Memahami dan menelah putusan Mahkamah Konstitusi sama saja dengan mendulang wawasan baru tentang hukum bagi siapapun yang membacanya. Namun kendalanya, masih banyak diantara kita yang enggan untuk membacanya dikarenakan (biasanya) Putusan terlalu rumit bahasanya dan panjang bahasannya. Untuk itu, kali ini saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan MK dengan amar "permohonan ditolak". Semoga hal yang kecil ini dapat turut membangun kesadaran hukum dan berkonstitusi di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.
1. Putusan Perkara Nomor 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (PDF).
• “Asas Retroaktif dan Kewenangan KPK Mengambil Alih Perkara”.
Permohon dalam perkara ini beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 68 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang memberikan landasan Kewenangan KPK melakukan pemeriksaan berdasarkan asas berlaku surut atau asas restroaktif.
Menurut Pemohon, hak untuk tidak dilakukan penyidikan atau penuntutan dengan menggunakan asas berlaku surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, di mana ketentuan ini secara jelas dan tegas diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I ayat (1).
Terlepas dari adanya pendapat dua Hakim Konstitusi yang memandang bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing, mengingat substansi masalah yang didalilkan Pemohon dan agar tidak menimbulkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya di kemudian hari sekaligus demi kepastian hukum, Mahkamah memandang perlu memberikan penilaian terhadap substansi Pasal 68 UU KPK, yang oleh Pemohon didalilkan mengandung asas berlaku surut (retroaktif).
Pasal 68 UU KPK menyatakan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.”
Kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK, adalah kewenangan untuk meneruskan proses yang sebelumnya telah ada. Artinya, kewenangan KPK dalam hubungan ini adalah bersifat prospektif, yang baru dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK. Dengan adanya Pasal 68 juncto Pasal 9 dan Pasal 8 UU KPK, penanganan perkara korupsi yang mengalami hambatan karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 9 adalah sama dasar tuntutan hukumnya dengan penanganan perkara korupsi lain yang masih tetap dilakukan oleh polisi dan jaksa, namun tidak mengalami hambatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK.
Menurut Mahkamah, Pasal 68 UU KPK sama sekali tidak mengandung ketentuan hukum yang berlaku surut sehingga melanggar ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan hukum secara retroaktif (ex post facto law) jika ketentuan tersebut (a) menyatakan seseorang bersalah karena malakukan perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, dan (b) menjatuhkan hukuman atau pidana mati yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
Pasal 68 UU KPK tidak mengandung salah satu dari dua unsur tersebut. Pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan Pasal 68 tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang berarti tidak pula mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan yang penanganannya diambil alih oleh KPK tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 UU KPK tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah dikumandangankannya Undang-undang KPK.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara sah dan meyakinkan sehingga permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.
2. Putusan Perkara Nomor 065/PUU-III/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (PDF).
• “Batasan Asas Non-Retroaktif Dalam Pelanggaran HAM Berat”.
Pemohon dalam perkara ini adalah mantan Gubernur Timor-Timur periode 1994-1996 yang menyatakan bahwa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pemohon menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut adalah HAM yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa dengan menerapkan asas non-retroaktif haruslah juga diperhitungkan apakah akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum, sehingga apabila hal itu terjadi justru perlindungan kepada seorang individu secara demikian bukanlah menjadi tujuan hukum. Keseimbangan harus ditemukan antara kepastian hukum dan keadilan dengan cara memahami arti Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak hanya pada teksnya, tetapi juga mempelajari pengertian asas tersebut dari sejarah, praktik dan tafsiran secara komprehensif. Ukuran untuk menentukan kesimbangan kepastian hukum dan keadilan, khususnya dalam menegakkan asas non-retroaktif harus dilakukan dengan mempertimbangkan tiga tujuan hukum yang senantiasa saling tarik-menarik (spannungsverhältnis) yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan hukum (gerechtigheid), dan kebergunaan hukum (zweckmassigkeit). Dengan mempertimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut secara seimbang maka pemberlakuan hukum secara retroaktif yang terbatas, terutama terhadap kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes), secara hukum dapat dibenarkan.
