Friday, February 29, 2008

Pendidikan dan Konstitusi

PATAHNYA SEMANGAT KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz
Ketua Umum Dewan Pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia di India

Memasuki rencana 100 tahun peringatan lahirnya Boedi Oetomo, dunia pendidikan Indonesia justru dirundung duka. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan “gaji pendidik” sebagai bagian dari rezim anggaran pendidikan dalam APBN, dinilai oleh banyak kalangan akan menghambat laju pendidikan.

Akibatnya kini telah terjadi perubahan formulasi secara besar-besaran, dimana apabila gaji pendidik dimasukkan dalam anggaran pendidikan, maka secara drastis persentase anggaran pendidikan akan naik sebesar 7%. Dengan kata lain, anggaran pendidikan terdongkrak menjadi 18% dari total APBN 2007 yang lalu. Tatkala besaran ini telah mendekati angka 20% sebagai kewajiban konstitusi (constitutional obligation), namun dalam kenyataannya belum banyak terjadi perubahan yang signifikan pada lingkungan pendidikan Indonesia.

Tentunya kita juga menyadari bahwasanya carut-marut dunia pendidikan Indonesia bukan sekedar terletak pada anggaran semata. Namun demikian, kita tidak dapat memungkiri bahwa anggaran pendidikan memegang peranan sangat penting dalam memacu peningkatan mutu dan kualitas di bidang pendidikan. Terlebih lagi, bangsa Indonesia masih belum mampu keluar dari permasalahan mendasar yaitu pemenuhan pendidikan tingkat dasar sebagai fundamental rights setiap warga negara yang telah dijamin secara penuh di dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Anggaran ‘Poco-Poco’

Kepentingan dua pemohon yang berprofesi sebagai tenaga pendidik yang beranggapan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dikarenakan gajinya tidak akan ikut bertambah apabila anggaran Pendidikan dalam APBN/APBD ditingkatkan, hemat penulis sangatlah kekanak-kanakan. Bahkan di kalangan para pendidik itu sendiri, pandangan pemohon nyata-nyata ditolak secara tegas. Penolakan itu setidaknya datang dari PGRI dan ISPI sebagai dua organisasi besar yang mewadahi para guru dan pendidik di seluruh Indonesia.

Ketidakcermatan penghitungan pun terjadi, dimana kenaikan anggaran pendidikan dalam APBN/APBD sebenarnya juga tidak secara otomatis berdampak langsung pada kenaikan gaji dan tunjangan guru atau dosen. Sebab, persoalan tersebut adalah kebijakan tersendiri dari Pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dengan mengacu pada UU Sisdiknas dan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Alih-alih ingin meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, justru sekarang dengan dimasukkannya gaji pendidik, persentase anggaran pendidikan yang seharusnya digunakan untuk hal yang tidak kalah mendesak, seperti misalnya penuntasan wajib pendidikan dasar dan perbaikan 80.000 bangunan sekolah yang rusak berat, besar kemungkinan akan menyusut di kemudian hari.

Jika kita membandingkan anggaran pendidikan yang dialokasikan pada APBN 2007 terhadap anggaran minimal pendidikan dasar, maka akan terlihat perbedaan yang cukup kontras. Di luar gaji tenaga pendidik, pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran Rp. 43 triliun untuk Depdiknas dan Rp. 10 triliun untuk Departemen Agama. Padahal menurut perhitungan bersama antara BAPPENAS, BPS dan UNDP, anggaran minimal untuk “pendidikan dasar” yang bermutu nasional saja diperlukan setidaknya sekitar Rp. 58 triliun.

Lebih ironisnya lagi, menurut kajian FITRA, sebesar 70% anggaran pendidikan dalam APBN 2007 teryata habis digunakan untuk keperluan birokrasi, 10% untuk lain-lain, dan hanya sekitar 20% yang benar-benar menyentuh langsung ke publik.

Pemasukan angka 20% anggaran pendidikan dari APBN/APBD oleh para 2nd founding fathers pada dasarnya hadir dengan semangat untuk mengejar ketertinggalan pendidikan bangsa Indonesia dari negara-negara lainnya. Oleh karena itu, gaji pendidik memang sengaja dikeluarkan dalam lingkup anggaran pendidikan, namun bukan berarti guru dan dosen dinisbikan menjadi bagian di luar komponen pendidikan. Sebab tanpa adanya ketentuan ini, sebelum diterbitkannya UU Sisdiknas pun anggaran pendidikan ditaksir sudah mencapai kisaran 16% dari APBN.

