CINDONESIA:
MEMBANGUN KEKUATAN TRIUMVIRAT ASIA
Oleh: Pan Mohamad Faiz
Abstrak:
Negara Cina dan India (Cindia) kini telah diakui oleh banyak pihak sebagai pemain kunci dalam era globalisasi yang secara tidak langsung telah pula merubah wajah baru Asia. Kedua negara tersebut diprediksi akan mengambil alih posisi utama sebagai dua negara dengan perekonomian terkuat di masa mendatang. Bangkitnya Cindia merupakan suatu hal yang fenomenal, menggembirakan, namun juga mencemaskan bagi negara-negara dunia. Dalam waktu yang bersamaan, keberhasilan mereka dalam mengelola kebijakan negara dengan karakternya masing-masing, telah terbukti mengangkat ratusan juta rakyatnya dari garis kemiskinan. Meskipun masih diselimuti berbagai persoalan mendasar di dalam negerinya, Cindia tetap mampu menari elok di panggung internasional. Untuk menjadi macan Asia berikutnya, Indonesia harus memetik pelajaran berharga dan mengambil energi positif dari setiap langkah keberhasilan mereka.
Kata Kunci: Asia, Cina, India, Indonesia, Hubungan Internasional
I. PENDAHULUAN
Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kebangkitan negara Cina dan India (Cindia) telah menjadi cerita hangat di berbagai media cetak maupun elektronik. Berbagai seminar, forum ilmiah, hingga perdebatan di sudut-sudut ruang kelas Universitas yang tersebar di lima benua dunia, tidak pernah luput dari pembahasan mengenai fenomena kedua raksasa Asia tersebut. Melesatnya Cindia dalam dua dekade terakhir ini telah pula mempengaruhi terjadinya perubahan struktur perekonomian dunia dan pergeseran kekuatan geopolitik internasional.
Semburan api sang “Naga Cina” dan hentakan kaki sang “Gajah India” di abad ke-21 bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Perjalanan panjang dan berliku kedua negara tersebut menjadi suatu hal yang sangat patut untuk dikaji bersama. “Serupa tapi berlainan” merupakan gambaran yang dapat mewakili karakter kedua negara tersebut.[1]
India adalah negara demokrasi terbesar di dunia, sedangkan Cina merupakan negara otoritarian terbesar di dunia.[2] Para petinggi India seringkali mempunyai cara berpikir anti-bisnis, sedangkan petinggi Cina pada umumnya pro-bisnis. Tiap perbedaan gagasan yang terjadi di India merupakan warna kehidupan yang menjadi pemandangan demokrasi sehari-hari, bahkan terkadang cenderung anarki. Sebaliknya, Partai Komunis Cina memegang kekuasaan dan peranan penuh terhadap negara tanpa tandingan dari pihak manapun.
Bila kita tarik hubungannya dengan Indonesia, di tengah menguatnya posisi Cindia di mata dunia, semua hambatan dan permasalahan yang mengidap pekat di jantung ibu pertiwi ternyata dapat dengan mudah kita temukan padanannya di kedua negara tersebut. Bahkan, permasalahan yang terjadi di kedua negara tersebut terkadang bisa jauh lebih pelik dari apa yang Indonesia rasakan saat ini.
Penduduk Cina hanya mempunyai perlindungan yang sangat terbatas atas pemenuhaan hak asasi manusia. Para tahanan seringkali memproleh siksaan, aktivitas keagamaan selalu dikebiri. Cina mempunyai lebih dari empat ratus surat kabar sehingga mengantarkannya menjadi negara pemilik surat kabar terbesar di dunia, namun hanya sedikit yang merasakan nikmatnya kebebasan pers.[3] Begitu pula dengan hak untuk pindah dan bertempat tinggal dari satu tempat ke tempat lain, pemerintah Cina secara ketat membatasi kebebasan bergerak para warga negaranya.
Di India, permasalahan utama yang terjadi bukanlah terkait atas kebebasan hak sipil dan politik warga negara, tetapi persoalan yang lebih mendasar lagi, yaitu pemenuhan basic needs. Kematian yang disebabkan karena kelaparan belum sepenuhnya dapat ditangani, persentase buta huruf masihlah sangat tinggi, ditambah lagi dengan sering terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan dan golongan kasta rendah di tengah-tengah masyarakat. Korupsi, konflik masyarakat, dan pelanggaran terhadap para pekerja anak menjadi problema yang kerap tidak berhujung pangkal. Namun dari kesemuanya itu, permasalahan utama yang hampir terjadi di seluruh wilayah India yaitu sistem birokrasi yang berbelit, tidak efisien, serta sistem infrastuktur yang sangat tidak memadai.
Namun demikian, berbagai hasil studi justru menunjukan data yang berbanding terbalik. Berdasarkan laporan dari Bank Dunia dalam Dancing With Giants terungkap bahwa dalam sejarah perekonomian yang dibuat oleh Angus Maddison, melesatnya kemajuan Cina bersama India merupakan suatu fenomena baru dan terbesar yang belum pernah terjadi selama ini, terutama dalam hal pertumbuhan ekonominya[4]. Bahkan dalam salah satu hasil penelitiannya, Goldman Sachs sebagai bank investasi terbesar di dunia menyebutkan bahwa Cina dan India dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 9-10 persen dan 7-8 persen akan menempati peringkat pertama dan kedua dalam kekuatan perekonomian dunia di tahun 2050.[5]
Joseph Stiglitz melalui salah satu buku fenomenalnya, Making Globalization Work, menyatakan bahwa globalisasi yang terjadi sekarang ini tidaklah menguntungkan semua negara. Kemiskinan telah meningkat di sebagian besar negara berkembang dalam beberapa waktu belakangan ini. Tetapi, lanjutnya, Cina dan India ternyata merupakan negara yang dapat dikecualikan dalam hal ini karena mereka justru dapat mengurangi angka kemiskinan dan mampu “memperdayai” globalisasi.[6]
Suhu geopolitik dunia pun kini berubah disebabkan dengan meningkatnya pembangunan hard power dari negara Cina, termasuk dalam bidang militer dan teknologi luar angkasa. Cina dengan perangkat militer dan jumlah tentara terbesar di dunia, kini diyakini sebagai negara yang mempunyai potensi terbesar untuk mengalahkan kekuatan militer Amerika Serikat. Di lain sisi, ketakutan para pekerja negara-negara barat terhadap ketangguhan India juga telah terbuktikan. Lebih dari jutaan pekerjaan kelas eksekutif di bidang jasa dan pelayanan kini telah diambil alih oleh para profesional India yang kerap mempertajam soft power sebagai modal utama pembangunan. Dengan tumbuhnya industri-industri besar di negara Cina dan India, maka negara-negara maju harus pula memutar otak dan mengencangkan otot guna bertarung memperebutkan sumber daya alam dunia, khususnya minyak bumi.
