MEMBANGUN PERLINDUNGAN KONSTITUSI SECARA PENUH
Wajahnya tertunduk lesu, tubuhnya terduduk lunglai. Tidak ada satu pun kuasa hukum yang duduk di sebelahnya. Kehadirannya hanya ditemani oleh seorang adiknya dan “didampingi” dua petugas Lapas Cipinang yang bertubuh kekar dari luar arena persidangan. Maklum, Pemohon adalah terpidana kasus korupsi yang masih mendekam di penjara.
Ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi dengan agenda pembacaan putusan menjadi saksi bisu kandasnya permohonan judicial review UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang diajukan oleh Dokter Salim Alkatiri (62).
Dalam permohonannya, Alkatiri sebagai pencari keadilan (justice seeker) mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 3 UU PTPK yang didakwakan oleh Jaksa terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Ambon. Pensiunan dokter yang didakwa melakukan korupsi pada waktu terjadi kerusuhan di Maluku ini divonis secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Merasa dewi keadilan tidak berada di pihaknya, Alkatiri berusaha menempuh berbagai cara mulai dari pengajuan banding di Pengadilan Tinggi Ambon hingga permohonan kasasi di Mahkamah Agung. Pasalnya, dia merasa bahwa keadaan darurat sipil pada masa situasi gawat akibat terjadi kerusuhan di Maluku dari tanggal 19 Januari 1999 sampai dengan pertengahan 2003 membuat dirinya melakukan tindakan cepat dan efisien dalam rangka menyelematkan puluhan nyawa masyarakat di daerah terjadinya konflik. Menurutnya, apa yang dia lakukan semata-mata untuk melaksanakan tugas kemanusiaan demi kepentingan umum, bahkan tidak jarang nyawanya sendiripun ikut terancam pada saat bertugas memberikan pengobatan hingga ke pedalaman dan pelosok-pelosok daerah Maluku.
Walaupun demikian, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sama sekali tidak bergeming mendengar argumentasi sang Dokter. Putusan Pengadilan Tinggi Ambon No. 41/PID/2006PT. MAL dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 2349 K/Pid/2006 justru turut mengantarkan Alkatiri menuju persinggahan sementaranya di balik jeruji.
Jalur Konstitusional
Naluri bertahan hidup Alkatiri dalam berjuang dan menyelamatkan dirinya selama bertugas di medan konflik, rupanya masih terus membara. Setelah berbagai cara telah ditempuh (exhausted), hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai buah reformasi sistem ketatanegaraan RI dimanfaatkannya untuk mengembalikan sinar harapan bagi masa depan Alkatiri bersama keluarganya. Judicial review dijadikan pintu masuk seraya mendalilkan kembali apa yang pernah disampaikannya di depan Pengadilan Umum dilengkapi dengan argumentasi sosial-konstitusional permohonan untuk lebih meyakinkan hakim.
Menyusun argumentasi hukum dalam surat permohonan di hadapan Mahkamah sebenarnya bukanlah perkara yang relatif mudah. Sebab, selain Mahkamah ini belum lama berdiri sehingga teori dan praktik beracaranya belum begitu membumi, merekonstruksi substansi permohonannya pun haruslah cermat dan berlandaskan teori hukum dan Konstitusi yang terbaru. Oleh karena itu, hampir sebagian besar pemohon yang pernah beracara di Mahkamah Konstitusi minimal selalu didampingi oleh kuasa hukum atau pengacaranya. Itu pun kadangkala mereka masih sulit untuk memahami logika beracara di Mahkamah dan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim.
Namun anehnya, Alkatiri justru maju ke hadapan Mahkamah seorang diri tanpa adanya pendampingan dari siapapun, kecuali dari sanak keluarganya sendiri. Benarkah tidak ada kuasa hukum yang mau mendampinginya untuk berperkara di Mahkamah? Benarkah apabila ada anggapan bahwa kasus yang diperkarakannya selain ditaksir tidak punya prospek besar meraih kemenangan, juga tidak “seksi” dalam urusan finansial.
Usut punya usut, sebenarnya sang Pemohon berkeinginan untuk memperoleh pendampingan secara hukum, tetapi terdapat kondisi-kondisi yang menyebabkan dia mengurungkan niatnya. Kesatu, Alkatiri bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang mampu dan berkecukupan, sehingga mengeluarkan uang untuk menyewa seorang pengacara – sebagaimana seringkali dilakukan oleh para terdakwa koruptor kelas kakap – menjadi teramat sulit. Kedua, Alkatiri merasa sudah “kapok” dengan para pengacara yang selama ini mendampinginya dalam proses persidangan di pengadilan umum. Alih-alih ingin membantunya, namun yang terjadi justru dia merasa dipermainkan dan diperas habis hingga harus rela merogoh koceknya sampai puluhan juta rupiah. Hasilnya? Nihil!
