Tuesday, November 21, 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian II): "Permohonan Ditolak"

PUTUSAN YANG MENYATAKAN PERMOHONAN DITOLAK

Memahami dan menelah putusan Mahkamah Konstitusi sama saja dengan mendulang wawasan baru tentang hukum bagi siapapun yang membacanya. Namun kendalanya, masih banyak diantara kita yang enggan untuk membacanya dikarenakan (biasanya) Putusan terlalu rumit bahasanya dan panjang bahasannya. Untuk itu, kali ini saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan MK dengan amar "permohonan ditolak". Semoga hal yang kecil ini dapat turut membangun kesadaran hukum dan berkonstitusi di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.

1. Putusan Perkara Nomor 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (PDF).

• “Asas Retroaktif dan Kewenangan KPK Mengambil Alih Perkara”.

Permohon dalam perkara ini beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 68 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang memberikan landasan Kewenangan KPK melakukan pemeriksaan berdasarkan asas berlaku surut atau asas restroaktif.

Menurut Pemohon, hak untuk tidak dilakukan penyidikan atau penuntutan dengan menggunakan asas berlaku surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, di mana ketentuan ini secara jelas dan tegas diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I ayat (1).

Terlepas dari adanya pendapat dua Hakim Konstitusi yang memandang bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing, mengingat substansi masalah yang didalilkan Pemohon dan agar tidak menimbulkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya di kemudian hari sekaligus demi kepastian hukum, Mahkamah memandang perlu memberikan penilaian terhadap substansi Pasal 68 UU KPK, yang oleh Pemohon didalilkan mengandung asas berlaku surut (retroaktif).

Pasal 68 UU KPK menyatakan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.”

Kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK, adalah kewenangan untuk meneruskan proses yang sebelumnya telah ada. Artinya, kewenangan KPK dalam hubungan ini adalah bersifat prospektif, yang baru dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK. Dengan adanya Pasal 68 juncto Pasal 9 dan Pasal 8 UU KPK, penanganan perkara korupsi yang mengalami hambatan karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 9 adalah sama dasar tuntutan hukumnya dengan penanganan perkara korupsi lain yang masih tetap dilakukan oleh polisi dan jaksa, namun tidak mengalami hambatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK.

Menurut Mahkamah, Pasal 68 UU KPK sama sekali tidak mengandung ketentuan hukum yang berlaku surut sehingga melanggar ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan hukum secara retroaktif (ex post facto law) jika ketentuan tersebut (a) menyatakan seseorang bersalah karena malakukan perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, dan (b) menjatuhkan hukuman atau pidana mati yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Pasal 68 UU KPK tidak mengandung salah satu dari dua unsur tersebut. Pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan Pasal 68 tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang berarti tidak pula mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan yang penanganannya diambil alih oleh KPK tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 UU KPK tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah dikumandangankannya Undang-undang KPK.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara sah dan meyakinkan sehingga permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.

2. Putusan Perkara Nomor 065/PUU-III/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (PDF).

• “Batasan Asas Non-Retroaktif Dalam Pelanggaran HAM Berat”.

Pemohon dalam perkara ini adalah mantan Gubernur Timor-Timur periode 1994-1996 yang menyatakan bahwa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pemohon menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut adalah HAM yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa dengan menerapkan asas non-retroaktif haruslah juga diperhitungkan apakah akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum, sehingga apabila hal itu terjadi justru perlindungan kepada seorang individu secara demikian bukanlah menjadi tujuan hukum. Keseimbangan harus ditemukan antara kepastian hukum dan keadilan dengan cara memahami arti Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak hanya pada teksnya, tetapi juga mempelajari pengertian asas tersebut dari sejarah, praktik dan tafsiran secara komprehensif. Ukuran untuk menentukan kesimbangan kepastian hukum dan keadilan, khususnya dalam menegakkan asas non-retroaktif harus dilakukan dengan mempertimbangkan tiga tujuan hukum yang senantiasa saling tarik-menarik (spannungsverhältnis) yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan hukum (gerechtigheid), dan kebergunaan hukum (zweckmassigkeit). Dengan mempertimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut secara seimbang maka pemberlakuan hukum secara retroaktif yang terbatas, terutama terhadap kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes), secara hukum dapat dibenarkan.

Penerapan secara retroaktif suatu undang-undang tidaklah otomatis menyebabkan undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Pemberlakuan retroaktif harus dinilai dari dua faktor atau syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang tersebut; dan kedua, bobot dan sifat (nature) hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar.

Kejahatan-kejahatan diberlakukan pengesampingan asas non-retroaktif oleh Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU Pengadilan HAM) yang bertentangan dengan semangat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karenanya, pada kejahatan-kejahatan tersebut pengesampingan asas non-retroaktif bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan sebaliknya, sebagai undang-undang dasar dari sebuah bangsa yang beradab, semangat UUD 1945 justru mengamanatkan agar perikemanusiaan dan perikeadilan ditegakkan, sehingga kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas harus diberantas.

Walaupun Mahkamah berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat dibenarkan, bukanlah maksud Mahkamah untuk menyatakan bahwa pengesampingan demikian setiap saat dapat dilakukan tanpa pembatasan. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pembatasan tersebut, yaitu asas non-retroaktif hanya dapat disimpangi semata-mata demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Asas non-retroaktif tetap diutamakan namun pengutamaan tersebut tidak dimaksudkan untuk dipahami sebagai kemutlakan.

Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.

Dalam putusan ini terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.

3. Putusan Perkara Nomor 070/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26. Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (PDF).

• “Keadilan Dalam Pembebanan Kewajiban Kepada Provinsi Induk Terhadap Provinsi Pemekaran”.

Pokok perkara dalam putusan ini adalah pengujian Pasal 15 ayat (7) dan ayat 9 UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang mewajibkan Provinsi Sulawesi Selatan memberikan bantuan kepada Provinsi Sulawesi Barat selama 2 tahun berturut-turut sejak diundangkannya undang-undang ini paling sedikit sejumlah Rp. 8.000.000,- setiap tahun anggaran dan Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang menyatakan Pemerintah memberikan sanksi apabila Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (8) bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa daerah yang diberikan otonomi tetap merupakan bagian dari NKRI, sehingga tetap harus menaati ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 merupakan salah satu bentuk pembatasan dari Pemerintah Pusat berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan Perda termasuk menetapkan APBD untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya, namun tidak terlepas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang secara hierarkis lebih tinggi. Dengan demikian, pembebanan kewajiban sebagaimana dituangkan dalam Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang dituangkan melalui Perda tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip equal justice before the law sebagaimana terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945, jika dibandingkan dengan UU pembentukan provinsi lainnya, Mahkamah berpendapat bahwa keadilan bukan berarti semua subjek hukum diperlakukan sama tanpa melihat kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak. Keadilan justru harus menerapkan prinsip proposionalitas, artinya memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Kondisi setiap provinsi induk dan provinsi pemekaran tidak selalu sama, oleh karena itu sudah sepatutnya diperlakukan secara tidak sama pula. Karena, diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakukan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu.
Mahkamah memutuskan menolak permohonan ini. Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

4. Putusan Perkara Nomor. 006/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Pemilihan Sistem Rekruitmen Politik Melalui Partai Politik dan Prinsip Nomorn-Diskriminasi”.