Atas fakta-fakta yang terungkap tersebut di atas, maka timbul berbagai pertanyaan yang patut untuk dimunculkan ke permukaan. Implikasi apa saja yang mungkin terjadi atas masuknya Cindia menjadi pemain utama dalam pentas ekonomi dan politik dunia?; Seberapa agresifkah Cindia melancarkan kebijakannya sebagai negara superpower guna memuluskan berbagi kepentingannya?; Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia ketika kedua negara raksasa Asia tersebut semakin memantapkan posisinya di percaturan global?; serta sederet pertanyaan krusial lainnya.
Tulisan ini bermaksud untuk menganalisa faktor-faktor kunci yang menjadi landasan pacu dari kebangkitan Cindia dan mencoba untuk mengangkat hal-hal penting yang selama ini seringkali terlupakan oleh para pemerhati dan penentu kebijakan di tanah air. Dengan berbekal data, sumber, dan pengamatan langsung, penulis mencoba untuk membuat hipotesa awal bahwasanya dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, Indonesia sangatlah mampu untuk menjadi macan Asia berikutnya dan untuk kemudian melaju bersama Cina dan India membangun kerjasama Triumvirat Asia (Cindonesia) di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Skema 1: Daya Saing Indonesia vis-a-vis Negara Lain
(Format tidak dapat tertampilkan di sini)
Sumber: Observer Research Foundation (2008)
II. KEKUATAN EKONOMI DUNIA
A. Perjalanan Reformasi Ekonomi
Terintegrasinya Cina dan India dalam perekonomian dunia sama-sama diawali dengan terjadinya reformasi ekonomi dan hembusan angin usaha yang diberikan oleh pemerintahnya. Namun demikian, integrasi perekonomian Cina ditempuh melalui jalur perdagangan sebagaimana halnya dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan, sedangkan integrasi global India lebih dipengaruhi oleh terjadinya akuisisi besar-besaran antara industri India dengan industri dari negara-negara maju.[7]
1. Reformasi Ekonomi Cina
Berbagai struktur ekonomi yang diciptakan dalam proses reformasi ekonomi Cina sebenarnya dapat juga ditemukan di beberapa negara lainnya, akan tetapi dalam kenyataannya apa yang terjadi di Cina cukuplah unik untuk dianalisa lebih mendalam. Reformasi ekonomi Cina pada awalnya lebih dikedepankan untuk memacu nilai keuntungan guna membiaya modernisasi masyarakat di tanah Cina. Tantangan terberat terjadi tatkala pemerintah harus mencai solusi guna memotivasi para pekerja dan petani agar menghasilkan keuntungan yang terus lebih besar guna menghilangkan ketidakseimbangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.
Dalam lawatan kenegaraanya pada November 1978, Deng Xiaoping mengunjungi Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapura. Dalam perjalanannya, khususnya setelah melakukan perbincangan selama tiga hari berturut-turut dengan Lee Kuan Yew, Deng memperoleh sumber inspirasi untuk memulai pembangunan di tanah Cina. Kunjungan tersebut menurut Lee telah membuka mata pemimpin tertinggi Partai Komunis Cina (China Communis Party) dan menjadi titik tolak dimulainya reformasi pembangunan ekonomi Cina.[8]
Tidak seperti pendahulunya yakni Mao Tse-Tung, kala itu Deng Xiaoping yang dianggap sebagai pemimpin pragmatis mencoba membangun Cina dengan cara yang modern, bertahap, dan tidak revolusioner. Setelah selesai melakukan reformasi di bidang pertanian, Deng bereksperimen di sektor industri dengan membentuk Special Economic Zones (SEZs), suatu wilayah terbatas dimana pemerintah Cina tidak lagi menerapkan peraturan anti-bisnis dengan mengeluarkan kebijakan pajak rendah dan dukungan penuh terhadap barang produksi yang akan dijual ke luar negeri. Untuk pertama kalinya, zona ekonomi khusus hanya diterapkan di Propinsi Fujian dekat Taiwan dan Propinsi Guangdong dekat Hongkong. Namun kemudian pada tahun 1984, setelah melihat keberhasilan eksperimen tersebut, pembangunan dilanjutkan dengan mendirikan berbagai zona sejenis secara terintegrasi di empat belas kota sepanjang pantai Cina.[9]
Deng Xiaoping pada dasarnya tetap berpedoman pada teknik perencanaan yang dibuat oleh Mao, namun Deng memodifikasinya dengan pendekatan pembangunan Singapura, yaitu memulai dengan membuat blok-blok bangunan sebagai infrastruktur dasar. Memasuki tahun 1980-an, Cina membangun tambang batu-bara untuk mensuplai peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik. Di tahun 1990-an, mereka beralih untuk meningkatkan produksi gas dan minyak bumi. Akhirnya, Cina membangun berbagai pembangkit tenaga baru dengan kemampuan berkali-kali lipat dari generator utama selama periode tahun 1990 hingga 2003. [10]
Pemerintah Cina menyadari bahwa untuk membuka lapangan pekerjaan, negara membutuhkan berbagai bangunan modern seperti jalan tol, pelabuhan, jalur kereta api dan bandar udara. Usaha memodernisasi secara terpusat tersebut hingga kini masih terus berlangsung dan saat ini Cina sedang membangun pembangkit tenaga nuklir di berbagai wilayahnya hingga tahun 2020 guna melipatgandakan tenaga yang dibutuhkan. Kebijakan yang dikeluarkan secara terencana tersebut ternyata tidaklah sia-sia. Setelah melewati masa-masa pembangunan infrastruktur dan dilengkapi dengan kebijakan yang mendukung usaha bisnis, serta dikombinasikan dengan upah pekerja yang murah, akhirnya refromasi dan pembangunan ekonomi memberikan hasil sesuai dengan harapan pemerintah dan rakyat Cina. Kini kota-kota di Cina telah bermetamorforsis secara cepat dengan kehadiran gedung-gedung pencakar langit layaknya permainan realita tata kota di komputer, SimCity.
