PERJUANGAN CAPRES INDEPENDEN
Oleh: Pan Mohamad Faiz
Oleh: Pan Mohamad Faiz
Lika-liku jalan calon presiden independen (perseorangan) untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu Presiden 2009 terhenti sudah. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa frasa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum…” dalam UU No. 42 tahun 2008 (UU Pilpres) tidak inkonstitusional.
Menariknya, putusan MK tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga dari delapan Hakim Konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan pula membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres. Namun demikian, ketiga Hakim tersebut juga mempertimbangkan kepentingan nasional terkait dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 yang semakin dekat, sehingga pendapat tersebut berhujung pada kondisi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, mereka memandang bahwa kesempatan calon presiden perseorangan dalam Pilpres harus sudah mulai dibuka pada Pemilu tahun 2014 atau 2019.
Amandemen Kelima
Setidaknya terdapat dua alasan utama dari perspektif hukum dan politik yang menjadi mainstream ujian terjal belum terakomodasinya capres perseorangan hingga kini. Pertama, para ahli hukum berargumen bahwa kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah menetapkan secara nyata bahwa partai politiklah pemegang hak konstitusional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, para pengamat politik beralasan bahwa calon perseorangan pada sistem presidensiil amat rentan dengan munculnya ketidakstabilan politik dan ketatanegaraan, mengingat Presiden dalam mengelola negara harus pula memiliki dukungan kuat di Parlemen ketika menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Akan tetapi, tidak semua ahli hukum dan ahli politik tersebut memilik satu mahzab yang sama. Sebagian pengamat politik beranggapan bahwa tidak ada kaitannya antara sistem presidensiil dengan capres independen. Sebab, sistem presidensiil Indonesia mempunyai karakter yang khas dan berbeda dengan negara-negara lain. Sehingga, tidaklah dapat dipersamakan antara pengalaman negara satu dengan negara lainnya, atau dalam bahasa A.B. Kusuma (2008), tidak ada lagi istilah “presidensiil murni” atau “presidensiil tidak murni”. Sementara itu, sebagian para ahli hukum melihat Konstitusi sebagai organ yang hidup (the living constitution) seyogyanya harus mampu memberikan ruang interpretasi terhadap perkembangan dan kebutuhan rakyatnya. Oleh karenanya, menurut mereka, capres independent harus dapat terakomodasi secara legal-formal.
Keseluruhan “perang pendapat” tersebut setidaknya dapat kita temukan selama pemeriksaan pengujian undang-undang (constitutional review) terkait permohonan capres independen oleh Fadjroel Rachman, dkk. yang berlangsung di hadapan MK. Dari panjangnya proses pembuktian tersebut terdapat satu hal yang perlu direspons cepat ketika hampir sebagian besar ahli hukum dan anggota DPR memandang bahwa sesungguhnya tidak ada permasalahan terhadap ada-tidaknya jalur capres independen selama kehadirannya sesuai dengan politik konstitusi. Oleh karenanya, DPR dan Pemerintah siap membuka lebar-lebar pintu capres independen apabila memang telah terjadi amandemen kelima terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Apabila kehendak tersebut terejawantahkan, maka sudah seyogyanya Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR karena keadaan tertentu juga harus diamandemen.
Suara Rakyat
Undang-Undang Dasar sebagai konsensus bersama (general consensus) sudah sejatinya turut memperhatikan suara dan aspirasi rakyat yang berkembang (vox populi, vox dei). Adanya hasil survey LSI yang menyimpulkan bahwa sebagian rakyat Indonesia menginginkan dibukanya capres independen sebagai jalur alternatif selain jalur parpol menjadi bukti awal yang dapat dijadikan argumen pendukung untuk diubahnya Pasal 6A ayat (2). Terlebih lagi, beberapa penelitian ilmiah dan rekomendasi resmi dari Komisi Konstitusi sudah jauh-jauh hari menyuarakan betapa pentingnya perubahan Pasal tersebut. Walaupun bukan menjadi pendirian Mahkamah saat ini, tafsiran sebagian dissenter dalam Putusan No. 56/PUU-VI/2008 (vide halaman 127 s.d. 140) dapat juga dijadikan sinar pencerahan terwujudnya perubahan UUD 1945.
