Pan Mohamad Faiz *
Sumber: Majalah Esquire Indonesia edisi Desember 2010
“Money Politics dan Shadow State adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang”.
Menurut mereka, demokrasi dapat melahirkan para kaum demagog, yaitu para orator ulung yang senang merayu, bersikap baik sesaat, dan menjual mimpi-mimpi utopis agar rakyat memilihnya. Namun setelah terpilih, rakyat dilupakan. Topeng-topeng semu itu kemudian dipakai kembali pada masa pemilihan selanjutnya (Focke, 1839).
Inilah konsekuensi dari sebuah pilihan. Kita bisa saja memilih sistem monarki atau aristokrasi. Namun tetap tidak ada jaminan bahwa kedua sistem pilihan tersebut lebih baik daripada sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Berkelindan dengan itu, hampir seluruh negara di dunia mengklaim dirinya adalah negara yang demokratis. Tentu dengan ciri dan karakternya masing-masing. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU) 2008, sebanyak 167 dari 193 negara berdaulat telah menerapkan sistem demokrasi. Dengan indeks demokrasi 6,34 (enam koma tiga empat), Indonesia berada dalam urutan ke-67 sebagai negara berkategori flawed democracy.
Singkatnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, demokrasi kini dianggap menjadi pilihan terbaik dari berbagai alternatif pilihan terburuk yang ada. Bilamana ditemukan kelemahan, maka jalan terbaiknya adalah dengan mengurangi dampak negatif dari kelemahan-kelemahan tersebut.
Biaya Pemilihan Umum
Salah satu ujung tombak dan barometer penerapan sistem demokrasi dari suatu negara adalah pemilihan umum. Proses inilah yang membuka ruang terjadinya pergantian, pergeseran, atau justru penguatan status quo dari kepemimpinan yang ada. Belum reda rasa lelah kita pasca pagelaran nasional Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, tahun ini masyarakat Indonesia menyelenggarakan ”pesta rakyat” secara bergiliran bertajuk ”Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Pemilukada).
Tidak tanggung-tanggung, 246 Pemilukada digelar sepanjang tahun 2010 di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Indonesia. Artinya, rata-rata hampir satu hari sekali telah dilangsungkan Pemilukada dengan harapan kepala daerah mampu menyerap aspirasi rakyat sebenar-benarnya.
Konsekuensinya, tulisan Jan Aart Scholte dan Albrecht Schnabel (2002) mengenai tesis ”Democray is not cheap nor easy” semakin terbukti. Tengoklah biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilukada ini. Menurut Litbang Kompas (18/10), penyelenggaraan Pemilukada 2010-2014 menelan biaya Rp 15 triliun atau 333% lebih besar dari biaya Pemilu Legislatif atau 133% dari biaya Pemilu Presiden tahun 2009. Menariknya, jumlah tersebut belum termasuk dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidatnya.
Bersama dengan para demagog, seorang kandidat konon memerlukan Rp 3 miliar s.d. Rp 20 miliar untuk mengincar kursi Bupati, Walikota, atau Gubernur. Belum lagi ditambah dengan biaya advokasi apabila bermaksud membawa kasus sengketa Pemilukada ke ranah hukum. Setidaknya puluhan hingga ratusan juta rupiah harus dirogoh dari kocek tiap-tiap kandidat untuk sekadar menyewa Advokat handal demi memindahkan arena ”pertempuran” dari lapangan ke dalam ruang persidangan. Berdasarkan data KPU, hingga akhir Oktober 2010 telah diselenggarakan 198 Pemilukada. Masygul, 189 kasus di antaranya telah didaftarkan menjadi sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, 43 dari 44 partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu 2009 lalu semuanya menggugat ke MK.
Money Politics dan Shadow State
Tidak semuanya sepakat bahwa besarnya biaya demokrasi yang dikeluarkan untuk Pemilukada hanyalah pemborosan bagi keuangan negara. Sebaliknya bagi kalangan pro-demokrasi, proses yang telah berlangsung haruslah dipermaklumkan. Alasannya, inilah perwujudan riil dari partisipasi rakyat, "one people one vote". Prinsip ini dinilai sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat pemilih. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu yang tidak jujur dan tidak adil tentu dapat menciderai Pemilu itu sendiri, misalnya apabila terjadi praktik money politics.
Istilah money politic (politik uang) atau vote buying (pembelian suara) tentu sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat kita. Inilah salah satu praktik politik paling kotor dalam Pemilu. Praktik ini dilakukan dengan cara pemberian uang, barang, atau jasa untuk memengaruhi para calon pemilih agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada tahap pemungutan suara. Dahulu, money politic hanya dapat terendus namun tidak terlacak bentuknya, sehingga amat jarang dijatuhkan sanksi bagi pelakunya. Kini, modus money politic lebih mudah dibuktikan secara terang benderang melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Adalah sidang terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berulang kali mengungkap adanya praktik money politic yang terjadi sepanjang Pemilukada 2010. Beberapa pelaksanaan Pemilukada terbukti telah ternodai akibat terjadinya praktik money politic, misalnya: (1) Kota Surabaya, (2) Kota Tanjungbalai, (3) Kabupaten Kotawaringin Barat, (4) Kab. Mandaling Natal, (5) Kab. Konawe Selatan, (6) Kab. Sintang, (7) Kab. Gresik, (8) Kab. Sumbawa, dan (9) Kab. Merauke. Akibat hukumnya, kesembilan daerah ini harus melaksanakan pemungutan suara ulang. Khusus untuk Kab. Kotawaringin Barat, kandidat pemenang yang terbukti melakukan money politic sangat serius bahkan langsung didiskualifikasi!