Tanpa menutup mata dan melihat secara jujur akan kondisi pendidikan di dalam negeri, secara substansial formulasi baru ini tentu tidak akan memberikan makna berarti bagi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia, khususnya terhadap daerah yang ternyata kini memiliki lonjakan anggaran pendidikan sebesar 20%-40% apabila menggunakan formulasi yang baru. Ibarat pegerakan tarian poco-poco, anggaran pendidikan Indonesia yang baru saja maju beberapa langkah, kini harus ditarik mundur lagi ke belakang. Artinya, jika tidak ingin dikatakan stagnan, pendidikan Indonesia ke depan akan kembali menemui jalan yang semakin terjal.

Membangkitkan Ruh Konstitusi

Membicarakan problematika dunia pendidikan Indonesia seringkali disamakan dengan mengurai “benang kusut”. Untuk mengatasinya teramat diperlukan kesabaran, kejernihan berpikir dan pandangan jauh ke depan. Oleh karena itu, patut rasanya kita kembali merenungi dengan sungguh-sungguh tujuan dari para pendiri negara ini dalam merangkai cita-cita konstitusi.

Perlu kita sadari bahwa solusi pendidikan saat ini bukanlah sekedar mencari celah agar Pemerintah semata-mata dapat memenuhi ‘kewajiban konstitusional 20%’. Selain tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, ruh pendidikan yang termaktub dalam Pasal 31 ayat (4) merupakan ruh yang terbilang cukup istimewa. Sebab, dari puluhan konstitusi yang ada di dunia, UUD 1945 merupkan satu di antara beberapa konstitusi dunia yang mencantumkan besaran persentase anggaran pendidikan yang harus dialokasikan dalam APBN/APBD.

Oleh karenanya, semangat dasar inilah yang seharusnya dibangun, dikejar dan terus dipertahankan sepanjang masa. Dengan tetap kritis seraya menghormati putusan Mahkamah yang bersifat final dan binding, setidaknya terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan di dalam negeri.

Pertama, UU Sisdiknas sedapat mungkin dikaji ulang secara lebih komprehensif dengan tetap membungkusnya bersama ruh pendidikan yang tersirat dalam konstitusi. Jikalau Komisi X DPR RI tetap ingin bertahan pada pendapat akhirnya (Opini Republika, 26/02/08), maka pertimbangan Mahkamah yang mendasari putusannya dengan menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pada penggunaan istilah-istilah tertentu dan terjadinya perbenturan antar pasal (wiedersprüchlos), haruslah segera mungkin ditindaklanjuti dengan menyempurnakan atau melakukan pengkajian ulang melalui mekanisme legislative review. Sehingga, kekhawatiran akan terjadinya ‘pengkerdilan konstitusional’ pada anggaran pendidikan tidak akan terjadi.

Kedua, apabila melemahnya semangat konstitusi (constitutional spirit) ini juga sudah berjangkit ke hampir sebagian besar penyelenggara negara, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dapat mempertanyakan kembali kesungguhan para wakilnya yang duduk di legislatif maupun eksekutif dengan tidak lagi memberikan mandat kepada wakil yang sama pada Pemilu 2009 mendatang.

Ketiga, kemungkinan untuk diamandemennya Pasal 31 ayat (4) terkait dengan anggaran pendidikan dapat pula mulai diwacanakan. Sebab, penambahan 2% untuk menuntaskan ‘kewajiban konstitusi 20%’ kini tidak akan bermakna banyak bagi dunia pendidikan. Amandemen dengan cara perubahan atau penambahan ketentuan konstitusi yang baru, setidaknya dapat memuat seputar “kewajiban negara menyediakan pendidikan dasar secara gratis bagi kelompok anak usia tertentu”. Ketentuan konstitusi seperti ini merupakan model yang paling banyak dicantumkan pada konstitusi negara-negara dunia. Sebab selain arah pencapaiannya lebih jelas dan sejalan dengan UN Millenium Development Goals, pencapaian pemerintah dalam menjalankan amanah ketentuan baru ini nantinya akan lebih mudah untuk diukur keberhasilannya.