Meskipun strategi reformasi ekonomi Cina lebih dikarakteristikkan oleh banyak kalangan sebagai model kapitalisme, pejabat resmi Cina lebih senang memandangnya sebagai sebuah bentuk pendekatan “sosialisme dengan karakter Cina”.[11] Namun demikian, menurut kebanyakan petinggi Cina, ideologi pemerintahan tidaklah lebih penting daripada kebutuhan dasar dari rakyatnya. Maka tidak heran apabila ucapan Deng Xiaoping sebagai nahkoda reformasi ekonomi Cina hingga saat ini masih terus bergema, “It doesn’t matter if the cat is black of white, as long as it catches mice”. Dua puluh lima tahun setelah diluncurkannya reformasi ekonomi, kini Cina telah merasakan perubahan dan hasil yang begitu nyata. Sejak tahun 1980, Cina berhasil mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 75% di negara berkembang, termasuk lebih dari 400 juta rakyat Cina itu sendiri. Dalam kurun waktu seperempat abad, jumlah masyarakat sangat miskin yang tinggal di daerah pedesaan Cina juga menurun dari 250 juta menjadi hanya 26 juta.[12]
Sebenarnya teka-teki sistem perekonomian Cina saat ini dapat dibaca ketika the Party Congress pada Oktober 1992 mendeklarasikan Cina sebagai penganut sistem socialist market economy.[13] Hanya dalam beberapa tahun kemudian foreign direct investment (FDI) yang masuk ke negara Cina meningkat tajam dengan jumlah lebih besar dari gabungan FDI empat belas tahun sebelumnya. Sejak saat itu, Cina menjadi magnet baru bagi investasi modal asing dari seluruh dunia yang secara regular menghasilkan pemasukan sekitar US $50 miliar setiap tahunnya bagi Cina atau sekitar sepuluh kali lipat yang diterima oleh India.
Terhadap keunikan Cina dalam keberhasilan mengelola roda perekonomiannya, maka seringkali anekdot perumpamaan berikut terlontar ke permukaan. Dalam suatu perjalanan melewati kemacetan lalu lintas, Deng Xiaoping ditanya oleh supirnya, “Komandan, kita menemukan masalah di depan. Untuk keluar dari kemacetan kita harus berbelok arah. Papan ke arah kiri menunjukan tanda Komunis, sedangkan papan ke arah kanan menunjukan tanda Kapitalis. Arah mana yang harus saya lalui?” Dengan santai Deng memberikan jawaban, “Tidak ada masalah. Berikan saja tanda lampu sein ke kiri, lalu kita berbelok ke arah kanan.”
2. Reformasi Ekonomi India
Pada tahun 1991, menyusul awal terjadinya krisis ekonomi yang menimpa banyak negara Asia, India mengalami masalah yang serupa bahkan jauh lebih berat. Seratus sepuluh juta rakyat India terlempar ke jurang kemiskinan hanya dalam waktu dua tahun. Inflasi sebesar tujuh belas persen telah merusak sendi-sendi perekonomian India. Di tahun yang sama, 330 juta atau dua dari lima rakyat India tervonis hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi keuangan pemerintah India terpuruk. India mengalami krisis.
Pada saat itu, India hampir dinyatakan bangkrut. Bank-bank telah memberhentikan pinjamannya kepada India dengan perkiraan mereka tidak akan mampu untuk melunasinya. India’s foreign exchange merosot tajam hingga berada pada kondisi kesanggupan untuk membayar impor minyak bumi selama dua minggu saja. Melihat gejolak yang begitu parahnya, International Monetary Founds (IMF) akhirnya menawarkan bantuan untuk memulihkan keadaan perekonomian India. Namun pepatah barat selalu mengatakan, “there is no free luch”. IMF bersedia membantu India dengan catatan pemerintah India setuju untuk membuat beberapa agenda reformasi di bidang ekonomi. [14]
Bagai seorang anak kecil yang diancam tidak diberikan ‘uang jajan’ oleh orang tuanya, India tidak mempunyai banyak pilihan. Tanpa bantuan pihak luar, lampu kehidupan India tidak akan dapat terus bertahan. Akan tetapi, ternyata India juga melakukan jalan lain yang mengejutkan banyak pihak, melebihi manuver-manuver politik yang kerap kali terjadi dalam dunia belantika politik Asia Selatan. Sejumlah emas batangan milik negara yang berada di India diterbangkan ke London untuk dipinjamkan sementara guna memperoleh keuntungan secara cepat. Tepat pada tanggal 1 Juli 1991, sejarah reformasi India telah dimulai.[15]
Tiga serangkai pencetus reformasi ekonomi pada saat itu, Narasimha Rao (Perdana Menteri), Manmohan Singh (Menteri Keuangan, saat ini menjadi Perdana Menteri India), dan Chidambaram (saat ini menjadi Menteri Keuangan) tidak saja berhenti mereformasi ekonomi India hanya dalam satu minggu yang dramatis di awal bulan Juli 1991. Selama dua tahun berikutnya, pemerintah India memperkenalkan kebijakan baru hampir di setiap minggunya.
Perusahan milik negara di bidang perbankan, penerbangan, dan industri perminyakan dibuka bagi investor mandiri. Dipimpin oleh Manmohan Singh, India melanjutkan reformasi dengan menghilangkan pembatasan antimonopoli yang berlebihan bagi perusahan-perusahaan besar. Singh juga menghapus kebijakan “license raj” yang mengontrol secara ketat perdagangan dan industri India yang mensyaratkan adanya izin untuk setiap transaksinya.[16] Secara garis besar, rangkaian gerbong reformasi ekonomi yang dilakukan oleh India meliputi: (1) fiskal dan administrasi; (2) sektor finansial; (3) perdagangan internasional dan investasi; (4) sektor industri; (5) infrastruktur; (6) tenaga kerja; dan (7) privatisasi.[17]
Bagi negara secara keseluruhan, dampak positif yang terjadi amatlah besar. Roda perekonomian tumbuh begitu cepat dibandingkan yang terjadi selama beberapa dekade sebelumnya dan perusahaan-perusahaan mulai mampu memperkerjakan mereka yang sebelumnya justru tidak bekerja. Inflasi dua digit kembali dapat dikembalikan pada posisi semula. Hutang negara segera terlunasi dan foreign exchange reverse yang berharga telah pulih kembali. Krisis ekonomi terlewati dengan mulus, lampu kehidupan India masih tetap menyala. India mempunyai kebebasan sipil dan politik selama hampir satu abad, tetapi kebebasan di bidang ekonomi barulah benar-benar tercapai semejak bergulirnya reformasi ekonomi di tahun 1991.
