IZA), Discussion Paper No. 1422.

  • Constable, Pamela, 2000. India’s Brain Drain Eases Off, Washington Post Foreign Service.
    Docquier, Frédéric, 2006. Brain Drain and Inequality Across Nations, The Institute for the Study of Labor (IZA), Discussion Paper No. 2440.

  • _________, Frédéric, Olivier Lohest, Abdeslam Marfouk, 2005. Brain Drain in Developing Regions, The Institute for the Study of Labor (IZA), Discussion Paper No. 1668.

  • Faini, Riccardo, 2006. Remittances and the Brain Drain, The Institute for the Study of Labor (IZA), Discussion Paper No. 2155.

  • Faiz, Pan Mohamad, 2006. Membangkitkan “Political Will” Pemerintah di Sektor Pendidikan Melalui Instrumen Hukum, Jurnal Jurist, Lembaga Kajian Keilmuan.

  • Goldman Sachs, Dreaming with BRIC’s: The Path to 2050, Global Economics Paper No. 99.

  • Kapur, Davesh dan John McHale, 2005. Give Us Your Best and Brightest: The Global Hunt for Talent and Its Impact on the Developing World, Center for Global Development, hal. 11-35.

  • Khadria, Binod, 1999. The Migration of Knowledge Workers: Second-Generation Effects of India’s Brain Drain, Sage Publication, New Delhi.

  • Kuznetsov, Yevgeny, Ed., 2006. Diaspora Networks and the International Migration of Skill: How Countries Can Draw on Their Talent Abroad, the World Bank, hal. 71-98.

  • Mashelkar, R.A., 2003. Nation Building through Science & Technology: A Developing World Perspective, 10th Zuckerman Lecture.

  • Meyer, Jean-Baptiste dan Mercy Brown, 1999. Scientific Diasporas: A New Approach to the Brain Drain, Management of Social Transformations, Discussion Paper No. 41.

  • Ozden, Caglar dan Maurice Schiff, 2005. International Migration, Remittances, and Brain Drain, World Bank Publication.

  • P. D’Costa, Anthony, 2006. Export, University-Industry Linkages, and Innovation Challenges in Bangalore, India, World Bank Policy Research Working Paper 3887.

  • Singh, Permanand, 1996. State, Market and Economic Reforms, XVIII Delhi Law Review.

  • Thornton, Philip, 2005. Brain Drain from UK is ‘Worst in the World’, The Economist.

  • Tim Kompas, 2007. India: Bangkitnya Raksasa Baru Asia - Calon Pemain Utama Dunia di Era Globalisasi, Penerbit Buku Kompas.