SENGKETA ANTARCALEG
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Usai sudah perhelatan 30 hari persidangan sengketa Pemilu Legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK). Data terakhir menunjukkan bahwa dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya 2 (dua) partai politik saja yang tidak mengajukan permohonan sengketa ke MK. Sedangkan untuk sengketa Pemilu anggota DPD, permohonan didaftarkan oleh 27 calon anggota perseorangan yang berasal dari berbagai provinsi di tanah air. Apabila dihitung jumlah keseluruhan kasusnya, maka Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2009 sebanyak 722 kasus atau sekitar 275% lebih banyak dari Pemilu 2004.
Meningkatnya jumlah kasus yang dipersengketakan di arena Mahkamah setidaknya disebabkan beberapa hal. Pertama, jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 membengkak hampir 100%, yaitu dari 24 partai politik menjadi 44 partai politik. Kedua, pemahaman dan kesiapan partai politik perihal penyelesaian sengketa Pemilu sedikit lebih baik dari sebelumnya. Ketiga, carut-marut proses penyelenggaraan Pemilu juga berimbas terhadap merebaknya kasus sengketa Pemilu kali ini.
Benarkah pelaksanaan Pemilu 2009 yang penuh dengan duri dan onak ini berakibat pada meningkatnya angka sengketa Pemilu? Statistika perkara PHPU 2009 memperlihatkan bahwa dari 615 kasus partai politik yang disidangkan oleh MK, ternyata sekitar 10,24% kasus dikabulkan, sedangkan 63,74% kasus ditolak, sejumlah 17,89% kasus tidak diterima, dan 17 kasus ditarik kembali, serta 7 kasus dipertintahkan untuk dilakukan penghitungan dan pemungutan suara ulang. Sementara itu, untuk kasus sengketa caleg perseorangan anggota DPD, hanya 3,74% dari 107 kasus yang dikabulkan oleh MK.
Angka statistik tersebut tentu tidak dapat dijadikan satu-satunya parameter mengenai berjalan mulus-tidaknya proses penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009. Sebab selain belum tertib-teraturnya pengajuan dan kelengkapan bukti permohonan para Pemohon, disinyalir masih banyak lagi sengketa dan perselisihan hasil Pemilu yang tidak sempat didaftarkan karena keterbatasan akses informasi dan minimnya tenggang waktu permohonan 3 x 24 jam. Belum lagi apabila perselisihan hasil penghitungan suara antarcaleg dalam satu parpol juga dihitung.
Potensi sengketa sebagaimana tersebut terakhir patut menjadi perhatian bersama, mengingat pasca dikeluarkannya Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, satu suara untuk seorang caleg akan menjadi amat berharga artinya karena penetapan caleg terpilih tidak lagi menggunakan nomor urut dalam satu partai, melainkan berdasarkan jumlah suara terbanyak.
Kewenangan Mahkamah
Masuknya permohonan sengketa antarcaleg dari beberapa partai politik besar dalam PHPU 2009 sebenarnya cukup menarik untuk dikaji. Pasalnya, perdebatan tajam sempat menyeruak di dalam persidangan tatkala KPU berpendapat bahwa permohonan demikian tidaklah menjadi kewenangan MK untuk memutuskannya, melainkan menjadi persoalan internal dari partai politik yang bersangkutan.
Ketentuan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK juncto Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 memang menegaskan bahwa para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU anggota DPR dan DPRD adalah partai politik peserta Pemilu, bukan calon anggota legislatif secara orang-perorangan. Lebih lanjut ditentukan pula bahwa permohonan PHPU haruslah memengaruhi perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, sehingga tidak berpindahnya kursi dari partai politik satu ke partai politik lain dalam konteks sengketa antarcaleg dianggap bukan menjadi objek sengketa Pemilu.
