KONSTITUSI DAN AKTIVISME YUDISIAL
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Sumber: Kolom Opini Jurnal Nasional - Selasa, 25 Agustus 2009
Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 18 Agustus, masyarakat Indonesia baru saja memperingati “Hari Konsitusi” untuk kali pertamanya. Peringatan Hari Konstitusi tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa UUD 1945 dan cita konstitusionalisme semakin diteguhkan sebagai sumber hukum tertinggi dan pedoman dasar dalam kehidupan bernegara.
Walaupun UUD 1945 telah dibentuk 64 tahun yang lalu, namun fase kehidupan dan kesadaran berkonstitusi warga negara terbentuk begitu pesat baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan konstitusionalisme tersebut tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Pertama, wujud pelaksanaan hasil amandemen UUD 1945 yang diubah pada 1999-2002; Kedua, munculnya puluhan lembaga kajian konstitusi; dan Ketiga, adanya sentuhan yudisial dari pengadilan konstitusi (baca: Mahkamah Konstitusi).
Dalam konteks terakhir, Upendra Baxi menyatakan bahwa pada negara-negara pasca-sosialis atau transisi, seperti misalnya Rusia, Polandia, dan Hungaria, mereka telah berhasil membumikan ruh konstitusinya melalui aktivisme yudisial (judicial activism). Aktivisme demikian terinspirasi dari makna filosofis penafsiran konstitusi yang memandang konstitusi bukan sekedar katalog peraturan hukum, namun lebih sebagai pernyataan prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional yang wajib dijalankan.
Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas konstitusi (S.P. Sathe, 2002).
Dalam pada itu, signifikasi dan peran hakim dalam menata kehidupan masyarakat sudah sejak lama didengungkan oleh Oliver Holmes dan Roscoe Pound. Sejalan dengan hal tersebut, Benjamin Cordozo dalam bukunya “The Nature of Judicial Process” berpendapat bahwa ketika hukum kehilangan pegangannya, maka para hakim dapat menciptakan hukum sebagai pilihan kreatif melalui empat metode pendekatan, yaitu filosofis, historis, kebiasaan, dan sosiologi. Pandangan demikian oleh para begawan hukum di Indonesia dikenal sebagai aliran hukum progresif (Satjipto Rahardjo, 2006).
Gelombang Pro-Kontra
Dewasa ini, aktivisme yudisial berkembang cepat hampir di seluruh negara dunia, tidak terkecuali pada negara-negara yang menganut sistem civil law. Namun demikian, diskursus mengenai aktivisme tersebut turut pula melahirkan pro-kontra di kalangan para elit, akademisi, praktisi, hingga hakim sekalipun. Akibatnya, hingga akhir 1990-an telah terfragmentasi tiga arus kelompok utama, yaitu: Pertama, kelompok yang berusaha membatasi ruang gerak yudisial (judicial restraint); Kedua, kelompok yang memandang aktivisme yudisial sebagai sine qou non dari pengadilan yang merdeka dan independen; dan Ketiga, kelompok moderat yang berkehendak agar aktivisme yudisial hanya terbatas untuk kasus-kasus selektif dan ekslusif, khususnya yang menyangkut perlindungan terhadap kaum lemah atau minoritas.
Bagaikan injeksi obat dengan dosis yang tepat, aktivisme yudisial dapat menjadi langkah yang tepat dalam mempertahankan sistem demokrasi konstitusional. Akan tetapi sebaliknya, jika terlalu berlebihan justru berpotensi mengakibatkan kontra-produktif. Di sinilah letak kekhawatiran sebagian kalangan yang melihat aktivisme yudisial dapat bermetamorfosa sewaktu-sewaktu menjadi sekedar petualangan yudisial (judicial adventurism) ataupun ekspansi yudisial (judicial expansionism).
Namun pada kenyataannya, tren terhadap aktivisme yudisial tetap menjadi corak esential dalam mengawasi dan menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, judicial activism dan judicial self-restraint sebaiknya tidak perlu ditempatkan sebagai dogma yang saling bertentangan, sebab keduanya merupakan komponen yang krusial dalam fungsi kekuasaan kehakiman. Pun adanya perpaduan aliran pemikiran hukum yang beragam, seperti aliran positivis, traditional, ataupun progresif, patut dipertahankan karena memiliki nilai lebihnya masing-masing dalam nuansa “pertarungan” pertimbangan hukum pada saat merancang suatu putusan pengadilan.
Praktik Judicial Review
Dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nomokrasi di bawah payung konstitusi, pengadilan adalah pengawal sekaligus pelindung hak-hak dasar warga negara. Berkaitan dengan hal itu, rule of law dan judicial review menjadi fitur dasar dari suatu konstitusi yang harus dilakoni. Adalah John Marshall yang pertama kali mempraktikkan aktivisme yudisial ketika memperkenalkan mekanisme judicial review pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs. Madison dengan mengatakan, “Our is a Government of laws and not of men”. Aktivisme ini kemudian terus bergulir setelah adanya pendapat Hamilton dan Jefferson dalam The Federalist (1837).
Hingga kini, praktik judicial review yang kerap mendapat sentuhan aktivisme yudisial marak terjadi di manca negara, seperti di Amerika, Jerman, Australia, India, Korea, dan Afrika Selatan. Sebagai contoh, dalam kasus Brown vs. Board of Education (1954), Mahkamah Agung Amerika telah mengubah total haluan dua putusannya yang terdahulu pada kasus Dred Scott (1857) dan Plessy v. Ferguson (1896) dengan menyatakan bahwa segregasi rasial dalam dunia pendidikan menjadi inkonstitusional. Dalam menjalankan fungsinya, Hakim tersebut menyesuaikan alam pemikirannya dengan terjadinya perubahan sosial kemasyarakatan yang terus berkembang, sehingga kadangkala diperlukan penyampingan formalisme hukum dan lebih mempertimbangkan “requirement of constitutionalism” (Banerjea, 2002).
Sementara itu, disadari atau tidak, Indonesia sendiri telah mempraktikkan aktivisme yudisial tatkala mempertahankan prinsip-prinsip dan hak dasar dalam konstitusi. Dalam lima tahun terakhir, beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah memperlihatkan kecenderungan tersebut, yakni pertama kali dimulai dengan adanya yurisprudensi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam UU SDA (2005), lalu empat kali melakukan “tekanan konstitusional” (constitutional pressures) terhadap kewajiban pemenuhan 20% anggaran pendidikan (2005-2008), hingga mendeklarasikan perubahan paradigma dari keadilan prosedural menjadi keadilan substantif yang kemudian menjadi basis adanya perintah penghitungan dan pemungutan suara ulang Pemilu di Jawa Timur dan beberapa wilayah lainnya (2009).
Aktivisme yang tidak akan terlupakan adalah pemuatan ketentuan teknis dalam amar putusan sebagai prasyarat menjalankan suatu ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Contoh ini dapat ditemukan pada putusan judicial review mengenai diperbolehkannya penggunaan KTP dan tata cara penghitungan kursi tahap kedua pada Pemilu 2009 yang lalu. Patut diakui bahwa putusan teknis demikian terkesan telah melampaui batas kewenangan yang dimiliki dalam konteks pemisahan kekuasaan. Akan tetapi, aktivisme yudisial tersebut nyatanya disambut dan diterima dengan baik tidak hanya oleh perorangan, akademisi, ataupun aktivis hukum, namun juga oleh Pemerintah, Parlemen, Partai Politik, KPU, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga lainnya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sejauh ini dapat dikatakan menerima kehadiran aktivisme yudisial sebagai alternatif solusi hukum ketika kondisi memang memperhadapkan antara perlindungan konstitusional vis-a-vis ketiadaan ataupun ketidakberdayaan peraturan hukum (constitutional lawlessness). Dalam sistem demokrasi konstitusional, judicial review dan judicial activism diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan. Akan tetapi, antusiasme yang berlebihan justru dapat menyebabkan iklim yang tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Untuk menjaganya, maka aktivisme yudisial perlu selalu dikawal dengan kritisasi akademik yang konstruktif, sehingga pengadilan tidak akan kehilangan legitimasinya.