Sejak saat itu, India terus merangkak menjadi salah satu negara maju di antara negara berkembang lainnya. Selama periode tersebut, perekonomian tumbuh secara konstan dan kesuksesan ini dibarengi pula dengan meningkatknya ekspektasi kehidupan, angka melek huruf, dan ketahanan pangan. Tidak jauh berbeda dengan Cina, proses reformasi ekonomi di India akhirnya tiba sampai dengan penghujung pertanyaan tentang apakah sistem perekonomian yang dijalankan selama proses tersebut? India menyebutnya sebagai “enlightened capitalism” yang mempunyai pengertian berbeda dengan terminologi kapitalisme yang dijunjung oleh sebagian besar negara-negara barat.
Bagi India “enlightened capitalism” atau kapitalisme yang tercerahkan mendistribusikan kesejahteraan yang tercipta dengan cara secepat mungkin kepada seluruh pemangku kepentingan, mulai dari para pekerja, investor, pelanggan, pensuplai, hingga kepada komunitas masyarakat. Sistem ini tidak mengekspolitasi kelompok masyarakat tertentu ataupun sumber daya alam (a zero-sum game), tetapi lebih condong untuk memberdayakan keduanya, yaitu jalan keadilan yang berkesinambungan. Tidak seperti konsep negara Barat, kapitalisme ala India turut pula memadukan unsur swadeshi atau self-relience warisan Gandhi-Nehru. Mereka tidak pula mengadopsi pola kapitalisme yang berhujung pada model perayaan materialisme dan konsumtifisme yang dapat mengancam nilai-nilai dan budaya India yang telah tertanam lama di hati Hindustan.[18]
Bahwasanya benar apabila rata-rata pendapatan masyarakat India kian meningkat dibandingkan sebelum masa reformasi ekonomi dimulai. Namun, mendekati dua puluh tahun berjalannya reformasi, hingga saat ini India belum dapat dikatakan sukses melakukan pembenahan pembangunan infrastruktur sebagaimana yang telah dilakukan di negara Cina.[19] Hal tersebut tidaklah perlu menjadi pertanyaan besar mengingat reformasi ekonomi di Cina telah diluncurkan tiga belas tahun sebelum India memulainya, lagipula Cina melakukannya dengan sistem kontrol yang bercorak otoritarian.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila hingga saat ini kita masih menemukan bandar udara internasional India yang begitu tua dan lusuh. Selain berbagai laboratorium industri dan penelitian IT di wilayah Indian Silicon Valley (Bangalore), tidak mudah pula bagi kita untuk menemukan bangunan India lainnya yang mempunyai standar internasional dan berarsitektur modern. Sejauh mata memandang, maka bangunan yang terlihat ibarat infrastruktur Indonesia di era 1960-an. Kini pertanyaannya adalah “Lalu, kenapa bukan negara Indonesia yang menjadi Macan Asia?”[20]
B. Perdagangan dan Bisnis Internasional
Berbicara tentang perekonomian Cindia pada saat ini, maka kita tidak akan bisa melepaskannya dari perdagangan ekspor-impor dan menyatunya perekonomian kedua negara tersebut dengan bisnis internasional berkelas dunia.
Dengan nilai ekspor sebesar US$ 969 miliar dan nilai surplus hampir sebesar US$ 178 miliar pada tahun 2006, peran Cina di perdagangan global dapat dikatakan sangatlah kuat dan kredibel. Ekspor meningkat pesat sebesar 200 persen hanya dalam empat tahun terakhir dan dengan hal tersebut kedua negara berharap dapat menjaga kestabilannya di masa yang akan datang. Berdasarkan estimasi Economist Intelligence Unit (EIU), ekspor dari negara Cina akan mencapai US$ 2.140 miliar pada tahun 2010, di mana India akan pula meningkatkan hasil ekspornya sebesar US$ 217 miliar.[21] Kegiatan manufaktur telah menjadi kendaraan utama bagi pertumbuhan ekonomi Cina dengan kontribusi sebesar 49 persen dari total GDP. Sedangkan, India yang mulai menyusul di belakangnya, memberikan sumbangan sebesar 28 persen dari GDP untuk produksi manufakturnya.
Sebuah laporan dari A CII-McKinsey di tahun 2002 menggarisbawahi lima kunci reformasi yang ditempuh oleh pemerintah Cina dalam menciptakan booming pada sektor manufaktur yang lebih baik dibandingkan dengan India. Kelima kebijakan tersebut, yaitu:[22]
- Pengurangan dan penyederhanaan pajak langsung dari 30 persen di tahun 1994 menjadi 17 persen di tahun 2002;
- Pengurangan terhadap kewajiban-kewajiban dalam hal impor yang nilainya setengah dari kewajiban impor yang diterapkan di India, yaitu 13 persen berbanding 24 persen;
- Implementasi dari peraturan hukum buruh yang lebih longgar dan menerapkannya sebagai praktik terbaik bagi Foreign Invested Enterprises (FIEs);
- Menciptakan Special Economic Zones (SEZs) yang saling berintegrasi satu sama lain;
- Menjaga suku bunga yang rendah untuk menstimulasi masuknya investasi.
Untuk bidang Information and Communication Technology (ICT), Cina kini mengungguli Amerika Serikat sebagai pengekspor ITC terbesar di tahun 2005. Nilai ekspor Cina berkisar US$ 180 miliar, berada di atas nilai ekspor Amerika Serikat yang berjumlah US$ 149 miliar. Sedangkan di segmen offshore, India kini telah menguasai 65 persen untuk IT dan 46 persen untuk BPO dari total seluruh pasar global.[23]
Selain di bidang IT, industri mobil India merupakan salah satu industri dunia yang berkembang sangat cepat. Setelah Tata Motors India meluncurkan mobil termurah di dunia (Nano Car) dengan harga kurang lebih US$ 2.500 per unit, akhir bulan Maret yang lalu Tata juga kembali mengakuisi salah satu perusahaan mobil termewah di dunia, yaitu Jaguar dan Land Rover.[24] Begitu pula dalam hal industri farmasi dan obat-obatan, India semakin mengukuhkan posisinya dalam memberikan pelayanan terbaik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat umum di dunia.[25]
Tabel 2: Daya Saing Ekspor di Berbagai Sektor antara Cina dan India[26]
(Format Tabel tidak dapat tertampilkan dalam halaman ini)
Sumber: A CII-McKinsey Report, Learning from China to Unlock India’s Manufacturing Potential, Oktober 2002.
