HAK KONSTITUSI ANAK: Suatu Perbandingan dan Studi Kritis
terhadap Konstitusi India dan Indonesia
terhadap Konstitusi India dan Indonesia
Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xiii + 80 Halaman + Lampiran
Waktu: Desember 2006
Bahasa : Inggris
Tebal: xiii + 80 Halaman + Lampiran
Waktu: Desember 2006
Bahasa : Inggris
“Hak Asasi Manusia Dimulai Dari Usaha Pemenuhan Hak Anak”
Peran yang dimainkan oleh generasi anak di tengah-tengah masyarakat kini semakin dirasakan sangat pentingnya setiap harinya. Perkembangan anak yang baik akan sangat diperlukan untuk melaksanakan fungsi pembangunan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karenya, hubungan saling hormat-menghormati perlu pula untuk ditanamkan sejak dini di antara anak-anak maupun orang dewasa, sehingga pada nantinya setiap orang akan mampu menghormati nilai yang melekat pada diri setiap individu lainnya.
Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 berusaha keras untuk mencapai maksud tersebut melalui garis pedoman dan tujuan yang telah dibuatnya. Bagaimana kita semua sebagai suatu masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak, memilih untuk menginterpretasikan pedoman dasar tersebut akan kembali kepada pilihan negara masing-masing. Akan tetapi jika hal tersebut diinterpretasikan secara positif, maka akan mempunyai potensi untuk memperbesar dan membangun sebuah bangsa yang lebih kokoh.
Pengalaman negara India telah menunjukan bahwa mereka mempunyai perhatian dan pandangan yang konstruktif terhadap hak-hak anak yang mungkin dapat berguna bagi mereka yang menjadi penggiat dari pentingnya untuk memasukkan hak-hak anak ke dalam skema kontitusi. Konstitusi India merupakan salah satu konstitusi yang secara eksplisit mempunyai pengkonstitusionalisasian terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, bukanlah tanpa ketidaksengajaan jikalau konstitusi India memberikan perhatian lebih kepada anak dengan perlindungan yang khusus.
Kekhususan dari naskah konstitusi India, diharapkan akan dapat membantu untuk mencegah terjadinya ketimpangan dan kesalahan yudisial di mana hal tersebut seringkali terjadi pada perjalanan pengalaman Indonesia di masa pemenuhan hak asasi seperti sekarang ini. Bila kita bandingkan dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945), di mana para pembentuknya telah meninggalkan penafsiran yang tidak berujung-pangkal mengenai legitmasi dalam model penafsirannya, konstitusi India justru menyertakan instruksi secara mendetil mengenai bagaimana seharusnya naskah konstitusi harus dibaca dan dilaksanakan. Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut tidak secara keseluruhan akan mampu menyelesaikan dilema interpretasi di masa yang akan datang, akan tetapi setidaknya secara eksplisit hal tersebut dapat memberikan arahan kepada para ahli dan hakim untuk membuka peluang adanya perkembangan konstitusi namun juga adanya pembatasan sehingga interpretasi tidak terperangkap pada formalitas yang terlalu berlebihan.
Penelitian ini memperbandingkan dua pengalaman hukum yang cukup berbeda, yaitu India dan Indonesia, dengan pengaplikasian kepada topik khusus mengenai hak-hak anak. Penelitian ini menghadirkan fokus perhatian kepada jangkauan dari pemenuhan unsur dasar yang akan mempengaruhi dalam proses pembentukan generasi penerus selanjutnya ke dalam tatanan dunia yang tengah memasukkan hak-hak dasar di dalam suatu konstitusi.
Konstitusi India dan Indonesia mempunyai perbedaaan dalam berbagai macam hal. Konstitusi Indonesia dapat dikatakan sangat singkat yaitu hanya 16 bab dan 37 pasal yang terkadang menimbulkan makna yang kurang jelas. Konstitusi India hampir 120 kali lebih panjang dari konstitusi Indonesia, di mana memuat 444 pasal dan 12 daftar pokok dengan total sekitar 1.117.360 kata dalam versi bahasa inggrisnya. Walaupun konstitusi India hanya mempunyai perbedaan empat tahun lebih lama dari efektifnya pelaksanaan konstitusi Indonesia, akan tetapi hingga tahun 2006 ini justru telah terjadi amandemen sebanyak 93 kali. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat mencolok dengan jumlah amandemen yang pernah terjadi pada konstitusi Indonesia, yaitu hanya sebanyak empat kali sejak pertama kali disahkan pada tahun 1945.