Pemohon dalam perkara ini mendalilkan bahwa hak dan atau kewenangan konstitusinya telah dirugikan karena peluang Pemohon sebagai perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai bakal calon kepala daerah tidak dimungkinkan menurut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda. Padahal peluang perseorangan maupun partai politik menurut konstitusi bersamaan kedudukan sejajar dalam hal kesempatan berpolitik, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

Pemohon mengajukan tuntutan pembatalan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda, yaitu Pasal 59 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Bagian Keempat Pemerintah Daerah, Paragraf Kesatu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 24 ayat (5) berikut Pasal-Pasal yang berkaitan, yang di dalamnya terdapat kalimat, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasangan Calon, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, yaitu pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 67, Pasal 70, Pasal 75 sampai dengan Pasal 80, Pasal 82 sampai dengan Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan Pasal 119.

Dari permohonan tersebut, Mahkamah tidak melihat adanya hubungan kausal (causal verband) yang rasional antara UU Pemda sepanjang berkaitan dengan keberadaan Wakil Kepala Daerah dengan kerugian hak konstitusional pemohon. Keberadaan wakil kepala daerah, tidak berhubungan, baik langsung maupun tidak dengan kemungkinan terpilihnya Pemohon sebagai perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Kecuali untuk pengujian Pasal 59 ayat (1) dan (3) UU Pemerintahan Daerah, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan sepanjang terkait masalah Wakil Kepala Daerah.

Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan publik yang dilakukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) harus melalui pengusulan partai politik melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilindungu oleh Konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan UU. Persyaratan tersebut berlaku sama terhadap semua orang.

Mahkamah berpendapat permohonan sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda, tidak dapat diterima. Sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) tidak cukup beralasan, dinyatakan ditolak.

5. Putusan Perkara Nomor 010/PUU/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Threshold Pilkada Langsung”.

Pemohon mengajukan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon karena perolehan suara pemohon pada Pemilu tahun 2004 di seluruh Indonesia untuk calon anggota Legislatif, baik pada tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi tidak mencukupi 15%. Ketentuan persyaratan tersebut dipandang bertentanan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3).

Dalam pertimbangan hukum terkait dengan pokok perkara, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 27 UUD 1945 berada di bawah Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, yang memberikan hak yang sama bagi warga negara dalam hukum dan pemerintahan yang lazim disebut equality before the law. Karena Pemohon adalah badan hukum partai politik, maka dalil permohonan Pemohon menyangkut Pasal 27 ayat (1) ini tidak relevan, sehingga oleh karenanya harus dikesampingkan, karena syarat ini bukan hanya berlaku bagi Pemohon, tetapi bagi semua warga negara dan partai politik.

Selanjutnya, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Mahkamah berpendapat tidak ada hak Pemohon yang terhalang untuk mengajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan terhadap Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan, Mahkamah berpendapat bahwa kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan berupa hak memilih dan dipilih mendapat jaminan, akan tetapi terdapat syarat-syarat atau mekanisme tertentu yang wajib dipatuhi oleh setiap orang dan badan hukum.

Mahkamah berpendapat bahwa mekanisme dan syarat-syarat tersebut adalah pilihan kebijakan yang ditentukan dalam undang-undang. Sepanjang tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Selain itu, pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisem dan prosedur dalam pelaksanaan hak-hak dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Akhirnya, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian Pasal 59 ayat (2) UU Pemda terhadap UUD 1945, tidak cukup beralasan untuk dikabulkan, sehingga permohonan Pemohon harus ditolak.

6. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU (PDF).

• “Penilaian ‘Hal Ihwal Kegentinagn Memaksa’ Sebagai Syarat Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil dan formil atas UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945.

Argumentasi Pemohon dalam pengujian formil antara lain adalah lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dikatakan tidak memenuhi syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai sendiri oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi udang-undang. Namun Mahkamah juga menyatakan di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden mengeluarkan sebuah Perpu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalil-dalil para Pemohon dalam permohonan pengujian formil UU Nomor 19 Tahun 2004, Mahkamah memutuskan menolak permohonan Pemohon.

Dalam permohonan pengujian materiil, para Pemohon antara lain mendalilkan bahwa materi muatan yang terkandung dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak layak sebagai suatu undang-undang, karena hanya merupakan norma yang bersifat individual konkrit dan eenmalig berupa penetapan (beschikking) perizinan. Keberadaan tambang di hutan lindung sebagai akibat berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004, menurut Pemohon akan menimbulkan dampak kerugian ekonomi lingkungan dan sosial budaya sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 pada dasarnya hanya mengambil alih konsiderans “Menimbang” Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan isi Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada intinya hanya menambahkan 2 (dua ) Pasal pada Bab XVII tentang Ketentuan Penutup, yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B. Dari isi konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 dan bunyi Pasal 83A dan Pasal 83B Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tampak bahwa ketentuan tersebut memuat sebuah ketentuan transisional dan sekaligus Ketentuan Penutup. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan Peralihan, sedangkan Pasal 83B-nya termasuk kategoti Ketentuan Penutup.

Materi muatan Pasal 83A merupkan norma umum abstrak yang termasuk Nomorrma ketentuan peralihan, bukan norma individual konkrit berupa penetapan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi muatannya merupakan norma umum abstrak yang termasuk dalam Ketentuan Penutup yang sifatnya menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, dalam hal ini Presiden, yang diberi kewenangan untuk memberikan izin dengan Keputusan Presiden.

Dari sudut muatannya, Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 memang merupakan penyimpangan sementara ketentuan Pasal 38 ayat (4). Pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung akan tetap dilarang di Indonesia, kalau ada penyimpangan sifatnya adalah transisional. Mahkamah dapat memahami alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/acquired rights).

Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan Mahkamah dalam putusan ini, permohonan para Pemohon, baik dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang terhadap UUD 1945 tidaklah cukup beralasan, sehingga permohonan diputuskan ditolak.

7. Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (PDF).

• “Conditionally Constitution bagi UU SDA” .

Putusan in merupakan putusan pengujian formil dan materiil UU SDA. Dalam pengujian formil, para pemohon mendalilkan prosedur pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan fakta dalam persidangan, Mahkamah berpendapat bahwa proses pembentukan UU SDA telah sesuai dengan prosdur pembentukan undang-undang, dan tidak menemukan adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah juga berpendapat meskipun hanya Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 yang dicantumkan dalam konsiderans “mengingat” UU SDA, hal tersebut tidak menyebabkan secara formil UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. Maka permohonan untuk melakukan pengujian formil terhadap UU SDA tidak cukup beralasan sehingga harus ditolak.

Dalam pengujian materiil, pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk melakukan pengujian materiil sebanyak 19 Pasal UU SDA dan di samping itu juga terdapat pemohon yang mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian terhadap falsafah yang mendasari UU SDA. Sebelum melakukan pengujian Pasal-Pasal UU SDA yang dimohonkan, Mahkamah menyampaikan dasar-dasar pemikiran yang digunakan dalam pengujian Pasal-Pasal UU SDA.

Fungsi air memang sangat perlu bagi kehidupan manusia dan dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang penting sebagaimana kebutuhan makhluk hidup terhadap oksigen. Akses terhadap pasokan air bersih telah diakui sebagai hak asasi manusia yang dijabarkan dalam Piagam pembentukan World Health Organization 1946, Article 25 Universal Declaration of Human Rights, Article 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan Article 24 (1) Convention on the Right of Child (1996).