C. Hegemoni Cindia
Kebangkitan Cindia bukanlah sekedar berkisah tentang keunggulan para ilmuwan, teknisi, dan wirausahawan semata. Bukan pula mengenai karakter khas pemerintah ataupun para pelaku bisnisnya saja. Keunggulan Cindia juga terletak pada nilai-nilai kebudayaannya yang meliputi bidang seni dan hiburan, fesyen, kerajinan tangan, nilai-nilai filosofi kehidupan, serta bebagai keunggulan lunak (soft advantages) lainnya. Melihat perkembangan yang terjadi saat ini, dapatkah kita kini menyematkan terminologi ‘hegemoni’ terhadap dominasi Cindia dalam banyak hal?
Kata ‘hegemoni’ seringkali mempunyai makna konotasi yang negatif, seperti misalnya western hegemony, suatu bentuk hegemoni negara barat yang dalam lima abad terakhir tidak pernah tertandingi dan seringkali dikaitkan dengan pola-pola penaklukan, kolonialisme, hingga perbudakan. Sebagai akibatnya, hegemoni negara barat acapkali ditafsirkan oleh negara-negara dunia lainnya dengan nilai-nilai superioritas, dominasi, kesombongan, dan juga rasis. Berbeda dengan falsafah hegemoni pada umumnya, hegemoni Cindia justru tidak berakar pada pola penaklukan ataupun pseudo-genetik lainnya.
Pada tahun 2025, Cina dan India akan menguasai 39 persen saham global atau setara dengan saham gabungan yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan Eropa saat ini.[27] Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia kini bertempat tinggal di negara Cina dan India. Sejauh ini, Cina dan India menjadi pangsa pasar terbesar untuk penjualan telepon seluler dengan lebih dari 750 juta pelanggan. Cina berada pada urutan pertama untuk produksi rokok, sedangkan India menempati urutan kedua. Cina dan India juga memimpin dunia dalam hal penggunaan semen dan baja. Ketika Amerika terus bergantung pada brain-power yang diimpor dari negara-negara Asia dan Eropa, Cindia justru setiap saat dapat memanggil para ahli mereka yang tersebar di seluruh dunia untuk datang kembali ke negaranya, mengingat iklim usaha di negara mereka telah berubah dan terus berkembang pesat dari tahun ke tahun. Fenomena tersebut sekarang dikenal dengan istilah brain gain atau reserved brain drain.[28]
Di bidang pariwisata dan olahraga, prestasi Cindia sudah tidak lagi diragukan. Dengan strategi promosi yang tepat dan terarah, tempat-tempat wisata yang sebenarnya sederhana tetap mampu menyerap wisatawan asing dari seluruh manca negara. Tidak hanya sebatas kepiawaian para atlet olahraganya saja, Cindia juga berhasil “menggondol” posisi strategis sebagai tuan rumah untuk melaksanakan berbagai turnamen olahraga tingkat internasional, misalnya Commonwealth Games 2010 di New Delhi, India dan 29th Olympic Summer Games 2008 di Beijing dan beberapa kota lainnya di Cina.[29]
Abad ke-21 akan pula menjadi saksi bisu ketika pendulum waktu kembali ke arah Barat untuk menyerap ragam budaya dan pengaruh Asia lainnya. Di berbagai bidang kehidupan mulai dari makanan, seni, hiburan, buku, film, hingga hal-hal yang bersifat spiritual dari Cina dan India, mulai menginfiltrasi dan mendominasi tata struktur kemasyarakatan Amerika dan Eropa.
Untuk menyebutkan beberapa contohnya, siapa yang dapat memperkirakan ketika Kementerian Pariwisata Perancis menerbitkan buku setebal 65 halaman di tahun 2006 berjudul “Chinese Tourist: How Best to Welcome Them” yang berisi anjuran agar para pemandu turis profesional dapat menghidangkan makanan khas Perancis dengan selera cita rasa Cina guna menarik wisatawan Asia. Begitu pula dengan keperkasaan soft power India yang telah mendominasi dunia, khususnya dalam bidang industri perfilman. Kesuksesan India dalam menggarap industri Bollywood sudah dapat dipastikan melewati film-film Hollywood dalam hal jumlah produksi dan estimasi penonton pertahunnya.[30]
Namun demikian, perbedaan pergerakan mendasar antara pendulum Easternization dan Westernization dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan di tengah-tengah masyarakat suatu negara. Westernisasi seringkali mengakibatkan terjadinya perbenturan budaya (clash of cultures), sedangkan easternisasi justru menciptakan perpaduan kebudayaan (cultural fusion).