Penerapan secara retroaktif suatu undang-undang tidaklah otomatis menyebabkan undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Pemberlakuan retroaktif harus dinilai dari dua faktor atau syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang tersebut; dan kedua, bobot dan sifat (nature) hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar.
Kejahatan-kejahatan diberlakukan pengesampingan asas non-retroaktif oleh Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU Pengadilan HAM) yang bertentangan dengan semangat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karenanya, pada kejahatan-kejahatan tersebut pengesampingan asas non-retroaktif bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan sebaliknya, sebagai undang-undang dasar dari sebuah bangsa yang beradab, semangat UUD 1945 justru mengamanatkan agar perikemanusiaan dan perikeadilan ditegakkan, sehingga kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas harus diberantas.
Walaupun Mahkamah berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat dibenarkan, bukanlah maksud Mahkamah untuk menyatakan bahwa pengesampingan demikian setiap saat dapat dilakukan tanpa pembatasan. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pembatasan tersebut, yaitu asas non-retroaktif hanya dapat disimpangi semata-mata demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Asas non-retroaktif tetap diutamakan namun pengutamaan tersebut tidak dimaksudkan untuk dipahami sebagai kemutlakan.
Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.
Dalam putusan ini terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.
3. Putusan Perkara Nomor 070/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26. Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (PDF).
• “Keadilan Dalam Pembebanan Kewajiban Kepada Provinsi Induk Terhadap Provinsi Pemekaran”.
Pokok perkara dalam putusan ini adalah pengujian Pasal 15 ayat (7) dan ayat 9 UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang mewajibkan Provinsi Sulawesi Selatan memberikan bantuan kepada Provinsi Sulawesi Barat selama 2 tahun berturut-turut sejak diundangkannya undang-undang ini paling sedikit sejumlah Rp. 8.000.000,- setiap tahun anggaran dan Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang menyatakan Pemerintah memberikan sanksi apabila Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (8) bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa daerah yang diberikan otonomi tetap merupakan bagian dari NKRI, sehingga tetap harus menaati ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 merupakan salah satu bentuk pembatasan dari Pemerintah Pusat berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan Perda termasuk menetapkan APBD untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya, namun tidak terlepas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang secara hierarkis lebih tinggi. Dengan demikian, pembebanan kewajiban sebagaimana dituangkan dalam Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang dituangkan melalui Perda tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip equal justice before the law sebagaimana terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945, jika dibandingkan dengan UU pembentukan provinsi lainnya, Mahkamah berpendapat bahwa keadilan bukan berarti semua subjek hukum diperlakukan sama tanpa melihat kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak. Keadilan justru harus menerapkan prinsip proposionalitas, artinya memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Kondisi setiap provinsi induk dan provinsi pemekaran tidak selalu sama, oleh karena itu sudah sepatutnya diperlakukan secara tidak sama pula. Karena, diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakukan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu.
Mahkamah memutuskan menolak permohonan ini. Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
4. Putusan Perkara Nomor. 006/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).
• “Pemilihan Sistem Rekruitmen Politik Melalui Partai Politik dan Prinsip Nomorn-Diskriminasi”.
Pemohon dalam perkara ini mendalilkan bahwa hak dan atau kewenangan konstitusinya telah dirugikan karena peluang Pemohon sebagai perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai bakal calon kepala daerah tidak dimungkinkan menurut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda. Padahal peluang perseorangan maupun partai politik menurut konstitusi bersamaan kedudukan sejajar dalam hal kesempatan berpolitik, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
Pemohon mengajukan tuntutan pembatalan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda, yaitu Pasal 59 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Bagian Keempat Pemerintah Daerah, Paragraf Kesatu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 24 ayat (5) berikut Pasal-Pasal yang berkaitan, yang di dalamnya terdapat kalimat, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasangan Calon, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, yaitu pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 67, Pasal 70, Pasal 75 sampai dengan Pasal 80, Pasal 82 sampai dengan Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan Pasal 119.
