Monday, October 13, 2008

Mundurnya Sang Laskar Konstitusi

MUNDURNYA SANG LASKAR KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Mundurnya Jimly Asshiddiqie dari jabatannya sebagai Hakim Konstitusi amat disayangkan oleh banyak pihak. Pasalnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini dianggap sebagai spirit sekaligus icon dari MK, Mahkamah yang telah menjelma menjadi peradilan modern pertama di Indonesia yang hingga saat ini masih terbilang bersih dari segala macam praktik korupsi dan mafia peradilan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan MK dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya seperti sekarang ini tidak terlepas dari andil besar Jimly, sang Laskar Konstitusi.

Sederet kebijakan, gagasan, dan keputusan yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh banyak orang, Jimly tanamkan pada lembaga pengadilan yang dilahirkan dari rahim reformasi ini, termasuk misalnya penempatan (positioning) dalam pergaulan antar sesama lembaga negara. Untuk menyelesaikan dan menuntaskan programnya membangun institusi MK, selaku arsitek pertama, Jimly tidak jarang pula terpaksa menerapkan pola “kebijakan besi”. Sehingga selama periode kepemimpinannya, MK sering kali diterjang ketidaksukaan yang datang baik itu dari lembaga negara ataupun para perseorangan lainnya. Akan tetapi sampai penghujung akhir periode kepemimpinannya, Jimly terbukti dan dianggap berhasil menggawangi MK bersama-sama dengan delapan hakim Konstitusi lainnya.

Sejumlah Asumsi

Mengherankan memang, tatkala di negeri ini banyak orang yang berebut dan berjuang mati-matian untuk mempertahankan suatu posisi atau jabatan tertentu, Jimly justru meletakkan jabatan strategisnya dengan sukarela. Tidak pelak, sejumlah asumsi dan reaksi berhamburan di tengah-tengah keterkejutan dunia hukum terhadap keputusannya. Asumsi-asumsi publik tersebut muncul dan berkembang cepat atas misteri di balik mundurnya Jimly. Misalnya, adanya asumsi mengenai kekecewaan pribadi, mengincar kursi Ketua Mahkamah Agung, ingin kembali ke kampus, menghilangkan kesan “matahari kembar”, hingga berhembus kabar adanya tawaran dari parpol tertentu untuk menjadikan Jimly sebagai Capres atau Cawapres pada Pemilu 2009 mendatang.

Walaupun jawaban mundurnya telah dibeberkan secara langsung pada saat Konferensi Pers yang digelar pada Selasa (7/10) lalu, namun tetap saja tidak akan memuaskan rasa keinginan tahu banyak pihak. Sebab, pengunduran diri seorang pejabat negara masih dianggap tidak lazim di era bobrocracy dan kleptocracy seperti sekarang ini. Oleh sebab itu, beragam respons bermunculan, ada yang menyayangkan, ada yang menaruh simpatik, dan ada pula yang menunjukkan kekecewaan beratnya. Salah satu reaksi keras terutama datang dari beberapa anggota Komisi III DPR RI yang terlibat langsung dalam mensukseskan dirinya melenggang ke gedung sembilan pilar.

Sejatinya, respons yang beragam ini dapat terkelola dengan memposisikan duduk perkara sebaik-baiknya. Hal ini bertujuan, seandainya terdapat buntut permasalahan, kita pun dapat menemukan solusi yang terbaik dan tercepat, sekaligus memperbaiki tata nilai dan sistem yang dianggap kurang sempurna. Bukan dengan justru menyengajakan untuk memicu atau mengkeruhkan suasana, bersamaan dengan isu-isu liar lainnya yang seakan-akan ikut memperpanas wajah dunia peradilan di Indonesia. Teknik devide et empera yang diwariskan penjajah kolonial kadangkala menjadi metode yang sering digunakan oleh para elit akhir-akhir ini. Padahal pola seperti ini sama sekali tidak memberikan jaminan dapat menjernihkan duduk permasalahan, apalagi untuk memecahkan suatu masalah.

