Sunday, October 08, 2006

Hukum dan Pers Mahasiswa

PERS MAHASISWA DAN PENDIDIKAN HUKUM[1]
Oleh : Pan Mohamad Faiz[2]

PENDAHULUAN
Pers Mahasiswa merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran segar guna mengaktualisasikan diri dalam merespon permasalahan keumatan. Keberadaan pers kampus dalam realita empiris sangat signifikan untuk mensosialisasi alternatif pemikiran-pemikiran terhadap permasalahan-permasalahan yang tengah berlangsung di tengah mahasiswa maupun masyarakat.
Pers mahasiswa dalam pengertian sederhana adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa. Pers mahasiswa pada umumnya dalam fungsi dan persyaratannya yang harus dipenuhi pada dasarnya tidak berbeda. Perbedaan yang lahir adalah karena sifat kemahasiswaannya yang tercermin dalam bidang redaksional dan kepengurusannya. Sifat kemahasiswaan ini lahir karena ia merupakan sekelompok pemuda yang mendapat pendidikan di perguruan tinggi.
Pada dasarnya fungsi pers mahasiswa sama seperti fungsi pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial. Posisi mahasiswa sebagai artikulator antara pemerintah dan masyarakat, menjadikan ia sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh dalam negara yang berkembang.
Pers Kampus atau Pers Mahasiswa harus peka terhadap perubahan kondisi sosial politik yang terjadi di tanah air sekarang ini. Sebelum reformasi, pers mahasiswa dapat tampil sebagai media alternatif. Saat itu pers mahasiswa masih dapat menyajikan berita atau tulisan yang pedas, keras, dan kental dengan idealismenya.
Sayangnya, meski kini sudah ada di era reformasi, industri pers umum Indonesia belum bisa membangun suatu kultur jurnalisme yang baik dan kode etik yang baik. Dibandingkan dengan pers umum, pers kampus akan lebih mudah dalam mengakomodasi nilai-nilai idealis yang sebagian di antaranya tertuang dalam kode etik wartawan Indonesia. Namun demikian, bukan berati bahwa pers kampus bebas dari intervensi. Ada kalanya, pers kampus mendapat intervensi dari pihak rektorat atau pun pihak lainnya.
Intervensi yang demikian amat sulit dihindari karena pengelolaan pers kampus berada dalam lingkungan kampus di mana penghuninya bukan mahasiswa saja. Apalagi, selama ini, pembiayaan pers kampus juga mendapat donasi dari pihak rektorat.
Masalah keterbatasan dana bukan menjadi penyebab tunggal kurang berkembangnya pers kampus di negara ini. Masalah manajemen juga menjadi faktor penting kemandegan perkembangan sejumlah pers kampus di negara ini, sebagaimana pernah diungkapkan oleh dosen jurnalistik Fikom Unisba, Septiana Setiawan. [3]
Tidak heran apabila disebutkan bahwa pers adalah pilar keempat dari demokrasi. Jadi beralasan pula, jika kita mengatakan bahwa yang diturunkan oleh pers kampus bukan berita tetapi sikap demokratis.