Dari permohonan tersebut, Mahkamah tidak melihat adanya hubungan kausal (causal verband) yang rasional antara UU Pemda sepanjang berkaitan dengan keberadaan Wakil Kepala Daerah dengan kerugian hak konstitusional pemohon. Keberadaan wakil kepala daerah, tidak berhubungan, baik langsung maupun tidak dengan kemungkinan terpilihnya Pemohon sebagai perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Kecuali untuk pengujian Pasal 59 ayat (1) dan (3) UU Pemerintahan Daerah, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan sepanjang terkait masalah Wakil Kepala Daerah.
Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan publik yang dilakukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) harus melalui pengusulan partai politik melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilindungu oleh Konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan UU. Persyaratan tersebut berlaku sama terhadap semua orang.
Mahkamah berpendapat permohonan sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda, tidak dapat diterima. Sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) tidak cukup beralasan, dinyatakan ditolak.
5. Putusan Perkara Nomor 010/PUU/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).
• “Threshold Pilkada Langsung”.
Pemohon mengajukan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon karena perolehan suara pemohon pada Pemilu tahun 2004 di seluruh Indonesia untuk calon anggota Legislatif, baik pada tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi tidak mencukupi 15%. Ketentuan persyaratan tersebut dipandang bertentanan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3).
Dalam pertimbangan hukum terkait dengan pokok perkara, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 27 UUD 1945 berada di bawah Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, yang memberikan hak yang sama bagi warga negara dalam hukum dan pemerintahan yang lazim disebut equality before the law. Karena Pemohon adalah badan hukum partai politik, maka dalil permohonan Pemohon menyangkut Pasal 27 ayat (1) ini tidak relevan, sehingga oleh karenanya harus dikesampingkan, karena syarat ini bukan hanya berlaku bagi Pemohon, tetapi bagi semua warga negara dan partai politik.
Selanjutnya, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Mahkamah berpendapat tidak ada hak Pemohon yang terhalang untuk mengajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan terhadap Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan, Mahkamah berpendapat bahwa kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan berupa hak memilih dan dipilih mendapat jaminan, akan tetapi terdapat syarat-syarat atau mekanisme tertentu yang wajib dipatuhi oleh setiap orang dan badan hukum.
Mahkamah berpendapat bahwa mekanisme dan syarat-syarat tersebut adalah pilihan kebijakan yang ditentukan dalam undang-undang. Sepanjang tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Selain itu, pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisem dan prosedur dalam pelaksanaan hak-hak dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Akhirnya, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian Pasal 59 ayat (2) UU Pemda terhadap UUD 1945, tidak cukup beralasan untuk dikabulkan, sehingga permohonan Pemohon harus ditolak.
6. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU (PDF).
• “Penilaian ‘Hal Ihwal Kegentinagn Memaksa’ Sebagai Syarat Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil dan formil atas UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945.
Argumentasi Pemohon dalam pengujian formil antara lain adalah lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dikatakan tidak memenuhi syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai sendiri oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi udang-undang. Namun Mahkamah juga menyatakan di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden mengeluarkan sebuah Perpu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalil-dalil para Pemohon dalam permohonan pengujian formil UU Nomor 19 Tahun 2004, Mahkamah memutuskan menolak permohonan Pemohon.
Dalam permohonan pengujian materiil, para Pemohon antara lain mendalilkan bahwa materi muatan yang terkandung dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak layak sebagai suatu undang-undang, karena hanya merupakan norma yang bersifat individual konkrit dan eenmalig berupa penetapan (beschikking) perizinan. Keberadaan tambang di hutan lindung sebagai akibat berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004, menurut Pemohon akan menimbulkan dampak kerugian ekonomi lingkungan dan sosial budaya sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 pada dasarnya hanya mengambil alih konsiderans “Menimbang” Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan isi Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada intinya hanya menambahkan 2 (dua ) Pasal pada Bab XVII tentang Ketentuan Penutup, yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B. Dari isi konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 dan bunyi Pasal 83A dan Pasal 83B Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tampak bahwa ketentuan tersebut memuat sebuah ketentuan transisional dan sekaligus Ketentuan Penutup. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan Peralihan, sedangkan Pasal 83B-nya termasuk kategoti Ketentuan Penutup.