III. PERGESERAN PETA GEOPOLITIK DUNIA
Ketika Cindia menginjakkan kakinya sebagai pemain ekonomi kelas dunia melalui revolusi industrinya, kepentingan mereka terhadap kebutuhan barang tambang dan ladang minyak meroket tajam. Rasa haus Cindia terhadap minyak bumi telah pula menyebabkan terjadinya perpindahan konstelasi aliansi kekuatan politik di dunia.[31]
A. Perburuan Ladang Minyak
Dengan jumlah impor sekitar 6,9 juta barel perhari, kini Cina menempati peringkat kedua sebagai pengkonsumsi minyak dunia terbesar setelah Amerika Serikat (20,6 juta barel perhari). Sementara itu, India telah menggunakan jumlah yang hampir sama dengan negara Jerman yakni sebesar 2,6 juta barel perhari.[32] Memasuki tahun 2015, Cina diprediksi membutuhkan sedikitnya 8 persen dari cadangan minyak bumi dunia. Dalam bukunya yang berjudul The World is Flat, Thomas L. Friedman beragumentasi bahwa kebijakan Cina saat ini terfokus menjadi dua tujuan utama, yaitu mencegah Taiwan memperoleh kemerdekaannya dan perburuan terhadap ladang minyak bumi. Jika pertumbuhan ekonomi Cina berjalan normal, lanjutnya, maka Cina diperkirakan akan mengimpor sebesar 14 juta barel minyak perhari pada tahun 2012. Untuk mengakomodasi pemenuhan tersebut, tidak ada alternatif cara selain menemukan negara-negara semacam Arab Saudi lainnya di muka bumi.[33]
Di tahun 2004, salah satu perusahaan minyak terbesar Cina yang dimiliki oleh negara, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), memperlihatkan ambisinya untuk menguasai minyak dunia dengan melakukan penawaran sebesar US$ 20 miliar untuk membeli perusahaan minyak raksasa Amerika Serikat, Unocal. Namun tawaran tersebut akhirnya ditolak oleh Congress Amerika Serikat dengan alasan bahwa penawaran tersebut merupakan suatu bentuk ancaman nasional terhadap pertahanan energi domestik Amerika. Selang beberapa bulan berikutnya, perusahaan penghasil minyak dan gas Cina lainnya, China National Petroleum Corporation (CNPC), membeli perusahaan miyak raksasa milik Kanada, PetroKazakhstan, sebesar US$ 4.2 miliar.[34] Pemimpin Cina juga begitu agresif melakukan kerjasama impor minyak dengan negara-negara Afrika, seperti Angola, Nigeria, dan negara Amerika Selatan, khususnya Argentina dan negara Venezuela yang dipimpin oleh Hugo Chavez, Presiden beraliran kiri yang sangat anti terhadap Amerika Serikat.[35]
Untuk mengamankan penyediaan minyak bumi, gas alam, dan sumber-sumber lain guna menjaga laju pertumbuhan ekonominya, Cina dan India telah melakukan perjanjian khusus antarnegara mulai dari Sudan, Iran, hingga Myanmar. Bahkan, India pun harus bersikap lunak terhadap musuh bebuyutannya sendiri, Pakistan, mengingat beberapa jalur pipa minyak dari negara lain yang masuk ke India harus melewati wilayah Pakistan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa forum internasional, baik Cina maupun India selalu menjadi oposisi keputusan sidang atau setidaknya bersikap lamban terhadap keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi kondisi sosial-politik negara-negara pensuplai minyak bagi negaranya. Untuk menyebut beberapa konflik di antaranya, yaitu kasus kekerasan militer di Myanmar, sengketa program pengayaan nuklir di Iran, dan kejahatan genosida di Darfur oleh Sudan.
B. Geopolitik Asia
Pada bulan Februari 2007 yang lalu, Menteri Luar Negeri dari tiga raksasa dunia, yakni Rusia, Cina, dan India bertemu di New Delhi untuk melakukan aliansi kerjasama untuk mempromosikan perdamaian internasional, kemakmuran, dan persamaan negara-negara dunia. Menurut kacamata analisa Madhava D. Nalapat, Direktur dari The School of Geopolitics, Manipcal Academy of Higher Education, aliansi tersebut mempunyai tiga tujuan bersama yang ingin dicapai, yaitu:
- Seluruh negara Asia memiliki kemandirian untuk menempuh jalan dan caranya masing-masing dalam hal pembangunan politik, ekonomi, dan sosial tanpa adanya tekanan ataupun intervensi dari siapapun;
- Tidak ada satu negara pun yang dapat mendominasi Asia ataupun benua lainnya, termasuk berlaku juga bagi ketiga penandatangan kerjasama tersebut;
- Keseimbangan tata dunia harus dibangun dengan menciptakan iklim kerjasama yang sehat, terutama dengan menghindari terjadinya konfrontasi dalam hubungan antarnegara.[36]
Gambar 3: Peta Geopolitik Dunia
(Gambar Peta tidak dapat tertampilkan di halaman ini)
Sumber: The Nations Online Project
Lebih lanjut, Napalan mengungkapkan bahwa aliansi ini dibentuk sebagai respon atas terjadinya hegemoni dari negara-negara barat yang terjadi selama ini. Namun demikian, peta geopolitik Asia sendiri cukuplah rumit untuk digambarkan hanya dengan sekedar menjelaskan kebijakan anti-Barat yang sebenarnya cukup bias. Sebagai contoh, hingga saat ini antara India dan Amerika Serikat merupakan “teman akrab” di berbagai sektor kerjasama, dan Uni Eropa justru semakin memperlihatkan hubungan yang lebih erat dengan Cina maupun India.
Dalam kerangka yang lebih luas, Odded Shenkar melihat bahwa Cina saat ini sedang berevolusi dari kekuatan ekonomi global menjadi kekuatan geopolitik internasional di masa yang akan datang. Dalam beberapa kurun waktu ke depan, Cina bukan saja akan berperan menjadi tuan rumah dari pasar Asia yang menjadi pesaing terberat dari perekonomian Eropa dan Amerika, tetapi juga Cina akan menjadi “broker” dan “arbiter” dalam hal hubungan diplomasi internasional bagi negara-negara di dunia. Peningkatan militer Cina yang begitu mengesankan akan menjadi faktor penyeimbang dari dominasi tua yang dibangun oleh negara barat. Pemain tunggal politik kelas dunia kini akan menemukan sparing partner baru yang cukup menjanjikan. [37]
Posisi aman dan nyaman dalam pentas geopolitik dunia, kini amatlah dinikmati oleh India setelah memperoleh angin segar dari para pemimpin Amerika Serikat. Untuk kali pertamanya, pemerintahan George W. Bush melakukan kebijakan yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Pada bulan Maret 2005, Bush mengunjungi New Delhi guna menandatangani perjanjian yang cukup kontroversial yaitu kesediaan Amerika Serikat dalam penyediaan teknologi pengembangan program energi nuklir untuk India, sebuah negara yang tidak pernah berkeinginan untuk menandatangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (1968). Majalah The Economist menjuluki perjanjian tersebut sebagai “Dr. Strangedeal”.[38] Pendekatan Amerika kepada India merupakan tindak lanjut dari laporan CIA yang mengidentifikasi India sebagai “the key swing state” di abad ke-21. Dalam konteks tersebut, Amerika Serikat bermaksud untuk memperkuat India sebagai bentuk counterbalancing terhadap pengaruh Cina di Asia dan negara dunia lainnya.[39]
Akan tetapi rencana Amerika ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan apabila kita melihat kenyataan yang begitu kontras bahwa India tidak ingin menjalankan perannya sekedar menjadi negara penyeimbang bagi Cina. Selain menjalin hubungan baik terhadap Cina maupun Amerika Serikat, India juga menjaga jarak atas kemungkinan terjadinya intervensi kebijakan yang datang dari keduanya. Sebagai contoh, India selalu menghindar ketika Washington berulang kali memintanya agar dapat bergabung dalam “the coalition of the wiling”. Puncak dari ketidakberdayaan Amerika Serikat terlihat ketika India justru semakin mempererat hubungan kerjasamanya dengan Iran, negara yang dimasukan dalam kelompok “Axis of Evil” oleh Presiden Bush. Mengutip perumpanan yang digunakan oleh Edward Luce, India kini sedang menikmati “the triangular dance”.[40]
C. Perang Dingin
Melihat kondisi geopolitik yang berkembang saat ini, maka dalam jangka waktu yang tidak lama lagi kita semua akan melihat terbentukanya kekuatan tripolar ekonomi-politik dunia di bawah bendera Amerika Serikat, Cina, dan India.[41] Pertanyaannya sekarang adalah, akankah negara-negara tersebut menciptakan terjadinya perang dingin (cold war) episode kedua?