MEDIA PERGERAKAN

Pergerakan mahasiswa tidak bisa dipungkiri, telah melibatkan pers kampus di dalamnya. Sebab, sebagai wadah aspirasi mahasiswa, pers kampus merupakan perwujudan dari sikap mahasiswa yang ingin menata sebuah sitem dinamis, dan bebas dari bentuk interfensi apapun. Setiap pergerakan mahasiswa mempunyai jalur dan bentuk yang berbeda. Sebuah forum pergerakan mahasiswa tentunya menjadikan ajang demonstrasi sebagai media untuk melakukan pergerakannya. Namun, pers kampus mempunyai jalur dan bentuk tersendiri, bukan melalui demonstrasi lapangan, tapi pemberitaan dan penelusuran .
Meski sering disebut bermain di balik layar dari sebuah pergerakan mahasiswa, namun kerja pers kampus sama beratnya dengan pergerakan dan aksi lapangan semacam demonstrasi. Apalagi, dengan tuntutan harus menyampaikan informasi sejernih dan seakurat mungkin, pers kampus harus peka dan lebih berani daripada semua elemen pergerakan mahasiswa umumnya. Seperti kata pepatah, mata pena lebih tajam dari mata pedang, mungkin itulah yang menjadi kelebihan pers kampus.
Pers Mahasiswa, apapun bentuk dan formatnya, hadir dengan muatan nilai‑nilai dan ciri khas tertentu terentu. Pada masa pra kemerdekaan, berkala semacam "Jong Java", "Ganeca", "Indonesia Merdeka", "Soeara Indonesia Moeda", "Oesaha Pemoeda", ataupun "Jaar Boek", lahir dengan semangat kental untuk menjadi alat penyebaran ide-ide pembaharuan clan perjuangan akan arti penting kemerdekaan. Demikian haInya dengan pers mahasiswa yang lahir pada masa paska kemerdekaan.
Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (1945­1959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa atau kita kenal dengan sebutan nation building. Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya.
Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Artinya, kehidupan mereka benar‑benar tergantung pada kemampuan mereka untuk dibeli oleh masyarakat di luar kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang terbit di luar kampus menjadi pers umum. Sedang pers mahasiswa yang berada di kampus diberi bantuan secara finansial oleh universitas untuk mendukung kehidupannya. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.
Tidak dapat disangkal, perjuangan pers kampus pada masa itu menuai sejumlah pujian dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, sejumlah media ternama di luar negeri pun menggunakan pers kampus sebagai narasumber berita. Salah satunya yaitu mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut Pers Kampus sebagai salah satu "pendukung yang tak terduga".
Di bawah judul "Behind the Scenes" mingguan itu pernah menulis, kini kampus-kampus di Indonesia sudah saling terhubung melalui Internet, yang praktis tidak mudah dikendalikan oleh penguasa. Dengan mudah dan cepat segala macam informasi bisa disebarkan atau di-share bersama-sama. Jaringan informasi, yang dibentuk oleh pers mahasiswa itulah yang merupakan "pendukung tak terduga" dari aksi-aksi unjuk rasa di berbagai kampus Nusantara.
Pers Kampus seperti harian Bergerak! dari Universitas Indonesia (UI) Depok, juga sempat menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca Negara. Hal ini pun kemudian terjadi pada beberapa Pers Kampus yang terkenal vokal menyuarakan fakta pergerakan yang terjadi seperti Teknokra (Unila), Ganesha (ITB), Manunggal (Universitas Diponegoro), Balairung dan Gugat (UGM), Suara Airlangga (Unair) dan Arrisalah (IAIN Sunan Ampel), sampai Identitas (Universitas Hasanuddin Ujungpandang) - dengan pendahulu mereka yang besar seperti Harian KAMI (Jakarta) atau Mahasiswa Indonesia Edisi Jawa Barat (Bandung).
Bagi Mahasiswa Universitas Sendiri sejak 10 Maret 1998 kampus UI di Depok, Jawa Barat, 'hanya' memiliki Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa Universitas Indonesia. Terbitnya dua bulan sekali, 66 halaman, kertasnya bagus, punya izin terbit dari SK Rektor, pengurusnya OK - Pelindung: Rektor, Penasihat: Purek III, dan Penanggung jawab: Ketua Senat Mahasiswa -, punya nomor rekening di Lippo Bank, dan isinya cukup beragam: dari serius sampai santai. Namun, ketika banyak aksi mahasiswa marak menjelang Sidang Umum MPR, Suara Mahasiswa tampak sulit berbuat sesuatu. Terjadinya gap informasi antara mereka yang aktif dalam aksi-aksi mahasiswa dan mereka yang tidak. Bersama para alumni pers kampus, redaksi mulai mendiskusikan bentuk media baru guna menginformasikan dan menyebarkan kesadaran politik di kalangan mahasiswa. Muncullah gagasan menerbitkan sebuah harian sederhana, sebagai "tukang pos" penyadaran. Tanggal 10 Maret 1998 akhirnya terbit edisi perdana harian Bergerak!. Terbit Senin sampai dengan Jumat dengan empat halaman dan masih gratis.[4]
Pers mahasiswa, menjadi apa yang oleh Nugroho Notosusanto disebut sebagai community press sebagaimana hidup di negara‑negara yang sudah maju.[5] Pers mahasiswa hanya untuk melayani komunitas mereka saja, yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Fungsi mahasiswa sebagai pelaksana aksi sosio‑kebudayaan ataupun perjuangan politik sebagaimana telah dilakukan oleh para aktivis "Mahasiswa Indonesia" (dalam Raillon,1989) kini hanya tinggal mitos belaka. Betulkah demikian halnya? Bagaimana dengan pers mahasiswa di masa reformasi sekarang ini?
Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan­-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui "Bergerak", Yogyakarta melalui, "Gugat" ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet
Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.