Di sisi lain, pemuatan secara eksplisit dari kategori utama para pemangku hak, konstitusi India mempunyai daftar yang cukup terperinci mengenai hak-hak anak. Secara kontras, naskah konstitusi Indonesia lebih cenderung terdiam terhadap hakekat dari pentingnya permasalahan tersebut. Tidak hanya terkesan diam terhadap hak-hak anak, akan tetapi konstitusi ini juga sama sekali tidak menyinggung mengenai diskriminasi jender dan umur anak, kehamilan dan reproduksi, ataupun hak-hak dari orang tua dan keluarga terhadap anak. Konstitusi Indonesia secara eksplisit hanya menyediakan satu pasal saja mengenai hak konstitusi yang secara khusus ditujukan kepada anak, yaitu tercantum pada Pasal 28B.
Peraturan perundang-undangan di India tidak hanya memuat secara eksplisit terhadap substansi hak saja, akan tetapi juga terhadap berbagai prosedur dan permasalahan jurisprudensi, seperti misalnya mengenai kedudukan dan interprestasi hukum. Hal ini telah menciptakan berbagai hak menjadi mengikat tidak hanya kepada unsur tindakan publik tetapi juga kepada unsur tindakan privat. Hukum-hukum Indonesia, lagi-lagi, masih dirasa tidak mampu menjawab tantangan tersebut, terkesan hanya membatasi dan terkadang tidak ada kepastian mengenai lingkup, aplikasi dan pemenuhan dari hak-hak anak. Berbagai dokumen hukum India memiliki instruksi yang sangat hati-hati dalam melakukan penafsiran dan masih banyak ketentuan lainnya yang dapat dipergunakan ketika terjadinya situasi pertentangan antara hak dan kepentingan lainnya. Kembali, dokumen hukum Indonesia, khususnya dalam sistem pengadilan anak, hanya menyediakan seperangkat petunjuk minimal dan akibatnya meninggalkan adanya kekosongan interpretasi.
Hak-hak anak merupakan kebutuhan yang harus selalu dipenuhi di mana mempunyai akar utama dari konsep “liberty”, “equality”, dan khususnya “dignity”. Kenyataan menjadi suatu bukti yang terlihat jelas bahwa Indonesia masih gagal dalam merespon kewajiban internasional untuk mengakui dan melakukan pemenuhan akan hak-hak anak. Hingga akhirnya, keringnya prinsip “dignity” yang dinyatakan secara eksplisit dan terlalu luasnya ukuran dalam melakukan interpretasi menjadi faktor penghambat perkembangan alami dari hak-hak konstitusi anak. Sulitnya mengkonstruksikan teori mengenai hak-hak anak dalam pelembagaan doktrin konstitusi di Indonesia menciptakan sebuah kenyataan bahwa anak sebenarnya harus dibedakan dengan orang yang telah dewasa, dan konstitusi Indonesia nyatanya tidak mampu untuk melihat pebedaan utama dari keduanya tersebut.
Deskripsi di atas tersebut merupakan sebuah kesimpulan singkat yang diambil dari penelitian hukum yang telah saya buat mengenai lingkup studi konstitusi dan hak anak. Pada dasarnya, penelitian tersebut mempunyai sistematika studi dengan struktur sebagai berikut:
Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 berusaha keras untuk mencapai maksud tersebut melalui garis pedoman dan tujuan yang telah dibuatnya. Bagaimana kita semua sebagai suatu masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak, memilih untuk menginterpretasikan pedoman dasar tersebut akan kembali kepada pilihan negara masing-masing. Akan tetapi jika hal tersebut diinterpretasikan secara positif, maka akan mempunyai potensi untuk memperbesar dan membangun sebuah bangsa yang lebih kokoh.
Pengalaman negara India telah menunjukan bahwa mereka mempunyai perhatian dan pandangan yang konstruktif terhadap hak-hak anak yang mungkin dapat berguna bagi mereka yang menjadi penggiat dari pentingnya untuk memasukkan hak-hak anak ke dalam skema kontitusi. Konstitusi India merupakan salah satu konstitusi yang secara eksplisit mempunyai pengkonstitusionalisasian terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, bukanlah tanpa ketidaksengajaan jikalau konstitusi India memberikan perhatian lebih kepada anak dengan perlindungan yang khusus.
Kekhususan dari naskah konstitusi India, diharapkan akan dapat membantu untuk mencegah terjadinya ketimpangan dan kesalahan yudisial di mana hal tersebut seringkali terjadi pada perjalanan pengalaman Indonesia di masa pemenuhan hak asasi seperti sekarang ini. Bila kita bandingkan dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945), di mana para pembentuknya telah meninggalkan penafsiran yang tidak berujung-pangkal mengenai legitmasi dalam model penafsirannya, konstitusi India justru menyertakan instruksi secara mendetil mengenai bagaimana seharusnya naskah konstitusi harus dibaca dan dilaksanakan. Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut tidak secara keseluruhan akan mampu menyelesaikan dilema interpretasi di masa yang akan datang, akan tetapi setidaknya secara eksplisit hal tersebut dapat memberikan arahan kepada para ahli dan hakim untuk membuka peluang adanya perkembangan konstitusi namun juga adanya pembatasan sehingga interpretasi tidak terperangkap pada formalitas yang terlalu berlebihan.