Di masa yang akan datang, hemat penulis, pertarungan antarnegara bisa saja terjadi, tetapi bukanlah didasarkan atas ideologi, melainkan akibat pemenuhan kebutuhan sumber daya alam yang sangat terbatas. Pada masa yang lalu Uni Soviet mempunyai kepentingan atas hancurnya ideologi kapitalisme, sedangkan saat ini baik Cina maupun India tidak lagi mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana halnya Uni Soviet. Namun tidak menutup kemungkinan pula, apabila di kemudian hari tercipta kerjasama non-formal antara Cina, India dan negara lainnya, untuk secara tidak langsung menjatuhkan Amerika dan aliansinya dengan cara-cara yang lain.
***
Baca selanjutnya Cindonesia: Membangun Kekuatan Triumvirat Asia (Bagian II) yang mengupas tentang "Mengejar Laju Cindia" dan "Kesimpulan Tulisan".
Catatan Kaki:
[1] Lihat Vishnu Saraf, India and China: Comparing the Incomparable, Observer Research Foundation dan Macmillan India Ltd., 2008.
[2] Para pemimpin negara Cina mengklaim secara berulang kali bahwa Cina akan mengalami transisi demokrasi hanya dan jika masyarakatnya sudah terdidik dengan baik dan menikmati kesejahteraan yang cukup.
[3] Untuk memonitor perkembangan sekaligus mensensor berita negatif pada jaringan internet, pemerintah Cina mempekerjakan sedikitnya 30.000 cyber police. Bahkan menurut studi komprehensif yang dilakukan oleh peneliti Harvard University, kata-kata “democracy”, “human rights”, ataupun “freedom” telah dihilangkan dari mesin pencari kata Google. Lihat The Berkman Center for Internet and Society, Internet Filtering in China 2004-05: A Country Study, Harvard Law School, tersedia pada http://opennet.net/studies/china/, diakses terakhir kali pada tanggal 20 Maret 2008.
[4] L. Alan, Winters dan Shahid Yusuf, Dancing With Giants, World Bank, Washington DC, 2006, hal. 7.
[5] Laporan Goldman Sachs Economic Research dalam Dreaming with BRIC’s: The Path to 2050 (Global Economics Paper No. 99) dan India: Realizing BRICs Potential (Global Economics Paper No. 109).
[6] Lihat Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, Penguin, edisi paperback, New Delhi, 2006.
[7] Salah satu contoh hasil skenario akuisisi terbaik dapat dilihat dari perjalanan Mittal Steel, perusahaan keluarga dari Mohan Mittal yang memulai bisnisnya dengan membeli perusahaan besi di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Setelah berhasil membeli International Steel Group (ISG) sebesar US$ 4.5 miliar, Mittal menjadi pemilik perusahaan besi terbesar di Amerika Serikat. Lebih dari itu, pada tahun 2006 Mittal juga membeli Arcelor, perusahaan manufaktur besi terbesar di Eropa dengan sebesar US$ 34 miliar. Akusisi tersebut menjadikannya sebagai perusahaan besi pertama di dunia yang mampu memproduksi 100 juta ton besi. Sekarang, Arcelor Mittal berada pada posisi tiga kali lebih besar dari pesaing terdekatnya yaitu Nippon Steel dari Jepang.
[8] Lihat Lee Kuan Yew, From Third World to First: The Singapore Story, 1965-2000, Harper Collins, New York, 2000.
[9] Robyn Meredith, The Elephant and The Dragon: The Rise of India and China and What It Means for All of Us, Viva Books, New Delhi, 2008 hal. 22-25.
[10] Feng Zhenghui, ed., Stories of China’s Reform and Opening-Up, Story of China Publishing, Shenzhen, Agustus 2004.
[11] Hemat penulis, pendekatan tersebut diutarakan atas dasar bayang-bayang perlindungan akan validitas Marxisme dan legitimasi rezim pemikirannya.
[12] Lihat Paul Wolfitz, Statement Issued on Visit to China, World Bank, Washington, Oktober 2005.
[13] Pengamat Cina dari University of Michigan, Kenneth Lieberthal, memberikan label pada sistem yang digunakan oleh Cina sebagai sistem “bureucratic capitalism”. Sedangkan John Gittings, salah satu ahli dari Cina menamakannya sebagai “state capitalism”. Satu kesamaan yang dibawa oleh para ahli tersebut bahwasanya sistem ekonomi Cina bukanlah sistem komunis secara penuh, namun bukan juga kapitalis secara sungguh-sungguh.
[14] Robyn Meredith, op. cit., hal. 39-40.
[15] Lihat Gurcharan Das, India Unbound: From Independence to the Global Information Age, Penguin Books India, New Delhi, 2002.
[16] Ketentuan “License Raj” inilah yang dianggap menjadi salah satu sumber malapetaka tumbuh suburnya praktik penyelundupan dan korupsi di tubuh pemerintahan India sepanjang masa.
[17] Lihat Sandep Ahuja, et al., Indian Economic Reform: Task Force Report, International Policy Practicum 2005, University of Chicago, Januari 2006.
[18] Bandingkan pandangan dan pola pemikiran antara para ekonom India dengan eknonom dari negara lainnya tentang “Reformasi Ekonomi di India”. Lihat salah satunya Jagdish N. Sheeth, Chindia Rising: How China and India Will Benefit Your Business, Tata McGraw-Hill, New Delhi, 2008.
