Oleh: Pan Mohamad Faiz
(Sumber: Kolom Opini Seputar Indonesia – Selasa, 19 Januari 2009)
Langkah awal di Tahun Macan kali ini terasa semakin berat bagi dunia penegakan hukum. Tidak saja karena wajah buram keadilan yang terekam jelas pada tahun sebelumnya, namun juga akibat beberapa peristiwa hukum yang cukup menghentak publik akhir-akhir ini. Kasus Anggoro-Anggodo, kasus sel mewah, kasus Bailout Century, dan berbagai kasus hukum yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, dipredikasi akan menjadi prolog panjang yang terus menyedot energi publik. Kereta tua yang membawa agenda pembenahan hukum seakan kian bergerak pada rel bercabang, tidak jelas arah, dan terkesan reaktif. Anehnya, dua minggu sebelum berakhirnya program seratus hari kerja pemerintah, program pada sektor polhukham justru diklaim telah berjalan 100 persen (Antara, 14/1).
Masyarakat tentunya tidak boleh dibiarkan terlena dengan evaluasi yang terkesan bagai “politik gincu” tersebut, sebab apabila mengacu pada tiga program utama –prosperity, democracy, dan justice– pada kenyataannya banyak hal yang secara substantif bak api jauh dari panggang. Tidak boleh dibiarkan pula program pembangunan hukum yang telah disusun lama menjadi tenggelam dan hilang fokus akibat banyaknya pihak yang terlalu asyik menari pada pusaran dinamika politik kala ini. Sebutlah salah satunya program reformasi birokrasi di lembaga peradilan yang sesungguhnya masih berjalan tertatih-tatih.
Tak dapat disangkal, selama ini reformasi birokrasi lembaga peradilan seringkali kurang mendapat perhatian lebih, mulai dari sisi komitmen kebijakan hingga sisi penganggarannya. Padahal, agenda ini menjadi penting mengingat pengadilan merupakan benteng terakhir dari upaya penegakkan hukum dan keadilan di tanah air. Tulisan singkat ini setidaknya hendak menarik kembali fokus publik pada track hukum yang seakan terlewati.
Court Excellent
Pedoman umum reformasi birokrasi telah ditetapkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemeneg PAN) berupa sembilan program yang meliputi kurang lebih 23 kegiatan. Program ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai grand design dan roadmap awal dalam pembenahan di lingkungan peradilan yang meliputi: (1) Arahan strategis, (2) Manajemen perubahan, (3) Penataan sistem, (4) Penataan organisasi, (5) Penataan tata laksana, (6) Penataan sistem manajemen SDM, (7) Penguatan unit organisasi, (8) Penyusunan peraturan perundang-undangan, dan (9) Pengawasan internal.
Menuntaskan agenda reformasi birokrasi lembaga peradilan tentu tidak sama sepenuhnya dengan melakukan reformasi birokrasi pada sektor, lembaga, atau departemen di ranah eksekutif. Kendati demikian, pedoman umum yang telah ada dapat dimanfaatkan dengan cara menyinergikan nilai-nilai khusus yang tertanam dalam lembaga peradilan.
Walaupun belum terdapat keseragaman bentuk dan program reformasi lembaga peradilan secara nasional yang berada pada dua puncak kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, setidaknya reformasi lembaga peradilan di Indonesia dapat dilakukan dengan mengacu pada International Framework for Court Excellent (IFCE)..
Berdasar hasil identifikasi IFCE, setidaknya terdapat 7 (tujuh) area utama yang memerlukan peningkatan dalam lembaga peradilan agar kelak membawa dampak positif terhadap budaya organisasi pengadilan dalam membentuk nilai-nilai istimewa yang memengaruhi pola kinerja. Ketujuh area tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) Court management and leadership sebagai pengendali utama; (2) Court policies dan Human, material and financial resources, serta Court proceedings sebagai satu kesatuan sistem; dan (3) Client needs and satisfaction, dan Affordable and accessible court services, serta Public trust and confidence sebagai keluaran yang akan dihasilkan.
Sementara itu, sedikitnya terdapat 11 (sebelas) nilai teristimewa yang harus pula dibangun dalam sebuah lembaga peradilan, yaitu: kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), keadilan (fairness), tidak memihak (impartiality), merdeka dalam membuat putusan (independence of decision-making), keahlian (competence), kejujuran (integrity), keterbukaan (transparency), aksesibilitas (accessibility), akuntabilitas (accountability), ketepatan waktu (timeliness), dan kepastian (certainty).