Pengakuan akses terhadap air sebagai HAM mengindikasikan dua hal, yaitu pengakuan terhadap kenyataan air sebagai kebutuhan yang penting bagi hidup manusia, dan perlunya perlindungan atas akses untuk mendapatkan air bagi setiap orang. Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak atas air menjadi hak yang tertinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia. Sebagaimana HAM lainnya, posisi negara terkait dengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh HAM adalah negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Maka menjadi keniscayaan bagi negara untuk campur tangan guna melakukan pengaturan yang tujuannya agar hak asasi manusia tersebut dapat dihormati, dilindungi dan dipenuhi.

Para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan air dalam ketentuan UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3). Dengan demkian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan bathin.

Apabila penghormatan terhadap hak asasi atas air ditafsirkan sebagai tidak diperbolehkannya negara untuk mencampuri urusan air warga negara, maka akan timbul banyak konflik perebutan untuk mendapatkan air. Perlindungan terhadap hak asasi atas air tidak hanya menyangkut terlindunginya hak yang telah dinikmati seseorang dari pelanggaran oleh orang lain, tetapi juga menjamin kepastian harus benar-benar dapat dinikmati. Perlindungan hak dalam aspek ini tidak dapat dipisahkan dengan pemenuhan terhadap hak yang diakui.

Tiga aspek hak asasi yang harus dijamin oleh negara, yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi harus juga dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena secara aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang tujuannya untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.

Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pengairan untuk pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri juga mempunyai andil yang penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan menjadi factor yang penting bagi manusia untuk dapat hidup secara layak. Pengaturan mengenai sumber daya air untuk keperluan sekunder merupakan sebuah keniscayaan pula. Oleh karenanya, pengaturan sumber daya air tidak cukup hanya menyangkut pengaturan air sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga perlu diatur pemanfaatn sumber daya air untuk keperluan sekunder yang tidak kalah pentingnya bagi manusia agar dapat secara layak. Kehadiran undang-undang yang mengatur kedua hal tersebut sangat relevan.

Berdasarkan pertimbanga-pertimbanagn yang dikemukakan dalam putusan ini, Mahkamah berpendapat UU SDA telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Apabila Undang-undang SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengajuan kembali (conditionally constitutional).

Konsep hak guna air ini sesuai dengan konsep air sebagai res commune yang tidak menjadi objek harga secara ekonomi. Hak guna air mempunyai dua sifat. Pertama, pada hak guna pakai hak tersebut bersifat in persona. Hal dimaksud disebabkan hak guna pakai adalah pencerminan dari hak asasi, oleh karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang sifatnya tak terpisahkan. Kedua, pada hak guna usaha air adalah hak yang semata-mata timbul dari izin yang diberikan oelh Pemerintah yang terikat oleh kaidah-kaidah perizinan. Mahkamah berpendapat meskipun UU SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke tangan swasta.

Selanjutnya, dalil pemohon antara lain adalah UU SDA menyebabkan komersialisasi terhadap air karena manganut prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidak bersifat komersial.

Setelah mempertimbangkan keseluruhan permohonan Pemohon, amar putusan ini menyatakan menolak permohonan para Pemohon. Terhadap putusan ini Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.A Mukthie Fadjar, S.H, M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mempunyai pendapat berbeda.

8. Putusan Peraka Nomor 009-014/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (PDF).

• “Notaris sebagai Pejabat Umum (Public Officer)”.

Dalam permohonan pegujian formil, para pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN) tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Peraturan) terutama Pasal 5 dan Pasal 6 UU Peraturan.

Mahkamah berpendapat bahwa tujuan diundangkannya UU Peraturan adalah agar proses pemebentukan undang-undang secara substansial bersesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 20A dan Pasal 21 UUD 1945, dan secara teknis memenuhi syarat sebagai undang-undang yang baik. Selain menjabarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, UU Peraturan juga memuat petunjuk atau pedoman tentang teknis penyusunan undang-undang yang baik, dengan menetapkan cara dan metode yang pasti dan baku (standar). Dengan demikian, suatu undang-undang yang tidak memenuhi persyaratan teknsi pembentukan undang-undang yang baik (behoorlikje wetgeving) tidak dengan sendirinya secara formil bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam permohonan pengujian materiil UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon Perkara 009, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 15 ayat (2) huruf g, Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) juncto Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat (1) UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, para Pemohon Perkara 014 mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945.

Pertimbangan hukum Mahkamah antara lain menyatakan bahwa notaris adalah suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public official) yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah sebagaimana diatur dalam BAB III UU JN. Oleh karena itu menurut Mahkamah memang seharusnya organisasi notaris berdiri sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer) dan dipersyaratkannya organisasi notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) merupakan hal yang sudah semestinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan Pasal 1 angka 5 UU JN tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pmeohon mengenai hal ini tidak cukup berlasan.

Pasal 67 UU JN menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tentang hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Para Pemohon mengkhawatirkan objektifitas perlakuan para notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas terhadap notaris yang mempunyai pertentangan kepentingan dengan notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas.

Mahkamah menilai kekhawatiran para Pemohon tentang objektifitas anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang karena hanya berjumlah 3 orang, sedangkan Majelis Pengawas berjumlah 9 orang, sehingga tidak mungkin memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU JN, pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) UU JN menyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengawasan menteri membentuk Majelis Pengawas. Majelis Pengawas bukan subordinasi notaris, melainkan lembaga yang bertugas membentu menteri untuk melakukan pengawasan atas notaris. Maka wajar jika Majelis Pengawas mendapat pelimpahan sebagian wewenang menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU JN.

Para Pemohon juga mendalailkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) JN tidak melarang bagi setiap notaris untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Namun mereka harus berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, karena notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara dalam rangka melayani kepentingan masyarakat.

Mahkamah menilai bahwa notaris merupakan organ negara dalam arti luas. Oleh karena itu negara berkepentingan akan adanya wadah tunggal organisasi notaris. Sebagai perbandingan, seperti dikemukakan oleh Pemerintah maupun Pihak Terkait (INI), hampir semua negara menganut adanya satu wadah organisasi notaris.

Dalam permohonan pengujian UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menilai bahwa pengaturan penggunaan cap/stempel yang memuat lambang negara oleh notaris dalam undang-undang, sementara penggunaan lambang negara pejabat negara diatur hanya dalam Peraturan Pemerintah adalah tidak layak. Terhadap penilaian para Pemohon tentang ketidaklayakan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu hanya merupakan penilaian subyektif para Pemohon yang tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon ditolak.

9. Putusan Perkara Nomor 015/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (PDF).

• “Kepastian Hukum Bagi Kurator”.

Pemohon dalam perkara ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan, perselisihan yang disebabkan oleh adanya bantahan suatu pihak di mana perselisihan tersebut tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas, maka Pemohon selaku kurator perlu mengajukan perselisihan ini ke pengadilan. Namun, dengan adanya ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan beserta penjelasannya, Pemohon selaku kurator tidak memperoleh kepastian hukum tentang pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut, apakah Pengadilan Niaga atau Pengadilan Negeri.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam rumusan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, dari segi struktur tata bahasa, terkandung makna bahwa Hakim Pengawas tetap memiliki kewenangan untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih sekalipun persilisihan itu telah diajukan ke pengadilan (dengan huruf “p” kecil). Adanya kata-kata “telah diajukan” jelas menunjukan bahwa pengadilan yang dimaksudkan di sini bukan Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, kewenangan Hakim Pengawas untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih tidaklah hilang dengan alasan perselisihan itu telah diajukan ke “pengadilan”. Dalam perngertian tersebut tentu menjadi tidak logis jika “pengadilan” dalam rumusan Pasala dimaksud diartikan sebagai Pengadilan Niaga.