Penelitian ini memperbandingkan dua pengalaman hukum yang cukup berbeda, yaitu India dan Indonesia, dengan pengaplikasian kepada topik khusus mengenai hak-hak anak. Penelitian ini menghadirkan fokus perhatian kepada jangkauan dari pemenuhan unsur dasar yang akan mempengaruhi dalam proses pembentukan generasi penerus selanjutnya ke dalam tatanan dunia yang tengah memasukkan hak-hak dasar di dalam suatu konstitusi.
Konstitusi India dan Indonesia mempunyai perbedaaan dalam berbagai macam hal. Konstitusi Indonesia dapat dikatakan sangat singkat yaitu hanya 16 bab dan 37 pasal yang terkadang menimbulkan makna yang kurang jelas. Konstitusi India hampir 120 kali lebih panjang dari konstitusi Indonesia, di mana memuat 444 pasal dan 12 daftar pokok dengan total sekitar 1.117.360 kata dalam versi bahasa inggrisnya. Walaupun konstitusi India hanya mempunyai perbedaan empat tahun lebih lama dari efektifnya pelaksanaan konstitusi Indonesia, akan tetapi hingga tahun 2006 ini justru telah terjadi amandemen sebanyak 93 kali. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat mencolok dengan jumlah amandemen yang pernah terjadi pada konstitusi Indonesia, yaitu hanya sebanyak empat kali sejak pertama kali disahkan pada tahun 1945.
Di sisi lain, pemuatan secara eksplisit dari kategori utama para pemangku hak, konstitusi India mempunyai daftar yang cukup terperinci mengenai hak-hak anak. Secara kontras, naskah konstitusi Indonesia lebih cenderung terdiam terhadap hakekat dari pentingnya permasalahan tersebut. Tidak hanya terkesan diam terhadap hak-hak anak, akan tetapi konstitusi ini juga sama sekali tidak menyinggung mengenai diskriminasi jender dan umur anak, kehamilan dan reproduksi, ataupun hak-hak dari orang tua dan keluarga terhadap anak. Konstitusi Indonesia secara eksplisit hanya menyediakan satu pasal saja mengenai hak konstitusi yang secara khusus ditujukan kepada anak, yaitu tercantum pada Pasal 28B.
Peraturan perundang-undangan di India tidak hanya memuat secara eksplisit terhadap substansi hak saja, akan tetapi juga terhadap berbagai prosedur dan permasalahan jurisprudensi, seperti misalnya mengenai kedudukan dan interprestasi hukum. Hal ini telah menciptakan berbagai hak menjadi mengikat tidak hanya kepada unsur tindakan publik tetapi juga kepada unsur tindakan privat. Hukum-hukum Indonesia, lagi-lagi, masih dirasa tidak mampu menjawab tantangan tersebut, terkesan hanya membatasi dan terkadang tidak ada kepastian mengenai lingkup, aplikasi dan pemenuhan dari hak-hak anak. Berbagai dokumen hukum India memiliki instruksi yang sangat hati-hati dalam melakukan penafsiran dan masih banyak ketentuan lainnya yang dapat dipergunakan ketika terjadinya situasi pertentangan antara hak dan kepentingan lainnya. Kembali, dokumen hukum Indonesia, khususnya dalam sistem pengadilan anak, hanya menyediakan seperangkat petunjuk minimal dan akibatnya meninggalkan adanya kekosongan interpretasi.
Hak-hak anak merupakan kebutuhan yang harus selalu dipenuhi di mana mempunyai akar utama dari konsep “liberty”, “equality”, dan khususnya “dignity”. Kenyataan menjadi suatu bukti yang terlihat jelas bahwa Indonesia masih gagal dalam merespon kewajiban internasional untuk mengakui dan melakukan pemenuhan akan hak-hak anak. Hingga akhirnya, keringnya prinsip “dignity” yang dinyatakan secara eksplisit dan terlalu luasnya ukuran dalam melakukan interpretasi menjadi faktor penghambat perkembangan alami dari hak-hak konstitusi anak. Sulitnya mengkonstruksikan teori mengenai hak-hak anak dalam pelembagaan doktrin konstitusi di Indonesia menciptakan sebuah kenyataan bahwa anak sebenarnya harus dibedakan dengan orang yang telah dewasa, dan konstitusi Indonesia nyatanya tidak mampu untuk melihat pebedaan utama dari keduanya tersebut.