Materi muatan Pasal 83A merupkan norma umum abstrak yang termasuk Nomorrma ketentuan peralihan, bukan norma individual konkrit berupa penetapan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi muatannya merupakan norma umum abstrak yang termasuk dalam Ketentuan Penutup yang sifatnya menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, dalam hal ini Presiden, yang diberi kewenangan untuk memberikan izin dengan Keputusan Presiden.
Dari sudut muatannya, Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 memang merupakan penyimpangan sementara ketentuan Pasal 38 ayat (4). Pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung akan tetap dilarang di Indonesia, kalau ada penyimpangan sifatnya adalah transisional. Mahkamah dapat memahami alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/acquired rights).
Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan Mahkamah dalam putusan ini, permohonan para Pemohon, baik dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang terhadap UUD 1945 tidaklah cukup beralasan, sehingga permohonan diputuskan ditolak.
7. Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (PDF).
• “Conditionally Constitution bagi UU SDA” .
Putusan in merupakan putusan pengujian formil dan materiil UU SDA. Dalam pengujian formil, para pemohon mendalilkan prosedur pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan fakta dalam persidangan, Mahkamah berpendapat bahwa proses pembentukan UU SDA telah sesuai dengan prosdur pembentukan undang-undang, dan tidak menemukan adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah juga berpendapat meskipun hanya Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 yang dicantumkan dalam konsiderans “mengingat” UU SDA, hal tersebut tidak menyebabkan secara formil UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. Maka permohonan untuk melakukan pengujian formil terhadap UU SDA tidak cukup beralasan sehingga harus ditolak.
Dalam pengujian materiil, pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk melakukan pengujian materiil sebanyak 19 Pasal UU SDA dan di samping itu juga terdapat pemohon yang mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian terhadap falsafah yang mendasari UU SDA. Sebelum melakukan pengujian Pasal-Pasal UU SDA yang dimohonkan, Mahkamah menyampaikan dasar-dasar pemikiran yang digunakan dalam pengujian Pasal-Pasal UU SDA.
Fungsi air memang sangat perlu bagi kehidupan manusia dan dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang penting sebagaimana kebutuhan makhluk hidup terhadap oksigen. Akses terhadap pasokan air bersih telah diakui sebagai hak asasi manusia yang dijabarkan dalam Piagam pembentukan World Health Organization 1946, Article 25 Universal Declaration of Human Rights, Article 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan Article 24 (1) Convention on the Right of Child (1996).
Pengakuan akses terhadap air sebagai HAM mengindikasikan dua hal, yaitu pengakuan terhadap kenyataan air sebagai kebutuhan yang penting bagi hidup manusia, dan perlunya perlindungan atas akses untuk mendapatkan air bagi setiap orang. Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak atas air menjadi hak yang tertinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia. Sebagaimana HAM lainnya, posisi negara terkait dengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh HAM adalah negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Maka menjadi keniscayaan bagi negara untuk campur tangan guna melakukan pengaturan yang tujuannya agar hak asasi manusia tersebut dapat dihormati, dilindungi dan dipenuhi.
Para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan air dalam ketentuan UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3). Dengan demkian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan bathin.
Apabila penghormatan terhadap hak asasi atas air ditafsirkan sebagai tidak diperbolehkannya negara untuk mencampuri urusan air warga negara, maka akan timbul banyak konflik perebutan untuk mendapatkan air. Perlindungan terhadap hak asasi atas air tidak hanya menyangkut terlindunginya hak yang telah dinikmati seseorang dari pelanggaran oleh orang lain, tetapi juga menjamin kepastian harus benar-benar dapat dinikmati. Perlindungan hak dalam aspek ini tidak dapat dipisahkan dengan pemenuhan terhadap hak yang diakui.