Jika usaha mendamaikan oleh Hakim Pengawas tersebut ternyata tidak berhasil, sedangkan perselisihan dimaksud haruslah mendapat pernyelesaian agar proses beracara di Pengadilan Niaga dapat berjalan, maka Hakim Pengawas memerintahkan kepada pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Niaga. Jadi, dalam hal ini berlaku prosedur renvoi (renvoi procedure), sehingga kata “pengadilan” dalam anak kalimat Pasal 127 ayat (1) ditulis “Pengadilan” (dengan huruf “P” kapital).

Sedangkan penulisan kata “pengadilan” yang ditulis dengan huruf “p” kecil pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi, “… Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan,” menurut Mahkamah, adalah kekurangcermatan penulisan (clrecial error) pembentukan undang-undang di mana kata “pengadilan” dalam anak kalimat dimaksud seharusnya menggunakan huruf “P” kapital karena yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga, sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan.

Meskipun Mahkamah berpendapat telah terdapat kekurangcermatan (clerical error) dalam penulisan kata “pengadilan” pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, namun kekurangcermatan tersebut tidak sampai mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan dan Penjelasannya tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dipahami sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut.

Putusan ini juga memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap permohonan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6). Berdasarkan keseluruhan pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga dinyatakan ditolak. Dalam putusan ini terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

Thursday, November 16, 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian I): "Niet Ontvankelijk Verklaard"

PUTUSAN MENYATAKAN PERMOHONAN TIDAK DAPAT DITERIMA (N.O.)

Guna memudahkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui putusan yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005, berikut saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan yang dikategorikan berdasarkan amar putusannya. Semoga hal yang kecil ini dapat memberikan pencerahan konstitusi bagi kita semua.

1. Putusan Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman (PDF).

“Kesalahan Kepentingan Konstitusional oleh Pemohon”

Pemohon dalam perkara ini adalah seorang advokat, yaitu Melur Lubis. Pemohon dalam permohoNomornannya mendalilkan dirinya telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakuknya Undang-undang Nomor 4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan dalam ayat tersebut telah menempatkan Ketua Pengadilan sebagai pimpinan dan pengawas pelaksanaan putusan pengadilan yang menimbulkan kekuasaan absolute. Kekuasaanabsolut ini menyebabkan timbulnya perbuatan sewenang-wenang dengan berbuat melebihi kekuasaanya seperti terjadi dalam pelaksanaan putusan perkara Nomor. 4080K/PDT/1998 juncto Nomor. 385/PDT/1997/PT.MDN juncto Nomor. 16/PDT-G/1997/PN.PsP.

Dari alat bukti maupun keterangan Pemohon yang diberikan di depan siding Mahkamah terungkap bahwa kerugian konstitusional tidak dialami oleh pribadi Pemohon, melainkan dialami oleh Ny. Badriah Mawar Harapah yang diterangkan telah meninggal dunia dan dilanjutkan oleh ahli warisnya H. Muchtar Siregar. Mk berpendapat bahwa yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya bukanlah menyangkut konstitusionalitas Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga bukan kewenangan MK untuk menilainya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat tidak terdapat kepentingan konstitusional Pemohon secara pribadi yang dirugikan sebagaimana yang didalilkan. Dengan demikian, secara pribadi Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman, oleh karenanya Pemohon dipandang tidak memiliki legal standing sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

2. Putusan Perkara Nomor 013/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (PDF).

“Ekses Alat Angkut ‘Illegal Logging’ Bukan Persoalan Konstitusionalitas UU”

Pemohon dalam perkara ini adalah DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Pemohon menyatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, khususnya anak kalimat “maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti”. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hurf j, khususnya kata “kapal”; dan Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya, khususnya penjelasan kata “termasuk alat angkutnya” dan kata “kapal”.

MK memutuskan bahwa kerugian yang dialami Pemohon sejak lahirnya UU Kehutanan secara umum bukan disebabkan oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan Penjelasannya serta Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya dari UU Kehutanan yang bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan uraian Pemohon dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan, kerugian tersebut terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di lapangan yang dilakukan oleh para aparatur pengeak hukum (Polisi Kehutanan, POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum di lapangan terdapat ekses yang merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak pemohon, namun hal itu tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian MK berpendapat bahwa adanya kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak terbukti.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, MK berpendapat tidak terdapat kerugian hak konstitusionalitas Pemohon oleh pemberlakuan UU Kehutanan sehingga pemohon harus dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.

3. Putusan Perkara Nomor 012/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang APBN 2005 (PDF).

“Anggaran Pendidikan Tahun 2005”

Pemohon dalam perkara ini terdiri dari perorangan warga negara atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan yang sama tersebut karena kelompok orang ini bergerak di dunia pendidikan yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya UU APBN tahun 2005 karena alokasi anggaran pendidikan tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Para Pemohon mendalailkan UU Nomor. 36 Tahun 2004 yaitu UU APBN 2005 bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidiakan nasional”.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 di samping berhubungan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan juga berkaitan dengan APBN, maka MK memandang perlu untuk membahas pula aspek konstitusionalitas dari APBN. Dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan UU. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Namun, pemnbuatan UU APBND berbeda dengan pembuatan UU yang lain, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, sedangkan pada UU yang lain pengujian RUU merupakan kewenangan DPR meskipun dapat juga diajukan oleh Presiden. UU APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan UU lain yang tidak setiap tahun, dan apabila UU APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan.

Untuk menilai permohonan, MK juga perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tidak memberi batasan apa yang termasuk dalam “anggaran pendidikan”. Dalam usaha untuk menentukan komponen anggaran pendidikan, atas persetujuan bersama Presiden dan DPR telah ditetapkan bahwa yang termasuk dalam anggaran pendidikan adalah pendidikan yang langsung dinikmati oleh masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dana untuk pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasa. Dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, maka secara tiak langsung akan menaikkan jumlah Nomorminal anggaran pendidikan dibandingkan apabila dalam perhitungan anggaran pendidikan tersebut dimasukkan komponen gaji pendidik dan pendidikan kedinasan.
2. MK memutus permohonan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 yang pada amarnya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya pemenuhan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tentang alokasi anggaran 20 persen tidaklah dilakukan secara bertahap. Adanya alokasi anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Meskipun UU APBN telah nyata bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan pengujian UU APBN, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara. Selain itu, dapat pula mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN tahun sebelumnya (tahun 2004) lebih kecil jumlahnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, MK berpendapat bahwa UU APBN tidak bisa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam amar putusannya MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

Meskipun setuju dengan amar putusan, namun ada dua orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda), yakni Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., serta dua orang Hakim Konstitusi lainnya yakni Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., dan SoedarsoNomor, S.H. menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda).

4. Putusam Perkara Nomor 016/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang (PDF).

“Jarak Ibukota Kabupaten/Kota Jauh, Konsekuensi Logis Pemekaran Wilayah”

Permohonan Perkara ini adalah satu orang yang tergolong sebagai perorangan Warga Negara Indonesia. Minhad Ryad adalah seorang warga Kalimantan Barat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat dibentuknya Kota Singkawang berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang. Pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji keberlakuan UU tersebut.