Berbekal ‘persenjataan’ seadanya, Alkatiri menaruh harapan terakhirnya pada pundak kesembilan hakim berjas merah. Pada akhirnya, dalam putusannya Mahkamah berkesimpulan bahwa: (1) kerugian yang dialami oleh Alkatiri lebih merupakan norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang diuji; (2) keadaan darurat sipil tidak menegasikan berlakunya Pasal 3 UU PTPK; dan (3) Dalam perkara a quo Pasal 3 UU PTPK tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal UUD 1945. Dengan demikian, permohonan dr. Alkatiri lagi-lagi ditolak oleh Pengadilan.
Pengacara Konstitusi Probono
Dari kisah perjuangan keadilan yang dilakukan oleh dr. Alkatiri di meja merah Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat hikmah yang tersembunyi yang dapat dipetik, yaitu:
Pertama, Mahkamah Konstitusi yang baru berdiri 5 (lima) tahun mulai menjadi pusat perhatian para pencari keadilan di tanah air. Keterbatasan wewenang Mahkamah yang sudah jelas diberikan oleh UUD 1945, tidak menghambat pihak-pihak yang ingin berperkara untuk berjuang mengembalikan hak konstitusionalnya, sekalipun mereka harus melakukan eksperimentasi permohonan.
Kedua, semakin berkembangnya permohonan yang diajukan secara individu dari warga Negara ke hadapan Mahkamah Konstitusi, yang sudah tidak didominasi lagi oleh pemohon dari kalangan menengah atas, maka seyogyanya sudah harus mulai dipikirkan mengenai sistem pendampingan terbaik. Selain harus terus dilakukannya sosialisasi dan pelatihan berkala mengenai hukum acara dan penyusunan permohonan di hadapan Mahkamah bagi para calon pemohon baik yang dilakukan oleh Pemerintah, Mahkamah Konstitusi maupun para penggiat hukum lainnya, yang tidak kalah penting adalah mengusahakan penyediaan penyediaan pengacara konstitusi (constitutional lawyer) secara probono (cuma-cuma). Instrumen ini dapat digunakan apabila para pemohon sangat membutuhkan pendampingan hukum, namun tidak sanggup untuk menyediakannya sendiri dikarenakan keterbatasan finansial.
Hal ini teramat penting untuk ditelaah, mengingat bahwa tugas utama seluruh komponen Negara yaitu menegakkan tiang-tiang konstitusi sebagaimana ketika mereka mengucapkan sumpah dan janji setia kepada UUD 1945 pada saat pelantikan. Dengan demikian, Mahkamah pun harus mulai memikirkan kemungkinan terciptanya instrumen ini dengan melihat perbandingan sistem sejenis yang sudah diterapkan di beberapa Negara lain. Hal ini semata-mata ditempuh untuk memberikan perlindungan Konstitusi secara penuh (full of constitutional protection), terlebih lagi apabila kewenangan memeriksa pengaduan konstitusional (constitutional complaint) menjadi salah satu kewenangannya di masa yang akan datang. Pendampingan secara gratis ini bisa digawangi oleh Negara secara utuh ataupun dengan melakukan kerjasama bersama komunitas hukum dan lembaga bantuan hukum baik di tingkat regional maupun di tingkat universitas. Syukur-syukur jika pendampingan probono ini dapat lahir dari masyarakat tanpa harus menunggu inisatif dari Negara.
Ketiga, berapapun besar-kecil diterimanya suatu permohonan serta betapapun manis-pahitnya keputusan yang akan diterima, cara-cara yang ditempuh oleh dr. Alkatiri melalui jalur yang telah disediakan secara konstitusional memberikan pelajaran tersendiri bagi segenap pihak. Namun sayangnya, hal yang demikian tidak mendapat perhatian cukup di hadapan publik sebagai bahan pembelajaran hukum dan kisah hiruk-pikuk perjuangan terhadap pencarian bulir-bulir keadilan yang terserak di lembah reformasi.
Hanya dengan belajar dari pengalamanlah bangsa Indonesia dapat memperbaiki dan membangun sistem hukum dan peradilan yang bermartabat. Sekecil apapun hak yang melekat di dalam diri setiap pihak yang berperkara, sebisa mungkin harus terjaga dan terpenuhi. Dengan kata lain, terlepas dari seorang pemohon itu adalah malaikat atau penjahat, mereka tetap harus dilindungi hak-hak konstitusionalnya. Sebagai wujud peradilan yang modern dan terpercaya, Mahkamah Konstitusi harus kembali menjadi yang terdepan dalam menyikapi persoalan ini.
Keterangan: Unduh Putusan Judicial Review dr. Alkatiri
3 comments:
PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen akan sangat dirugikan karenanya. "Perlawanan Pihak Ketiga" mungkin salah satu solusinya.
Permasalahannya, masihkah Anda mau perduli??
David
HP. (0274)9345675
straight from the source this website Visit Your URL browse around this web-site my sources you could try here
try this site replica bags hong kong Dolabuy Louis Vuitton zeal replica bags reviews click for more replica prada nylon bags
Post a Comment