Bak mengurai benang kusut, umumnya banyak pihak yang kesulitan untuk mencari titik mulai (starting point) reformasi birokrasi lembaga peradilan. Terlebih lagi, pekerjaan ini menjadi berat ketika masih tingginya ketidakkepercayaan masyarakat (high distrust) terhadap dunia peradilan.
Untuk itu, agar reformasi birokrasi lembaga peradilan dapat berjalan efektif, maka pengadilan memerlukan perhatian dan dukungan penuh tidak saja dari pemerintah namun juga dari masyarakat luas. Selanjutnya, jika pengadilan dapat bekerja secara imparsial, berintegritas, dan berlaku adil dalam memutus perkara, maka pada akhirnya secara otomatis masyarakat akan memahami dan menerima apapun putusan yang dikeluarkan. Sementara itu, pengadilan yang menerapkan prinsip keterbukaan, aksesibilitas, dan akuntabilitas, tentunya pada akhirnya akan memperoleh penghargaan dan kepercayaan tinggi dari masyarakat secara alamiah.
Quick Wins
Salah satu program utama dalam reformasi birokrasi yang cukup penting dan relevan dalam membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap wajah dan watak lembaga peradilan adalah melalui program percepatan (quick wins) dan manajemen perubahan (change management). Quick wins akan menjadi gerbang terdepan yang menyentuh kebutuhan para pencari keadilan dengan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, dan jelas target pencapaiannya, serta memiliki daya ungkit (key leverage). Dengan kata lain, apa yang dibutuhkan dan dirasakan langsung oleh para pencari keadilan terhadap pengadilan dapat dipenuhi dengan pelayanan prima sesuai dengan service charter principles.
Dalam konteks ini, pembenahan terhadap proses permohonan perkara, kejelasan biaya berperkara, informasi dan penjadwalan sidang, ketepatan waktu persidangan, keterbukaan dalam persidangan khususnya pada saat pembacaan putusan, merupakan sebagian kecil yang harus menjadi prioritas akselerasi dalam mengubah wajah terluar lembaga peradilan guna membangun kembali kepercayaan publik (rebuilding public trust).
Contoh sederhana dalam program quick wins ini adalah dengan optimalisasi terhadap fasilitas laman pengadilan (court website) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas melalui sistem one click service terhadap informasi aktual yang selalu diperbaharui dengan memuat setidak-tidaknya prosedur berperkara, jadwal persidangan, putusan perkara, statistik perkara, peraturan perundang-undangan terkait, publikasi kegiatan, laporan rutin, dan transparansi anggaran. Lembaga pengadilan yang dapat dijadikan percontohan dalam program percepatan melalui penerapan sistem ICT (Information and Communication Technologies), misalnya Pengadilan Negeri Simalungun atau Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, untuk merubah watak dan budaya kerja lembaga peradilan dibutuhkan program manajemen perubahan (change management). Pola perilaku, etika, dan integritas aparat lembaga pengadilan dan hulu ke hilir harus diubah sesuai dengan nilai-nilai istimewa dalam IFCE. Akan tetapi, pencapaian program ini tentu menjadi sulit tatkala terdapat resistensi yang tidak menginginkan adanya perubahan baik secara organisasi maupun individu (John P. Kotter, 1996). Untuk itu, perubahan tidak dapat dipaksakan selesai dalam waktu singkat, bahkan secara ekstrem ada yang mengatakan harus menunggu berakhirnya satu generasi dengan alasan perubahan sulit tercapai ketika aparatur peradilan telah tersandera oleh perilaku kelamnya sendiri yang pernah dilakukan pada masa lalu.
Satu hal yang pasti, kemauan pimpinan (political will) akan menjadi faktor terpenting dalam implementasi reformasi birokrasi lembaga peradilan, terlepas dari tingginya hiruk-pikuk dan dinamika hukum ataupun politik yang menjadi mainstream saat ini. Pun teladan atas ucapan dan tindakan pimpinan akan turut jua memengaruhi komitmen seberapa kuat reformasi tersebut akan dan mau dilaksanakan.
* Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)
ada banyak hal yang perlu diperbaiki, dalam dunia peradilan. Tetapi tidak dapt menutup mata, bahwa banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya peradilan dan hukum secara luas. Semua pihak dalam dunia hukum harus saling berbenah dan mengevaluasi. Semua satu kesatuan. Perbaiki intern dan perbaiki satu, kita harus bersamaan perbaiki yang lain. Kita harus semakin dewasa
ReplyDeletepembenahan sistem peradilan harus melalui pola integrated justice sisytem. dengan lembaga yang independent tidak tunduk kepada sistem yg lain.lembaga yudikatif harus berdiri mandiri tanpa adanya naungan kekuasaaan dari pihak-pihak lain.kita harus berani memulai (starting point)berada pada penentu kebijakan tanpa adanya pengaruh dan intimidasi. kita tunggu political will dari pemerintah saat ini.
ReplyDeletereformasi birokrasi lembaga peradilan merupakan kebijakan sosial yang dipengaruhi oleh sistem penegakan hukum,,termasuk moral para penegak hukum dalam subsistem peradilan,,
ReplyDeleteUntuk mengurai benang kusut kinerja peradilan dalam melaksanakan fungsinya memberikan pelayanan bagi pihak pencari keadilan(justiciabelen)yang pertama kali harus dilakukan adalah menemukan ujung / pangkal benang yang kusut tadi. Dalam konteks ini yang menjadi ujung atau pangkal permasalahan performance peradilan adalah Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman, karena hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman memegang peranan sentral dalam proses peradilan sedangkan perangkat yang lain adalah pendukung pelaksanaan fungsi hakim. Dengan demikian ketika hakim dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka baiklah proses peradilan itu yang akan terkait dengan tingkat kepuasan para pencari keadilan. Jadi permasalahan mendasar yang menjadi pangkal kusutnya benang peradilan adalah bagaimana hakim dapat melaksanakan fungsinya dengan baik? Untuk menjawab permasalahan ini, maka harus diketahui hakikat tentang apa dan siapa itu hakim.. Hakim adalah jabatan yang dilakukan oleh manusia dengan batasan - batasan yang sangat ketat sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan dan kode etik hakim, agar manusia dapat melaksanakan tupoksinya sebagai hakim yang ketat dengan batasan - batasan tersebut dengan baik, maka mutlak kebutuhan dasarnya sebagai seoarng manusia harus dipenuhi.. kebutuhan dasar manusia adalah sandang, pangan, papan, kesehatan rohani dan jasmani, dan pendidikan yang tidak hanya untuk hakim itu sendiri tapi juga anak dan istrinya, baru ditunjang dengan kebutuhan lain yang menunjang kapasitasnya sebagai seorang hakim misal keamanan, rekreasi,sarana transportasi, rumah dinas beserta perabot rumah tangga yang pokok, silaturahim dengan keluarga pada saat hari raya karena hakim selalu pindah tugas yang tempatnya jauh dari kampung halaman.. kenapa peradilan terpuruk hampir kurang lebih 30 tahun karena kebutuhan dasar hakim sebagai seorang manusia tidak dipenuhi oleh pengambil kebijakan yaitu pembuat undang-undang dan penentu anggaran dalam hal ini Pemerintah dan DPR. Jadi pemerintah dan DPR yang harus bertanggung jawab atas terpuruknya peradilan yang berimbas kepada pemenuhan hak-hak rakyat untuk mendapatkan keadilan.... Pengadilan (i.c Hakim) kalau diibaratkan sebagai tanggul/benteng maka mutlak harus diperkuat dulu konstruksinya dengan bahan-bahan yang berkualiats sehingga bisa membendung tekanan gelombang air yang bertubi-tubi, untuk itu agar hakim dapat memfungsikan dirinya sebagai benteng yang kokoh maka harus dipenuhi kebutuhan dasarnya sebagaimana diuraikan di atas.. "Perlakukan manusia dengan sebaik-baik perlakukan maka dia akan memberikan keadilan, oleh karena hakim adalah juga manusia maka perlakukanlah dia dengan sebaik-baik perlakukan maka dia aka memberikan keadilan"
ReplyDeleteKedudukan Pengadilan Pajak juga perlu ditelusuri,karena tidak sesuai dengan UU kekuasaan Kehakiman.Pembinaan terhadap pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan dan Mahkamah Agung.
ReplyDelete1)Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahakamah agung
2)Pembinaan organisasi,administrasi,dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Jadi permasalahannya kenapa pembinaan organisasi,administrasi,dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan?Apabila pembinaan tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung,makan pengadilan pajak dapat disebut pengadilan yang independent.
Saya hendak mengangkat permsalahan pembinaan yang dilakukan oleh departemen keuangan trehadap pengadilan pajak sebagai judul skripsi saya.Mohon masukannya?thankz
mantap informasinya.
ReplyDeletewww.kiostiket.com