Salah satu bentuk kerugian konstitusional Pemohon setlah diberlakukannya UU tersebut, yaitu bahwa jarak ke ibukota kabupaten menjadi lebih jauh. Sekalipun secara factual memang telah terjadi, kendatipun Pemohon dalam kualifikasi sebagai perorangan Warga negara Indonesia memang diakui memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengujian UU Pembentukan Kota Singkawang terhadap UUD 1945, tetapi tidak ada satu pun hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakuna UU tersebut. Sehingga, Pemohon tidak dapat dinyatakan memiliki kedudukan hukum legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon. Oleh sebab itu, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Wednesday, November 15, 2006

Penelitian Hukum: Pengecualian Terhadap Hak Cipta

ANALISA PENGECUALIAN TERHADAP HAK CIPTA:
Suatu Perbandingan Hukum pada UU Hak Cipta India
Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: x + 57 halaman + Lampiran
Waktu: Oktober 2006
Bahasa: Inggris
ABSTRAKSI:
Dalam beberapa kurun tahun terakhir ini, Intellectual Property Right (IPR) atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) telah mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat dunia. Dengan terus berubahnya kebutuhan masyarakat dari masa ke masa, maka pembahasan akan HaKI juga semakin meluas, bahkan hal tersebut telah menjadi sangat krusial dalam suatu subyek pengembangan ilmu hukum secara tersendiri yang sangat patut untuk terus dikaji.

Menurut Black’s Law Dictionary, “copyright” atau “hak cipta” mempunyai arti sebagai hak atas transkrip, imitasi, reproduksi, untuk menjual, untuk mempublikasikan, untuk mencetak dari suatu karya asli. Kata “copyright” berasal dari istilah “copier of words”. Istilah ini digunakan pertama kali pada sekitar tahun 1958. Kata “copy” atau salinan juga telah lama digunakan yaitu sejak tahun 1485 yang berarti naskah atau bahan lainnya yang telah dipersiapkan untuk dicetak. Hak Cipta ini biasa juga diartikan sebagai hak ekslusif yang mengatur untuk: menjual dan mengkomersialisasikan hak atas ciptaan intelektual, terkait dengan hal pencetakan, litografi, produksi grafik, fotografi, cinematografi, rekam gramafon, transmisi siaran stasiun atau bentuk lainnya dalam hal reproduksi dan pengandaan.

Hak cipta melingkupi pengetahuan di bidang ekonomi dan sosial budaya yang sangat luas, di mana kajiannya juga diperluas terhadap bidang sastra, pendidikan, informasi, hiburan, dan media. Meskipun hak cipta terkadang dikatakan relatif dibanding dengan sifatnya yang absolut tetapi monopoli atas hal tersebut masih dimungkinkan untuk terjadi. Sistem yang telah ada saat ini bukan hanya berupaya mengendalikan hasil ciptaan yang sama tetapi juga mendorong terbentuknya hasil ciptaan lainnya yang sejenis. Tindakan monopolistik, meskipun terkait dengan hasil yang sama tetapi tetap memiliki pembatasan-pembatasan tertentu, dimana hal tersebut dibangun pada:

  1. Kebebasan dari pencipta yang independen untuk memanfaatkan seluruh hasil ciptaanya.
  2. Fakta bahwa perlindungan hanya dapat diberlakukan pada hasil dari sebuah ciptaan dan bukan pada gagasan itu sendiri.
  3. Ketentuan mengenai pengecualian atau “fair dealing”, berita, pengajaran dan penelitian, serta hal-hal lain yang dibolehkan oleh hukum.
  4. Sistem dari kewajiban untuk memperoleh perizininan.
  5. Biaya dan hambatan dalam melaksanakan hak-hak ekslusif.

Pembatasan yang sangat signifikan dalam hak ekslusif dari pemegang suatu hak cipta terlatak pada wacana pengecualian yang biasa dikenal dengan istilah “fair dealing” atau “fair use”. Doktrin ini acapkali sulit untuk dimengerti dibandingkan dengan seluruh ketentuan hukum dalam hak cipta. Doktrin tersebut mengizinkan untuk menggunakan atau menggandakan hasil ciptaan orang lain dengan tetap mempertahankan sifat yang adil (“fair”). Sejak abad ke-19, pengadilan telah memulai mengembangkan prinsip-prinsip pembebasan berbagai bentuk pelanggaran penggunaan penggandaan hak cipta sebagai bentuk “fair use” atau pengeculian yang diperbolehkan oleh hukum.

Pasal 9 ayat (2) Konvensi Berne memberikan kewenangan terhadap legislasi nasional untuk mengizinkan perlindungan suatu reproduksi dalam hal-hal tertentu, selama terpenuhinya 2 (dua) kondisi khusus, yaitu: (a) reproduksi tidak menyebabkan konflik dengan pemanfaatan dari suatu hasil ciptaan; dan (b) setiap reproduksi tidak menyebabkan hilangnya legitimasi sang pencipta secara wajar.

Konsep yang diterapkan oleh India berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan doktrin “fair use” atau pengecualian hak cipta secara general. India juga berbeda dengan ‘civil system’ yang diterapkan di Eropa ataupun Indonesia sekalipun, di mana negara-negara tersebut memberikan pengertian secara umum mengenai pengecualian hal cipta atas nama pribadi. Konsep demikian dianggap berbeda sebab pengertian pengecualian seperti yang diterapkan oleh banyak negara masihlah bersifat sangat luas dan kurang tepat. Suatu tindakan pelanggaran hak cipta dengan pembelaan berdasarkan alasan pengecualian biasanya akan sampaipada putusan yang menyatakan ditolaknya suatu permohonan. Namun bagaimanapun juga, fleksibilitas mengenai pendekatan pengertian pengecualian secara luas, dapat juga membawa dampak positif untuk menjaga konsep hukum tentang hak cipta selalu ‘up to date’ dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan hal-hal baru dalam setiap penggunaan hasil ciptaan.

Penelitian hukum ini telah menganalisa mengenai bentuk-bentuk pengecualian dari hak cipta, khususnya terhadap ketentuan yang diatur di dalam UU Hak Cipta India. Walaupun telah terdapat beberapa bahan yang mengulas mengeni pengecualian terhadap Hak Cipta, tetapi biasanya bahan-bahan tersebut tidak secara tuntas menjelaskan mengenai apa yang menjadi konsep dasar ataupun pengertian yang jelas mengenai pengecualian terhadap hak cipta, terkhusus mengenai perkembangan doktrin “fair dealing”. Oleh karena itu, penelitian hukum ini menekankan pada permasalah-permasalahan yang telah disebutkan di atas dengan pendekatan analisa mengenai konsep hukum dari pengecualian terhadap hak cipta, bersama-sama dengan penjabaran berbagai kasus perkara yang telah menjadi yurisprudensi dunia, sehingga dapat kita jadikan sebagai pertimbangan tambahan. Berikut adalah struktur dari penelitian hukum:

ANALYSIS ON EXCEPTIONS OF COPYRIGHT:
A COMPARATIVE STUDY TO INDIAN COPYRIGHT ACT, 1957

ACKNOWLEDGMENT
CONTENTS
TABLE OF CASES
ABSTRACT

CHAPTER I: AN INTRODUCTION
1.1. Historical Background
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Structure of Research Paper

CHAPTER II: LEGAL CONCEPT OF COPYRIGHT
2.1. Introduction of Copyright
2.1.1. Definition of Copyright
2.1.2. Object of Copyright
2.1.3. International Convention and the Statutory
2.1.4. Extension of Copyright and Allied Right
2.2. Nature of Copyright
2.2.1. General
2.2.2 Scope of Copyright
2.2.3 Original Work and Nature of Right
2.3. Author and Ownership of Copyright
2.3.1. The Author an Employee
2.3.2. Commissioned Works
2.3.4. Miscellaneous
2.4 Infringement of Copyright
2.4.1. General
2.4.2. Definition of Infringement and Infringing Copy
2.4.3. Copyright Protects and the Essential of Infringement
2.4.4. Factors Considered
2.4.5. Causal Connection and Indirect Copying
2.4.6. Authorisation of Infringement
2.4.7. Acts Not Constituting Infringement

CHAPTER III: EXCEPTIONS OF COPYRIGHT: FAIR DEALING
3.1. Exception and Limitations
3.1.1. International Rules
3.1.2. Indian Copyright Act, 1957
3.2. Legal Concept of Fair Dealing
3.2.1. Frame Work
3.2.3. Phrase of “Fair Dealing”
3.2.4. Phrase of “for the Purpose of”
3.2.4.1. Private Use: Including Research
3.2.4.2. Criticism and Review: Reporting Current Events
3.2.5. Factors of Fair Dealing
3.2.5.1. Purpose nad Character of Use
3.2.5.2. Nature of Copyrighted Work
3.2.5.3. Amount and Substantiality of the Portion
3.2.5.4. Effect upon Potential Market or Value

CHAPTER IV: OTHER EXCEPTIONS OF COPYRIGHT
4.1. Exception of Computer Programme
4.1.1. Temporary and Back Up Copies
4.1.2. Non Commercial Personal Use
4.1.3. Reverse Engineering
4.2. Exceptions for Performance
4.3. Exceptions for Library, Educational and Official Use
4.4. Exceptions for Official or Government Proceedings
4.5. Exceptions in State Produced Materials
4.6. Exceptions in Media Reporting
4.7. Exceptions for Artistic Work
4.8. Exceptions for Work of Architecture
4.9. Exceptions for Religious Ceremony or Official Ceremony
4.10. Exceptions in Broadcast Reproduction

CHAPTER V: CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
APPENDIX

Penelitian ini penting untuk dibaca oleh siapapun juga, bukan sekedar para praktisi hukum semata, sebab selain kita dapat memperbandingkannya dengan UU Hak Cipta di negara kita masing-masing, juga sekaligus memperoleh pencerahan agar terhindar dari jeratan hukum atas penyalahgunaan Hak Cipta. Bagi anda yang berminat untuk mendapatkan penelitian ini bisa mengirimkan permohonan kepada Peneliti melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengisi pada bagian kolom komentar atau buku tamu yang telah disediakan.

Selamat Membaca!

Hak Veto, Mesin Perang Amerika Serikat

HAK VETO, DEWAN KEAMANAN DAN INDONESIA
Pan Mohamad Faiz*
Note: Dimuat pada Harian Duta Masyarakat.
Sejarah kelam kembali mencatat ketidakberdayaannya Dewan Keamanan PBB mengatasi konflik yang terjadi di Timur-Tengah. Inilah kali keduanya pada tahun yang sama Amerika Serikat melalui juru bicaranya, John Bolton, memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan yang mengecam serangan Israel di Gaza yang sedikitnya telah menewaskan 18 warga sipil, termasuk anak-anak dan beberapa perempuan. Dengan demikian, Amerika kini telah memperpanjang rekor penggunaan hak vetonya guna membendung tindakan internasional terhadap kebrutalan agresi Israel menjadi sebanyak 41 kali dari 82 hak veto yang pernah dikeluarkannya selama ini (Global Policy Forum, 14/10/06).

Kredibilitas Dewan Keamanan kini semakin dipertanyakan, khususnya mengenai keabsahan penggunaan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) anggota tetap Dewan Keamanan. Sinyalemen kuat tersebut setidaknya datang dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab yang selama ini merasa tidak pernah memperoleh tempat dalam menyampaikan suaranya. Dampak buruk dari peristiwa ini dipastikan akan membawa angin segar bagi pihak Israel bahwa mereka mempunyai legitimasi perlindungan atas hukum guna melanjutkan pembantaian warga palestina melalui agresi-agresi berikutnya.

Reformasi Hak Veto

Penggunaan sistem veto sejak awal pembentukannya memang digunakan untuk melindungi kepentingan para pendiri PBB, dimana hal tersebut hanya diperuntukan bagi negara-negara yang memenangkan Perang Dunia II (A. Mohammed, 2003). Pada saat pendiriannya di tahun 1948, telah ditentukan bahwa perwakilan dari Inggris, China, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Perancis akan menjadi anggota tetap Dewan Kemanan yang kemudian hak veto tersebut melekat padanya berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.

Hingga saat ini, problematika hak veto selalu membayangi legitimasi dari Dewan Kemanan PBB. Dengan “mengantongi” hak veto, maka anggota tetap setiap saat dapat mempengaruhi terjadinya perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan negara maupun sekutunya. Sebagai contoh, Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya lebih dari anggota tetap lainnya sejak tahun 1972, khususnya terhadap resolusi yang ditujukan bagi Israel. Terlebih lagi sejak 26 Juli 2002, negara adidaya tersebut mengumandangkan doktrin Negroponte, dimana menyatakan bahwa Amerika Serikat akan selalu siap menentang setiap resolusi Dewan Kemanan yang berusaha untuk menghukum Israel. Inilah salah satu kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto.

Di sisi lain, para perwakilan negara-negara di PBB juga acapkali mengungkapkan bahwa di antara anggota tetap selalu saling mengancam untuk menggunakan hak veto-nya dalam suatu forum konsultasi tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali memperdulikan ada-tidaknya anggota tidak tetap lainnya. Praktek inilah yang biasa disebut dengan istilah “closet veto” (Celline Nahory, 2004).

Oleh karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sistem dan struktur yang ada pada Dewan Keamanan saat ini haruslah segera direformasi. Sejak pertengahan 90-an, The Non-Aligned Movement telah berungkali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan hak veto, sebab hal itu sama saja memberikan jaminan atas ekslusifitas dan dominasi peran negara angota tetap Dewan Keamanan. Walaupun anggota tetap mengakui bahwa hak veto seharusnya merupakan upaya terakhir, tetapi faktanya mereka menggunakan hak veto tersembunyi secara berulang kali. Penyalahgunaan hak istimewa tersebut pada akhirnya justru menimbulkan kekacauan sistem di dalam tubuh Dewan Keamanan, membuat semakin tidak demokratis, jauh dari sebuah arti legitimasi, dan seringkali efektivitasnya dirasakan sangat menyedihkan. Oleh karenanya, salah satu tuntutan reformasi tersebut yaitu berupaya untuk menghilangkan pemberian hak veto yang dianggap sebagai akar permasalahan utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan selama ini. Namun hambatan utamanya adalah dapat dipastikan bahwa negara anggota tetap akan senantiasa melakukan penolakan setiap adanya keinginan reformasi dari sistem pengambilan suara yang telah ada, sebab memenuhi tuntutan reformasi tersebut sama saja melempar posisi mereka jauh menjadi tidak diperhitungkan lagi dalam percaturan politik global.

Tantangan Indonesia

Melihat kondisi seperti ini, nampaknya Indonesia yang baru saja terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, akan menemui jalan terjal untuk berperan banyak dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya terhadap pasang-surutnya konflik yang terjadi di wilayah Timur-Tengah. Padahal, peran Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB akan sangat diharapkan oleh negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia dipandang sebagai wakil dari negara berkembang dan juga wakil dari negara-negara muslim yang tergabung dalam OKI, mengingat latar belakang negara Indonesia adalah sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Dua tahun masa keanggotaan bukanlah waktu yang cukup lama, sebab meninjau pengalaman negara-negara anggota tidak tetap selama ini, setidaknya dibutuhkan waktu kurang lebih satu tahun untuk mendapatkan “sense and feeling” untuk bergerak di Dewan Keamanan. Terlebih lagi jika harus bersuara dalam forum pertemuan ataupun berdialog langsung dengan lima negara anggota tetap lainnya yang notabennya sudah puluhan tahun mempunyai pengalaman bersilat lidah dalam forum yang tetap dan sama itu.