Perdebatan panjang tersebut akhirnya padam setelah MK turut memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan dari beberapa partai politik yang menyertakan kasus sengketa antarcaleg. Setidaknya terdapat 2 (dua) pertimbangan komulatif MK dalam memutus jenis sengketa tersebut: Pertama, syarat subjectum litis yaitu permohonan tersebut harus tetap diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik atau nama yang sejenisnya, bukan oleh masing-masing caleg yang bersangkutan secara otonom; Kedua, syarat objectum litis yaitu objek yang dipermasalahkan haruslah tetap Keputusan KPU tentang perolehan suara hasil Pemilu yang berkaitan dengan perolehan suara setiap caleg dalam satu parpol.
Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa permohonan PHPU yang memengaruhi perolehan kursi partai politik kini diartikan tidak saja terbatas pada “berpindahnya” suatu kursi legislatif dari parpol satu ke parpol lainnya, namun juga “bergeser” atau “beralihnya” kursi caleg terpilih kepada caleg lainnya dalam satu parpol. Penafsiran tersebut semakin diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah yang mengabulkan setidaknya 14 (empat belas) permohonan sengketa antarcaleg yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat partai-partai politik.
Pisau Bermata Dua
Secara yuridis, penyebutan istilah “sengketa antarcaleg” sebenarnya kurang tepat, karena yang berhadapan tetap KPU dan Partai Politik. Namun oleh karena alasan dan karakteristik praksis, penggunaan istilah “sengketa antarcaleg” cenderung lebih mudah dipahami publik. Terlepas dari penggunaan istilah tersebut, sengketa antarcaleg bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dapat mengembalikan hak-hak para caleg yang terciderai, namun di sisi lain berpotensi membuka rupa dan tindak-tanduk dari caleg lainnya yang sama-sama sedang berkompetisi dalam satu parpol.
Apabila inti permasalahan sengketa antarcaleg hanyalah seputar kesalahan teknis penghitungan angka-angka akibat human error, maka hal tersebut tidaklah perlu dikhawatirkan. Namun seandainya saja yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa antarcaleg adalah adanya indikasi penggelembungan atau penyusutan suara, kampanye intimidasi dan berbau SARA, atau jual-beli suara yang dilakukan oleh para caleg satu parpol untuk memperoleh suara terbanyak, maka nama baik caleg dan parpol yang bersangkutan sudah pasti akan menjadi taruhannya. Pada titik inilah besar kemungkinan teori Thomas Hobbes dalam Leviathan yang menyatakan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) dapat terjadi.
Berdasarkan kacamata Partai Politik, mencuatnya sengketa antarcaleg ke permukaan justru berpotensi menjadi boomerang bagi kredibilitas dan integritas kader-kader partai di mata anggota dan konstituennya sendiri, terlebih lagi jika indikasi penyimpangan tersebut dilakukan secara berjamaah dengan melibatkan caleg-caleg tertentu. Akan tetapi sebaliknya, menurut perspektif masyarakat umum, terbukanya jalur sengketa antarcaleg justru dapat memperkuat fungsi saling kontrol dan evaluasi terhadap penyimpangan para caleg atau kandidat peserta Pemilu dalam proses berdemokrasi.
Jika memang alam demokrasi Indonesia ingin dibangun di atas pondasi kejujuran dan keadilan, sejatinya partai politik yang sehat dan modern tidak perlu khawatir dengan munculnya sengketa antarcaleg, apalagi atas nama Dewan Pimpinan Pusat sampai harus menghalang-halangi proses pencarian hukum dan keadilan bagi para kadernya sendiri.
Tindakan parpol adalah cerminan dalam bernegara; masyarakat kini semakin pandai dalam memberikan penilaian terhadap hal tersebut. Seandainya saja suatu parpol tidak mau dan tidak mampu mengelola konflik internalnya, maka sulit rasanya memberikan kepercayaan dan harapan kepadanya dalam menjalankan tugas yang lebih berat lagi yaitu mengelola bangsa yang besar dan pluralistik seperti Indonesia. Semoga kita semua dapat memetik pelajaran berharga ini guna perbaikan dan penyempurnaan Pemilu 2014.
* Pendiri Lembaga Pengkajian Hukum dan Kepemerintahan Indonesia (LPHKI).