Namun demikian, ganjalan terberat justru hadir ketika usulan perubahan tersebut jatuh di tangan MPR sebagai pemegang otoritas tunggal insitusional untuk mengubah undang-undang dasar [Pasal 3 ayat (1) UUD 1945]. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah usulan perubahan tersebut dikabulkan? Kecemasan bermunculan dikarenakan bahwa sebagian besar anggota MPR adalah anggota Partai Politik, sehingga sulit membayangkan akan terjadinya skenario adanya parpol yang secara sukarela ingin mengebiri hak konstitusional dirinya sendiri.
Untuk mengeliminir keraguan tersebut, setidaknya pendekatan dan pencerahan mengenai perlunya perubahan konstitusi tersebut bukan hanya diarahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (the owner of ultimate sovereignty), namun juga diarahkan kepada parpol yang memiliki platform visioner-progresif, para anggota DPD yang berbasis perseorangan, jaringan akademisi, serta media massa yang befungsi sebagai “the fourth estate of democracy” atau pilar keempat penyanggah demokrasi (B.V. Naik, 2004)
Oleh karenanya, marilah sama-sama kita maknai proses pewacanaan dan hasil perjuangan capres independen betapapun manis-pahitnya itu, baik sebelum maupun sesudah putusan Mahkamah, sebagai proses pendidikan dan peremajaan berdemokrasi. Selama hal-hal tersebut dilakukan secara konstitusional, maka tidak ada salahnya kita menerimanya sebagai bagian dari dinamika kehidupan berdemokrasi yang sehat, serta membuang jauh-jauh rasa kecurigaan ataupun rasa skeptis yang tak beralasan.
Setidaknya, perjalanan panjang ini dapat turut pula menyuntikan vaksinasi iklim politik-ketatanegaraan yang kokoh sekaligus sebagai cermin otokritik terhadap kelembagaan partai politik Indonesia yang dianggap masih kurang memperhatikan aspirasi rakyat. (*)
* Peneliti Hukum dan Konstitusi di Jakarta.
tulisan adinda faiz cukup bagus.. untuk orang seusia anda, saya pikir itu cukup kreatif.. tapi anda sepertinya terlalu jauh masuk ke sosiologi-politik.. ingat anda adalah seorang sarjana hukum, bukan sarjana bidang sosial-politik, jadi menulislah sebagaimana halnya seorang sarjana hukum sejati... batasi pekerjaan anda pada pertanyaan tentang "apa hukumnya?" karenanya tak ada cara lain, dalamilah apa kerangka orientasi berpikir yuridik itu, sebab itulah yang menjadi prasyarat utama untuk menjadi seorang penulis hukum yang sesungguhnya...
ReplyDeleteTerima kasih atas tanggapannya. Sebenarnya tulisan yang saya buat banyak yang berlandaskan murni ulasan hukum, namun kadangkala ada juga yang berbasis hukum dengan komposisi materi bidang ilmu sosial lainnya. Hal tersebut semata-mata sebenarnya agar mudah dipahami oleh para pembacanya, khususnya yang non-hukum.
ReplyDeleteSekedar informasi, saya memang pernah kuliah pascasarjana political science di New Delhi selama satu tahun, namun tidak saya teruskan karena harus segera kembali ke tanah air untuk mengabdi. Akan tetapi, bidang ilmu sosial tersebut hanya berhubungan dengan perbandingan politik internasional, dimana referensi dan gaya pendalamannya tidak terlalu sering saya gunakan untuk tulisan-tulisan hukum saya.
Akankah saya akan menjadi seorang juris sejati atau bukan, waktu jua lah yang akan membawa saya kepada jawabannya. Selama proses tersebut, saya akan terus belajar dan menulis dengan harapan Kakanda bisa tetap memberikan masukan dan bimbingan kepada saya. Insya Allah akan bermanfaat untuk pengembangan kerangka berpikir ke depannya. Terima kasih sekali lagi.
Best Regards,
PMF
PS: Salam hangat saya untuk Prof. Valerine, lama saya tidak berjumpa sehingga mungkin beliau sudah tidak ingat lagi.