Dalam dua tahun kedepan jua lah dapat dipastikan menjadi batu ujian bagi Indonesia dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh negara-negara anggota PBB selama ini. Kiranya secepat mungkin Indonesia harus membangun jaringan dengan negara-negara anggota tidak tetap lainnya, termasuk terhadap publik internasional yang selama ini selalu memberikan dukungan bagi negara-negara independen sekelas Indonesia. Terkait dengan rencana kunjungan Bush ke Indonesia, terlepas dari jadi atau tidaknya, semoga hal tersebut tidak ikut menjinakan integritas dan independensi Indonesia di forum Dewan Keamanan, namun justru memberikan sinyalemen kuat kepada dunia bahwa ke depannya peran Indonesia benar-benar sangat diperhitungkan dalam pentas internasional, khususnya oleh “veto power” seperti Amerika Serikat sekalipun.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi, New Delhi.

Friday, November 10, 2006

Pendidikan dan Instrumen Hukum

MEMBANGKITKAN “POLITICAL WILL” PEMERINTAH
DI SEKTOR PENDIDIKAN MELALUI INSTRUMEN HUKUM
Oleh: Pan Mohamad Faiz
“I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation.
If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.
Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

A. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Dalam sebuah konteks tatanan kehidupan masyarakat yang berdemokrasi, buah hasil dari demokrasi tidak akan dapat dirasakan apabila kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengatasi berbagai pemasalahan pendidikan. Sebab sesungguhnya, inilah yang justru menjadi salah satu tujuan utama masyarakat demokrasi, di mana nilai-nilai pendidikan diharapkan mampu merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat.
Berbagai instrumen hukum di tingkat internasional telah diciptakan untuk memperkuat pemenuhan hak masyarakat guna memperoleh pendidikan sebagai hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia. Beberapa instrumen internasional yang cukup penting tersebut, diantaranya yaitu: Pembukaan dan Pasal 26 dari Universal Declaration of Human Right (1948), Pasal 3 Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (1953), Pasal 13 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), Pasal 10 Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (1979), serta Convention Against Discrimination in Education (1960).
Selain memainkan peranan penting dalam pengembangan individu, pemenuhan pendidikan juga akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Pendidikan sangat penting bagi perkembangan sumber daya manusia serta pertumbuhan sosial dan ekonomi dari suatu negara. Oleh karenanya, pasca terjadinya reformasi, kini Indonesia telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar atas pendidikan bagi warga negaranya yang secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Tidak hanya sampai sebatas ketentuan konstitusi saja, Pemerintah Indonesia juga memberikan jaminan atas pemenuhan pendidikan melalui perangkat-perangkat hukum di bawahnya, misalnya seperti Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagi Peraturan lainnya yang terkait dengan masalah pendidikan.
Ketentuan legislasi nasional Indonesia di bidang Pendidikan dapat dikatakan sudah sejalan dengan berbagai instrumen hukum di tingkat internasional. Kini yang menjadi pertanyaannya adalah apakah ketentuan tersebut telah mampu dijalankan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah kita selama ini.

B. Kondisi dan Keterpurukan Pendidikan Indonesia

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat dua indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus - CITD 1999).
Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah, termasuk apabila dibandingkan dengan Srilanka sebagai salah satu negara yang terbelakang.
Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

C. Investasi Bangsa Jangka Panjang

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai kapan pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih.
Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.

D. Anggaran Pendidikan dalam Bingkai Hukum

Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang; dan kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.

Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 11% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

D. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan

Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.

Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.

Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD.

Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005, Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara express verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap, faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006.

Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN. Adapun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut:

  1. Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan Iemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.
Bahkan terkait dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007, Pemerintah dan DPR telah mensahkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007 mendatang hanya sebesar 10,3 %. Masihlah teramat jauh dari angka 20% yang telah diamanahkan oleh Konstitusi kita. Oleh karena itu, jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk tindak kesengajaan dan sekaligus pengingkaran kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.

Dengan kata lain, penulis sangat yakin jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka pada tahun-tahun mendatang akan terjadi kembali pelanggaran konstitusi secara berjamaah dan bisa dipastikan akan terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah yang saat ini berkuasa.

E. Problematika Anggaran

Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.

Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas ketidakmampuan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional obligation) dengan menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan kondisi “tragis” bangsa ini adalah hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan tersebut selalu dijadikan dalih. Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).

Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”.

Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien. Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan penundaan untuk “menerbitkan” badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar.

Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya.

F. Political Will

Untuk mengkaji mengenai pelaksanaan kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan, penulis mengajak untuk sekedar melakukan refleksi kembali perjalanan dunia pendidikan dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian.

Lalu bagaimana dengan politik pendidikan Indonesia sekarang ini? Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan, dan anggaran pendidikan. Masih segar juga di ingatan kita, ketika masa kampanye Pemilihan Umum berlangsung beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000 guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik, sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan William Lowe Boyd (1994) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight From Democracy.

Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, sebenarnya institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.

Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek, bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam, baik dari segi ekonomis maupun politis. Kemudian money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.

Negara-negara pada belahan Eropa Barat, melalui Socrates, menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya mereka menilai bahwa intelektualitas adalah nilai pendidikan yang paling tinggi (the intellectual virtues are assigned the highest rank in the hierarchy of virtues). Anita Lie dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” mengemukakan bahwa untuk memajukan dunia pendidikan dibutuhkan suatu komitmen dan kemauan yang kuat dari tampuk kepemimpinan nasional.

Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi negara berkembang terbesar di Asia setelah Jepang dan China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.

Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana seperti media pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dan kemudian menjalankan prioritas program perbaikan mutu pendidikan nasional.

Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi yang total mencapai triliunan rupiah. Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.

G. Respons Yudisial terhadap Pendidikan

Bila kita melakukan perbandingan hukum di beberapa negara maju dan berkembang lainnya, maka kita akan dapat melihat betapa besarnya peran institusi pengadilan dalam mendorong tercapainya kewajiban pemerintah dalam menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Pendapat yang dikemukakan oleh Sheldom Gelman bahwa salah satu fungsi pengadilan adalah sebagai forum untuk mendorong terjadinya tercapainya kebutuhan konstitusi dan legislatif secara berimbang, berarti telah terlaksana dengan baik di negara-negara tersebut.

Salah satu negara yang mempunyai pengadilan dimana kerap mengeluarkan putusan yang memberikan dukungan penuh dan tegas terhadap hak atas pendidikan adalah negara India, negara yang menurut Arend Lijphart termasuk dalam kategori strong judicial review. Doktrin judicial activism yang berkembang pesat di negara tersebut telah mengantarkan para hakim pengadilannya untuk berani mengambil terobosan-terobosan hukum dan memaksa lembaga eksekutifnya, baik itu di tingkat pusat maupun di setiap negara bagiannya, untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya di bidang pendidikan. Pengadilan di India telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan suatu perkara terkait dengan pemenuhan pendidikan dasar bagi masyaraktnya. Beberapa putusan yang cukup terkenal yaitu pada perkara Oliver Brown v. Board of Education dan perkara University of Delhi v. Ram Nath, dimana putusan inilah yang menjadi salah satu cikal bakal bangkitnya pendidikan di seluruh pelosok India.