*Penulis adalah Pengadministrasi Yustisial Hakim Konstitusi RI.
Walaupun UUD 1945 telah dibentuk 64 tahun yang lalu, namun fase kehidupan dan kesadaran berkonstitusi warga negara terbentuk begitu pesat baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan konstitusionalisme tersebut tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Pertama, wujud pelaksanaan hasil amandemen UUD 1945 yang diubah pada 1999-2002; Kedua, munculnya puluhan lembaga kajian konstitusi; dan Ketiga, adanya sentuhan yudisial dari pengadilan konstitusi (baca: Mahkamah Konstitusi).
Dalam konteks terakhir, Upendra Baxi menyatakan bahwa pada negara-negara pasca-sosialis atau transisi, seperti misalnya Rusia, Polandia, dan Hungaria, mereka telah berhasil membumikan ruh konstitusinya melalui aktivisme yudisial (judicial activism). Aktivisme demikian terinspirasi dari makna filosofis penafsiran konstitusi yang memandang konstitusi bukan sekedar katalog peraturan hukum, namun lebih sebagai pernyataan prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional yang wajib dijalankan.
Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas konstitusi (S.P. Sathe, 2002).
Dalam pada itu, signifikasi dan peran hakim dalam menata kehidupan masyarakat sudah sejak lama didengungkan oleh Oliver Holmes dan Roscoe Pound. Sejalan dengan hal tersebut, Benjamin Cordozo dalam bukunya “The Nature of Judicial Process” berpendapat bahwa ketika hukum kehilangan pegangannya, maka para hakim dapat menciptakan hukum sebagai pilihan kreatif melalui empat metode pendekatan, yaitu filosofis, historis, kebiasaan, dan sosiologi. Pandangan demikian oleh para begawan hukum di Indonesia dikenal sebagai aliran hukum progresif (Satjipto Rahardjo, 2006).
Gelombang Pro-Kontra
Dewasa ini, aktivisme yudisial berkembang cepat hampir di seluruh negara dunia, tidak terkecuali pada negara-negara yang menganut sistem civil law. Namun demikian, diskursus mengenai aktivisme tersebut turut pula melahirkan pro-kontra di kalangan para elit, akademisi, praktisi, hingga hakim sekalipun. Akibatnya, hingga akhir 1990-an telah terfragmentasi tiga arus kelompok utama, yaitu: Pertama, kelompok yang berusaha membatasi ruang gerak yudisial (judicial restraint); Kedua, kelompok yang memandang aktivisme yudisial sebagai sine qou non dari pengadilan yang merdeka dan independen; dan Ketiga, kelompok moderat yang berkehendak agar aktivisme yudisial hanya terbatas untuk kasus-kasus selektif dan ekslusif, khususnya yang menyangkut perlindungan terhadap kaum lemah atau minoritas.
Bagaikan injeksi obat dengan dosis yang tepat, aktivisme yudisial dapat menjadi langkah yang tepat dalam mempertahankan sistem demokrasi konstitusional. Akan tetapi sebaliknya, jika terlalu berlebihan justru berpotensi mengakibatkan kontra-produktif. Di sinilah letak kekhawatiran sebagian kalangan yang melihat aktivisme yudisial dapat bermetamorfosa sewaktu-sewaktu menjadi sekedar petualangan yudisial (judicial adventurism) ataupun ekspansi yudisial (judicial expansionism).
Namun pada kenyataannya, tren terhadap aktivisme yudisial tetap menjadi corak esential dalam mengawasi dan menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, judicial activism dan judicial self-restraint sebaiknya tidak perlu ditempatkan sebagai dogma yang saling bertentangan, sebab keduanya merupakan komponen yang krusial dalam fungsi kekuasaan kehakiman. Pun adanya perpaduan aliran pemikiran hukum yang beragam, seperti aliran positivis, traditional, ataupun progresif, patut dipertahankan karena memiliki nilai lebihnya masing-masing dalam nuansa “pertarungan” pertimbangan hukum pada saat merancang suatu putusan pengadilan.