Dear Faiz,
ReplyDeleteIjinkan saya menyampaikan pendapat berbeda saya terhadap tulisan Anda ini.
Pertama, memang benar UUD sejatinya turut memerhatikan vox populi, vox dei. Namun pada saat yang bersamaan UUD harus juga memenuhi salah satu tugas utamanya yaitu kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai ini tentu memerlukan pemerintahan yang efektif. Permasalahannya bukan terletak pada argumen bahwa sistem presidensil Indonesia adalah unik jadi tidak bisa menggunakan pengalaman negara lain. Permasalahan utama adalah bagaimana presiden yang terpilih nanti tidak hanya memiliki legitimasi hasil pemilu (menang karena suara terbanyak) tapi juga bisa menjadi pemimpin yang mampu menengahi berbagai pandangan tentang melalui jalan apa kesejahteraan rakyat akan dicapai. Apabila kita lihat sejarah modern pemerintahan Indonesia, sudah beberapa presiden yang pemerintahannya tidak dapat bekerja secara maksimal karena tidak didukung oleh suara mayoritas lembaga legislatif. Adapun yang terjadi adalah pembelaan atas keputusan/kebijakan yang diambil dan akhirnya menghambat hasil akhir yang mungkin bisa bermanfaat bagi rakyat.
Kedua, walaupun calon presiden independen terdengar dan terlihat ideal dalam ranah pengertian demokrasi tradisional tapi di dunia modern ini penerapannya akan berarti meningkatnya biaya politik. Sulit membayangkan ada satu orang yang memiliki kemampuan finansial mandiri untuk mengajukan menjadi calon presiden independen dan menjalankan kegiatan politik sehari-hari setelah menjadi presiden. Kalangan bisnis sudah pasti akan berebut untuk menawarkan bantuan dan tanpa mekanisme check & balance dari sebuah institusi (dalam hal ini menurut saya partai politik), kecenderungan munculnya calon presiden dengan vested interest akan makin besar. Ini pula yang menurut saya terjadi saat ini ketika MK memutuskan untuk menggunakan suara terbanyak sebagai penentu terpilih atau tidaknya seorang calon legislatif (lengkapnya saya tulis ini di MP saya).
Ketiga, hasil survey memang bisa menjadi salah satu argumen untuk mendukung dilakukannya amandemen. Namun seiring dengan itu permasalahan yang dibawa hasil survey juga banyak. Validitas hasil survei bisa dipertanyakan dan digugat dengan berbagai macam cara. Cara objektif tentu akan disorot metodenya. Salah satunya adalah dengan mempertanyakan seberapa acak sampling yang digunakan. Cara subjektif adalah dengan menggunakan soft power (J. S. Nye) karena hasil survei kerap kali dibuat untuk memunculkan bandwagon effect. Sederhananya hasil survei digunakan untuk mengarahkan pendapat orang lain. Jadi agak berbahaya kalau kita menyandarkan argumen kita hanya pada keinginan massa. Tentu diperlukan argumen rasional akademis lainnya mengenai manfaat yang akan diperoleh rakyat apabila amandemen dilakukan.
Keempat, rasa skeptis yang tak beralasan memang tidak pantas dijadikan bagian dari proses dialektika. Tapi rasa kecurigaan dan rasa skeptis itu sendiri menurut saya tidak ada masalah. Sejak masa kuliah saya terus diajarkan untuk mempertanyakan segala sesuatu pendapat dan ide. Ini adalah cara kita untuk menemukan kebenaran. Rasa kecurigaan dan rasa skeptis adalah bagian dari proses kita mencari tahu apa yang dapat dijadikan pegangan kebenaran. Selama argumen yang dikedepankan memang terbukti tentu tidak menjadi masalah.
Partai politik Indonesia memang perlu dikoreksi tapi tidak berarti harus langsung digantikan oleh kata "independen."
Sekian dan terima kasih telah mengijinkan saya untuk berdialog dengan Anda.