PERS KAMPUS SEBAGAI CIVIL SOCIETY

Civil society disini dimaksudkan sebagai wilayah‑wilayah kehidupan sosiai yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain oleh kesukarelaan (voluntaty), keswasembadaan (self‑generating), dan keswadayaan (self‑supporting).[6]
Sebagai salah satu bentuk khusus dari lembaga pers, pers mahasiswa juga mempunyai peluang besar untuk membantu terciptanya suatu ruang publik yang bebas bagi terjadinya dialog idiologis diantara berbagai kepentingan politis yang ada di lingkungan mahasiswa sendiri. Mengapa tidak? Dengan kebebasan yang dimilikinya, pers mahasiswa bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi sosiologis ataupun ideologisnya. Hal ini disebabkan pers mahasiswa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai‑nilai tertentu di masyarakatnya. Hal itu tampak dari fungsi yang dijalankannya, yaitu sebagai alat untuk pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan bagian-­bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), transmisi warisan sosial (transmission of the social heritage), dan hiburan (entertainment). [7]
Keberhasilan pers mahasiswa dalam membantu menumbuhkembangkan civil society di Indonesia akan dapat berhasil dengan baik apabila ia mampu menampilkan dirinya sebagai pers mahasiswa yang benar-benar mampu memenuhi validitas kesahihannya Habermas . Artinya pers mahasiswa harus mampu tampil secara profesional sebagaimana pers umum. Tanpa profesionalitas itu, pers mahasiswa memang hanya akan menjadi laboratorium jurnalistik belaka.

IDEALISME DAN IDEOLOGI PERS KAMPUS

Pers kampus, sebagai bentuk organisasi mandiri idealnya harus lembaga yang mampu memberikan informasi yang jernih dan akurat. Tanpa ada manipulasi sedikit pun, sekaligus menghapus bayang-bayang kediktatoran penguasa yang selama ini mengintervensi segala bentuk kekritisan. Baik di dalam tataran universitas maupun di lingkungan masyarakat luas umumnya.
Permasalahan signifikan yang dihadapi pers kampus dalam perjuangannya, tidak bisa dipungkiri masalah modal dan ruang. Adanya modal, akan tercipta ruang untuk berkreasi. Modal adalah unsur sentral di dalam perjalanan sebuah media penerbitan, di manapun. Modal berkaitan dengan uang (money), dan uang adalah suatu bentuk kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri, uang telah menjadi titik penentu sebuah kekuasaan dewasa ini, dibuktikan dengan sebuah realita di masyarakat yang menjadikan uang sebagai jangkar untuk menyambung kehidupan.
Pers kampus harus membakar lidahnya sendiri ketika pemodal (rektorat) membatasi kinerja. Demi kelangsungan hidupnya sebuah pers kampus banyak yang menodai ideologinya sendiri, sangat disayangkan. Tidak ada uang, maka ruang pun terancam.
Sebagai organisasi yang bisa dikatakan independen, modal utama sebenarnya bukan uang semata, tapi sebuah pemikiran yang logis dan kritis, kerja keras menuju sebuah perubahan ke depan. Sebuah pergerakan yang dinamis dan keinginan yang kuat, itulah modal utama yang sebenarnya. Dan dari situ pers kampus dapat mengembangkan dirinya sesuai kreativitasnya, untuk keluar dari bayang-bayang penguasa kampus.
Masuk ke dalam dunia bisnis media, adalah salah satu jalannya, jelasnya dengan memperbanyak iklan dan sponsor. Namun, permasalahan utamanya akan kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai pers mahasiswa menjadi pers komersial. Ini umumnya yang selalu menjadi pertimbangan dari kawan-kawan pers kampus, yang ingin mencoba terjun ke dunia bisnis media.
Sekali terjebak dalam dunia bisnis, ideologi akan dipertaruhkan. Ideologi yang menekankan, pers kampus adalah sebuah media mahasiswa alternatif dan pergerakan yang menjauhkan diri dari segala bentuk interpensi, terutama pihak pemodal dan kaum kapitalis. Solusinya, sebagian tidak bisa menutup diri terhadap dunia bisnis. Namun penetapan batasan yang jelas menjadi kuncinya, selama tidak mengubah dan merusak tatanan dalam pers kampus itu sendiri. [8] Kekuatan pers ini hanyalah loyalitas dan dedikasi pengelolanya saja. Biaya yang kita keluarkan ibarat, biaya hidup sehari-hari saat kuliah saja. Namun untuk urusan keberanian, dengan tutup mata pun dapat didalilkan, pers umum kalah dibanding pers mahasiswa. Lebih-lebih di zaman reformasi seperti ini. Tak peduli amburadul-nya manajemen, tata tulis, logika pikir, atau argumentasi, namun statement paling lugas dan vulgar tentang fakta politik nasional - yang seandainya dipampang di pers umum pasti langsung kena bredel - bisa dengan enteng muncul di pers mahasiswa.
Sulit untuk tidak mengatakan pers mahasiswa tidak signifikan. Mustahil pula untuk mengesampingkan peran pers mahasiswa dalam proses berkembangnya aksi-aksi mahasiswa akhir-akhir ini. Dalam kondisi seperti itu daya hidup pers mahasiswa kemudian justru terpelihara karena keunikan posisinya. Mereka antara tergantung dan tidak tergantung. Jika ada dana fakultas atau jurusan mereka tergantung. Tapi disebut tergantung sama sekalipun tidak. Buktinya, jika dananya kurang, para pengelolanya akan melakukan apa saja, termasuk mencari utang. Kalau perlu sebagian dana kos yang diperoleh dari orangtua, atau sisa penghasilan dari penyelenggaraan seminar yang mereka selenggarakan, dialihkan untuk biaya penerbitan.[9]