Budaya dan praktik ketatanegaraan kita haruslah pula tumbuh menjadi lebih bermartabat dan harmonis. Akan tetapi, harmonis di sini juga janganlah diartikan bahwa semua pendapat harus sama atau disamakan. Menurut pakar komunikasi, mengelola perbedaan pendapat ibarat memandu sebuah grup orkestra. Suara musik yang berlainan justru harus dimanfaatkan agar dapat menghasilkan irama lagu yang indah. Berangkat dari hal tersebut, biarkanlah respons keterkejutan ini berkembang apa adanya sepanjang tersampaikan dan terbentuk dengan cara-cara yang baik nan konstitusional, sebagaimana negara maju seperti Jepang selalu bersikap besar hati terhadap seorang pejabat yang memutuskan mundur dari jabatannya.

Toh, seandainya memang DPR akan meminta keterangan dari Jimly atas keputusan mundurnya secara santun dan berwibawa, kita pun yakin bahwa sebagai seorang negarawan hukum, Jimly akan dengan senang hati menyambut permintaan itu. Meskipun sebenarnya sejak jauh-jauh hari, Jimly telah pula mengkomunikasikan niatnya untuk mundur itu secara lisan kepada hampir seluruh pimpinan pejabat lembaga negara, termasuk pimpinan Komisi III DPR, tokoh-tokoh bangsa, serta pimpinan ormas dan parpol yang turut mendorongnya dalam pemilihan Hakim Konstitusi generasi kedua beberapa saat yang lalu.

Ladang Pengabdian

Keputusan yang telah diambil Jimly berdasarkan saran, nasehat, dan hasil renungannya selama bulan suci Ramadhan kini telah bulat. Maka sejak akhir November nanti Jimly definitif akan kembali menjadi “rakyat biasa”, dengan catatan tidak akan ada permasalahan administratif diturunkannya Keppres Pemberhentian. Kita semua tentunya sangat berharap, pencetak 32 buku ilmiah di bidang hukum dan Konstitusi ini akan tetap dan terus berkarya di ladang pengabdian akademisnya, baik itu dari dalam kampus maupun dari luar kampus. Gagasan, pendapat, dan ide-ide visioner dari Guru Besar hukum tata negara ini akan teramat ‘mubazir’ apabila tidak tersalurkan secara baik dan tepat.

Oleh karena itu, kita pun tidak dapat menutup kesempatan apabila terdapat kemungkinan bagi Jimly untuk mengabdi kembali bagi negara dalam suatu jabatan atau posisi publik tertentu. Kalaupun ada setitik hitam akibat keputusan mundurnya dari MK, sejatinya tidak pula kita tiba-tiba menghitamkan seluruh kain putih yang telah Jimly bentangkan selama ini. Sebagai bangsa yang besar, kita pun dituntut untuk dapat melihat sebuah persoalan bangsa dengan semakin jernih dan bijak dari beraneka ragam sudut pandang.

Jarum jam terus berputar, tetapi jarum sejarah akan tetap bertahan. Jimly sudah pasti akan menjadi salah satu pelaku sejarah yang terekam dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia. Umumnya, seorang negarawan (statesman) akan memutuskan sesuatu atas dasar pertimbangan ataupun kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar daripada sekedar kepentingan pribadinya. Oleh karena itu kita semua pun berharap, suatu saat nanti akan ada cahaya penerang atas kesimpangsiuran atas keputusan mundurnya Jimly. Akhirnya, patut kita layangkan ucapan terima kasih atas pengabdian Jimly selama di MK, seraya berharap Jimly dapat terus menjadi motor dan inspirator bagi para Laskar (pelangi) Konstitusi lainnya.

* Penulis adalah pendiri Institute for Indonesian Law and Governance Development (IILGD)


No comments: