Wednesday, December 09, 2009

Resensi Buku: Menelusuri Jejak Judicial Review di Indonesia

Judul Buku : Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Penulis : Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H.
Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada
Tahun : 2009;
Tebal
: xviii + 340 hlm.

MENELUSURI JEJAK JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

One stop reading! Demikian kesan yang akan kita peroleh ketika membuka lembar demi lembar buku hukum karya Zainal Arifin Hoesein tentang “Judicial Review”. Bagaimana tidak, berbeda dengan buku-buku yang sudah ada sebelumnya, karya ini mampu mengupas tuntas berbagai hal seputar sejarah, konsepsi, pengaturan, dan pelaksanaan rill sistem judicial review di Indonesia.

Dengan menyelami buku ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri tiga periode penting terkait dengan perkembangan sistem judicial review di Indonesia. Pertama, masa awal penyusunan UUD 1945 hingga tahun 1970. Pada masa ini, judicial review hanyalah sebatas gagasan dan wacana yang tidak pernah terwujud; Kedua, masa saat mulai dirumuskannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hingga tahun 1999. Inilah kali pertama judicial review dibahas secara mendalam dan diperdebatkan secara terbuka, sekaligus menjadi tonggak awal diterapkannya mekanisme tersebut; dan Ketiga, masa terjadinya perubahan UUD 1945 hingga tahun 2003. Dalam kurun waktu ini terjadi proses perubahan sistem politik dan kekuasaan negara, termasuk terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Perubahan dan perkembangan sistem judicial review tersebut menurut penulis setidaknya disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu faktor normatif dan faktor politis. Secara gamblang dijelaskan bahwa pada saat itu Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD, sebab selain UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak mengenal dan tidak mengatur tentang judicial review, sistem kekuasaan yang dianut Indonesia adalah distribusi kekuasaan yang mengarah pada supremasi parlemen (parliament supremacy). Dalam prinsip tersebut, maka tidak dibenarkan di antara lembaga kekuasaan negara saling menilai atau mengontrol satu dengan lainnya, kecuali dari lembaga kekuasaan yang memberikan atau mendelegasikan kekuasaan itu sendiri.

Kedua faktor tersebut ternyata sangat berkorelasi terhadap tinggi-rendahnya perkara pengujian peraturan perundang-undangan yang masuk ke Mahkamah Agung. Akibatnya, banyak sekali produk hukum yang tidak tersentuh oleh kontrol normatif. Bandingkan, jumlah gugatan dan permohonan yang diregistrasi selama kurun waktu 28 tahun (1970-1998) hanyalah berjumlah 12 (dua belas) perkara. Sementara itu, jumlah perkara pengujian selama kurun waktu 4 tahun (1999-2003) sebanyak 130 (seratus tiga puluh) perkara atau apabila dihitung rata-rata pertahunnya, jumlahnya mencapai tujuh puluh kali lipat! Mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Penulis merekam bahwa momentum 1999 terjadi setelah diterbitkannya Perma Nomor 1 Tahun 1999 yang mengubah prosedur judicial review. Pada masa itu terjadi pula pergeseran sistem politik yang mengarah pada ’demokrasi’ dan berubahnya sistem kekuasaan negara dalam UUD 1945 dari pola ’distribusi kekuasaan’ (distribution of power) menjadi ’pemisahan kekuasaan’ (separation of power), serta dikuatkannya prinsip ’checks and balances’ dalam sistem ketatanegaraan.

Guna menyempurnakan sistem judicial review di Indonesia, penulis di akhir pembahasannya menyuguhkan 2 (dua) rekomendasi utama. Pertama, diperlukan suatu lembaga yang berfungsi sebagai penyelaras, penilai, dan pemutus untuk menghindari terjadinya pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi hanya untuk penguatan kekuasaan, sekaligus untuk memperkecil adanya konflik norma secara vertikal; Kedua, secara kelembagaan, segala bentuk pengujian undang-undang perlu disentralisasi dalam satu lembaga negara agar fungsi pengujian peraturan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien serta untuk menghindarkan konflik hukum, khususnya terkait dengan pengaturan objek dan subjek pengujian yang berbeda.

Buku ini tentu sangat baik untuk dijadikan referensi utama bagi para penggiat hukum, terutama para hakim, akademisi, dan praktisi. Sebab, tulisan yang ada di dalamnya telah memperoleh sertifikasi kesahihannya karena berasal dari penelitian akademis sebagai Disertasi Ilmu Hukum sang penulis ketika menempuh studi program doktoral di Universitas Indonesia. Bahkan demi memperkaya buku ini, penulis juga melakukan eksaminasi dan telaahan terhadap beberapa kasus judicial review yang telah diputus oleh Mahkamah Agung.

Sayangnya, karena penelitian ini hanya berlangsung hingga tahun 2004 awal, maka praktik judicial review yang kini berkembang begitu cepat tidak dapat ikut terekam dalam buku ini. Namun demikian, sebagaimana harapan penulis, tentunya buku ini setidak-tidaknya dapat dijadikan pedoman dasar bagi siapa saja yang berminat untuk melanjutkan atau menajamkan subyek penelitian terkait dengan konsepsi judicial review kontemporer di Indonesia. (*)

* Pan Mohamad Faiz, Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

Sumber: Majalah Konstitusi Edisi Nomor 34, November 2009

Tuesday, December 08, 2009

Kolom Opini: "Mengais Nurani Hukum"

MENGAIS NURANI HUKUM
Oleh: Pan Mohamad Faiz, M.C.L.

Sumber: Kolom Opini Duta Masyarakat – Selasa, 8 Desember 2009.

Perasaan kecewa seorang Mahfud MD. yang pernah dialaminya seperempat abad yang lalu nampaknya kini terulang dan hinggap kembali di dada para lulusan muda sarjana hukum. Pasalnya, idealisme kesempurnaan hukum yang dipelajari semasa duduk di bangku kuliah dengan cita penegakkan hukum berkeadilan justru bertolak belakang dengan praktik riil di lapangan. Justicia seringkali terekam tengah bertekuk lutut dan berakhir pada meja rolet milik sang penguasa ataupun pemilik modal.

Syahdan, bagi sebagian kalangan masyarakat, perilaku koruptif, praktik mafia peradilan, dan “vonis dadu”, tetap menjadi tontonan keseharian, bahkan kini justru menunjukkan jejak kaki yang lebih tegas dan terang benderang.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, kita semua dibuat tercengang dengan penampilan akrobatik para penegak hukum. Kasus Bibit-Chandra digadang menjadi simbol karut-marut dan amburadulnya sistem penegakkan hukum kita, disusul dengan skandal Bank Century dan puluhan kasus korupsi lainnya yang tak berhujung pangkal.

Sementara itu, secara berturut-turut mulai dari kasus “judi koin” Raju bersama sembilan bocah lainnya, kasus “curhat medik” Prita Mulyasari, kasus “3 biji kakao” nenek Minah, hingga kasus “petaka semangka” Basar dan Kholil, menjadi pemandangan kontras betapa dewi keadilan dengan mudahnya menebas hak-hak kaum plebeius secara serampangan.

Akibatnya, masyarakat menilai secara tidak langsung bahwa pengadilan bukan lagi menjadi bastion of justice, melainkan bassinet of justice yang mudah dininabobokan dan diayun sesuai kehendak oknum penegak hukum bersama dengan pihak yang berperkara.

Moral dan Nurani Hukum

Terungkapnya hasil penyadapan terhadap kejanggalan perilaku dari oknum penegak hukum memperlihatkan bahwa mafia hukum bukan lagi sekedar isapan jempol, namun telah mendedahkan wujud aslinya di hadapan kita semua.

Dengan berlindung pada tirai-tirai KUHP, sebagian advokat begitu asyik membela kliennya mati-matian tanpa memperhitungkan tuntutan rasa keadilan masyarakat. Setali tiga uang, oknum hakim, jaksa, polisi, dan para pegawai di instansi tersebut ikut jua membidani ambruknya nilai komunal moralitas dan nurani penegakan hukum dengan menciptakan pasar lelang perkara.

Ironisnya, secara jujur harus pula kita akui bahwa terkadang masyarakat pun turut terlibat dalam penyimpangan moral dan nurani hukum tersebut dengan cara merekayasa keterangannya sebagai saksi atau ahli di persidangan.

Padahal dengan menggunakan metode “moral reading” dari Ronald Dworkin, Satjipto Rahardjo (2008) telah mengkonstruksikan negara hukum Indonesia sebagai suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Artinya, common sense dan legal sense yang berselaras dengan legal and moral ethics sejatinya menempati status penting dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia.

Pada medio 1970-an, Philippe Nonet dan Philip Selznick menyampaikan bahwa obyek pembangunan hukum suatu negara sebaiknya berjalan berdasarkan realitas dinamika internal bangsa sendiri, dan bukan meniru negara manapun.

Dari sudut subyeknya, Kranenburg mengatakan bahwa para sarjana hukum jangan terjebak dalam optik hukum positif semata, tetapi harus membuka hati dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Sementara itu, Descartes dalam maha karyanya “Discourse on Method” mengingatkan bahwa berjubelnya hukum tanpa ketegasan justru seringkali menghalangi keadilan.

Dengan demikian, menjalani hukum sebaiknya tidak sekedar dipandang dari sudut legalistik-positivistik dan fungsional an sich, namun juga secara natural memiliki watak kebenaran dan berkeadilan sosial. Jika kita kembali pada Pancasila sebagai filosofische grondslag, maka akan ditemukan bahwa keadilan sosial (social justice) menjadi prinsip penting dalam sistem hukum kita.

Terhadap hal tersebut Mahkamah Konstitusi secara tegas telah menafsirkan bahwa keadilan akan berlaku dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda” (vide Putusan Nomor 14-17 dan 27/PUU-V/2007). Oleh karena itu, tidak seluruh peristiwa hukum harus diperlakukan sama secara mutlak, bahkan bagi John Rawls keadilan sosial justru lebih menekankan rasa adil yang diperuntukkan bagi kaum lemah (the least advantaged).

Menyikapi Momentum

Setelah terdeteksinya titik-titik kanker koruptif di lembaga penegak hukum kita, maka operasi cesar dengan pisau yang tepat layak segera dilakukan. Kita tentu berkeyakinan bahwa masih banyak para aparat penegak hukum yang memiliki moral dan nurani bersih namun (sengaja) dipinggirkan, sehingga sudah seyogianya momentum ini dimanfaatkan sebagai renaissance nurani hukum.

Oleh sebab itu, komitmen dan kemauan politik dari pemerintah, parlemen, dan pimpinan lembaga penegak hukum menjadi elan vital dalam hal ini. Masyarakat amat merindukan teladan hukum, sehingga prasyarat kejujuran, ketegasan, dan keberanian dalam menegakkan hukum dengan moral dan nurani menjadi syarat minimal dari pencarian tersebut (Deryck Beyleveld, Law as a Moral Judgment, 1986).

Sebaliknya, jika terbukti atau setidak-tidaknya terindikasi adanya praktik koruptif dan penyimpangan hukum di aras kekuasaan manapun, maka sudah selayaknya segera dibersihkan. Dalam konteks ini, Cicero sempat berpidato di depan Tribunus dengan mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan menurutnya adalah dengan memotong dan membuangnya (Imperium, 2007).

Masalah pelik dihadapi ketika nurani seseorang tertutup kabut tebal akibat “keterlanjurannya” terlibat atas sandiwara mafia hukum dan peradilan. Pastilah mereka diam dan bungkam seribu bahasa karena khawatir sejarah kelamnya akan ikut terbuka, sehingga tepat ketika J.E. Sahetapy menyitir pepatah Belanda “de pot verwijt de ketel” yang artinya “belanga menuduh panci, maka akan sama-sama hitam pantatnya”.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya yakni dengan menggalang pengawasan oleh rakyat dan pers secara langung dan terus-menerus. Tanpa adanya pemberitaan dari media massa, tentu tabir kelam penegakkan hukum seperti sekarang ini tidak akan pernah tersingkap ke meja publik. A blessing in disguise! Oleh karenanya kita patut bersyukur, sebab baik aparat penegak hukum maupun masyarakat luas menjadi terlatih pendengaran telinganya, terasah penglihatan matanya, dan tersinari hati nuraninya.

Perjuangan menegakkan keadilan berdasar moralitas dan hati nurani yang tulus memang terasa berat dan tiada henti. Akan tetapi, keyakinan atas pencapaiannya tidak boleh pernah goyah atau redup sedikitpun.

Tentunya di masa yang akan datang kita berharap bahwa tak perlu lagi kita mengais-ngais untuk sekedar mencari sebongkah nurani di tengah-tengah ilalang keadilan. Bahkan saking pentingnya arti sebuah nurani hukum, Mahatma Gandhi pernah menyatakan, “In matters of conscience, the law of the majority has no place”.

* Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Pendapat pribadi.

---

Catatan: Artikel ini dipersembahkan untuk kawan-kawan saya para penegak hukum di luar sana yang saya yakini masih banyak sekali yang memiliki idealisme tinggi dan bercita-cita untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan moral dan hati nurani tulus serta selalu berusaha untuk tidak terjerat dari praktik gelap mafia hukum. Inilah momentum bagi kita sekalian untuk berani bertindak dengan idealisme suci yang dimiliki. Bangun dan yakinlah, karena anda tidak akan sendirian dalam hal ini!

Wednesday, November 18, 2009

Keterbukaan Informasi Persidangan

KETERBUKAAN INFORMASI PERSIDANGAN
Oleh: Pan Mohamad Faiz *

Akhir-akhir ini, layar kaca rumah kita amatlah sarat dengan pemberitaan seputar dugaan rekayasa terhadap kasus-kasus hukum. Sebutlah di antaranya kasus Bibit-Chandra dan Antasari Azhar yang kian mencuat pasca proses pembuktian di persidangannya masing-masing. Bak efek bola salju, fakta-fakta hukum yang terjadi di dalam persidangan segera bergulir cepat dan merebak luas di tengah-tengah masyarakat. Salah satu di antara penyebab utamanya karena media massa elektronik secara jeli dan cekatan mampu menyiarkan jalannya proses persidangan tersebut secara langsung ke mata dan telinga masyarakat.

Inilah kali pertama dalam sejarah sistem hukum Indonesia bahwa suatu kasus hukum benar-benar “ditelanjangi” oleh media massa secara transparan dengan maksud untuk menguak kebenaran yang sesungguhnya. Dengan kata lain, media massa dan sebagian masyarakat yang mulai goyah kepercayaannya terhadap sistem hukum yang ada, mencoba untuk mengambil peran sebagai “penyidik publik” guna menggali banyak hal yang tersembunyi di balik kasus-kasus hukum tersebut. Akhirnya, masyarakat menjadi tercerahkan dalam menilai suatu kasus hukum berdasarkan ragam informasi yang tersedia dari berbagai perspektif dan sudut pandang yang berbeda-beda.

Larangan Liputan Langsung

Akan tetapi, situasi yang tengah berkembang seperti sekarang ini ternyata memperoleh perhatian miring dari sebagian kalangan dan institusi pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) misalnya. Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (DPR) dengan Komisi I DPR beberapa hari lalu, KPI berencana untuk menata ulang liputan langsung stasiun televisi dari ruang sidang pengadilan sebagaimana dilansir oleh Antara (11/11).

Dengan kata lain, stasiun televisi akan dilarang untuk melakukan liputan langsung terhadap proses jalannya persidangan, baik yang disiarkan secara langsung (live) maupun disiarkan secara tunda (live recording). Alasannya sangat sederhana, KPI menilai bahwa liputan langsung dapat memengaruhi opini publik sebelum adanya vonis resmi dari majelis hakim dan dikhawatirkan akan menimbulkan ekses yang bisa membahayakan banyak pihak.

Namun untuk “memperhalus” larangannya tersebut, KPI memperkenankan stasiun televisi untuk melakukan liputan langsung dengan cara mewancarai majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan kuasa hukum menjelang dan seusai jalannya sidang berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP)/Standar Program Siaran (SPS).

Mereformasi Pengadilan

Belum reda keterkejutan kita atas munculnya “syarat tambahan” terhadap proses penahanan Bibit-Chandra oleh karena adanya kekhawatirkan pembentukan opini publik dari keduanya, kini nampaknya KPI juga dihinggapi oleh rasa kekhawatiran yang sama atau bahkan lebih akut dari itu. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan berbagai saluran yang tersedia telah menjadi tuntutan dan kebutuhan hidup bagi masyarakat dunia (Shrivastava, 2009). Lebih tegas lagi, hal tersebut hak fundamental warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Menilai akan banyaknya ekses negatif akibat liputan langsung proses persidangan adalah kesimpulan yang tidak tepat. Terbukanya akses liputan langsung justru dimaksudkan untuk membenahi dan membangun sistem hukum dan wajah peradilan Indonesia agar menjadi lebih transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Baik secara implisit maupun eksplisit, berbagai undang-undang terkait dengan lembaga peradilan justru sengaja didesain untuk mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan persidangan, sebagaimana misalnya terdapat dalam Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 153 ayat (3) KUHAP, Pasal 40 UU MA, dan Pasal 40 UU MK.

Dengan adanya liputan langsung terhadap proses persidangan, masyarakat diharapkan dapat memperoleh sumber informasi dan data primer untuk kemudian dijadikan medium pencerdasan dan pengembangan budaya sadar hukum. Menurut Hedieh Nasheri (2002), tren dunia hukum saat ini pun memperlihatkan bahwa stasiun televisi di beberapa negara tengah berlomba untuk mengembangkan Courtroom Television Network yang secara khusus menayangkan proses persidangan dan analisa kasus-kasus hukum yang memperoleh perhatian publik, misalnya pada Court TV di Kanada dan truTV di Amerika Serikat. Sementara itu, guna kepentingan reformasi pengadilannya, pemerintah Armenia secara resmi membangun Court TV sejak tahun 2003. Alhasil, enam bulan sejak pertama kali mengudara, program “My Rights” langsung menempati rating tertinggi di Armenia berdasarkan penilaian warga negaranya.

Logika Terbalik

Alih-alih untuk menahan laju pembentukan opini publik, secara inkonsisten KPI justru mempersilahkan stasiun televisi untuk mewancarai JPU dan para pihak yang sedang berperkara, termasuk kepada majelis hakim sekalipun. Padahal sejatinya majelis hakim sebagai pemutus perkara harus terjaga tugas mulianya agar tidak “dipancing” ataupun “terpancing” untuk memberikan komentar terhadap potensi kasus ataupun perkara hukum yang sedang ditanganinya.

Berbeda dengan hal-hal yang disampaikan di dalam proses persidangan sebagai nilai dan fakta hukum, segala data dan informasi serta keterangan yang diberikan di luar persidangan justru sama sekali tidak dapat dijadikan fakta hukum, bahkan cenderung mengakibatkan terjadinya pembentukan public opinion, atau dalam bahasa Plato disebut sebagai published opinion.

Tentu kita semua memahami bahwa terhadap persidangan-persidangan tertentu yang dikecualikan oleh undang-undang, misalnya terkait dengan perkara asusila, pornografi, dan anak-anak, publik tidak perlu secara gamblang mengetahui jalannya persidangan. Oleh karenanya, majelis hakim pada awal ataupun di tengah jalannya persidangan dapat menyatakan proses persidangan tertutup untuk umum, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Akan tetapi sebaliknya, sepanjang majelis hakim menyatakan persidangan terbuka untuk umum, maka apapun dinamika yang terjadi selama berlangsungnya persidangan, publik memilik hak dan akses penuh untuk mengetahuinya sebagai bagian atas pelaksanaan hak memperoleh informasi (right to information).

Oleh karenanya, keputusan untuk menyatakan keterbukaan persidangan hendaknya tetap diberikan kepada majelis hakim sebagai bentuk diskresi dengan penuh rasa tanggung jawab, sebab tentunya mereka lebih mengetahui kebutuhan penyelesaian perkara yang sedang ditangani, dan bukan diserahkan kepada pihak ketiga yang justru dapat berpotensi menimbulkan kecurigaan di tengah-tengah masyarakat. Lagipula, dengan atau tanpa adanya liputan proses persidangan, kemungkinan terbentuknya opini publik akan selalu tetap terbuka.

Oleh karena itulah sedari awal para hakim telah dituntut untuk menjaga independensinya agar tidak terpengaruh oleh opini publik ataupun berbagai tekanan dalam bentuk apapun. Hal demikian telah pula dijadikan komitmen bersama para Hakim di seluruh dunia sebagaimana tertuang sebagai prinsip pertama dan utama dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 yang menegaskan, “A judge shall exercise the judicial function independently … free of any extraneous influences, inducements, pressures, threats or interference, direct or indirect, from any quarter or for any reason”.

Dengan demikian, KPI sebaiknya mengurungkan niatnya atau setidak-tidaknya mengkaji kembali rencana kebijakannya tersebut yang justru dapat menghambat proses reformasi hukum dan peradilan di Indonesia.

* Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Alumnus Faculty of Law, University of Delhi.

---

Note: This Article was written on November 13, 2009.

Thursday, October 29, 2009

Puisi: "Sejumput Harapan"

"SEJUMPUT HARAPAN"



Berdiri tegak mencakar langit
Bersinar menerangi gelapnya malam

Dia kokoh bukan karena pilarnya
Dia indah bukan pula karena ornamennya

Sembilan Dewa menjadi ruh raganya
Ratusan Kurcaci mengisi relung jiwanya

Dia bermartabat karena kedudukannya
Dia akan dimuliakan hanya karena putusannya

Namun…

Retak! Hancur!
Ketika amanah tergadaikan

Pecah! Karam!
Ketika perompak berkeliaran

Mahkota keadilan milik bersama
Dikawal nurani dan harga diri

Merenggut berarti berkhianat!
Mencabik selaput suci keadilan

Melindungi adalah keharusan
Mempertahankan menjadi kewajiban

Panjatkan doa agar tak pernah goyah
Menghadang terpaan dan tikaman dunia

Semoga dia tak pernah berubah
Hingga takdir menyatakan berbeda


***

Merdeka Barat - 28 Oktober 2009

Friday, August 28, 2009

Kolom Opini: "Konstitusi dan Aktivisme Yudisial"

KONSTITUSI DAN AKTIVISME YUDISIAL
Oleh: Pan Mohamad Faiz*

Sumber
: Kolom Opini Jurnal Nasional - Selasa, 25 Agustus 2009

Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 18 Agustus, masyarakat Indonesia baru saja memperingati “Hari Konsitusi” untuk kali pertamanya. Peringatan Hari Konstitusi tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa UUD 1945 dan cita konstitusionalisme semakin diteguhkan sebagai sumber hukum tertinggi dan pedoman dasar dalam kehidupan bernegara.

Walaupun UUD 1945 telah dibentuk 64 tahun yang lalu, namun fase kehidupan dan kesadaran berkonstitusi warga negara terbentuk begitu pesat baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan konstitusionalisme tersebut tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Pertama, wujud pelaksanaan hasil amandemen UUD 1945 yang diubah pada 1999-2002; Kedua, munculnya puluhan lembaga kajian konstitusi; dan Ketiga, adanya sentuhan yudisial dari pengadilan konstitusi (baca: Mahkamah Konstitusi).

Dalam konteks terakhir, Upendra Baxi menyatakan bahwa pada negara-negara pasca-sosialis atau transisi, seperti misalnya Rusia, Polandia, dan Hungaria, mereka telah berhasil membumikan ruh konstitusinya melalui aktivisme yudisial (judicial activism). Aktivisme demikian terinspirasi dari makna filosofis penafsiran konstitusi yang memandang konstitusi bukan sekedar katalog peraturan hukum, namun lebih sebagai pernyataan prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional yang wajib dijalankan.

Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas konstitusi (S.P. Sathe, 2002).

Dalam pada itu, signifikasi dan peran hakim dalam menata kehidupan masyarakat sudah sejak lama didengungkan oleh Oliver Holmes dan Roscoe Pound. Sejalan dengan hal tersebut, Benjamin Cordozo dalam bukunya “The Nature of Judicial Process” berpendapat bahwa ketika hukum kehilangan pegangannya, maka para hakim dapat menciptakan hukum sebagai pilihan kreatif melalui empat metode pendekatan, yaitu filosofis, historis, kebiasaan, dan sosiologi. Pandangan demikian oleh para begawan hukum di Indonesia dikenal sebagai aliran hukum progresif (Satjipto Rahardjo, 2006).

Gelombang Pro-Kontra

Dewasa ini, aktivisme yudisial berkembang cepat hampir di seluruh negara dunia, tidak terkecuali pada negara-negara yang menganut sistem civil law. Namun demikian, diskursus mengenai aktivisme tersebut turut pula melahirkan pro-kontra di kalangan para elit, akademisi, praktisi, hingga hakim sekalipun. Akibatnya, hingga akhir 1990-an telah terfragmentasi tiga arus kelompok utama, yaitu: Pertama, kelompok yang berusaha membatasi ruang gerak yudisial (judicial restraint); Kedua, kelompok yang memandang aktivisme yudisial sebagai sine qou non dari pengadilan yang merdeka dan independen; dan Ketiga, kelompok moderat yang berkehendak agar aktivisme yudisial hanya terbatas untuk kasus-kasus selektif dan ekslusif, khususnya yang menyangkut perlindungan terhadap kaum lemah atau minoritas.

Bagaikan injeksi obat dengan dosis yang tepat, aktivisme yudisial dapat menjadi langkah yang tepat dalam mempertahankan sistem demokrasi konstitusional. Akan tetapi sebaliknya, jika terlalu berlebihan justru berpotensi mengakibatkan kontra-produktif. Di sinilah letak kekhawatiran sebagian kalangan yang melihat aktivisme yudisial dapat bermetamorfosa sewaktu-sewaktu menjadi sekedar petualangan yudisial (judicial adventurism) ataupun ekspansi yudisial (judicial expansionism).

Namun pada kenyataannya, tren terhadap aktivisme yudisial tetap menjadi corak esential dalam mengawasi dan menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, judicial activism dan judicial self-restraint sebaiknya tidak perlu ditempatkan sebagai dogma yang saling bertentangan, sebab keduanya merupakan komponen yang krusial dalam fungsi kekuasaan kehakiman. Pun adanya perpaduan aliran pemikiran hukum yang beragam, seperti aliran positivis, traditional, ataupun progresif, patut dipertahankan karena memiliki nilai lebihnya masing-masing dalam nuansa “pertarungan” pertimbangan hukum pada saat merancang suatu putusan pengadilan.

Praktik Judicial Review

Dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nomokrasi di bawah payung konstitusi, pengadilan adalah pengawal sekaligus pelindung hak-hak dasar warga negara. Berkaitan dengan hal itu, rule of law dan judicial review menjadi fitur dasar dari suatu konstitusi yang harus dilakoni. Adalah John Marshall yang pertama kali mempraktikkan aktivisme yudisial ketika memperkenalkan mekanisme judicial review pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs. Madison dengan mengatakan, “Our is a Government of laws and not of men”. Aktivisme ini kemudian terus bergulir setelah adanya pendapat Hamilton dan Jefferson dalam The Federalist (1837).

Hingga kini, praktik judicial review yang kerap mendapat sentuhan aktivisme yudisial marak terjadi di manca negara, seperti di Amerika, Jerman, Australia, India, Korea, dan Afrika Selatan. Sebagai contoh, dalam kasus Brown vs. Board of Education (1954), Mahkamah Agung Amerika telah mengubah total haluan dua putusannya yang terdahulu pada kasus Dred Scott (1857) dan Plessy v. Ferguson (1896) dengan menyatakan bahwa segregasi rasial dalam dunia pendidikan menjadi inkonstitusional. Dalam menjalankan fungsinya, Hakim tersebut menyesuaikan alam pemikirannya dengan terjadinya perubahan sosial kemasyarakatan yang terus berkembang, sehingga kadangkala diperlukan penyampingan formalisme hukum dan lebih mempertimbangkan “requirement of constitutionalism” (Banerjea, 2002).

Sementara itu, disadari atau tidak, Indonesia sendiri telah mempraktikkan aktivisme yudisial tatkala mempertahankan prinsip-prinsip dan hak dasar dalam konstitusi. Dalam lima tahun terakhir, beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah memperlihatkan kecenderungan tersebut, yakni pertama kali dimulai dengan adanya yurisprudensi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam UU SDA (2005), lalu empat kali melakukan “tekanan konstitusional” (constitutional pressures) terhadap kewajiban pemenuhan 20% anggaran pendidikan (2005-2008), hingga mendeklarasikan perubahan paradigma dari keadilan prosedural menjadi keadilan substantif yang kemudian menjadi basis adanya perintah penghitungan dan pemungutan suara ulang Pemilu di Jawa Timur dan beberapa wilayah lainnya (2009).

Aktivisme yang tidak akan terlupakan adalah pemuatan ketentuan teknis dalam amar putusan sebagai prasyarat menjalankan suatu ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Contoh ini dapat ditemukan pada putusan judicial review mengenai diperbolehkannya penggunaan KTP dan tata cara penghitungan kursi tahap kedua pada Pemilu 2009 yang lalu. Patut diakui bahwa putusan teknis demikian terkesan telah melampaui batas kewenangan yang dimiliki dalam konteks pemisahan kekuasaan. Akan tetapi, aktivisme yudisial tersebut nyatanya disambut dan diterima dengan baik tidak hanya oleh perorangan, akademisi, ataupun aktivis hukum, namun juga oleh Pemerintah, Parlemen, Partai Politik, KPU, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga lainnya.

Dengan demikian, masyarakat Indonesia sejauh ini dapat dikatakan menerima kehadiran aktivisme yudisial sebagai alternatif solusi hukum ketika kondisi memang memperhadapkan antara perlindungan konstitusional vis-a-vis ketiadaan ataupun ketidakberdayaan peraturan hukum (constitutional lawlessness). Dalam sistem demokrasi konstitusional, judicial review dan judicial activism diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan. Akan tetapi, antusiasme yang berlebihan justru dapat menyebabkan iklim yang tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Untuk menjaganya, maka aktivisme yudisial perlu selalu dikawal dengan kritisasi akademik yang konstruktif, sehingga pengadilan tidak akan kehilangan legitimasinya.

*Penulis adalah Pengadministrasi Yustisial Hakim Konstitusi RI.

Tuesday, July 28, 2009

Kolom Opini: "Quo Vadis Putusan MA?"

QUO VADIS PUTUSAN MA?
Oleh: Pan Mohamad Faiz*

Sumber: Opini Seputar Indonesia, 30 Juli 2009

Atmosfer politik Indonesia akhir-akhir ini memanas. Dua gugatan terhadap Keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Pilpres telah dilayangkan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menengarai hasil penghitungan KPU tidak sah karena terlalu banyak pelanggaran dan kesalahan selama proses pemilihan presiden, baik secara prosedural maupun substansial. Sementara itu, minggu sebelumnya dunia perpolitikan kita lebih dahulu dikejutkan oleh keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 bertanggal 18 Juni 2009.

MA memutuskan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No 15/2009 terkait cara penghitungan tahap kedua untuk kursi DPR. Memang dalam putusan tersebut MA tidak mengutak-atik perolehan kursi partai politik yang berhak duduk di Senayan, namun secara tidak langsung dipastikan akan memengaruhi perolehan kursi dari banyak partai politik papan menengah.

Implikasinya,menurut CETRO, 66 kursi di DPR RI diperkirakan akan beralih partai! (Seputar Indonesia, 28/7). Karena putusan MA tersebut sangat berdampak pada konfigurasi politik nasional untuk lima tahun ke depan, tak ayal sensitivitas politiknya pun sangat tinggi. Akibatnya, ingar-bingar dan kemelut antara pihak yang diuntungkan dan dirugikan atas putusan tersebut kontan menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Sayangnya, respons yang keluar dalam menanggapi putusan tersebut justru lebih banyak berhulu pada respons politik, bukan berangkat melalui respons hukum. Sejatinya,suatu produk hukum dan pengadilan harus pula ditanggapi dengan kajian yuridis, bukan justru dihadapkan sekadar dengan analisis dan bumbu politis.

KPU pun kian menjadi sorotan tajam dan berada pada posisi yang dilematis serta terjepit dalam kondisi ini. Di satu sisi KPU wajib menjalankan putusan tersebut, di sisi lain apabila melaksanakan putusan tersebut dapat mengakibatkan guncangnya sendi-sendi sistem politik dan pemilu yang bermuara pada keterpilihan kursi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Titik Lemah Putusan

Putusan MA memang sudah dibacakan, namun ruang untuk mengkritiknya dalam koridor hukum tetaplah terbuka lebar. Tetap dengan menghormatinya, paling sedikit terdapat empat titik kelemahan krusial dalam putusan tersebut.

Pertama, permohonan sejenis untuk pengujian materi Pasal 23 ayat (1) Peraturan KPU No. 15/2009 sebenarnya pernah diajukan dan diputus pada 2 Juni 2009 dengan amar putusan menolak permohonan untuk pemohon Hasto Kristyanto dan tidak dapat diterima untuk pemohon A Eddy Susetyo (vide Putusan Nomor 12 P/HUM/2009).

Atas substansi permohonan yang sama dengan komposisi majelis yang sama pula, seyogianya permohonan yang diajukan oleh Zainal Ma’arif (vide Putusan Nomor 15 P/HUM/2009) tidak dapat diuji kembali (nebis in idem) atau setidak-tidaknya menyatakan amar putusan yang serupa, sebab apabila kita perbandingkan dalil dan materi permohonan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari keduanya.

Kedua, menafsirkan Pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dengan cara “Partai politik yang sudah memperoleh kursi pada tahap I karena mencapai BPP harus diikutkan kembali pada penghitungan perolehan kursi pada tahap II tanpa menggunakan sisa suara yang dimilikinya,tetapi secara utuh diperhitungkan semua suaranya,”(vide halaman 8) adalah tafsir yang terlalu dipaksakan.

Dengan cara penghitungan demikian, maka akan terjadi “double counting” dalam penentuan kursi, yaitu dihitung dua kali di tahap pertama dan juga di tahap kedua, hal mana bertentangan dengan prinsip "one person one vote". Tafsir ini pun tidak lagi kompatibel dengan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia.

Bila pun ada kelemahan karena dianggap tidak adil dalam mengonversi jumlah suara partai dengan jumlah suara kursi, maka hal ini memang sedari awal telah diakui secara sadar namun disepakati untuk tetap diberlakukan, mengingat tidak ada satu sistem pemilu pun yang hadir tanpa celah dan kelemahan masing-masing (Florian Bieber, 2007).

Ketiga, amar putusan a quo juga tidak konsisten dan sinkron antara satu dan yang lain. Angka kedua amar putusan justru memutuskan bahwa Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No No 15/2009 “Pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu UU No 10/2008,” (vide halaman 16). Dengan kata lain, diputus dalam ranah uji formil, padahal permohonan berbicara pada ranah pengujian materiil yang tentu keduanya memiliki konskuensi putusan berbeda.

Seandainya pun “pembentukannya” yang dianggap bertentangan, maka rujukan seharusnya adalah UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan UU No. 10/2008 mengenai Pemilu Legislatif.

Keempat, amar yang memerintahkan KPU untuk merevisi dan menunda pelaksanaan Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/2009 merupakan perintah yang kebablasan (overheated). Memutus permohonan tersebut tidak bisa serta-merta disandingkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh MK terkait penerapan Pasal 205, sebab objek dan kewenangan yang sedang dijalankan berada pada ranahnya masing-masing yang berbeda. Lagipula, apabila kita telaah secara cermat, Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 yang diadili oleh MA tanggal 18 Juni 2009 telah dinyatakan batal demi hukum oleh MK sejak 11 Juni 2009, sedangkan putusan MA tersebut diputus kemudian pada 18 Juni 2009.

Tentu masih banyak lagi aspek yang bisa diperdebatkan atas perkara yang diputus oleh MA tersebut. Misalnya berwenang atau tidaknya MA menguji peraturan KPU yang status dan kedudukannya memperoleh tempat khusus dalam peraturan perundang-undangan, atau terhadap keberlakuan surut-tidaknya suatu putusan judicial review.

Upaya Hukum

Tentu kita berharap, apabila terdapat ketidakpuasan atas putusan MA tersebut, para pihak juga dewasa menyikapinya dengan jalur hukum yang tersedia. Putusan MA sejatinya dihormati dengan pelaksanaan. Namun sepanjang masih tersedia upaya hukum dan apabila diperlukan, maka kreativitas yudisial (judicial creativity) berdasar hukum perlu ditempuh baik oleh KPU maupun para pihak yang merasa dirugikan dalam membuka jalur yang buntu.

Begitu pula dengan para hakim, dengan pertimbangan di atas seharusnya tidak perlu ragu melakukan aktivitas yudisial (judicial activism) seandainya bermaksud untuk meluruskan kembali putusan tersebut berdasarkan keadilan dan hati nuraninya (Kermit Roosevelt 2008). Upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atau menguji konstitusionalitas dan penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU 10/2009 ke Mahkamah Konstitusi, mungkin saja menjadi alternatif jalur solusi hukum yang dapat diambil.

Hanya saja yang perlu dipahami adalah ketika jalur hukum yang tersedia telah habis (exhausted), maka para pihak, suka tidak suka, mau tidak mau,harus tunduk dan patuh serta menghormati pada apapun putusannya nanti. Akhirnya KPU pun tidak perlu lagi merasa cemas atas putusan tersebut, sepanjang respons dan tindakan yang muncul adalah respons hukum, bukan sebaliknya, respons politik yang sering kali hanya berbicara untuk kepentingan sesaat. (*)

* Alumnus Pascasarjana Perbandingan Hukum Konstitusi (M.C.L.) pada Faculty of Law, University of Delhi. Pemerhati Hukum dan Konstitusi pada The Center of Law Information (The CeLI).

Link: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258646/

Monday, July 20, 2009

Lomba Karya Tulis Mahkamah Konstitusi 2009

Dear para pengunjung setia Blawg JURNAL HUKUM,

Sekedar menginfokan mungkin ada di antara rekan-rekan yang tertarik untuk ikut Lomba Karya Tulis dan/atau Foto Jurnalistik Mahkamah Konstitusi untuk Tahun 2009 ini. Info selengkapnya mengenai Lomba Karya Tulis dapat dilihat di bawah, sementara itu untuk Lomba Foto Jurnalistik keterangannya dapat diunduh di laman MK. Bagi rekan-rekan mahasiswa hukum, akan diadakan juga Lomba Debat Konstitusi yang infonya dapat ditanyakan kepada Dekanat Fakultas Hukum masing-masing. Jika berkenan, mohon info ini juga dapat disampaikan kepada yang membutuhkan.

Terima kasih dan selamat berpartisipasi.

Salam Hormat,

Pan Mohamad Faiz
Mahkamah Konstitusi RI


# http://jurnalhukum.blogspot.com#

* LOMBA KARYA TULIS MAHKAMAH KONSTITUSI 2009 *

Tema karya tulis yang dilombakan adalah Peran Mahkamah Konstitusi dalam Proses Demokratisasi.

Dengan sub tema:

  • Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Pemilihan Umum yang Jujur dan Adil;
  • Peran Mahkamah Konstitusi dalam Konsolidasi Demokrasi di Indonesia;
  • Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator;
  • Kekuatan dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Nasional;
  • Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional Warga Negara;
  • Menggagas Constitutional Complaint di Indonesia.
Lomba Karya Tulis MK ini terbuka bagi akademisi, jurnalis, dan masyarakat umum danLomba tidak diperuntukkan bagi segenap pegawai Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Para juara akan mendapatkan hadiah sebagai berikut:

Juara I : Uang Tunai Rp. 7.500.000,- + Piagam Penghargaan + buku-buku terbitan Setjen dan Kepaniteraan MKRI.

Juara II : Uang Tunai Rp. 6.500.000,- + Piagam Penghargaan + buku-buku terbitan Setjen dan Kepaniteraan MKRI.

Juara III : Uang Tunai Rp. 5.000.000,- + Piagam Penghargaan + buku-buku terbitan Setjen dan Kepaniteraan MKRI.

Pajak hadiah Lomba Karya Tulis ditanggung oleh pemenang.

Hasil karya pemenang dan finalis akan dimuat dalam Jurnal Konstitusi yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK.

Naskah soft copy dan hard copy karya tulis dikirimkan melalui pos kepada:

PANITIA LOMBA KARYA TULIS MK, Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat 10110/PO Box 999 Jakarta 10000.

Soft copy karya tulis dapat juga dikirimkan melalui Email: karyatulis@mahkamahkonstitusi.go.id. Naskah harus sudah diterima Panitia Lomba paling lambat Senin, 3 Agustus 2009 (cap pos).

Para pemenang namanya diumumkan di media massa dan laman MKRI: www.mahkamahkonstit usi.go.id.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Humas Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta 10110, telepon (021) 23529000 Ext. 18212, faks. (021) 386 3877.

Ketentuan penulisan dan sistematika penulisan juga dapat diunduh pada www.mahkamahkonstit usi.go.id.

Tuesday, June 30, 2009

Sengketa Antarcaleg

SENGKETA ANTARCALEG
Oleh: Pan Mohamad Faiz*

Usai sudah perhelatan 30 hari persidangan sengketa Pemilu Legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK). Data terakhir menunjukkan bahwa dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya 2 (dua) partai politik saja yang tidak mengajukan permohonan sengketa ke MK. Sedangkan untuk sengketa Pemilu anggota DPD, permohonan didaftarkan oleh 27 calon anggota perseorangan yang berasal dari berbagai provinsi di tanah air. Apabila dihitung jumlah keseluruhan kasusnya, maka Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2009 sebanyak 722 kasus atau sekitar 275% lebih banyak dari Pemilu 2004.

Meningkatnya jumlah kasus yang dipersengketakan di arena Mahkamah setidaknya disebabkan beberapa hal. Pertama, jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 membengkak hampir 100%, yaitu dari 24 partai politik menjadi 44 partai politik. Kedua, pemahaman dan kesiapan partai politik perihal penyelesaian sengketa Pemilu sedikit lebih baik dari sebelumnya. Ketiga, carut-marut proses penyelenggaraan Pemilu juga berimbas terhadap merebaknya kasus sengketa Pemilu kali ini.

Benarkah pelaksanaan Pemilu 2009 yang penuh dengan duri dan onak ini berakibat pada meningkatnya angka sengketa Pemilu? Statistika perkara PHPU 2009 memperlihatkan bahwa dari 615 kasus partai politik yang disidangkan oleh MK, ternyata sekitar 10,24% kasus dikabulkan, sedangkan 63,74% kasus ditolak, sejumlah 17,89% kasus tidak diterima, dan 17 kasus ditarik kembali, serta 7 kasus dipertintahkan untuk dilakukan penghitungan dan pemungutan suara ulang. Sementara itu, untuk kasus sengketa caleg perseorangan anggota DPD, hanya 3,74% dari 107 kasus yang dikabulkan oleh MK.

Angka statistik tersebut tentu tidak dapat dijadikan satu-satunya parameter mengenai berjalan mulus-tidaknya proses penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009. Sebab selain belum tertib-teraturnya pengajuan dan kelengkapan bukti permohonan para Pemohon, disinyalir masih banyak lagi sengketa dan perselisihan hasil Pemilu yang tidak sempat didaftarkan karena keterbatasan akses informasi dan minimnya tenggang waktu permohonan 3 x 24 jam. Belum lagi apabila perselisihan hasil penghitungan suara antarcaleg dalam satu parpol juga dihitung.

Potensi sengketa sebagaimana tersebut terakhir patut menjadi perhatian bersama, mengingat pasca dikeluarkannya Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, satu suara untuk seorang caleg akan menjadi amat berharga artinya karena penetapan caleg terpilih tidak lagi menggunakan nomor urut dalam satu partai, melainkan berdasarkan jumlah suara terbanyak.

Kewenangan Mahkamah

Masuknya permohonan sengketa antarcaleg dari beberapa partai politik besar dalam PHPU 2009 sebenarnya cukup menarik untuk dikaji. Pasalnya, perdebatan tajam sempat menyeruak di dalam persidangan tatkala KPU berpendapat bahwa permohonan demikian tidaklah menjadi kewenangan MK untuk memutuskannya, melainkan menjadi persoalan internal dari partai politik yang bersangkutan.

Ketentuan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK juncto Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 memang menegaskan bahwa para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU anggota DPR dan DPRD adalah partai politik peserta Pemilu, bukan calon anggota legislatif secara orang-perorangan. Lebih lanjut ditentukan pula bahwa permohonan PHPU haruslah memengaruhi perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, sehingga tidak berpindahnya kursi dari partai politik satu ke partai politik lain dalam konteks sengketa antarcaleg dianggap bukan menjadi objek sengketa Pemilu.

Perdebatan panjang tersebut akhirnya padam setelah MK turut memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan dari beberapa partai politik yang menyertakan kasus sengketa antarcaleg. Setidaknya terdapat 2 (dua) pertimbangan komulatif MK dalam memutus jenis sengketa tersebut: Pertama, syarat subjectum litis yaitu permohonan tersebut harus tetap diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik atau nama yang sejenisnya, bukan oleh masing-masing caleg yang bersangkutan secara otonom; Kedua, syarat objectum litis yaitu objek yang dipermasalahkan haruslah tetap Keputusan KPU tentang perolehan suara hasil Pemilu yang berkaitan dengan perolehan suara setiap caleg dalam satu parpol.

Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa permohonan PHPU yang memengaruhi perolehan kursi partai politik kini diartikan tidak saja terbatas pada “berpindahnya” suatu kursi legislatif dari parpol satu ke parpol lainnya, namun juga “bergeser” atau “beralihnya” kursi caleg terpilih kepada caleg lainnya dalam satu parpol. Penafsiran tersebut semakin diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah yang mengabulkan setidaknya 14 (empat belas) permohonan sengketa antarcaleg yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat partai-partai politik.

Pisau Bermata Dua

Secara yuridis, penyebutan istilah “sengketa antarcaleg” sebenarnya kurang tepat, karena yang berhadapan tetap KPU dan Partai Politik. Namun oleh karena alasan dan karakteristik praksis, penggunaan istilah “sengketa antarcaleg” cenderung lebih mudah dipahami publik. Terlepas dari penggunaan istilah tersebut, sengketa antarcaleg bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dapat mengembalikan hak-hak para caleg yang terciderai, namun di sisi lain berpotensi membuka rupa dan tindak-tanduk dari caleg lainnya yang sama-sama sedang berkompetisi dalam satu parpol.

Apabila inti permasalahan sengketa antarcaleg hanyalah seputar kesalahan teknis penghitungan angka-angka akibat human error, maka hal tersebut tidaklah perlu dikhawatirkan. Namun seandainya saja yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa antarcaleg adalah adanya indikasi penggelembungan atau penyusutan suara, kampanye intimidasi dan berbau SARA, atau jual-beli suara yang dilakukan oleh para caleg satu parpol untuk memperoleh suara terbanyak, maka nama baik caleg dan parpol yang bersangkutan sudah pasti akan menjadi taruhannya. Pada titik inilah besar kemungkinan teori Thomas Hobbes dalam Leviathan yang menyatakan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) dapat terjadi.

Berdasarkan kacamata Partai Politik, mencuatnya sengketa antarcaleg ke permukaan justru berpotensi menjadi boomerang bagi kredibilitas dan integritas kader-kader partai di mata anggota dan konstituennya sendiri, terlebih lagi jika indikasi penyimpangan tersebut dilakukan secara berjamaah dengan melibatkan caleg-caleg tertentu. Akan tetapi sebaliknya, menurut perspektif masyarakat umum, terbukanya jalur sengketa antarcaleg justru dapat memperkuat fungsi saling kontrol dan evaluasi terhadap penyimpangan para caleg atau kandidat peserta Pemilu dalam proses berdemokrasi.

Jika memang alam demokrasi Indonesia ingin dibangun di atas pondasi kejujuran dan keadilan, sejatinya partai politik yang sehat dan modern tidak perlu khawatir dengan munculnya sengketa antarcaleg, apalagi atas nama Dewan Pimpinan Pusat sampai harus menghalang-halangi proses pencarian hukum dan keadilan bagi para kadernya sendiri.

Tindakan parpol adalah cerminan dalam bernegara; masyarakat kini semakin pandai dalam memberikan penilaian terhadap hal tersebut. Seandainya saja suatu parpol tidak mau dan tidak mampu mengelola konflik internalnya, maka sulit rasanya memberikan kepercayaan dan harapan kepadanya dalam menjalankan tugas yang lebih berat lagi yaitu mengelola bangsa yang besar dan pluralistik seperti Indonesia. Semoga kita semua dapat memetik pelajaran berharga ini guna perbaikan dan penyempurnaan Pemilu 2014.

* Pendiri Lembaga Pengkajian Hukum dan Kepemerintahan Indonesia (LPHKI).

Monday, June 08, 2009

Sang "Markus" (Cerpen Bagian I)

SANG “MARKUS”
(Cerpen Bagian I)

Hari itu, Sabtu (16/5), suara dering SMS tiba-tiba membangunkan tidurku. Dengan setengah nyawa yang baru terkumpul, sambil berbaring aku menggapai sumber bunyi tersebut. Aku arahkan sentuhan jari pada Mini Mouse untuk membuka pesan singkat yang masuk. Click! Seketika itu juga pesan singkat terpampang pada layar HP-ku.

“Pak Faiz, klien gw ada yang nawarin utk bayar spy menang kasusnya di mk. Gw bilang jng percaya, siang ini gw akan ketemu klien gw utk bahas ini sekaligus cari tau soal ini. Gw mao cari tau siapa yg mau ambil keuntungan.”

Spontan saja hatiku langsung berteriak.

“Gila!! Belum juga ada seminggu, kok udah ada yang pengen ngerusak semuanya!”.
Tanpa pikir panjang, segera aku jawab pesan tersebut.

“Mana mungkin mereka bisa pastiin menang, pembuktiannya terbuka dan akses ke hakim juga terbatas. Kita koordinasi aja dulu, kl jelas kita ambil tindakan. Bisa jadi ini kelakuan pihak ketiga yg coba2 cari untung di tengah kesempatan, pas sidang pilkada kmrn juga ada yg jual nama-nama hakim”.

Tidak lama berselang, sinar matahari menembus jendela ruangan dan memaksa mataku menatap ke arah jam dinding yang berada tepat di atasnya. Saat itu waktu tengah menunjukan pukul 11.10 WIB.

“Wah, udah siang! Pasti sebentar lagi tamu-tamu mulai berdatangan”, sergaku di dalam hati sambil cepat-cepat bangkit dari kolong meja kerja.

Segera sajaku tinggalkan kasur lipat yang menemaniku sependek pagi ini. Kuraih peralatan mandi seadanya dan langsung berlari menuju ke arah kamar mandi.

Maklumlah, tamu-tamu setia MK yang kami tunggu biasanya mulai berdatangan setelah pukul 12 siang. Mereka berencana datang kembali untuk memperbaiki teknis penomoran alat-alat bukti permohonan.

Selama seminggu penuh, yakni sejak dibukanya meja permohonan pada tanggal 9 Mei yang lalu, Tim Penanganan sengketa Pemilu di MK (Tim 69) memang lebih banyak bermalam di kantor. Tim 69 sengaja dipersiapkan sejak 3 (tiga) bulan sebelumnya guna menerima dan memeriksa ratusan sengketa yang masuk .

Pendaftaran permohonan dibuka selama 3 x 24 jam non-stop. Mulai siang hingga larut malam biasanya menjadi waktu rutin berdatangannya gelombang permohonan. Sedangkan di waktu malam hingga beranjaknya sang surya menjadi masa dimana kami memilah dan memetakan permohonan tersebut.

Kala itu, kasus yang terpetakan baru berjumlah 492 kasus. Namun belakangan ini, setelah semuanya melewati persidangan pemeriksaan, ternyata teridentifikasi menjadi sekitar 623 kasus dari 70 perkara permohonan yang masuk. Sejumlah perkara tersebut diajukan oleh 42 partai politik dan 28 calon perseorangan anggota DPD.

Permasalahan utamanya, selain kesemuanya harus diputus tidak lebih dari 30 hari kerja, ternyata banyak bukti-bukti permohonan yang diajukan pada awal proses penerimaan yang masih kacau balau. Padahal, jumlahnya terus menggunung hingga mampu menutupi ruangan Cyang berukuran 16 x 28 meter persegi.

***

Selepas mandi, aku bergegas kembali ke ruangan dan langsung memeriksa telpon genggam sambil berharap ada balasan info penting lainnya yang aku terima terkait denan SMS sebelumnya. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan yang telah disepakati, sebenarnya aku dan Tim 69 lainnya sejak awal tidak diizinkan untuk berhubungan dengan pihak luar yang memiliki keterkaitan dengan sengketa yang sedang diperiksa.

Agak berat bagiku memang, karena tidak biasanya aku menjaga jarak atau bahkan menutup komunikasi dengan orang lain, apalagi terhadap kawan sendiri. Semua jadi serba aneh dan seakan-akan dunia bersosialisasi yang menjadi rutinitas keseharianku perlahan mulai berubah. Tetapi memang demikianlah peran yang dituntut kepada kami untuk beberapa waktu ke depan. Awalnya, aku terima pembatasan itu sebagai bentuk komitmen bersama. Namun entah mengapa, kali ini nuraniku justru berbicara lain.

“Biarlah aku dimarahi atau dikenai sanksi. Toh, bukannya ini justru menjadi salah satu bentuk pengawalan dari proses pemeriksaan PHPU?", tanyaku pada hati kecil.

“Lagipula, aku kenal betul siapa yang sedang diajak berkomunikasi ini. Seorang aktivis LBH yang telah teruji integritasnya selama bertahun-tahun. Jadi sudah pasti, tentunya kami berdua tidak akan rela apabila MK kemudian terjangkiti para “Markus” (makelar kasus)”, gumamku meyakinkan diri sendiri.

Dua pertimbangan di ataslah yang memberanikan diriku untuk meneruskan komunikasi dengan salah satu kawan baikku tersebut. Lagipula, apa yang sedang dia tangani juga tidak ada sangkut pautnya dengan tugas-tugas langsungku. Dengan mengucap bismillahirahmanirrahim, ku bulatkan niat baik ini.

Pertentangan yang tengah terjadi pada batinku tiba-tiba terhenti. “Beep! Beep!” Pesan singkat kembali masuk ke telpon genggamku. Setelah kubuka, terbaca pesan singkat sebagai berikut.
“Ini salah satu sms ke klien saya: … Bpk Mahfud masih menunggu komitmen bapa utk di bantu,karna pesaing bapa telah melakukan kecurangan, itu menurut beliau terima kasih”.

Belum selesai ku cerna dengan baik tulisan tersebut, satu pesan singkat masuk kembali.
“Tp tunggu jelas dulu infonya ya pak faiz. Nanti gw kabari stelah bertemu”.

Hmm…, mungkin inilah yang namanya instinct pertemanan. Nampaknya ada kesamaan sikap antara aku dan dia yang sama-sama tidak mau tergesa-gesa dalam mengambil tindakan. Perlu adanya titik terang terlebih dahulu dari peristiwa yang mengagetkan di pagi itu.

Setelah beberapa kali berbalas SMS, akhirnya aku sudahi komunikasi kami dengan mengirimkan pesan singkat.

“Ok, ok. Sip, kita berburu bersama… Mereka jatuh pada orang yg salah!”


***

Sejak awal memang sudah diantispasi dan diduga bahwa selama proses pemeriksaan sengketa Pemilu, MK akan disusupi oleh para “Markus”. Hal ini setidaknya dapat terbaca berdasarkan pengalaman MK pada PHPU tahun 2004 dan pemeriksaan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) lima bulan yang lalu.

Konon pada tahun 2004, baik para pihak yang berperkara maupun pihak ketiga di luar MK, disinyalir telah mencoba untuk menggoyahkan kemandirian institusi hukum yang berjuluk “pengawal konstitusi” ini. Serbuan komplotan “Markus” tersebut terus terendus ketika MK memeriksa perkara Pemilukada untuk Kabupaten Kerinci dan perkara Kabupaten Belu.

Melihat kondisi yang mulai meresahkan pada saat itu, melalui press conference tanggal 16 Januari 2009 yang lalu, Ketua MK Moh. Mahfud MD. menceritakan bahwa keluarganya sempat dihubungi oleh orang-orang tak dikenal yang mengaku telah membawa uang 2,5 miliar untuk para hakim MK. Mereka mengaku bernama Lopes dan Awiku yang sedang bermalam di Hotel Aryaduta (Kompas, 16/1).

Sontak saja perbuatan tersebut membuat berang seluruh Hakim MK dan sebagian besar pegawai MK. Pasalnya, kerja keras dan usaha mereka untuk mempertahankan reputasi MK sebagai pengadilan yang bersih dari praktik suap menjadi terusik.

Pertanyaannya, mengapa para “Markus” tiba-tiba bangun dari kuburnya tatkala MK menangani sengketa terkait dengan Pemilihan Umum? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Tiap kewenangan pemeriksaan yang dimiliki oleh MK disadari memiliki muatan perbedaan baik dari subyek pihak yang berperkara maupun obyek yang diperkarakan.

Pemeriksaan pengujian undang-undang pada dasarnya hanya melibatkan pihak-pihak dari Pemohon, Pemerintah, dan DPR. Materi persidangannya pun pasti bermuara pada konstitusionalitas keberadaan dari suatu undang-undang, baik itu secara materiil maupun formil. Artinya, kepentingan yang dipermasalahkan umumnya tidak memiliki keterikatan secara langsung pada individu yang berperkara (non-contentious). Akan tetapi, hal tersebut lebih menekankan pada institusi hukum dan objectum litis dari perkara yang sedang diperiksa.

Sedangkan, pemeriksaan sengketa Pemilu memiliki karakteristik khusus, yakni “win or lost” bagi para pihak yang berperkara. Kepentingannya pun langsung terletak pada keterpilihan seseorang untuk duduk sebagai Kepala Daerah. Apabila diperkarakan, maka keabsahan penyelenggaraan Pemilu untuk memastikan seorang menjadi Gubernur, Walikota, Bupati, atau anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten menjadi amat ditentukan pada persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Putusannya pun sebenarnya akan mudah sekali ditebak. Sebab, proses pemeriksaan yang dilaksanakan tentunya hanya akan mengarah pada dua muara putusan dengan rumus 50%-50% (fifty-fifty), yaitu menang bagi Pemohon (permohonan dikabulkan) atau kalah bagi Pemohon (permohonan ditolak atau tidak diterima).

Di sinilah modus operandi para “Markus” subur bermain. Dengan atau tanpa mengatasnamakan para Hakim dan para pejabat lainnya di lingkungan MK, tanpa informasi sedikitpun para “Markus” dapat menjanjikan 50% kemenangan kepada Pemohon.

Liciknya, sang Markus akan menghubungi kedua belah pihak yang sedang berperkara, yaitu Pemohon selaku calon yang tidak terpilih dan Pihak Terkait selaku calon terpilih.

Seandainya saja para “Markus” tersebut menjanjikan kemenangan kepada kedua belah pihak yang sedang berseteru, maka sudah pasti 100% probabilitas kemenangan yang dibuat oleh sang “Markus” akan selalu tepat jatuh kepada salah satu pihak yang berperkara.

Celakanya, hingga hari ini masih banyak masyarakat yang menggantungkan harapan pada permainan suap dan jual-beli perkara di lingkungan MK. Akibatnya, (mungkin) masih ada pihak-pihak yang dengan mudah tertipu atau setidaknya tergiur pada tipu muslihat yang demikian!


***

Dua minggu sejak pertama kali aku menerima SMS mengenai “Markus”, nyatanya aroma praktik tersebut semakin terendus kuat. Tepat pada Selasa (2/6) pagi, salah satu atasan MK menghampiri dan memberikan lembaran kertas yang berisi semacam transkrip pembicaraan.

“Ini Faiz. Coba komentari”, tandasnya lugas.

Mataku langsung melayang dan membaca secara cepat transkrip dialog antara dua orang yang tertulis “Penelpon” dan “Pemohon” secara bergantian. Pikiranku langsung menyeruak,

“Markus??”.

Ternyata dugaanku benar. Lembaran yang sedang aku baca adalah hasil transkrip negosiasi yang dilakukan melalui telepon genggam. Dari pembicaraan tersebut diketahui bahwa Penelpon mengaku kenal dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD. Dirinya meminta sejumlah uang jikalau perkara yang diajukannya ingin dimenangkan.

Untuk meyakinkan Pemohon, sang “Markus” juga menyeret beberapa nama petinggi MK, yaitu Janedjri M. Gaffar (Sekretaris Jenderal) dan Zainal Arifin Hoesein (Panitera).

“Ada yang aneh!”, pikirku tajam.

Firasatku menduga bahwa sang Markus pastilah pihak ketiga di luar MK. Sebab, penyebutan nama dan status para petinggi MK tersebut adalah salah besar.

Pertama, sang Markus meminta agar Pemohon mentransfer Rp 50 juta ke rekening BCA Nomor 7600372216 atas nama Moh. Machfud.

“Pakai c yah namanya, pakai c..”, jelas sang Markus berulang kali sebagaimana tertulis pada transkrip pembicaraan tersebut.

Padahal, nama sesungguhnya dari Ketua MK adalah Moh. Mahfud MD., tanpa menggunakan satupun huruf “c”.

Kedua, sang Markus yang mengaku sebagai Sekretaris Jenderal salah menyebutkan nama dan jabatannya sendiri.

“Pak Jendri M. Jaffar, saya Sekjen dari Kepaniteraan MK”, pungkas sang Penelpon transkrip.

Bagi yang paham betul, tentunya akan tersenyum ketika membaca perkataan tersebut. Sebab, antara Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK adalah dua lingkup bidang kerja yang berbeda. Sekjen membawahi Sekretariat Jenderal, sedangkan Kepaniteraan dibawahi oleh Panitera. Keduanya tidak saling merangkap satu sama lainnya.

“Sekarang sedang dilangsungkan press conference di atas. Pak Ketua mencoba mengklarifikasi berita-berita itu”, jelas sang atasan memotong keseriusanku yang sedang mencermati lembar demi lembar transkrip di tangan.

“Oh, baguslah. Karena ini sama persis Pak dengan apa yang pernah saya laporkan kepada Bapak dua minggu lalu”, ungkapku.

Sejak menerima petunjuk tentang keberadaan para “Markus” yang mulai melancarkan aksinya, aku memang memberikan informasi tersebut hanya kepada kalangan terbatas, yaitu kepada mereka yang aku anggap mempunyai palu kebijakan utama untuk dapat menindaklanjuti.

Rupanya gayung bersambut. Semakin santernya berita tersebut ternyata mengharuskan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk angkat bicara dan membeberkan praktik para “Markus” yang tengah beredar. Para “Markus” ibarat binatang buas dan liar ketika mengincar calon mangsanya yang tidak lain adalah para pihak yang sedang berperkara. Modus operandinya pun cukup terbilang lihai. Gerakannya juga tidak dapat terbaca riil. Lebih dalam lagi, mereka sangat selektif dalam memilih calon korban.

Berdasarkan keterangan para Pemohon, setidaknya sudah ada 3 (tiga) pihak yang sedang berusaha didekati oleh para “Markus”. Pertama, calon anggota DPD dari Maluku, Thamrin Elly; Kedua, calon anggota DPD dari Papua, Pdt. Ellion; dan Ketiga, calon anggota DPD dari Jawa Tengah, Natalie.

Dalam kesempatan press conference tersebut, Mahfud MD. sempat berseru keras,.

“Vonis di sini tidak akan bisa dibeli dengan harga semahal apapun. Semua bukti-bukti yang dikirim ke rumah saya dan hakim-hakim yang lain dengan maksud memenangkan perkara akan berakhir di kotak sampah!”, tegasnya.

Entah berapa banyak lagi korban atau calon korban yang mungkin terjerat oleh perangkap sang “Markus” ini. Himbauan yang didukung oleh pemberitaan hampir di seluruh media massa cetak sehari setelahnya (3/6) rupanya cukup membantu untuk mengingatkan publik bahwa berperkara di MK tidak dapat dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, para Pemohon diharapkan tidak sedikitpun terpancing dengan tawaran atau janji-janji surga terhadap perkara yang mereka ikuti.

Terhadap kejadian tersebut, pihak MK pun telah meneruskan laporan kepada pihak yang berwajib untuk dapat segera ditindaklanjuti. Sejatinya aku berkeyakinan bahwa dengan petunjuk yang telah ada, pelaku kasus ini dapat dengan mudah ditangkap, karena nomor telpon-nya pun ikut terlacak, yaitu 0817-1377XX. Namun nyatanya hingga hari ini (8/6), aku belum juga menerima kabar apapun.

“Mungkin pihak kepolisian memerlukan waktu lebih lama untuk dapat meringkus sindikat ‘Markus’ tersebut secara tepat dan menyeluruh”,
pikirku positif.

Dalam hati aku berdoa:

“Ya Allah, aku hanya minta satu hal. Hindarkanlah MK ini dari terpaan kasus-kasus yang bisa merusak legitimasi kepercayaan masyarakat kepadanya. Kami dan seluruh warga hukum lainnya amat merindukan kehadiran peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa. Jika saja akhirnya MK turut tumbang di kemudian hari, maka kiranya sulit bagiku untuk mengembalikan semangat keikhlasan dan pengabdian diri terhadap suatu institusi hukum negara di negeri tercinta ini.”


Fiuhh.., aku lalui hari itu dengan penuh tanya dan harap. Batinku kemudian berbisik,

“Hush Faiz, jangan berlarut-larut. Pekerjaan setumpuk permohonan sudah menunggu tuk diperiksa, tauk!”

***


… bersambung …

Friday, May 29, 2009

Pemuda dan Konstitusi

PEMUDA DAN KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Disampaikan sebagai bahan pengantar untuk Acara “Kampus Konstitusi” yang ditayangkan secara tunda melalui jaringan TV Jawa Pos Multimedia Corporation (JPMC) di JakTV, JTV, C-TV, Batam TV, dsb. pada 28-29 Mei 2009 Pukul 22.00 WIB.

Pendahuluan


Terbukanya pintu reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional membawa banyak perubahan dalam struktur dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu hal yang terlihat jelas yaitu terjadinya arus perubahan dalam memandang konstitusi sebagai paradigma baru dalam bernegara yaitu cita konstitusionalisme dengan menyinergikan antara konstitusi dengan demokrasi hingga membentuk konsep demokrasi konstitusi (constitutional democracy). Pensakralan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 pun akhirnya tumbang setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 melalui empat kali tahapan pada tahun 1999 sampai dengan 2002.

Walaupun dari segi nama tidak mengalami banyak perbedaan, namun dari sisi substansi UUD 1945 mengalami perubahan yang cukup mendasar. Konsep bernegara, struktur kelembagaan, dan penegasan terhadap perlindungan hak asasi manusia menjadi tiga hal utama yang menjadi tema sentral dalam proses amandemen tersebut. Hasilnya, 71 butir ketentuan yang ada sebelumnya telah bertambah menjadi 199 butir ketentuan.

Dengan demikian, sulit untuk dapat mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia telah memahami konstitusi (baru) secara baik dan benar. Oleh karena itu, agar masyarakat dapat lebih memahami secara mendalam terhadap konstitusinya sendiri yang dilandasi atas dasar konsensus bersama, maka konstitusi harus dapat lebih dibumikan sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Di tengah gencarnya arus perubahan, maka pemuda dan mahasiswa yang menyandang status selaku agent of change menjadi elemen penting yang dapat membantu melaksanakan amanah konstitusi tersebut. Apalagi jika mengingat kembali jarum jam sejarah, merekalah yang awalnya menjadi tombak terdepan dalam mengantarkan perubahan ini. Oleh karenanya, selain diharapkan mampu memahami konstitusi secara utuh, para pemuda Indonesia sejatinya juga diharapkan dapat mengawal sekaligus melaksanakan nilai-nilai ketentuan yang termaktub di dalamnya.

Hak dan Kewajiban Konstitusi


Ketentuan dan kepentingan yang terkait langsung antara aktivitas warga negara dengan Konstitusi terutama terletak dalam hal kewajiban dan hak konstitusinya (constitutional obligations and rights). Jauh pada saat penyusunannya di masa kemerdekaan, para pendiri negara Indonesia telah menempatkan “hak” sebagai unsur penting di dalam Konstitusi. Kata “hak” pertama kali langsung terbaca pada alinea pertama Pembukaan UUD yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa …”. Kekuatan dasar dari peletakan kata hak tersebut tidak saja dapat dimaknai sebagai hak bagi bangsa Indonesia, namun juga secara universal menjadi hak dari seluruh bangsa-bangsa yang ada dunia.

Apabila dicermati secara rinci, ketentuan perlindungan terhadap hak warga negara pasca amandemen UUD 1945 menjadi jauh lebih banyak jumlahnya daripada perintah untuk melaksanakan kewajiban bagi warga negara. Perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 menghasilkan satu bab khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perkataan “hak” dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I sejumlah 47 kata yang apabila dihitung penormaannya tentu jauh lebih besar lagi. Keseluruhan dari penempatan ketentuan norma hak tersebut semata-mata sebagai penguatan jaminan atas perlindungan terhadap hak konstitusional bagi segenap warga negara Indonesia.

Beberapa hak tersebut di antaranya, yaitu hak untuk hidup (Pasal 28A), hak untuk membentuk keluarga (Pasal 28B), hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28C dan Pasal 31), hak dalam hal pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum (Pasal 28D), hak untuk berserikat dan berkumpul (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28E), hak untuk memperoleh rasa aman dan bebas dari penyiksaan (Pasal 28G), hak dalam jaminan sosial dan perlindungan terhadap milik pribadi (Pasal 28H), dan hak-hak mendasar lainnya.

Lebih lanjut, UUD 1945 juga menentukan hak baik bagi lembaga negara, Presiden, maupun Pemerintah Daerah guna menjalankan tugas dan kewenangannya. Konstitusi turut pula menegaskan bahwa negara wajib mengakui hak-hak tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Sedangkan ketentuan “kewajiban” di dalam tubuh Konstitusi sebenarnya lebih menekankan pada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara. Namun demikian, warga negara juga tetap memiliki kewajiban yang tidak bisa diindahkan, seperti misalnya kewajiban warga negara untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan (Pasal 27), kewajiban sekaligus hak untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27 dan Pasal 30), kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain (Pasal 28I), serta kewajiban bagi warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dengan catatan bahwa pemerintah pulalah yang wajib membiayainya [Pasal 31 ayat (2)].

Intergenerasi Konstitusi


Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah banyak bermunculan segudang para ahli, pakar, dan pengamat hukum tata negara Indonesia pada zamannya masing-masing. Setidaknya terdapat empat generasi yang membawa pengaruh terhadap pertumbuhan konstitusionalisme di Indonesia. Pertama, pada masa awal dan pra-kemerdekaan, hadir tokoh-tokoh nasional seperti Muhammad Yamin, Soepoemo, dan kawan-kawan. Kedua, pada masa orde lama menuju ke orde baru, hadir Djokosoetono, Padmo Wahyono, Sri Soemantri, Oemar Seno Adji, hingga Ismail Sunny. Ketiga, para begawan konstitusi yang turut membidani peralihan dari masa orde baru ke masa reformasi, seperti misalnya Jimly Asshiddiqie, Harun Al-Rasyid, Bagir Manan, Moh. Mahfud MD., dan Yusril Ihza Mahendra, serta para anggota Forum Konstitusi. Keempat, generasi terakhir pada saat ini yang turut membangkitkan gairah kehidupan konstitusi, seperti misalnya Satya Arinanto, Denny Indrayana, Saldi Isra, dan puluhan pakar tata negara lainnya pasca berdirinya Pusat Studi Konstitusi (PKK) di 34 perguruan tinggi di Indonesia.

Tentunya masing-masing pihak memilik versi dan pandangan yang berbeda mengenai generasi konstitusi di Indonesia, termasuk pula nama-nama lain yang belum tersebutkan di atas. Akan tetapi, dalam konteks ini yang hendak dikemukakan adalah bahwa generasi tersebut tentunya memiliki pandangan dan pemikiran yang beraneka ragam terhadap konstitusi dan konstitusionalisme di Indonesia. Garis perbedaan tersebut setidaknya terlihat pada cara pandang terhadap konstitusi yang awalnya bersifat tertutup menjadi semakin lebih terbuka dan progresif. Kajian terhadap konstitusi semakin hari di antara generasi menjadi semakin berkembang sebagaimana sifat asli dari konstitusi itu sendiri yaitu hidup mengikuti zamannya. Terlebih lagi, perkembangan sistem ketatanegaraan dan perbandingan konstitusi dari negara lain kini telah menjadi salah satu referensi yang diikutsertakan, sehingga objek studi dan kajiannya pun menjadi lebih luas dan beragam.

Mencermati pentingnya suatu konstitusi yang kokoh dan mampu mengikuti kebutuhanya zamannya, maka pembangunan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih memahami dan menyadari akan nilai-nilai konstitusi menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu diperlukan pembinaan secara umum terhadap masyarakat dan penekunan secara khusus bagi para penerus dan pemikir-pemikir konstitusi yang telah ada. Sehingga, tidak akan lagi terjadi sedikit pun kevakuman berpikir terhadap konstitusi sebagaimana sempat tercipta pada masa orde baru yang lalu

Penutup

Memahami konstitusi beserta isinya baik secara sepintas maupun secara menyeluruh adalah suatu keharusan bagi setiap warga negara, tidak terkecuali bagi para pelajar dan mahasiswa yang berlatar belakang non-hukum. Hal demikian menjadi penting karena konstitusi memuat aturan tentang sistem penyelenggaraan bernegara dan perlindungan terhadap hak-hak dasar bagi warga negaranya (constitutional basic rights). Tidak ada satu pun dari negara demokratis yang tidak meletakan konstitusi sebagai pilar dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegaranya.

Pemuda Indonesia yang pada saat ini jumlahnya mencapai sekitar 80 juta jiwa, menjadi amat penting sebagai subyek utama dan pertama yang harus memahami dan membumikan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi. Sebagai generasi yang berada di tengah-tengah, pemuda dapat menjadi katalisator dan akomodator sejumlah gagasan-gagasan segar baik dari generasi sebelumnya maupun dari generasi selanjutnya. Dengan demikian, perkembangan konstitusi diharapkan akan dapat terus berjalan sebagaimana mestinya melalui pembinan dan regenerasi pemahaman konstitusi yang berkesinambungan, sistematis, dan stabil.

Apalagi, pasca reformasi dan perubahan UUD 1945, konstitusi dan hukum ketatanegaraan bukan lagi sekedar objek teoritis. Akan tetapi dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi, implementasi teori dan upaya hukum tata negara telah memperoleh ladang praktik yang subur. Pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi menjadi lebih hidup dan berkembang. Oleh karenanya, konstitusi kini bukan lagi menjadi lantunan pasal-pasal mati yang pada umumnya selalu dijadikan sebagai pemanis kebijakan dan formalitas belaka.

* Penulis adalah pemerhati hukum dan konstitusi.

Thursday, May 07, 2009

Sengketa Pemilu dan Masa Depan Demokrasi

SENGKETA PEMILU DAN MASA DEPAN DEMOKRASI
Oleh: Pan Mohamad Faiz *

Perhelatan akbar pesta demokrasi nasional guna memilih calon anggota legislatif 2009 berlangsung penuh warna. Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu Indonesia yang melibatkan ribuan calon anggota legislatif guna memperebutkan sekitar 18.960 kursi, kerap menghiasi pemberitaan utama di media massa. Hal demikian semakin bertambah panas manakala sistem Pemilu yang digunakan menisbatkan sebagai sistem Pemilu terumit di dunia. Walhasil, benih-benih potensi sengketa Pemilu menjamur hampir di sebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait dengan cara dan proses penghitungan suara.

Pada dasarnya, ragam potensi sengketa Pemilu tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Untuk pelanggaran yang menyentuh ranah administratif menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap pelanggaran pidana Pemilu masuk ke dalam ranah pengadilan umum. Sementara itu, PHPU menjadi domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.

Sejatinya, sesuai dengan Pasal 250 dan Pasal 257 UU Pemilu Legislatif, pelanggaran administratif harus terselesaikan maksimum 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu, sedangkan untuk pelanggaran pidana Pemilu harus sudah diputus paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Artinya, jika Pasal 201 mengharuskan adanya penetapan hasil suara Pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari pemungutan suara, atau singkatnya pada 9 Mei 2009 nanti, maka seyogyanya pidana pelanggaran Pemilu sudah harus diputus tuntas pada tanggal 4 Mei yang lalu.

Namun apa daya, hampir sebagian besar laporan dari kedua jenis pelanggaran tersebut ternyata tidak ditindaklajuti dengan baik, bahkan terkesan ditangani secara serampangan. Alih-alih mengakomodasi keberatan para peserta Pemilu, nyatanya tidak jarang dipilih jalan pendek nan mudah dengan sengaja melempar bola muntah atau memberikan “anjuran sesat” untuk mencari segala penyelesaian jenis sengketa ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, UU telah mengatur batasan tegas kewenangan penyelesaian antara jenis sengketa satu dengan lainnya.

Pada titik inilah dapat disimpulkan bahwa ternyata jenjang dan pembagian ranah penyelesaian sengketa Pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, MK pada akhirnya diposisikan sebagai “Mahkamah Keranjang” untuk menerima beragam jenis sengketa Pemilu. Asumsi ini boleh jadi terbukti benar, tatkala sejumlah 60 konsultasi permohonan yang telah diterima MK hingga Selasa (5/4) kemarin, justru lebih banyak mengurai kasus-kasus pelanggaran administratif dan pidana.

Pengujian Stamina

Berkaca dari pengalaman Pemilu lima tahun yang lalu, MK memang tengah mempersiapkan mekanisme yang lebih efektif dan efisien untuk menangani sengketa Pemilu 2009. Pasalnya, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Pemilu, sengketa yang akan muncul diprediksi meningkat mencapai 250% hingga 400%. Apabila pada tahun 2004 MK meregistrasi 273 kasus dari 448 kasus yang diterima, maka pada tahun ini sengketa yang masuk berdasarkan Daerah Pemilihan (Dapil) dapat mencapai kisaran hingga 2.172 kasus, yang terdiri dari 77 kasus DPR, 217 kasus DPRD Provinsi, 1.843 DPRD Kabupaten, dan 33 kasus DPD, serta ditambah 2 kasus Parliamentary Threshold (PT). Sedangkan apabila permohonan dikerucutkan berdasarkan Partai Politik (44) dan Provinsi DPD (33), maka akan ditemukan 77 perkara permohonan yang dari setiap permohonannya tersebut sudah dipastikan membawa kasus yang beranak-pinak.

Di sinilah letak ujian stamina terberat bagi MK untuk memutus seluruh sengketa yang akan masuk. Sebab berdasarkan Pasal 78 huruf b UU MK, waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya sangatlah terbatas, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Bahkan ada tuntutan untuk memangkas waktu penyelesaian menjadi hanya 21 hari, semata-mata demi persiapan pelaksanaan Pilpres yang lebih matang. Oleh karenanya, kini penghitungan waktu penyelesaian tidak dapat lagi menggunakan sekedar ukuran hari, namun harus diubah menjadi hitungan jam dan menit.

Dalam keadaan normal, suatu perkara di MK umumnya diputuskan setelah melalui lima kali tahapan persidangan dan dua kali Rapat Permusawaratan Hakim (RPH). Sehingga untuk menyelesaikan sejumlah 77 perkara atau 2.172 kasus yang masuk, setidaknya dibutuhkan sebanyak 385 kali persidangan dan 154 kali RPH dalam kurun waktu hanya 720 jam yang kemudian harus dibagi secara rinci untuk Sidang Panel (260 jam), Rapat Panel Hakim (52 jam), Perancangan Putusan (130 jam), dan RPH (26 jam).

Dengan kata lain, untuk setiap harinya MK harus mampu mengejar target rata-rata tidak kurang dari dua belas kali persidangan guna memeriksa puluhan kasus Pemilu di dalam setiap persidangannya. Apabila mencermati kondisi demikian, maka besar kemungkinan Jaya Suprana akan menghadiahi MK sebagai calon pemegang rekor persidangan terbanyak dan mencatatnya di dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).

Pertaruhan Demokrasi

MK yang lahir dari rahim reformasi telah diberikan mandat konstitusi untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan hasil Pemilu. Inilah kali kedua dalam sejarah demokrasi Indonesia, para peserta Pemilu memperoleh akses untuk melakukan legal action guna mempertahankan hak konstitusional atas perolehan hasil suara yang diraihnya. Merujuk pada banyaknya kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu 2009, maka banyak pihak yang kemudian menaruh harapan pada persidangan MK agar proses Pemilu yang dianggap terciderai dapat dikembalikan pada esensi dan substansinya yang mulia.

Di sinilah beban berat yang akan dipikul oleh MK, terlebih lagi dalam posisinya sebagai the last gatekeeper of democracy. Tak ayal dalam beberapa kesempatan, Hakim Konstitusi Maruarar mengumpamakan perhelatan PHPU mendatang sebagai “perang besar” (the big war), yakni perang untuk memurnikan noda-noda demokrasi dalam Pemilu.

Pada harinya, pagelaran persidangan terbuka selama 30 hari non-stop di gedung MK adalah milik publik seutuhnya. Oleh karena itu, andil dan peran serta masyarakat luas sejatinya amat diperlukan untuk turut mencermati dan menilai secara berimbang terhadap proses pencarian nilai-nilai keadilan demokratis. Dengan demikian, lebih dari sekedar untuk menutup kesempatan bagi pihak ketiga melancarkan praktik suap dan jual-beli perkara, proses persidangan yang transparan dan akuntabel dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk meningkatkan “civic and political education” bagi warga negara.

Akhirnya, ribuan caleg dan masyarakat luas kini tinggal menunggu dikeluarkannya Penetapan KPU dalam beberapa hari ke depan. Ketika palu penetapan dijatuhkan di meja Pleno KPU, maka pada saat itulah perang besar mempertahankan kesucian demokrasi dimulai. Mampukah MK mengatasi penyelesaian ribuan kasus Pemilu dalam kurun waktu 30 hari?

Optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlukan. Jika di masa transisi ini bangsa Indonesia kembali berhasil menyelesaikan sengketa Pemilu tanpa adanya pertempuran fisik dan pertumpahan darah, maka jalan mewujudkan negara hukum yang demokratis di masa mendatang akan semakin terbuka lebar.

* Anggota Tim Penanganan Perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.