Praktik Judicial Review
Dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nomokrasi di bawah payung konstitusi, pengadilan adalah pengawal sekaligus pelindung hak-hak dasar warga negara. Berkaitan dengan hal itu, rule of law dan judicial review menjadi fitur dasar dari suatu konstitusi yang harus dilakoni. Adalah John Marshall yang pertama kali mempraktikkan aktivisme yudisial ketika memperkenalkan mekanisme judicial review pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs. Madison dengan mengatakan, “Our is a Government of laws and not of men”. Aktivisme ini kemudian terus bergulir setelah adanya pendapat Hamilton dan Jefferson dalam The Federalist (1837).
Hingga kini, praktik judicial review yang kerap mendapat sentuhan aktivisme yudisial marak terjadi di manca negara, seperti di Amerika, Jerman, Australia, India, Korea, dan Afrika Selatan. Sebagai contoh, dalam kasus Brown vs. Board of Education (1954), Mahkamah Agung Amerika telah mengubah total haluan dua putusannya yang terdahulu pada kasus Dred Scott (1857) dan Plessy v. Ferguson (1896) dengan menyatakan bahwa segregasi rasial dalam dunia pendidikan menjadi inkonstitusional. Dalam menjalankan fungsinya, Hakim tersebut menyesuaikan alam pemikirannya dengan terjadinya perubahan sosial kemasyarakatan yang terus berkembang, sehingga kadangkala diperlukan penyampingan formalisme hukum dan lebih mempertimbangkan “requirement of constitutionalism” (Banerjea, 2002).
Sementara itu, disadari atau tidak, Indonesia sendiri telah mempraktikkan aktivisme yudisial tatkala mempertahankan prinsip-prinsip dan hak dasar dalam konstitusi. Dalam lima tahun terakhir, beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah memperlihatkan kecenderungan tersebut, yakni pertama kali dimulai dengan adanya yurisprudensi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam UU SDA (2005), lalu empat kali melakukan “tekanan konstitusional” (constitutional pressures) terhadap kewajiban pemenuhan 20% anggaran pendidikan (2005-2008), hingga mendeklarasikan perubahan paradigma dari keadilan prosedural menjadi keadilan substantif yang kemudian menjadi basis adanya perintah penghitungan dan pemungutan suara ulang Pemilu di Jawa Timur dan beberapa wilayah lainnya (2009).
Aktivisme yang tidak akan terlupakan adalah pemuatan ketentuan teknis dalam amar putusan sebagai prasyarat menjalankan suatu ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Contoh ini dapat ditemukan pada putusan judicial review mengenai diperbolehkannya penggunaan KTP dan tata cara penghitungan kursi tahap kedua pada Pemilu 2009 yang lalu. Patut diakui bahwa putusan teknis demikian terkesan telah melampaui batas kewenangan yang dimiliki dalam konteks pemisahan kekuasaan. Akan tetapi, aktivisme yudisial tersebut nyatanya disambut dan diterima dengan baik tidak hanya oleh perorangan, akademisi, ataupun aktivis hukum, namun juga oleh Pemerintah, Parlemen, Partai Politik, KPU, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga lainnya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sejauh ini dapat dikatakan menerima kehadiran aktivisme yudisial sebagai alternatif solusi hukum ketika kondisi memang memperhadapkan antara perlindungan konstitusional vis-a-vis ketiadaan ataupun ketidakberdayaan peraturan hukum (constitutional lawlessness). Dalam sistem demokrasi konstitusional, judicial review dan judicial activism diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan. Akan tetapi, antusiasme yang berlebihan justru dapat menyebabkan iklim yang tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Untuk menjaganya, maka aktivisme yudisial perlu selalu dikawal dengan kritisasi akademik yang konstruktif, sehingga pengadilan tidak akan kehilangan legitimasinya.
*Penulis adalah Pengadministrasi Yustisial Hakim Konstitusi RI.