Deskripsi di atas tersebut merupakan sebuah kesimpulan singkat yang diambil dari penelitian hukum yang telah saya buat mengenai lingkup studi konstitusi dan hak anak. Pada dasarnya, penelitian tersebut mempunyai sistematika studi dengan struktur sebagai berikut:
Constitutional Rights of Children: A Comparative and Critically Study
under the Constitution of India and Indonesia
ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
ABSTRACT
CHAPTER I: INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Conceptual Definitions
1.4.1. Constitutional Rights
1.4.2. Children
1.5. Structure of Research Paper
CHAPTER II: THE DEVELOPMENT OF CHILDREN’S RIGHT
2.1. Declaration of Geneva
2.2. 1959 Declaration of the Rights of the Child
2.3. Other United Nations Human Rights Instruments
2.4. Convention on the Rights of the Child
2.4.1. Origins and Background
2.4.2. The Drafting Process
2.4.3. Substantitive Rights
2.4.4. The Implementation Mechanism
2.5. International Recognition
2.5.1. The World Summit for Children, 1990
2.5.2. UN Conference of Environment and Development, 1992
2.5.3. World Conference of Human Rights, 1993
2.5.4. International Labour Organisation
2.6. Juvenile Justice
2.6.1. International Instruments
CHAPTER III: INDIAN EXPERIENCES ON CHILDREN’S RIGHTS PROTECTION
3.1. Constitutional Provisions
3.2. Legislative Measures
3.2.1. Factories Act, 1948
3.2.2. The Mines Act, 1952
3.2.3. The Motor Transport Workers Act, 1961
3.2.4. The Apprentice Act, 1961
3.2.5. The Beedi and Cigar Workers Act, 1966
3.2.6. The Merchant Shipping Act, 1958
3.2.7. The Plantation Labour Act, 1951
3.2.8. Shops and Commercial Establishment Act, 1969
3.2.9. The Children (Pledging of Labour) Act, 1933
3.2.10. The Employment of Children Act, 1938
3.2.11. The Child Labour Act, 1986
3.3.12. Provisions under Secular Laws
3.3.12.1. Civil Procedure Code, 1908
3.3.12.2. Criminal Procedure Code, 1973
3.3.12.3. Indian Penal Code, 1860
3.3.12.4. Indian Evidence Act, 1872
3.2.12.5. Indian Contract Act, 1872
3.3. Indian Juvenile Justice
3.3.1. Preamble
3.3.2. Juvenile in Conflict with Law
3.3.2. Juvenile Justice Board
3.3.3. Bail of Justice
3.3.5. Child Welfare Committee
3.3.6. Homes
3.3.7. Other Important Provisions
CHAPTER IV: INDONESIAN EXPERIENCES ON CHILDREN’S RIGHTS PROTECTION
4.1. International Legal Framework
4.1.1. Convention on the Rights of the Child (CRC)
4.1.2. Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
4.1.3. The Optional Protocol on the Involvement of Children in Armed Conflict
4.1.4. The Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children
4.1.5. The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)
4.1.6. The Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration for Marriages
4.1.7. The Declaration on the Elimination of Violence Against Women
4.1.8. The International Labour Organization Convention No. 182 (ILO Convention 182)
4.1.9. The International Convention 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (1973)
4.2. National Legal Framework
4.2.1. Constitutional Framework
4.2.1. General National Child Rights Framework
4.2.3. Definition of the Child and Age of Majority
4.3. Indonesian Juvenile Justice System
4.3.1. National Procedures for Administration of Juvenile Justice
4.3.1.1. Investigation of Children
4.3.1.2. Arrest and Detention of Children
4.1.1.3. The Juvenile Court Hearing
4.1.1.4. Sentencing
4.3.2. The Child Protection Act
4.3.3. Formal and Informal Practices in the Judicial System
CHAPTER V: CONCLUSION AND SUGGESTION
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions
BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE
Saya berharap penelitian yang sederhana ini dapat menjadi penelitian hukum yang bermanfaat bagi pengkonstitusionalisasian hak-hak anak di berbagai negara, khususnya Indonesia. Kritisasi terhadap hasil penelitian ini juga sangat disambut baik demi mempersembahkan hasil penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang. Kepada siapa pun yang berminat untuk membaca keseluruhan dari penelitian ini, khususnya kepada para aktivis konstitusi dan hak anak, mereka dapat mengajukan permintaan dengan menuliskan permohonan dan tujuan penggunaannya pada fasilitas tanggapan yang telah disediakan di bawah artikel ini. Akhir kata saya ucapkan: “Selamat Membaca dan Terus Berkarya”
Salam Hormat,
New Delhi
2 comments:
tes
Substansi Hak dan kewajiban Asasi Manusia dalam Nilai Dasar Pancasila
Nilai dasar berkaitan dengan hakikat kelima sila Pancasila yaitu: nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai dasar tersebut bersifat universal, sehingga di dalamnya terkandung cita-cita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar ini bersifat tetap dan melekat pada kelangsungan hidup negara.
Post a Comment