Dengan tidak mengenyampingkan bahwa kesejahteraan tenaga pendidik juga menjadi hal yang cukup penting, kiranya penulis mengajak kita semua untuk lebih arif dan bijaksana dengan melihat kembali manfaat dan mudharat yang diperoleh bagi bangsa ini apabila gaji pedidikan tetap dimasukan pada anggaran pendidikan dalam APBN/APBD. Bukankah anak-cucu kita jualah yang nanti akan meneruskan estafet pengelolaan negara ini. Jika sedari sekarang saja kita sudah tidak berpihak kepada mereka, maka jangan serta-merta menyalahkan generasi penerus jikalau mereka tidak dapat menjalankan roda kenegaraan lebih baik dari generasi sebelumnya.




Monday, February 18, 2008

Constitution and Sustainable Development

CONSTITUTIONAL APPROACH TO DEVELOPMENT
Pan Mohamad Faiz, New Delhi
Note: This article was published in The Jakarta Post (18/02/2008)

According to the Human Development Report 2007, launched by the United Nation Development Program, the Human Development Index (HDI) for Indonesia is 0.728, giving the country a ranking of 107th out of 177 countries, and 7th among the Southeast Asian countries.

The most significant reason for this situation is the drawbacks caused by sustainable development in Indonesia. Some people strongly believe that raising the challenge of sustainable development can help the Indonesian policy debate go forward in a better direction.

At the heart of the problem is how to deal with promoting the sustainable development of Indonesia. One of the best approaches can be viewed from the perspective of human rights protection for the people.

Basically, sustainable development encompasses three pillars based on environmental, economic, and social values that are interdependent and mutually reinforce human rights. Between sustainable development and human rights there is an inseparable relationship and a respect for human rights that has been recognized as a prerequisite for development.

For instance, the ability to participate in sustainable development is hindered when fundamental human rights are threatened by a lack of food, health, education, shelter, freedom of expression and the right to political participation. In other words, without respect for human rights, the ability of people to move toward a sustainable future will be hindered.

Furthermore, development is unsustainable where the rules of law and equity do not exist; where ethnic, religious or sexual discrimination is rampant; where there are restrictions on free speech, free association, and on the media; or where large numbers of people live in abject and degrading poverty.

Human rights, based on respect for the dignity and worth of all human beings, are usually rooted in the country's constitutional and legal framework.

The legal system of Indonesia is based on the idea of the supremacy of the Constitution, whereby the Constitution is given the highest authority. Implementing the essential rights and freedoms for human dignity, as proclaimed in the Universal Declaration of Human Rights of 1948, creates a common standard of achievement for all people and all nations.

The Constitution of Indonesia has clearly provided similar provisions under Chapter XA on the fundamental rights of citizens. The protection of human rights, guaranteed by the 1945 Constitution, therefore becomes imperative as a prerequisite for development. According to the Legal Aid Institution's (Jakarta) annual report, in 2007 it received 1,140 complaints on human rights violations with the number of victims roughly at 20,837.

Then the question arises, what mechanism can protect human rights as constitutional rights of citizens? According to Danie Bran, the best way to deal with human rights protection is to challenge the state and constitutional issues throughout the courts.

In recent history, the concept of a constitutional adjudication has become a consistent feature of democratic governance, particularly in Europe. At present, however, this no longer applies only to Europe. After the amendment of the 1945 Constitution, Indonesia established a Constitutional Court in response to the demand for a strengthening of checks and balances in the system of state administration.

Its responsibilities are stated in Article 24C of the 1945 Constitution, namely: reviewing laws against the Constitution, determining disputes over the authorities of state institutions whose power is given by the Constitution, deciding on the dissolution of political parties, deciding on disputes on the results of a general election, and an obligation to decide in cases regarding the impeachment of the president and/or the vice President.

In the context of human rights protection, the power of constitutional adjudication by reviewing laws against the Constitution, known as a "Constitutional Review", is the core of the jurisdiction of the Constitutional Court.

As of late 2007, barely three years after its establishment, the Constitutional Court had decided on 33 out of 133 cases of constitutional review, with the verdict that the laws reviewed were unconstitutional. Most of these cases violated the human rights guaranteed under the Constitution.