Fakta yang demikian pastilah hanya puncak dari gunung es yang ada, sebab praktik money politic seperti ini merupakan sebagian saja dari pola ”permainan uang” (money games) dalam proses Pemilukada. Jenis lain yang tidak kalah bahayanya yaitu munculnya ”shadow state” (William Reno, 1990). Bentuk shadow state ini hadir dalam pola kekuasaan kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dengan memberikan peran dan keuntungan sesuai kepentingan pemilik modal yang telah berjasa dalam mendukung pencalonannya.
Di banyak daerah, para calon kepala daerah yang ”kering” modal kampanye akan berupaya untuk mendekati atau didekati oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dana berlebih. Timbal baliknya, apabila sang calon tersebut terpilih maka kebijakan harus dibuat untuk menguntungkan usaha, bisnis, atau investasi dari para pemodal itu.
Inilah yang kemudian menyebabkan banyak para calon kepala daerah, baik yang terpilih maupun tidak, menjadi tersandera dengan utang dan pinjaman modal masa lalunya. Di sinilah awal mula terjadinya perselingkuhan politik antara pemilik modal dengan calon kepala daerah. Jika tidak dengan cara korupsi konvensional, utang yang bertumpuk itu akan dibayar dengan program dan kebijakan yang pro capital sponsors.
Dari Monetocracy ke Plutocracy
Money politics dan shadow state adalah dua elemen yang membajak makna dan proses demokrasi atas nama uang. Perpaduan keduanya dapat mengubah democracy menjadi monetocracy atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah moneytocracy atau moneycracy. Urban Dictionary mendefinisikan monetocracy sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana salah satu pengendali utamanya adalah kekayaan materi. Salah satu karakternya dapat dijumpai dari sejauhmana para penyumbang dana semasa kampanye mampu menentukan pasang surut kebijakan dan suhu politik yang ada.
Fenomena monetocracy ini umumnya marak terjadi pada negara-negara berkembang, seperti di Afrika, Asia Selatan, dan tentunya juga di Indonesia. Hal ini setidaknya dapat kita telusuri dalam "The Rise of Moneytocracy" (Africa Report, 1992) karya Karl Maier yang menggambarkan bagaimana uang menjadi faktor determinan dalam proses pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan di negara-negara Afrika.
Demokrasi yang telah bermetamorfosa menjadi monetocracy sudah pasti tidak akan menghasilkan kebijakan yang dapat diprediksi. Syahdan, Pemilukada yang dijangkiti virus monetocracy juga tidak dapat merefleksikan nurani dan keinginan dari para pemilih. Apalagi jika banyak dari mereka yang suaranya dibeli.
Sketsa antara politik dan siklus uang dalam Pemilukada tentu bisa ditarik ke atas peta yang lebih luas. Fenomena monetocracy juga dapat dijadikan gambaran untuk Pemilu Legislatif ataupun Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam lingkup roda pemerintahan yang lebih luas, monetocracy kadangkala disepadankan dengan plutocracy. Berasal dari bahasa latin yaitu ploutos (kekayaan) dan kratia (pemerintahan), secara sederhana plutocracy bermakna pemerintahan yang dikuasai atau dikontrol oleh orang-orang yang memiliki uang atau kekayaan.
Tanpa harus selalu menjadi orang nomor satu, pada umumnya perorangan atau sekelompok orang ini akan terus membayang-bayangi pemerintahan. Tujuannya jelas, yaitu agar kebijakannya selalu berpihak atau setidak-tidaknya jangan sampai merugikan kepentingannya. Hal ini nampak terjadi manakala pemilihan umum telah dilepas sepenuhnya kepada pasar, media publik, dan partai politik yang sejak awal memang dimiliki dan dijalankan oleh para kaum pemodal itu sendiri. Proses pemilu, pemilihan jabatan publik, dan kepentingan pemerintah juga tidak tertutup kemungkinan menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Dalam konteks ini, pemerintahan pusat ataupun daerah yang dibentuk melalui embrio monetocracy sangat dikhawatirkan akan melakukan korupsi politik (political corruption). Dalam disertasinya ”Korupsi Politik di Negara Modern” (2007), Artidjo Alkotsar menyimpulkan bahwa korupsi politik muncul pada habitat kekuasaan yang memiliki hak dan diskresi politik yang luas serta memiliki kesempatan dan sarana untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam kualifikasi Top Hat Crime (THC), modus operandinya dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan politik pemerintahan dengan menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kroninya.
Korupsi politik inilah yang kemudian menjadi beban utama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010 yang baru saja diluncurkan oleh Transparency International, Indonesia terbukti masih tetap bertengger diposisi ke-100 dari 178 negara dengan indeks 2,8 (dua koma delapan). Tidak mengherankan bukan?
Menutup tulisan ini, setelah melaksanakan tiga kali pemilihan umum nasional tanpa kegaduhan dan anarki politik yang berarti, Indonesia diyakini telah melewati masa transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokratis. Namun demikian, dalam satu dasawarsa ke depan Indonesia masih harus menghadapi ujian berikutnya.
Akankah demokrasi yang diusung di atas gelombang reformasi tetap berada dalam bentuk dan wujud sebenarnya? Ataukah justru demokrasi Indonesia akan berubah menjadi monetocracy yang membawa pada puncak kedzaliman plutocracy? Persoalan ini akan terjawab dari sejauh mana kesadaran politik dari elit bangsa serta pendidikan politik masyarakat sipil akan dibangun. Semoga apa yang menjadi kekhawatiran kita - atau setidaknya kekhawatiran penulis - tidak akan terjadi.
* Penulis adalah Staf Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.