Sunday, May 03, 2009

Perubahan Iklim dalam Perlindungan Konstitusi (Bagian II)

PERUBAHAN IKLIM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN:
SUATU KAJIAN BERPERSPEKTIF HUKUM KONSTITUSI

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.
(Sambungan Tulisan dari BAGIAN PERTAMA: Baca Sebelumnya atau Download Makalah dalam Format PDF)
2. Ekokrasi (Ecocracy)


Selain Indonesia, hak-hak serta kewajiban konstitusional terkait dengan lingkungan hidup juga terdapat di dalam berbagai konstitusi negara-negara dunia, misalnya Afrika Selatan (1996), Angola (1992), Armenia (1995), Belanda (1983), Bhutan (2008), Brasil (1988), Chili (1980), Ekuador (2008), Filipina (1987), Ghana (1992), India (1976), Korea Selatan (1987), Nepal (2007), Perancis (2006), Portugal (1976), Spanyol (1978), dan lain sebagainya.

Dari sejumlah konstitusi negara dunia tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie terdapat dua negara yang dapat dikatakan memiliki perlindungan kuat terhadap lingkungan hidup, yaitu Perancis dan Ekuador. Negara Perancis memasukan Piagam Lingkungan Hidup 2004 (Charter for the Environment of 2004) secara utuh ke dalam Pembukaan Konstitusinya, sehingga konsekuensinya adalah seluruh batang tubuh Konstitusi Perancis haruslah bernafaskan nilai-nilai dan norma ketentuan yang pro-lingkungan.[1]

Lebih hebat lagi yaitu Konstitusi Ekuador yang memberikan hak terhadap lingkungan sebagai subyek hukum sederajat dengan hak asasi manusia. Oleh karenanya banyak pihak yang menyandangkan istilah “The Real Green Constitution” kepada negara Ekuador. Kelima ketentuan Konstitusi terkait dengan lingkungan hidup yang terdapat dalam Konstitusi Ekuador adalah sebagai berikut:[2]

Pasal 1: “Nature or Pachamama, where life is reproduced and exists, has the right to exist, persist, maintain and regenerate its vital cycles, structure, functions and its processes in evolution. Every person, people, community or nationality, will be able to demand the recognitions of rights for nature before the public organisms. The application and interpretation of these rights will follow the related principles established in the Constitution”.

Pasal 2: “Nature has the right to an integral restoration. This integral restoration is independent of the obligation on natural and juridical persons or the State to indemnify the people and the collectives that depends on the natural systems. In the cases of severe or permanent environmental impact, including the ones caused by the exploitation on non renewable resources, the State will establish the most efficient mechanisms for the restoration, and will adopt the adequate measures to eliminate or mitigate the harmful environmental consequences”.

Pasal 3: “The State will motivate natural and juridical persons as well as collectives to protect nature; it will promote respect towards all the elements that an ecosystem”.

Pasal 4: “The State will apply precaution and restriction measures in all the activities that can can lead to the extinction of species, the destruction of the ecosystems or the permanent alteration of the natural cycles”.

Pasal 5: “The persons, people, communities and nationalities will have the right to benefit from the environment and form natural wealth that will allow wellbeing”.

Belum lagi apabila kita melihat pada tataran Konstitusi di tingkat regional dan global,[3] kini juga sedang diwacanakan untuk dimasukannya norma-norma lingkungan hidup di dalam konstitusi tersebut. Sebagai contoh adalah Konstitusi Uni Eropa pada Pasal II-97 tentang “Environmental Protection” yang berbunyi:

“A high level of environmental protection and the improvement of the quality of the environment must be integrated into the policies of the Union and ensured in accordance with the principle of sustainable development.”[4]

Terhadap gambaran di atas, maka kini di berbagai belahan dunia muncul gagasan yang dinamakan ekokrasi (ecocracy). Embrio global ecocracy pertama kali hadir dalam the Brundtland Report. Menurut Henry Skolimowski, konsepsi ekokrasi ini lebih pada bentuk pengakuan terhadap kekuatan alam dan kehidupan yang ada di dalamnya, pemahaman mengenai keterbatasan lingkungan, elemen kerjasama dengan alam, serta yang terpenting yakni menciptakan sistem ekologi yang berkelanjutan dengan penghormatan terhadap bumi berserta isinya dan tidak melakukan perampasan secara eksploitatif tanpa perhitungan.[5]

Ekokrasi juga bertujuan untuk menciptakan sistem berkelanjutan yang dapat mendukung dan membawa kebaikan terhadap seluruh makhluk yang ada di dunia, baik yang hidup sekarang ini maupun yang akan datang. Secara sederhana, konsep ekokrasi ini merupakan perluasan terhadap keterbatasan dari konsep demokrasi. Selain demokrasi tidak mungkin lagi dapat dibatasi untuk suatu wilayah atau negara tertentu saja, demokrasi juga harus dapat memastikan bahwa pelaksanaannya di masing-masing negara tidak akan membahayakan negara lain ataupun melukai alam itu sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan kata lain, Jacqueline Aloisi de Larderel dalam “Living in an Ecocracy” menggambarkan ekokrasi sebagai sistem aktivitas yang diukur melalui standar-standar internasional mengenai perlindungan terhadap lingkungan dan alam. Artinya, konsep ini ditujukan untuk mengintegrasikan kembali kehidupan antara makhluk hidup di dunia, yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan dalam lingkungan yang ramah alam.[6]

Namun demikian, mendesaknya pembentukan konsep ekokrasi secara internasional menurut Wolfgang Sachs bukan tanpa halangan.[7] Oleh karenanya, para penggiat lingkungan harus secara terus-menerus dan bertahap memberikan pencerahan terhadap gagasan tersebut. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan “green policy” yang dimuat secara formal melalui berbagai kebijakan baik oleh organisasi di tingkat internasional maupun pemerintahan resmi di tingkat nasional.

3. Juristokrasi (Juristocracy)

Menurut Andi Hamzah, penegakan hukum yang cocok dengan kondisi Indonesia meliputi segi preventif dan represif, terutama yang memiliki keterlibatan pemerintah untuk turut aktif meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum lingkungan sangatlah rumit, karena hukum lingkungan berdiri di atas titik pertemuan pelbagai bidang hukum, seperti administratif, perdata, dan pidana, bahkan kadangkala sampai menyentuh juga hukum pajak, pertanahan, tata negara, dan hukum internasional baik publik maupun privat.[8]

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum yang disampaikan oleh Andi Hamzah di atas, maka peranan konstitusi sebagai “langit” dari segala bidang hukum nasional menjadi teramat penting, sebab konstitusi merupakan titik puncak tertinggi piramida aturan bernegara dari segala hukum yang berlaku di dalam negeri. Dalam teori stufenufbau der rechtsordnung, Hans Nawiasky menyebutnya dengan istilah “staatsgrundgesetz”.[9]

Dalam konteks tersebut, konstitusionalisasi norma lingkungan hidup di dalam UUD 1945 dapat menjadi salah satu cara untuk menegakkan hukum baik secara preventif maupun represif. Adanya norma perlindungan terhadap lingkungan di dalam konstitusi secara otomatis akan menjadi pedoman tidak hanya dalam penyusunan undang-undang organiknya namun juga segala tindakan dan macam laku dari para pemangku kebijakan, baik itu pemerintah, pihak swasta, ataupun masyarakat madani (civil society).

Apabila hal tersebut ternyata tetap disimpangi, maka rumusan penegakan hukum yang kemudian berlaku adalah tindakan represif terhadap produk perundang-undangan atau tindakan yang dianggap melanggar atau bertentangan dengan konstitusi (constitutional violation).

Adalah buah reformasi dan perubahan UUD 1945 yang menciptakan berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengadilan ketatanegaraan sekaligus sebagai implementasi mekanisme checks and balances antarcabang kekuasaan negara. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar atau biasa dikenal dengan sebutan constitutional review.

Inilah kali pertamanya undang-undang dapat dimajukan ke muka persidangan untuk diuji konstitusionalitasnya, setelah gagasan ini sempat muncul-tenggelam sejak tahun 1945.[10] Konsekuensi hukumnya bahwa apabila ada undang-undang yang dianggap bertentangan dengan norma-norma konstitusi yang tercantum pada Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 perihal perlindungan terhadap lingkungan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan keberlakuannya jika terbukti bertentangan dengan UUD 1945.

Ran Hirschl mengistilahkan mekanisme dan tren pengambilan keputusan penting oleh para Hakim di pengadilan yang turut mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dan kebijakan negara oleh karena paham konstitusionalisme baru yg sedang berkembang di negara tersebut dengan konsep “Juristokrasi” (Juristocracy).[11]

Berkaca pada perkembangan dan peran pengadilan di negara-negara lain, khususnya negara maju yang menerapkan sistem common law, maka dengan mudah akan kita temukan betapa pengadilan memiliki andil besar dan strategis dalam membuat keputusan-keputusan sejarah bagi pembangunan negaranya, bahkan tidak jarang harus berseberangan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang sah karena dianggap tidak sesuai dengan konstitusinya.

Begitu pula dengan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia, secara bertahap setiap tahunnya, permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik secara formil maupun materiil, terus meningkat. Menariknya, pertimbangan hukum yang menjadi alur dan kerangka berpikir sebelum akhirnya jatuh kepada amar putusan, menjadi tafsir resmi konstitusi oleh MK selaku the final interpreter of the constitution yang dapat dijadikan landasan penguat bagi perlindungan terhadap lingkungan berperspektif konstitusi.

Dengan demikian, kajian hukum tata negara yang awalnya hanya sebatas teoritik di atas kertas, maka kini setelah terbentuknya MK berubah secara perlahan menjadi teoris-praktis yang menyebabkan tumbuh suburnya kajian konstitusi di hampir seluruh Fakultas Hukum di Indonesia. Adapun beberapa putusan yang terkait dengan issu lingkungan hidup, di antaranya yaitu:

Pertama, dalam putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004 disebutkan bahwa setiap interpretasi terhadap suatu ketentuan dalam Pasal-Pasal UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut. Tafsiran inilah yang melatarbelakangi pertimbangan mengapa Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dapat memperkuat posisi dan kedudukan norma lingkungan di dalam Pasal 28H UUD 1945.

Dalam Putusan yang sama pada halaman 112 ditegaskan bahwa terkait dengan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, negara c.q. pemerintah harus memanfaatkan sumber-sumber kekayaan dengan tetap memelihara sebagaimana mestinya. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan cara mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[12]

Kedua, MK dalam Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 bertanggal 19 Juli 2005 mengenai pengujian Sumber Daya Air (SDA) memuat pertimbangan hukum bahwa aspek hak asasi yang harus dijamin oleh negara, yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi harus juga dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena secara langsung menyangkut eksistensi manusia. Oleh karenanya, negara juga perlu terlibat secara aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang tujuannya untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Perencanaan tersebut menyangkut banyak hal, di antaranya adalah usaha konservasi sumber air, yang pada dasarnya merupakan campur tangan manusia dalam siklus hidrologis, agar air tersedia dengan cukup pada saat air diperlukan oleh manusia.[13]

Ketiga, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 013/PUU-III/2005 bertanggal 12 September 2005 menegaskan bahwa politik hukum kehutaan Indonesia adalah dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi manusia Indonesia sekarang dan generasi yang akan datang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan dalam rangka implementasi pembangunan nasional yang berkesinambungan (sustainable development) sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, khususnya di bidang pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup.

Dalam putusan tersebut MK juga menegaskan bahwa peranan negara dengan hak menguasai atas bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk hak untuk mengatur, mengusahakan, memelihara dan mengawasi, dimaksudkan agar terbangun lingkungan yang baik dan berkelanjutan (sustainable development) yang ditujukan kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang tidak boleh dikurangi atau bahkan diabaikan. Akhirnya MK juga menyuarakan betapa pentingnya peran negara, masyarakat, dan perusahaan yang bergerak dalam ekploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam untuk ikut bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum terhadap dampak negatif atas kerusakan lingkungan tersebut.[14]

Keempat, perkara yang terakhir kali diputuskan oleh MK yaitu Perkara Nomor 021/PUU-III/2005 bertanggal 21 April 2009 perihal uji materi ketentuan kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dalam UU PT. Dalam pertimbangannya MK menuliskan bahwa TJSL merupakan kebijakan negara yang menjadi tanggung jawab bersama untuk bekerjasama (to cooperate) antara negara, pelaku bisnis, perusahaan, dan masyarakat. Bukan sebaliknya untuk mencari lubang-lubang (loopholes) kelemahan terhadap ketentuan hukum yang kemudian dieksploitasi untuk menghindari (to evade) tanggung jawab tersebut.

TJSL merupakan affirmative regulation yang menurut argumentasi aliran hukum alam bukan saja menuntut untuk adanya kepatuhan moral dan spirit untuk bekerjasama dan bukan sekedar mematuhi atau menghindarinya atau bahkan mengeksploitasi kelemahan-kelemahan untuk memperoleh keuntungan dari tidak dilaksanakannya ketentuan tersebut manakala tindakan tersebut akan memperbesar risiko yang harus ditanggung terhadap kehidupan manusia baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang (just saving principle).[15]

D. SIMPULAN DAN SARAN

Sebelum mengakhiri tulisan ini, Penulis hendak memberikan beberapa saran sebagai pewacanaan perlindungan terhadap lingkungan di masa yang akan datang melalui kacamatan dan hasil kajian berperspektif hukum konstitusi.

Pertama, meskipun UUD 1945 sudah mencantumkan beberapa ketentuan terkait dengan lingkungan hidup, akan tetapi apabila dibandingkan dengan konstitusi negara-negara dunia lainnya, Indonesia masih dapat dikatakan sebagai negara yang tidak terlalu tegas mengatur konstitusionalisasi prinsip-prinsip lingkungan hidup di dalam konstitusinya. Kiranya dalam kesempatan amandemen UUD 1945 yang kelima, perlu untuk diformulasikan norma-norma perlindungan terhadap lingkungan dan hak asasi manusia yang lebih kuat lagi dengan alasan-alasan dan dampak negatif atas permasalahan lingkungan sebagaimana telah diuraikan secara panjang-lebar di dalam makalah ini.

Bahkan sudah seharusnya konstitusionalisasi norma lingkungan hidup di dalam konstitusi dibuat secara terpisah dan tidak lagi digabungkan dengan bagian lainnya yang mengesankan lingkungan adalah faktor subsidair di bawah faktor ekonomi atau hanya sekedar untuk dieksploitasi demi keuntungan dan pertumbuhan ekonomi. Perlindungan terhadap lingkungan seharusnya dapat dibaca dari perspektif hak asasi manusia.

Oleh karena issu permasalahan lingkungan dan khususnya perubahan iklim adalah issu bersama sekaligus menjadi kepentingan bersama seluruh warga negara, maka sudah seyogyanya penguatan norma lingkungan di dalam konstitusi memperoleh posisi yang sentral, karena tidak mengandung kepentingan politis-pragmatis dari kelompok atau golongan tertentu.

Lebih lanjut, penafsiran konstitusinya pun pada saat penyusunan konstitusionalisasi norma lingkungan hidup secara derivatif harus disimpan dan disiapkan secara cermat, sehingga akan terdapat standard dan parameter untuk menjelaskan lebih lanjut frasa-frasa khusus terkait lingkungan apabila nantinya diperlukan.

Kedua, mekanisme pengujian konstitusionalitas yang ada dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita barulah sebatas produk undang-undang saja. Terhadap produk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak terdapat mekanisme untuk pengujian konstitusionalitasnya. Dengan demikian akan menjadi amat disayangkan apabila saran nomor pertama berhasil dilaksanakan, namun dalam kenyataannya mekanisme uji konstitusionalitas masih setengah hati.

Sebagai perumpamaan, misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang dikeluarkan pada tanggal 4 Februari 2008, tidak mungkin dapat diuji konstitusionalitasnya apabila mekanisme pengujian yang ada masih seperti sekarang ini. Padahal menurut kajian WALHI, PP tersebut berpotensi menghancurkan 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia yang tersisa.

Di masa yang akan datang perlu juga dipertimbangkan untuk menempatkan kewenangan pengujian konstitusionalitas seluruh produk peraturan perundang-undangan di bawah satu atap agar tercipta integrasi sistem perundang-undangan yang sejalan dengan UUD 1945 secara vertikal-berjenjang. Ketiadaan mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) juga dapat menjadi penghambat tatkala terdapat warga negara atau sekelompok warga negara yang hendak maju ke muka persidangan dengan alasan dirugikan hak konstitusionalnya akibat rusaknya lingkungan sekitar disebabkan pencemaran yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.


Ketiga, dengan atau tidak tercapainya saran pertama dan/atau kedua, sosialisasi terhadap konstitusionalisasi norma lingkungan hidup teramat penting untuk selalu dilakukan. Setidak-tidaknya pengingkatan pengetahuan konstitusi lingkungan dapat diberikan kepada kalangan penentu kebijakan negara untuk setiap level pemerintahan, tidak terkecuali bagi para hakim (jurists).

Lebih-lebih, para pejabat negara dan pemerintahan telah bersumpah untuk melaksanakan isi konstitusi dengan sungguh-sungguh. Dengan meningkatnya kesadaran ekologis (ecology awareness) di antara para pengambil kebijakan diharapkan dapat turut memberikan pencerahan kepada warga negara secara bertahap dan menyeluruh. Sehingga ketika terjadi benturan antara kepentingan kelestarian lingkungan dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi, maka para pengambil kebijakan dapat secara sadar memilih kepentingan kelestarian lingkungan sebagai prioritas utama dan pertamanya.

Keempat, berdasarkan teori pemerintahan dikatakan bahwa dalam perkembangannya negara-negara bangsa (nation-states) kini haruslah berkolaborasi dan bekerjasama dengan para aktor di luar pemerintahan untuk meraih tujuan bernegaranya. Kecenderungan demikian semakin dibutuhkan tatkala umat manusia berbicara mengenai permasalahan di level lingkungan global, khususnya perubahan iklim, dimana negara-negara bangsa haruslah berperan dan bertanggung jawab baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan korporasi transnasional (transnational corporation) dan organisasi non-pemerintah (non-governmental organization).

Dalam konteks ilmu politik dan hubungan internasional, negara-negara dunia pada era globalisasi seperti sekarang ini haruslah juga meningkatkan cara kerja melalui sistem jaringan. Oleh karenanya, kordinasi yang optimal di antara para aktor negara harus dilakukan melalui sistem hierarki pemerintahan, kompetisi pasar, dan jaringan hibrida, tanpa harus menyerahkan kedaulatan negara di berbagai bidang kehidupan kepada pihak-pihak tertentu. Inilah yang kemudian disebut oleh Williamson (1996) sebagai "Mechanism of Governance".[16]

E. PENUTUP

Ketika negara-negara di berbagai belahan dunia telah memasukkan ketentuan lingkungan ke dalam konstitusinya sejak lama, Indonesia baru menciptakan undang-undang payung mengenai perlindungan terhadap lingkungan hidup pada tahun 1982.[17]

Bersyukurlah kini bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945, norma lingkungan hidup telah dikonstitusionalisasikan. Memang sudah seharusnya Indonesia bukan lagi memiliki sekedar “undang-undang payung”, tetapi haruslah “undang-undang langit”, yaitu ketentuan lingkungan hidup yang masuk di dalam batang tubuh Konstitusi sebagai dasar dari segala dasar peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan tindakan yang dilakukan oleh negara dan segenap warganya atas kerangka berpijak yang pro-lingkungan.

Setelah dunia teryakini oleh Al Gore akan bahaya serius yang mengancam umat manusia akibat rusaknya lingkungan hidup,[18] kini dalam buku terbarunya “Hot, Flat and Crowded”, Thomas L. Friedman mengumandangkan strategi “Geo-Greenism” untuk mengantisipasi dampak serius dari pemanasan global dan perubahan iklim dengan batas waktu akhir tahun 2050. Friedman secara jelas dan tegas menyampaikan betapa pentingnya dilakukan Revolusi Hijau (Green Revolution) dengan berulang kali memperkenalkan istilah Green President, a Green New Deal, dan the Greenest Generation.[19]

Dalam suatu diskursus mengenai politik hijau (green politics), Andrew Dobson membedakan cara yang tepat antara dark-green dan light-green untuk mengatasai permasalahan lingkungan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti sistem pemerintahan, gaya hidup, komunitas, insentif fiskal, kewarganegaraan ekologikal, serta status dan kelas sosial. Namun pada akhirnya, Dobson menekankan pentingnya mengambil momentum untuk menentukan langkah radikal dalam politik hijau sebelum akhirnya umat manusia terlambat mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin tidak terkendalikan.[20]

Meskipun berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 ditentukan bahwa negara, terutama pemerintah dalam hubungannya dengan kewajiban yang ditimbulkan oleh hak asasi manusia, diwajibkan untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill), maka kita semuanya pun sebagai bagian dari umat manusia yang memiliki kedudukan sama di hadapan sang Pencipta harus pula mengemban kewajiban dan tanggung untuk secara bersama dan bahu-membahu mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, khususnya perubahan iklim.

Kini sudah tibalah waktunya bagi segenap bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan konstitusional yang mendasar untuk menyusun kembali tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai dan prinsip perlindungan terhadap lingkungan. Jika bukan generasi saat ini yang melakukannya, maka tidak mustahil bangsa Indonesia akan kehilangan generasi penerusnya pada masa yang akan datang.



***



CATATAN KAKI

[1] Lihat The French National Assembly, Constitution of French, tersedia pada http://www.assemblee-nationale.fr/english/8ab.asp#PREAMBLE, diakses terakhir kali tanggal 23 April 2009.

[2] University of Richmond, Constitution of Equador, tersedia pada http://cofinder.richmond.edu/ country.php, diakses terakhir kali tanggal 23 April 2009.

[3] Daniel M. Bodansky, “Is There an International Environmntal Constitution?”, dalam Indiana Journal of Global Legal Studies, University of Georgia School of Law, Oktober, 2008.

[4] Europe, A Constitution for Europe, tersedia pada http://europa.eu/scadplus/constitution/index_en.htm, diakses terakhir kali tanggal 23 April 2009.

[5] P2P Philosophical Foundation, “The Eco-Philosophy of Henry Skolimowski”, dalam Michel Bauwens, Foundation for Peer to Peer Alternatives Newsletter Issue 67, 2005.

[6] Jacqueline Aloisi de Larderel, Living in an Ecocracy, United Nations Environment Programme, Paris, 1999.

[7] Lihat Wolfang Sachs, “Towards Global Ecocracy?”, The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power, 1992.

[8] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 49-50.

[9] Lihat Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.

[10] Moh. Mahfud MD., “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah dipresentasikan dalam the World Conference on Constitutional Justice di Cape Town, Afrika Selatan pada tanggal 23-24 Januari 2009.

[11] Ran Hirschl, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism, Harvard University Press, 2005.

[12] Lihat Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, diputus tanggal 15 Desember 2004.

[13] Lihat Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, diputus tanggal 19 Juli 2005.

[14] Lihat Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 013/PUU-III/2005, diputus tanggal 12 September 2005.

[15] Lihat Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor 021/PUU-III/2005, diputus tanggal 21 April 2009.

[16] Lihat O.E. Williamson, The Mechanism of Governance, Oxford University Press, New York dan Oxford, 1996.

[17] Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkung Hidup (UUPLH).

[18] Al Gore, An Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It, Rodale Books, 2006.

[19] Lihat Thomas L. Friedman, Hot, Flat and Crowded, Farrar, Straus and Giroux, 2008.

[20] Andrew Dobson, Green Political Thought, Routledge Taylor & Francis Group, New York, 2007, hlm. 147.

*****


DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, Hamid A., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

___________, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer (BIP), Jakarta, 2007.

Bodansky, Daniel M., “Is There an International Environmntal Constitution?”, dalam Indiana Journal of Global Legal Studies, University of Georgia School of Law, Oktober, 2008.

Djajadiningrat, Surna T., Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta.

Dobson, Andrew, Green Political Thought, Routledge Taylor & Francis Group, New York, 2007.

Erwin, Muhamad, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Faiz, Pan Mohamad, Human Rights Protection and Constitutional Review: A Basic Foundation of Sustainable Development in Indonesia, makalah dipresentasikan pada ISSM 2008 di Delft, Belanda pada tanggal 13 Mei 2007.

Finger, Matthias, “Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, eds., The Crisis of Global Environmental Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability, Routledge Taylor & Francis Group, New York, 2006.

Friedman, Thomas L., Hot, Flat and Crowded, Farrar, Straus and Giroux, 2008.

Gore, Al An Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It, Rodale Books, 2006.

Gunningham, Neil dan Peter Grabosky, Smart Regulation: Designing Environmental Policy, Oxford Socio-Legal Studies, Oxford University Press, 2004.

Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Hirschl, Ran, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism, Harvard University Press, 2005.

Khitoliya, R.K., Environment Protection and the Law, A.P.H. Publishing Corporation, New Delhi, 2002.

Larderel, Jacqueline Aloisi de, Living in an Ecocracy, United Nations Environment Programme, Paris, 1999.

Mahfud MD. Moh., Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998.

__________, Moh., “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah dipresentasikan dalam the World Conference on Constitutional Justice di Cape Town, Afrika Selatan pada tanggal 23-24 Januari 2009.

McBeath, Jerry dan Jonathan Rosenberg, Comparative Environmental Politics, Springer, 2006.

McGoldrick, Dominic, “Sustainable Development and Human Rights: An Integrated Conception”, dalam The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 45, No. 4, Oktober, 1996.

Murdiyarso, Daniel, Protokol Kyoto: Implikasonya bagi Negara Berkembang, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.

___________, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.

National Assessments Synthesis Team, Climate Change Impacts on the United States, Cambridge University Press, Cambridge, 2000.

P2P Philosophical Foundation, “The Eco-Philosophy of Henry Skolimowski”, dalam Michel Bauwens, Foundation for Peer to Peer Alternatives Newsletter Issue 67, 2005.

Payne, Dinah M. dan Cecily A. Rainborn, “Sustainable Development: The Ethics Support the Economics”, dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw Hill, 2008.

Robinson, “Comparative Environmental Law: Evaluating How Legal Systems Address Sustainable Development”, dalam Environmental Policy and Law, Vol. 27, No. 4, 1997.
Sachs, Wolfang, “Towards Global Ecocracy?”, The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power, 1992.

Salim, Emil, “Jika Iklim Berubah”, dalam Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.

Soemartono, R.M. Gatot P., Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Weller, Gunther dan Patricia Anderson, eds., Implications of Global Climate Change in Alaska and the Bering Sea Regions, Center for Global Change and Arctic System Research, University of Alaska Fairbanks, 1998.

Williamson, O.E., The Mechanism of Governance, Oxford University Press, New York dan Oxford, 1996.

World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987.

INTERNET

Europe, A Constitution for Europe, tersedia pada http://europa.eu/scadplus/constitution/index_en.htm, diakses terakhir kali tanggal 23 April 2009.

UNFCCC, List of Annex I Parties to the Convention, tersedia pada http://unfccc.int/parties_and_observers/parties/annex_i/items/2774.php, diakses ter-akhir kali pada tanggal 22 April 2009.

The French National Assembly, Constitution of French, tersedia pada http://www.assemblee-nationale.fr/english/8ab.asp#PREAMBLE, diakses terakhir kali tanggal 23 April 2009.

University of Richmond, Constitution of Equador, tersedia pada http://cofinder.richmond.edu/ country.php, diakses terakhir kali tanggal 23 April 2009.

PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 002/PUU-I/2003, diputus tanggal 15 Desember 2004.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, diputus tanggal 19 Juli 2005.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 013/PUU-III/2005, diputus tanggal 12 September 2005.

Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor 021/PUU-III/2005, diputus tanggal 21 April 2009.

Ganga Pollution Tanneries Case.

M.C. Mehta Vs. Kamal Nath.

Rural Litigation Entitlement Kendra Dehradun Vs. State of U.P.