Nonetheless, the constitutional review system is confined to the review of laws. Consequently, all government actions and government regulations believed to violate the provisions on human rights contained in the Constitution cannot be reviewed comprehensively either by the Constitutional Court or the Supreme Court.

In order to strengthen sustainable development in Indonesia by promoting human rights protection, the constitutional review system should be reformed. Using the comparative studies analysis, however, we can learn and find possibilities to adopt features from constitutional review systems in Germany and Korea, since their systems are comparable with Indonesia's.

Some recommendations that can be addressed from those countries are:

First, the constitutional review system should be allowed to review the constitutionality of all type of legislation.

Second, constitutional complaints can be lodged by an individual toward their constitutional rights.

Using two additional systems of constitutional review already mentioned, we can promote the human rights protection of the people as the basic foundation of sustainable development in Indonesia.

* Pan Mohamad Faiz is a postgraduate student in comparative constitutional law at the University of Delhi. He can be reached at http://faizlawjournal.blogspot.com/.




Wednesday, February 13, 2008

Hasil Kompetisi International Moot Court Tingkat Nasional

MAHASISWA HUKUM INDONESIA AKAN “MEMUKUL” LAWAN-LAWANNYA DI WASHINGTON D.C.

Mahasiswa Hukum asal Universitas Indonesia dan Universitas Parahyangan akan mewakili Indonesia dalam kompetisi peradilan semu internasional (international moot court competition) pada bulan Maret mendatang di Amerika Serikat.

Mereka adalah tim pemenang dari kompetisi Moot Court tingkat Nasional setelah mengalahkan para pesaingnya yang juga merupakan mahasiswa hukum S1 lainnya dalam the 2008 Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition di Jakarta.

Kemenangan tersebut meloloskan mahasiswa UI dan Parahyangan untuk ikut serta dalam salah satu kompetisi internasional paling bergengsi bagi Mahasiswa Hukum pada bulan Maret dan April mendatang di Washington D.C. Di lokasi tersebut, mereka akan menghadapi lawan-lawannya dari berbagai penjuru dunia.

Kegiatan ini merupakan kompetisi kali ke-7, di mana untuk tahun ini dilaksanakan atas kerjasama antara Indonesian Society for International Law dan Mahkamah Konstitusi RI. Kompetisi yang diselenggarakan di dalam gedung Mahkamah Konstitusi ini telah membuktikan tingkat kemampuan para mahasiswa hukum Indonesia untuk mengambil peran dan partisipasi dalam berbagai kegiatan hukum internasional.

Dua puluh tim universitas negeri dan swasta dari seluruh penjuru Indonesia turut ambil bagian dalam kompetisi kali ini. Mereka adalah Universitas Airlangga, Universitas Andalas, Universitas Katholik Atma Jaya, Universitas Bhayangkara, Universitas Borobudur, Universitas Brawijaya, Universitas De La Salle Indonesia, dam Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Indonesia, Universitas Negeri Manado, Universitas Padjadjaran, Universitas Katholik Parahyangan, Universitas Tarumanagara, Universitas Trisakti, Universitas Al Azhar Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Internasional Batam, Universitas Pelita Harapan, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Surabaya.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh 48 ahli hukum Indonesia yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda, seperti Hakim, Praktisi Hukum, Akademisi dan Dosen, serta Pengacara yang berasal baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Gary F. Bell, salah satu ahli hukum internasional yang menjadi juri pada persidangan babak final, mengatakan bahwa mahasiswa hukum Indonesia telah menunjukan kemampuan kelas dunianya dalam hukum internasional. Juri lainnya, yaitu Mr. Nobuo Hayashi, Penuntut Umum pada International Criminal Tribunal of the Former Yugoslavia, dan Mr. Anees Ahmed, Penuntut Umum pada Criminal Tribunal of Cambodia for Khmer Rouge, memberikan impresi yang positif terhadap perkembangan para ahli hukum Indonesia di masa yang akan datang.

Prof. Hikmahanto Juwana, ahli hukum internasional Universitas Indonesia yang juga menghadiri perhelatan akbar tersebut mengatakan bahwa kompetisi merupakan wadah yang sangat baik bagi para calon pengacara Indonesia untuk mempersiapkan diri mereka pada pengadilan internasional.

Lebih lanjut, Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi RI, sangat terkesan dengan kemampuan dan penampilan para peserta dalam menguasai prosedur dan substansi pengadilan internasional. Beliau mengatakan bahwa para peserta sudah menunjukan kemampuan profesional layaknya para pengacara internasional.

Sebagai pemenang, Universitas Indonesia memperoleh Mochtar Kusuma Atmaja Award yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, peghargaan the Best Oralist pada babak final jatuh kepada Edwina Kharisma dan Fitria Chairani dari Universitas Indonesia. Mereka berhak memperoleh beasiswa untuk melanjutkan program LL.M di National University of Singapore (NUS).

Tentunya kita semua berharap dan memberikan dukungan penuh agar para delegasi Indonesia dapat membawa pulang berbagai penghargaan pada Kompetisi Peradilan Semu Internasional mendatang di Washington D.C. demi mengibarkan nama harum ibu pertiwi, Republik Indonesia.

Adapun daftar para pemenang secara keseluruhan adalah sebagai berikut:

1. Spirit of Jessup - Universitas Internasional Batam
2. Third Best Memorial - Universitas Pelita Harapan
3. Second Best Memorial - Universitas Padjadjaran
4. Best Memorial - Universitas Parahyangan
5. Third Best Oralist - Vincent Bellamy, Universitas Parahyangan
6. Second Best Oralist - Fitria Chairani, Universitas Indonesia
7. Best Oralist - Rivana Mezaya, Universitas Indonesia
8. Second Runner Up - Universitas Padjadjaran
9. First Runner Up - Universitas Parahyangan
10. Champion - Universitas Indonesia

Monday, February 04, 2008

Judicial Review di Indonesia

KONSEP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA

Membahas mengenai konsep Judicial Review di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, mengingat konsep ini baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya amandemen UUD 1945. Mulai dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai perdebatan. Istilah judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, toetsingrecht, seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Sebelum Penulis membahas secara khusus mengenai hal ini, ada baiknya Penulis sampaikan diskusi singkat mengenai judicial review terkait dengan praktik ketatanegaraan RI pasca amandemen UUD 1945.

Berikut ini merupakan petikan diskusi antara Penulis dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam salah satu artikelnya.

Pembuka Diskusi dari Penulis


Assalamualaikum Bang Yusril,

Berhubung postingan artikel kali ini menyinggung sedikit banyak tentang Konstitusi, maka saya ada beberapa pertanyaan yang hingga saat ini belum memperoleh jawaban yang pasti, meskipun saya sudah sempat berdiskusi kepada beberapa 2nd Founding Parents dan ahli hukum ketatanegaraan lainnya. Semoga respons atas diskusi ini bisa lebih memberikan pencerahan bagi saya khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya.

Pertama, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia menganut gagasan supremasi Konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of parliament, i.e. UK). Oleh karena itu, dengan mengikuti pola pemikiran dari Kelsen’s Grundnorm theory, segala peraturan yang berada di bawah UUD tidaklah boleh bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945 -red). Menjadi pertanyaan saat ini, saya menemukan bahwa terdapat celah kekosongan mekanisme pengujian konstitutional (constitutional review) dari seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga mekanisme constitutional review kita masih dianggap sangat lemah. Untuk saat ini (sebelum kemungkinan terjadinya amandemen UUD atau UU MK/MA) adakah jalan lain untuk melakukan uji konstitusionalitas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dianggap bertentangan dengan UUD? Sebab, UUMK dan UUMA belum mengatur hal demikian.

Kedua, terkait dengan legal standing perorangan warga negara untuk memperjuangkan hak konstitusinya (constitutional rights of citizen), hemat saya memang sudah sepatutnya diberikan. Sebab, dengan menggunakan teori yang sama, segala sesuatu yang bertentangan dengan UUD haruslah dinyatakan inkonstitusional, sekalipun ia melanggar pihak-pihak yang berada pada kelompok kecil atau minoritas tertentu. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana pendapat Abang mengenai mekanisme constitutional complaint („Verfassungsbeschwerde“) yang dipraktikan di Jerman, Korea dan beberapa negara lainnya, apabila mekanisme yang sama diterapkan pula di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