[19] Menyadari akan kekurangannya, pemerintah India telah menganggarkan sekitar US$ 150 miliar untuk program pembangunan infrastruktur selama 2005-2010. Program tersebut secara garis besar meliputi: US$50 miliar untuk perbaikan bandar udara, pelabuhan, dan jalan raya; US$ 75 miliar untuk pembangkit energi tenaga listrik yang didistribusikan ke 125.000 desa; dan US$25 miliar untuk pembangunan jaringan telekomunikasi.
[20] Kebanyakan para petinggi dan masyarakat Indonesia seringkali masih mengukur segala sesuatunya dengan nilai fisik, materi, dan sifat konsumsi. Oleh karenanya, ketika berbagai studi perbandingan dilakukan oleh pihak legislatif ataupun eksekutif Indonesia di negara India, hasil yang diperoleh seringkali tidak maksimal dikarenakan para pembanding cenderung hanya membandingkan infrastruktur fisik dan struktur masyarakat di lapangan. “Invisible infrastructure” yang justru menjadi modal utama dan penghubung antara pembangunan negara India dengan dunia, jarang sekali diperhatikan dan dianalisa dengan mendalam.
[21] Lihat juga Venessa Wong, “Step into the Future”, Insight Magazine, American Chamber of Commerce in Shanghai, Juli-Agustus 2006.
[22] A CII-McKinsey Report, Learning from China to Unlock India’s Maufacturing Potential, Oktober 2002, hal. 19-23, 32.
[23] Nasscom-McKinsey, Chindia: How China and India are Revolutionizing Global Business, McGraw-Hill, 2007, hal. 168. Di tahun 2006-2007, IT memberikan kontribusi lebih dari 16 persen dari nilai total ekspor India untuk barang dan jasa. Nilai ini diperkirakan akan semakin meningkat dan memainkan peran yang penting di masa-masa mendatang.
[24] Lihat “From cars for Rs one lakh to Rs one crore, Tata makes them all”, The Economic Times, 26 Maret 2008.
[25] Pada Agustus 2006, Mylan Laboratories dari Amerika Serikat mengumuman akan mengeluarkan lebih dari US$ 700 juta agar dapat memiliki 71% saham Matrix Laboratories India. Sedangkan, Dr. Reddy’s Laboratories India sudah mulai mengembangkan usahanya di Mexico dengan mengeluarkan dana sebesar US$ 60 juta.
[26] Meskipun persaingan perdagangan internasional antara Cina dan India berlangsung sangat ketat, akan tetapi kedua negara tetap melakukan kerjasama perdagangan yang harmonis. Hal ini terbukti dengan ditandatanganinya “India-China Regional Trading Agreement” di tahun 2006 dengan total nilai kerjasama sebesar US$ 20 miliar.
[27] Gurcharan Das, “Afterword”, op. cit., hal. 360.
[28] Lihat Pan Mohamad Faiz, Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India, disampaikan pada International Conference for Indonesian Students di Sydney, Australia, September 2007.
[29] Dengan adanya tournamen olahraga berskala internasional, maka selain terciptanya promosi total suatu negara, pembangunan infrastruktur akan menjadi lebih baik. Dalam rangka rangka mempersiapkan Olimpiade 2008, pemerintah Cina mengalokasikan dana sebesar US$ 38 miliar untuk membangun lokasi pertandingan, gedung, dan infrastruktur publik di berbagai kota di Cina. Dana yang dianggarkan oleh pemerintah Cina ini bernilai dua kali lipat lebih besar daripada rencana pendanaan Olimpiade 2012 di London, Inggris.
[30] Berdasarkan data yang dikeluarkan Motion Picture Association of America 2001-2002, perbandingan antara industri Bollywood Vs. Hollywood adalah sebagai berikut: Produksi film (1.013 : 739); Penjualan tiket (3,6 miliar : 2,6 miliar); Keuntungan seluruh dunia (US$ 1,3 miliar : US$ 51 milyar); Pertumbuhan rata-rata pertahun (12,6% : 5,6%); Biaya produksi rata-rata perfilm (US$ 1,5 juta : US$ 47,7 juta); dan Biaya promosi rata-rata perfilm (US$ 500.000 : US$ 27,3 juta).
[31] Data yang dipaparkan oleh Organisation for Economic Coopearation and Development (OEDC) menunjukan bahwa setiap 1 persen pertambahan pada GDP suatu negara, maka akan meningkatkan permintaan kebutuhan minyak sebesar 0,5 persen.
[32] Data dihimpun berdasarkan laporan dari U.S. Departement of Energy, Energy Informatioan Administration yang tersedia pada http://www.eia.doe.gov/oil_gas/petroleum/info_glance/petroleum.html, diakses terakhir kali pada tanggal 21 Maret 2008.
[33] Lihat Thomas L. Friedman, The World Is Flat: A Brief History of the Tweny-First Century, Penguin Book, New Delhi, 2005.
[34] Ted Fishman, China Inc.: How the Rise of the Next Superpower Challenges America and the World, Scribner, edisi paperback, New Delhi, 2006, hal. 55.
[35] Dari tahun 2000-2005, Cina diperkirakan menghabiskan sekitar US$ 15 miliar untuk membeli saham dari lebih 100 perusahaan minyak asing sekaligus pengeksplorasian ladang mnyak di Amerika Selatan, Afrika dan Timur Tengah. Berdasarkan laporan China Daily (2006), impor minyak bumi Cina berasal 50 persen dari Timur-Tengah, 25 persen dari Afrika, khususnya berasal dari Angola, 15 persen dari Asia Tenggara, dan 10 persen dari Rusia dan negara-negara di Asia-Tengah.
[36] Madhav D. Nalapat, “Partnership for Peace, Prosperity, and Parity”, China Daily, 14 Februari 2007, hal. 11.
[37] Odded Shenkar, The Chinese Century: The Rising Chinese Economy and Its Impact on the Global Economy, The Balance of Power, and Your Job, Whartoon School Publishing, 2006, hal. 162.
[38] Lihat “George W. Bush in Dr. Strangedeal”, The Economist, edisi 22-27 Maret 2006.
[39] Perhatikan butir-butir kerjasama militer antara Amerika Serikat dan India yang dikeluarkan oleh Pentagaon pada Oktober 2002 dalam laporannya yang berjudul, “The Indo-US Military Relationship: Expectation and Perceptions”.
[40] Edward Luce, In Spite of the Gods: The Strange Rise of Modern India, Doubleday, 2007.
[41] Arvind Virmani, A Tripolar Century: USA, China and India, Working Paper No 160, Indian Council for Research on International Economic Relation, Maret 2005.