Patria
Dear Patria,
ReplyDeleteDipersilahkan dengan sangat terbuka untuk memberikan komentar, baik yang sependapat ataupun tidak, karena saya sudah terbiasa dengan perbedaan pemikiran, karena disitulah letak berkembangnya ilmu pengetahuan. Lagipula, kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya adalah relatif dan bisa berkembang terus-menerus.
Pertama, pengalaman negara lain sebenarnya masih bisa dijadikan pegangan, tetapi hanya sebatas framework berpikir untuk menetapkan pilihan yang terbaik untuk sistem pemerintahan kita. Pemerintahan yang efektif memang menjadi sebuah kenicayaan dan tidak ada yang menyangkalnya. Kendati demikian, mayoritas dan minoritas suara juga bukan menjadi patokan atau jaminan bahwa pemerintah akan berjalan efektif, karena sebaliknya menurut pengalaman, mayoritas justru bisa jadi menimbulkan kooptasi kekuasaan antara eksekutif-legislatif. Sehingga yang dibutuhkan bukan sekedar mayoritas saja, tetapi checks and balances antara pilar-pilar kekuasaan negara. Demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat berdasar unsur mayoritas juga memiliki kelemahan, oleh karenanya dia juga harus diimbangi dengan nomokrasi. Terlepas dari adanya calon independen atau bukan, berjalannya konsep demokrasi dan nomokrasi secara beriringan serta aturan main yang semakin jelas dengan batasan-batasannya, tentunya akan membuat pemerintahan yang lebih efektif.
Kedua, konstruksi berpikir saya bahwa adanya peluang calon independen bukan berarti kemudian calon independen akan melenggang kankung dengan mudah memenangkan kompetisi Pilpes. Analisa saya, peran parpol tidak akan berkurang di sini. Sebagai pilar demokrasi, legitimasi parpol di mata rakyat akan diuji, dan tentunya apabila ada capres independen maju, baik parpol maupun capres independen akan saling mendekati apabila punya potensi kuat. Sehingga independen di sini bisa diartikan dua cara, yaitu: Pertama, independen tanpa parpol; Kedua, independen melalui parpol namun bukan anggota parpol. Saya sendiri punya pandangan sendiri, walaupun calon independen dibuka, belum tentu saya akan memilih calon tersebut, karena saya paham mengenai kadar keterpilihan serta konsekuensinya apabila terpilih. Namun yang perlu digarisbawahi di sini bahwa selama memang dia dibuka kemungkinannya, artinya harus kita terima, sedangkan apabila konstitusi mengkhendaki tertutup seperti sekarang ini, maka patut juga kita menghormatinya. Adapun pendapat saya adalah argumentasi futuristik yang bisa menjadi bahan pertimbangan di masa yang akan datang, sebab konstitusi kita akan terus berkembang (evolving constitution). Terhadap putusan suara terbanyak, adanya perbedaan pandangan menyikapi putusan tersebut adalah hal yang lumrah. Sebagimana media dan para caleg menyikapinya dengan sangat beragam. Dalam konteks ini, saya memberikan acungan jempol kepada, salah satunya, Budiman Sudjatmiko, yang pasca Putusan MK kemudian langsung memperkuat kembali “tradisi politik akar rumput”, walaupun dengan modalnya yang sederhana. Apabila memang nanti bisa terpilih, maka dapatlah dijadikan contoh untuk para caleg-caleg lainnya.
Ketiga, dalam issue yang sedang dibahas ini, survei hanyalah salah satu medianya. Sedangkan sudah banyak publikasi ilmiah-akademis-rasional yang lebih dahulu diterbitkannya, misalnya: Rekomendasi Komisi Konstitusi pada pra-perubahan UUD 1945 (1999-2002) yang anggotanya terdiri dari pakar hukum dan politik, Disertasi Denny Indrayana dari Melbourne University (2007), dan yang terakhir justru datang dari Buku Rekomendasi Perubahan UUD 1945 dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tahun 2008, serta masih banyk lagi. Data dan dokumen itu saya miliki semua secara langsung, dan dengan senang hati bisa disharing untuk diskusi lebih lanjut. Justru yang jarang saya temui adalah naskah akademis-ilmiah yang dicetak khusus oleh institusi atau kolektif pakar untuk mempertahankan secara utuh Pasal 6A UUD 1945.
Keempat, rasa skeptis yang saudara Patria ajukan adalah rasa spektis yang beralasan, karena telah ada telaah terhadap permasalahan issue dan efeknya. Penekanan saya adalah adanya unsur “tidak beralasan” yang kemudian tiba-tiba tidak mau mendengar, menutup rapat ruang diskusi, dan sudah ada kata “Pokoknya”. Hal ini tidak hanya berlaku terhadap issue yang kita diskusikan, tetapi juga untuk hal-hal yang lainnya. Dan sepertinya kita sepakat bahwa terlepas dari terbukti tidaknya argumen kita di kemudian hari, tentunya bukan menjadi masalah.
Independen adalah istilah yang populer, banyak yang menggunakan istilah “perseorangan”. Titik temu yang kita dapat dari diskusi ini adalah, “partai politik perlu dikoreksi”. Selebihnya saya berpendapat, adanya calon perseorangan apabila memang nanti dibuka oleh konstitusi, maka harus kita terima dengan lapang dada karena memang kita menganut sistem demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Sedangkan untuk saat ini, tertutupnya pintu calon perseorangan harus kita pahami dengan melakukan koreksi terhadap insitusi-institusi sosial (social institutions) dan sistem yang telah ada (John Rawls, 1971).
Terima kasih juga atas pendapat dan komentarnya. Saya menunggu kehadiran Patria sejak dahulu baik di ranah akademik ataupun publik.
Last but not least, with Heartfelt Condolences, my affectionate respects to you and yours. He will never be forgotten.
Regards,
Faiz
Untuk saudara Herman Bakir, S.H., M.H. (sepertinya saya harus menulis dg lengkap).
ReplyDeleteSaya berpikir, apakah benar kecanggihan seorang penulis di bidang hukum, sebut saja, hanyalah dibatasi pada satu cara pandang yg serba hukum saja? Mungkin saya belum punya kapasitas utk mengomentari, tapi izinkanlah saya menyitir pendapat Prof. Dr. Solly Lubis (beliau seorang pakar hukum tata negara, mungkin sdr. Herman Bakir perlu ketahui). Beliau selalu mengatakan bahwa "kami tidak mau melihat masalah negara itu hanya dari segi hukum, yuridis saja. Kajian Hukum Tata Negara MODERN, modern constitutionalism itu melihat dg tiga dimensi: filosofis, politis, dan yuridis ". Sementara itu Ir. Soekarno pernah berpidato bahwa jangan berkutat hanya dari segi hukum. "Picik" bahasa beliau.
Sepertinya itu yg bisa saya tanggapi. Untuk Sdr. Faiz saya kira sebagai seorang analis harus memiliki alat analisis yg mencukupi atau bahasa lainnya, komprehensif. Walaupun tidak berarti bahwa "komplit" itu baik, melainkan kehandalan seorang analis utk menggunakan "model" yg paling sesuai dlm membedah suatu fenomena. Dan yg paling bagus memang bisa menyikapi suatu fenomena secara multi-dimensional.
Terus berkarya, saya salut dengan produktivitas Saudara.
Salam.
adinda Faiz, teruskan berkarya, kami semua salut dan bangga pada anda, dan selalu mendukung anda. Tetaplah menjadi diri sendiri.. semoga sukses dan bisa menjadi teladan untuk yang lain...
ReplyDeleteUntuk adinda Faiz saya ingin mengajarkan beberapa hal yang anda mungkin belum mendapatkannya selama belajar di India dan UI, dan mudah2an saja berguna.. Sebelumnya, terimakasih ya atas tanggapannya...
ReplyDeleteTentang keterlibatan hukum dalam urusan2 politik atau pun bidang Tatanegara [seperti yang anda bahas di atas], anda juga tahu kan, kalau semuanya [aspek/gejala kemasyarakatan] memang "diurus" sama hukum, bukan hanya bidang politik/tatanegara, melainkan juga ekonomi, kesehatan, militer, musik, politik, budaya, teknologi, film dan lain sebagainya. Ini adalah salah satu sifat yang konservatif dari hukum, “mengendalikan” [selain dua hal yang pernah disebutkan Julius Stone (1973: 918) yakni logikal dan mengadili]. Namun tentu saja tidak mungkin bagi seorang sarjana hukum untuk mengejar dan menguasai segalanya, terlalu mustahil, lagi pula perubahan dan perkembangan di sejumlah gejala yang disebutkan itu terjadi sedemikian cepatnya. Karenanya tidak mungkin bagi fakultas hukum mengakomodasi keseluruhan itu untuk mahasiswanya, sehingga yang mendesak adalah bagaimana fakultas hukum bisa mengantarkan mahasiswanya untuk menemukan jatidirinya sebagai "orang hukum" sejati, yang bisa memberikan sikap intelektualnya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dari suatu kerangka orientasi berpikir yuridik.
Ilmu Hukum selalu memiliki sifat "konservatif", dari sejak pertama hingga hari ini, asasnya bahwa “hukum harus dibuat dan diinterpretasi”—inilah yang menjadi kajian utama Ilmu Hukum hingga hari ini, dari sejak jaman Nabi Sulaiman a.s., bahkan jauh sebelum itu hingga hari ini. Maka, bidang kajian Ilmu Hukum hanya akan terlingkup ke dalam dua aspek saja: [a] pembentukan hukum dan [b] penerapan hukum [kadang mereka menyebutnya dengan interpretasi hukum]. Bagi saya, aspek pertama [pembentukan hukum] lebih terlihat sekedar “seni” ketimbang “kegiatan ilmiah”, seperti halnya seorang manajer, si pembentuknya lahir, tanpa harus banyak berpikir, melainkan hanya memanfaatkan teknik-teknik yang dapat dikembangkan dengan mengikuti alur dari sejumlah presepsi sederhana. Saya tentu tidak perlu berpanjang lebar dengan ini di sini. Untuk aspek “penerapan hukum” antara lainnya dipertahankan tradisi untuk menggunakan kombinasi POINTS OF LAW [pertanyaan-pertanyaan tentang hukum/dari aspek hukumnya] dan POINTS OF FACT [pertanyaan tentang fakta/dari aspek faktanya].
Perhatikan, ketika POINTS OF LAW yang muncul, maka kontribusi dari Filsafat Hukum dan Ajaran Hukum diharapkan hukum untuk memandu ke arah mana ia “seharusnya” dibawa. Namun manakala POINTS OF FACT yang dipertanyakan, maka kontribusi dari berbagai disiplin-disiplin luar yg memperhatikan hukum sedemikian diperlukan, tapi ini bukan Ilmu Hukum. Ini sama halnya dengan yang anda membicarakannya di atas [perjuangan capres independen], semata-mata adalah “Politik Hukum”, bukan Ilmu Hukum, dan dalam hal ini titikberdiri anda bukan titikberdiri seorang “yuris” atau partisipan dalam hukum, melainkan seorang politisi yang tengah coba memperhatikan hukum [BEYOND THE LAW SCIENCE].
Terimakasih..
Buat Ayodha?
ReplyDeleteSapa sih nih, orang kok bencong banget.. Perhatiin: gimana anda bisa jadi manusia yang “lempeng,” referensi di mana anda merujuk saja, dengan sangat jelas “tidak reliabel.” Solly Lubis tuh sapa, saya belum pernah dengar barang sekali pun namanya sebelumnya [nggak ngetop tuh], lalu ada Soekarno, yang saya tau dia cuma seorang insinyur, bukan sarjana hukum, kenapa harus dia, kenapa tidak Irfan Bachdim, atau Krisdayanti aja sekalian? saran saya, sebelum anda membantah saya, pastikan bahwa anda tidak sekali-kali menggunakan sumber yang tidak terpercaya sebagai referensi, dan sekarang semua orang bisa mengatakan, keseluruhan klaim-klaim yang anda paparkan di atas secara jelas invalid alias ngawur.. Ini etika bung, namun jika anda benar2 ingin menjajal saya, silahkan saja, saya tunggu, tapi sebelumnya tolong tampilkan profil anda yang sebenarnya, jangan kayak pengecut gitu..