Tiga aspek hak asasi yang harus dijamin oleh negara, yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi harus juga dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena secara aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang tujuannya untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.
Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pengairan untuk pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri juga mempunyai andil yang penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan menjadi factor yang penting bagi manusia untuk dapat hidup secara layak. Pengaturan mengenai sumber daya air untuk keperluan sekunder merupakan sebuah keniscayaan pula. Oleh karenanya, pengaturan sumber daya air tidak cukup hanya menyangkut pengaturan air sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga perlu diatur pemanfaatn sumber daya air untuk keperluan sekunder yang tidak kalah pentingnya bagi manusia agar dapat secara layak. Kehadiran undang-undang yang mengatur kedua hal tersebut sangat relevan.
Berdasarkan pertimbanga-pertimbanagn yang dikemukakan dalam putusan ini, Mahkamah berpendapat UU SDA telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Apabila Undang-undang SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengajuan kembali (conditionally constitutional).
Konsep hak guna air ini sesuai dengan konsep air sebagai res commune yang tidak menjadi objek harga secara ekonomi. Hak guna air mempunyai dua sifat. Pertama, pada hak guna pakai hak tersebut bersifat in persona. Hal dimaksud disebabkan hak guna pakai adalah pencerminan dari hak asasi, oleh karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang sifatnya tak terpisahkan. Kedua, pada hak guna usaha air adalah hak yang semata-mata timbul dari izin yang diberikan oelh Pemerintah yang terikat oleh kaidah-kaidah perizinan. Mahkamah berpendapat meskipun UU SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke tangan swasta.
Selanjutnya, dalil pemohon antara lain adalah UU SDA menyebabkan komersialisasi terhadap air karena manganut prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidak bersifat komersial.
Setelah mempertimbangkan keseluruhan permohonan Pemohon, amar putusan ini menyatakan menolak permohonan para Pemohon. Terhadap putusan ini Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.A Mukthie Fadjar, S.H, M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mempunyai pendapat berbeda.
8. Putusan Peraka Nomor 009-014/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (PDF).
• “Notaris sebagai Pejabat Umum (Public Officer)”.
Dalam permohonan pegujian formil, para pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN) tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Peraturan) terutama Pasal 5 dan Pasal 6 UU Peraturan.
Mahkamah berpendapat bahwa tujuan diundangkannya UU Peraturan adalah agar proses pemebentukan undang-undang secara substansial bersesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 20A dan Pasal 21 UUD 1945, dan secara teknis memenuhi syarat sebagai undang-undang yang baik. Selain menjabarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, UU Peraturan juga memuat petunjuk atau pedoman tentang teknis penyusunan undang-undang yang baik, dengan menetapkan cara dan metode yang pasti dan baku (standar). Dengan demikian, suatu undang-undang yang tidak memenuhi persyaratan teknsi pembentukan undang-undang yang baik (behoorlikje wetgeving) tidak dengan sendirinya secara formil bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam permohonan pengujian materiil UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon Perkara 009, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 15 ayat (2) huruf g, Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) juncto Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat (1) UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, para Pemohon Perkara 014 mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945.
Pertimbangan hukum Mahkamah antara lain menyatakan bahwa notaris adalah suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public official) yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah sebagaimana diatur dalam BAB III UU JN. Oleh karena itu menurut Mahkamah memang seharusnya organisasi notaris berdiri sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer) dan dipersyaratkannya organisasi notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) merupakan hal yang sudah semestinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan Pasal 1 angka 5 UU JN tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pmeohon mengenai hal ini tidak cukup berlasan.
Pasal 67 UU JN menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tentang hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Para Pemohon mengkhawatirkan objektifitas perlakuan para notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas terhadap notaris yang mempunyai pertentangan kepentingan dengan notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas.
Mahkamah menilai kekhawatiran para Pemohon tentang objektifitas anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang karena hanya berjumlah 3 orang, sedangkan Majelis Pengawas berjumlah 9 orang, sehingga tidak mungkin memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU JN, pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) UU JN menyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengawasan menteri membentuk Majelis Pengawas. Majelis Pengawas bukan subordinasi notaris, melainkan lembaga yang bertugas membentu menteri untuk melakukan pengawasan atas notaris. Maka wajar jika Majelis Pengawas mendapat pelimpahan sebagian wewenang menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU JN.
Para Pemohon juga mendalailkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) JN tidak melarang bagi setiap notaris untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Namun mereka harus berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, karena notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara dalam rangka melayani kepentingan masyarakat.
Mahkamah menilai bahwa notaris merupakan organ negara dalam arti luas. Oleh karena itu negara berkepentingan akan adanya wadah tunggal organisasi notaris. Sebagai perbandingan, seperti dikemukakan oleh Pemerintah maupun Pihak Terkait (INI), hampir semua negara menganut adanya satu wadah organisasi notaris.
Dalam permohonan pengujian UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menilai bahwa pengaturan penggunaan cap/stempel yang memuat lambang negara oleh notaris dalam undang-undang, sementara penggunaan lambang negara pejabat negara diatur hanya dalam Peraturan Pemerintah adalah tidak layak. Terhadap penilaian para Pemohon tentang ketidaklayakan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu hanya merupakan penilaian subyektif para Pemohon yang tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon ditolak.
9. Putusan Perkara Nomor 015/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (PDF).
• “Kepastian Hukum Bagi Kurator”.
Pemohon dalam perkara ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan, perselisihan yang disebabkan oleh adanya bantahan suatu pihak di mana perselisihan tersebut tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas, maka Pemohon selaku kurator perlu mengajukan perselisihan ini ke pengadilan. Namun, dengan adanya ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan beserta penjelasannya, Pemohon selaku kurator tidak memperoleh kepastian hukum tentang pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut, apakah Pengadilan Niaga atau Pengadilan Negeri.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam rumusan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, dari segi struktur tata bahasa, terkandung makna bahwa Hakim Pengawas tetap memiliki kewenangan untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih sekalipun persilisihan itu telah diajukan ke pengadilan (dengan huruf “p” kecil). Adanya kata-kata “telah diajukan” jelas menunjukan bahwa pengadilan yang dimaksudkan di sini bukan Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, kewenangan Hakim Pengawas untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih tidaklah hilang dengan alasan perselisihan itu telah diajukan ke “pengadilan”. Dalam perngertian tersebut tentu menjadi tidak logis jika “pengadilan” dalam rumusan Pasala dimaksud diartikan sebagai Pengadilan Niaga.
Jika usaha mendamaikan oleh Hakim Pengawas tersebut ternyata tidak berhasil, sedangkan perselisihan dimaksud haruslah mendapat pernyelesaian agar proses beracara di Pengadilan Niaga dapat berjalan, maka Hakim Pengawas memerintahkan kepada pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Niaga. Jadi, dalam hal ini berlaku prosedur renvoi (renvoi procedure), sehingga kata “pengadilan” dalam anak kalimat Pasal 127 ayat (1) ditulis “Pengadilan” (dengan huruf “P” kapital).
Sedangkan penulisan kata “pengadilan” yang ditulis dengan huruf “p” kecil pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi, “… Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan,” menurut Mahkamah, adalah kekurangcermatan penulisan (clrecial error) pembentukan undang-undang di mana kata “pengadilan” dalam anak kalimat dimaksud seharusnya menggunakan huruf “P” kapital karena yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga, sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan.
Meskipun Mahkamah berpendapat telah terdapat kekurangcermatan (clerical error) dalam penulisan kata “pengadilan” pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, namun kekurangcermatan tersebut tidak sampai mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan dan Penjelasannya tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dipahami sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut.
Putusan ini juga memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap permohonan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6). Berdasarkan keseluruhan pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga dinyatakan ditolak. Dalam putusan ini terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.