Berbeda dengan Indonesia, dua kali putusan MK yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan dinyatakan inkonstitusional tidak juga membuat jera pelaku pemerintahan saat ini. Dua kali putusan “kartu kuning” rasanya sudah cukup untuk memperingatkan pemerintah yang telah melakukan pelanggaran konstitusi. Apabila di kemudian hari terjadi kembali judicial review atas UU APBN 2007, yang menurut hemat penulis kemungkinan besar akan terjadi, maka kini saatnya bagi MK untuk mengeluarkan putusan “kartu merah” atas kesengajaan Pemerintah untuk ketiga kalinya yang lagi-lagi menetapkan anggaran pendidikan di bawah angka minimum 20 persen sebagaimana telah diamanahkan dalam UUD 1945.

Menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak cukup serius dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan harus dipandang tidak sesuai dengan moral konstitusi (morality of constitution) maupun semangat UUD 1945 (the spirit of constitution). Putusan tegas dan jelas harus dijatuhkan untuk membangkitkan dan menggugah kesadaran seluruh pelaku pemerintahan akan arti pentingnya pendidikan guna menyelamatkan anak-anak bangsa yang kelak akan menjadi asset utama bagi perkembangan Indonesia di masa yang akan datang. Jika ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan putusan tersebut akan menjadi tonggak sejarah bangkitnya Pendidikan Indonesia dari keterpurukannya selama ini.
Efek lain yang akan terjadi bila MK memutuskan demikian, maka setidaknya akan mengalir gelombang kesadaran berkonstitusi di tengah-tengah masyarakat, dimana mereka akan kembali berupaya untuk memberdayakan instrumen hukum yang ada di setiap daerahnya masing-masing secara maksimal, guna “menggugat” hak dasar pendidikan setiap individu.
Sebab sejauh ini, menurut penulis, masyarakat hanya terpaku pada apa yang sedang diperjuangkan oleh sekelompok “pejuang pendidikan” di tingkat pusat, khususnya di arena persidangan Mahkamah Konstitusi. Padahal upaya untuk memperjuangkan pendidikan melalui instrumen hukum dapat pula dilakukan dengan jalan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke hadapan Mahkamah Agung, dalam hal ini yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang menjadi turunan dari UU SISDIKNAS dianggap bertentangan dengan UU SISDIKNAS itu sendiri.

Peluang ini sangatlah terbuka lebar melalui Pasal I perubahan Pasal 31 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU SISDIKNAS telah terdapat berbagai hak warga negara guna memperoleh pendidikan yang bermutu, hak pengajar dan tenaga pendidik, tanggung jawab keuangan pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan, dan lain sebagainya. Ketentuan judicial review seperti ini dapat pula diterapkan terhadap UU yang lainnya, tidak sebatas pada UU SISDIKNAS saja. Jika kesadaran akan hak konstitusional ini berkembang di berbagai wilayah Indonesia, niscaya seluruh elemen pemerintah daerah dan masyarakatnya akan bersatu padu dan berlomba guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu pengadilan harus selalu berupaya memperhatikan berbagai instrumen dan konvensi internasional yang berlaku dan mempergunakannya sebagai rujukan terhadap perkara yang diperiksa apabila dalam praktiknya terdapat ketidakkonsekuenan antara norma internasional dan hukum dalam negeri. Berbagai dokumen internasional seperti Convention on the Rights of the Child, di mana salah satu penekanannya dilakukan dalam hal pemenuhan pendidikan dasar dan sebagai negara penandatangan maka sudah sangat jelas dan tanpa ada lagi keraguan bahwa pemerintah Indonesia juga berada di bawah kewajiban hukum internasional untuk melaksanakan ketentuan dimaksud guna memberikan pendidikan dasar bagi siapa pun juga dalam kerangka pemenuhan fundamanetal right warga negaranya.

Mengutip pendapat Holmes, Hakim Agung Amerika, bahwa ketentuan konstitusi bukanlah sekedar rumusan matematika ang membentuk suatu susunan. Konstitusi adalah organ institusi yang hidup. Ia mempunyai peranan yang teramat penting dan dibentuk tidak semudah merangkai kata-kata dari sebuah kamus, tetapi dengan memperhatikan secara benar keaslian dan pertumbuhannya setiap saat. Oleh karena itu, sudah saatnya institusi yudisial mampu membuat konstitusi kembali menjadi milik rakyat yang sesungguhnya dan kemudian digunakan untuk mengatur pemerintahan.

H. Post Scriptum

Dari deskripsi di atas, dapat dikatakan kinerja pendidikan nasional Indonesia memang masih memprihatinkan. Hal itu salah satunya terjadi dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, beberapa diantaranya dapat terlihat jelas dari pengalokasian anggaran pendidikan yang rendah dan kurang memadai, manajerial keuangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak kunjung membaik, output SDM yang kurang kompetitif, dan sebagainya.

Sektor pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan, maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebab, apabila seruan hanya ditujukan untuk terpenuhinya dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan besar-besaran. Akhirnya, baik anggaran pendidikan yang besar maupun kecil sama-sama tidak memperbaiki mutu pendidikan nasional, juga tidak mengurangi beban masyarakat.

Demikian pula diharapkan peran lembaga yudisial dapat berbuat banyak untuk menyadarkan pemerintah memenuhi kewajiban konstitusinya, sebab ketika lembaga eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi memiliki concern penuh terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia, maka kini pelita harapan satu-satunya hanyalah berada di tangan lembaga yudisial, baik itu berasal dari Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, maupun dari Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks ini, kita perlu berlapang dada tanpa rasa malu sebagaimana Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan memajukan pendidikannya, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International, ataupun Malaysia yang pada tahun 1970 belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri, Jepang telah menjadi negara industri terkemuka di dunia, India mampu memainkan peranannya di berbagai tingkatan Internasional, dan Malaysia lambat laun mulai menggeser dan menggantikan peran Indonesia di kawasan Asia Tenggara.

Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa (character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi memajukan pendidikan Indonesia. ۩
BIBLIOGRAPHY:

Prmary Sources:

  • Universal Declaration of Human Right, 1948.
  • Convention Againts Discrimination in Education, 1960.
  • Convention on the Rights of the Child, 1989.
  • International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966.
  • Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
  • UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
  • UU APBN tahun 2005 s/d 2007.
  • Putusan MKRI No. 011-012-026/PUU-III/2005.
  • Oliver Brown v. Board of Education, AIR 1990 SC 2432.
  • University of Delhi v. Ram Nath, AIR, 1963 SC 1873.
  • Etc.

Secondary Sources:

  • Darmaningtyas, Sarana Pendidikan: Potret Buram Wajah Pendidikan, 2003
    Elliot, Mark, The Constitutional Foundations of Judicial Review, Hart Publishing, USA 2003.
  • Greanery, Vinncent, Literary Standards in Indonesia, 1992.
  • Lie, Anita, Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi, 2003.
  • McMahon, Walter W. and Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, Univ. of Illinonis, 2002.
  • Plank, David N. and William Lowe Boyd, Antipolitics, Education, and Institutional Choice: the Flight from Democracy, 2004.
  • Tyagi, B.S., Judicial Activism in India, Srishti Publisher, India, 2000.
  • UNDP, Human Development Report, 2005.
  • UNESCO and The World Bank, Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), 2004.
  • Etc.