Di lain sisi, ketika kita masih memperdebatkan apakah legal standing perorangan sebaiknya diperbolehkan atau tidak, maka di dalam praktik ketatanegaraan lain, seperti misalnya India, legal standing perorangan pun dapat diberikan walaupun permohonan diajukan oleh pihak ketiga tanpa harus adanya persetujuan dari pemohon yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita mengenal mekanisme Public Interest Litigation, hal mana juga mempunyai batasan dan beberapa persyaratan yang cukup ketat, seperti misalnya hanya untuk lingkup perlindungan terkait dengan fundamental rights warga negara bukan untuk motif ekonomis, politis dan lain sebagainya. Kiranya di masa mendatang, dalam koridor akademis, konsep ini dapat dikaji lebih mendalam lagi semata-mata guna melindungi hak konstitusional warga negara, khususnya bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai “jangkauan” untuk menggapai sistem hukum modern ini, terlebih untuk mereka yang tinggal di berbagai pelosok tanah air.

Ketiga, menambahkan pertanyaan terkait dengan apa yang telah disampaikan oleh Sdr. Darmadi Aries Wibowo, menurut Abang siapakah pemegang tafsir resmi UUD 1945 saat ini? Apakah diberikan kepada MK selaku pengadilan Ketatanegaraan RI, MPR selaku lembaga yang berwenang untuk mengubah UUD 1945, atau lembaga negara lainnya. Jika saya boleh meminjam konsep “Politik Hukum” dari Gus Mahfud MD, artinya saat ini penafsiran yang diputuskan oleh Mahkamah adalah penafsiran yang harus kita ikuti terlepas apapun hasil penafsiran yang dikeluarkannya. Namun demikian, ketika saya berdiskusi dengan Bpk. Patrialis Akbar, beliau menyampaikan bahwa penafsiran Konstitusi di Indonesia harus berada di tengah-tengah, artinya tidak ada lembaga tunggal yang bisa menafsirkan Konstitusi secara sepihak. Benarkah kita tidak mengenal pola “penafsir tunggal” UUD 1945 dalam sistem Ketatanegaraan RI? Mohon pencerahannya.

Saya kira tiga pertanyaan ini dahulu yang dapat saya sampaikan guna memulai diskusi dalam artikel kali ini. Sebab, saya juga tidak ingin menyita banyak waktu dari Abang untuk dapat melakukan aktivitas lainnya yang tidak kalah pentingnya.

Kirainya Allah SWT selalu memberikan cahaya jalan kebenaran bagi kita semua. Amien.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Hormat Saya,

Blawgger Indonesia
New Delhi

Tanggapan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra:

Kalau kita mengikuti teori Hans Kelsen memang demikianlah adanya. Semua peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada grundnorm. Apa saja yang bertentangan dengannya harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam teori maupun praktik di negara kita, kita mengakui adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang. Pengakuan terhadap hirarki itu dimulai pada saat kita menyusun draf rancangan peraturan perundang-undangan. Undang-undang disusun mengacu kepada UUD. Peraturan Pemerintah mengacu kepada UU. Sebab itulah uji materil terhadap UU dilakukan terhadap UUD dan kewenangan itu ada pada Mahkamah Kosntitusi.


Oleh karena Peraturan Pemerintah disusun untuk melaksanakan UU — jadi tidak mengacu langsung kepada UUD — maka pengujian terhadap PP dilakukan terhadap UU, yang kewenangannya ada pada Mahkamah Agung. Pengakuan terhadap hirarki inilah yang tidak memungkinkan adanya uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU, langsung kepada UUD. Pengakuan terhadap hirarki bukannya tidak menimbulkan problema, jika dikaitkan dengan Peraturan Presiden.

Secara hirarkis, menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Presiden berada di bawah Peraturan Pemerintah. Namun mengingat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, maka dalam praktiknya Peraturan Presiden dapat merujuk langsung baik Peraturan Pemerintah, Undang-Undang maupun UUD. Sementara pengujian materi Peraturan Presiden — karena hirarkinya berada di bawah UU — menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Sementara MA tidak dapat menguji peraturan yang berada di bawah UU dengan UUD.



Problema ini membawa implikasi bahwa tafsiran terhadap Pasal 4 UUD 1945 harfuslah dipersempit pada penetapan Keputusan Presiden yang bersifat “beschikking” dan berlaku “einmalig”, bukan pada Peraturan Presiden yang bersifat regulatif. Dalam hal ini, Pasal 11 UU No 10 Tahun 2004 telah benar, yang menegaskan bahwa materi Peraturan Presiden dikeluarkan untuk melaksanakan materi yang diperintahkan UU atau melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Mengenai lembaga penafsir UUD 1945, saya berpendapat tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kewenangan penuh untuk itu. MK hanya melakukan uji materil berdasarkan permohonan pihak yang mengajukannya. Jadi sifat MK dalam uji materil adalah pasif. MA dapat memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga negara yang memohonnya. Proses menafsiran UUD sebenarnya telah dimulai pada saat menyusun sebuah RUU. UU hakikatnya bukan hanya memerinci ketentuan UUD, tetapi sekaligus “menafsirkan” apa yang dimaksud UUD ketika mereka tuangkan ke dalam draf RUU.

Kalau dilihat dari sudut ini, maka Presiden dan DPR yang sama-sama memegang kekuasaan legislatif, adalah juga lembaga-lembaga yang menafsirkan UUD. Apakah tafsiran mereka itu benar sebagaimana mereka tuangkan dalam UU, MK dapat mengujinya. MPR yang kini tidak berwenang lagi mengeluarkan Ketetapan seperti zaman dahulu, tidak berada dalam posisi untuk menafsirkan undang-undang. Oleh MPR, Pimpinannya kini diberi tugas untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 pasca amandemen. Tentu dalam rangka sosialisasi itu, mereka juga akan “menafsirkan” UUD sebagaimana mereka pahami. Namun tafsiran itu haruslah dianggap sebagai suatu pemahaman saja, yang tidak mempunyai kekuatan tafsir yang mengikat.


Mengenai legal standing perseorangan dalam mengajukan permohonan uji materi terhadap UU ke MK, pada prinsipnya saya sependapat. Saya sendiri ikut mendraf UU MK seperti saya katakan, dan mewakili Presiden membahas RUU tsb di DPR hingga selesai. Demikian pula UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perturan Perundang-Undangan.

Sementara ini, demikianlah penjelasan saya. Terima kasih atas pertanyaannya, yang sekaligus juga merupakan masukan amat berharga bagi saya (YIM)

Tanggapan akhir dari Penulis

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih sebelumnya atas tanggapan yang disampaikan begitu cepat. Saya sangat memberikan apresiasi tinggi terhadap perkembangan diskusi yang demikian. Berikut tanggapan akhir saya atas jawaban yang telah diberikan.

Mengenai jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua telah memberikan pengetahuan baru dan perspektif tambahan bagi saya. Namun untuk pertanyaan pertama, saya sepertinya masih perlu diberikan pencerahan. Secara das sein memang sistem judicial review kita seperti yang telah Abang jelaskan, namun saya berpandangan bahwa secara das sollen sebaiknya seluruh peraturan perundang-undangan, mulai dari UU hingga Peraturan Daerah, dapat diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD secara langsung. Sebab dalam suatu perundang-undangan bisa saja kondisi tidak terjadinya penyimpangan substansi terhadap peraturan di atasnya, tetapi ternyata melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara.

Walaupun kita menganut sistem Civil Law, ada baiknya juga kita melakukan analisa perbandingan hukum pada negara-negara Common Law, di mana Supreme Court mereka sangat memberikan perlindungan bagi hak konstitusional warga negara terhadap apapun itu bentuk peraturan perundangan-undangan dan kebijakan negaranya. Dan hal tersebut kini mulai dipraktikan di negara-negara Eropa Barat yang sebagian besar juga menganut sistem hukum yang sama dengan kita. Namun demikian, bisa saja cara berpikir saya yang kurang tepat, oleh karena itu mohon pencerahan dari Abang dan rekan-rekan lainya.

Demikian tanggapan saya kali ini. Semoga diskusi ini dapat memberikan pewacanaan terhadap sistem ketatanegaraan kita di masa yang akan datang. Jika terdapat hal yang kurang berkenan mohon dibukakan pintu maaf. Sukses selalu untuk Abang dan rekan-rekan semua.

Jayalah Indonesia!

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Salam Hangat,

Pan Mohamad Faiz
New Delhi