PERS KAMPUS ONLINE

Lima bulan setelah Soeharto turun dari kekuasaan, tepatnya pada pertengahan Oktober 1998, Majalah Mahasiswa UGM Balairung mengadakan seminar tentang, Reorientasi Pers Mahasiswa Pasca Soeharto. Maka muncullah pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pers mahasiswa, setelah Indonesia memasuki zaman baru yang lebih terbuka, lebih bebas, dan lebih demokratis? Mengingat selama bertahun-tahun pers mahasiswa justru mengambil peran penting di tengah-tengah situasi yang tertutup dan mengekang. Mereka berani mengungkap fakta-fakta penting.
Pada era terbuka dan bebas, seperti sekarang ini, tentu saja keberanian saja tidak cukup. Soalnya pers umum, apalagi mereka yang baru terbit, jauh lebih berani dan bahkan jauh lebih nekat. Tidak hanya dalam beropini, tetapi juga dalam mengungkap fakta. Tidak bisa dibayangkan sebelumnya, bahwa Soeharto kemudian disebut-sebut sebagai otak peristiwa 30 September 1965. Atau bahkan ia disebut sebagai kader komunis sejati.
Pers mahasiswa sebaiknya menjadi comunity paper. Artinya, ia harus berupaya memenuhi kebutuhan informasi komunitasnya, yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh pers umum. Ia harus peka dan peduli terhadap masalah-masalah yang terjadi di tempat dia berasal. Dengan saran menjadi comunity paper, bukan berarti penulis bermaksud mengabaikan kepedulian pers mahasiswa terhadap masalah-masalah 'besar', masalah-masalah sosial politik nasional. Maksudnya adalah para aktivis pers mahasiswa tidak perlu bersusah payah meliput, apalagi ikut-ikutan mengungkap fakta berskala nasional. Sebab kalau itu yang dilakukan, aktivis pers mahasiswa pasti akan kalah bersaing dengan media umum yang memiliki modal kuat dan ditunjang tenaga yang profesional. Pers mahasiswa cukup menyampaikan opini dengan sudut pandang lokal artinya berdasar pemahaman dan cara pikir komunitasnya terhadap masalah-masalah nasional yang sedang, muncul. Dengan demikian, meski membicarakan problem nasional, pers mahasiswa bisa benar-benar membumi, tumbuh dan berkembang dari komunitasnya.
Kini, ada belasan majalah mahasiswa (berbahasa Indonesia) setiap kali terbit selalu dionlinekan. Fakta ini menunjukkan, bahwa para aktivis pers mahasiswa sangat cepat mengantisipasi perkembangan teknologi internet. Hanya saja, kecepatan dan kesigapan belumlah cukup. Yang tak kalah panting adalah bagaimana secara tepat memanfaatkan perkembangan internet. Tanpa ketepatan, maka penggunaan teknologi internet akan sia-sia. Paling maksimal hal itu sekadar menjadi gaya hidup saja.
Internet sebagai sarana media informasi, memiliki dua kelebihan, yaitu kecepatan dan daya jangkau. Dengan hanya membuat situs web yang diisi oleh materi edisi cetak maka aktivis pers mahasiswa hanya memanfaatkan daya jangkaunya saja. Itu pun kalau alamat situs diketahui oleh banyak orang. Sadang faktor kecepatan, sama sekali bdak disentuh. Padahal kalau faktor kecepatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh mahasiswa, maka efek dari produk pemberitaan mahasiswa akan terasa benar. [10]
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi apabila mahasiswa (Indonesia) di seluruh dunia bisa mengikuti peristiwa tertembaknya seorang demontsran di sebuah kampus, dari situs web yang terus-menerus di-update. Hal ini sebetulnya bukan baru sama sekali di lingkungan aktivis mahasiswa, sebab saat menggerakkan demo untuk menurunkan Soeharto, mereka sudah memanfaatkan e-mail sebagai sarana komunikasi dan tukar informasi yang cepat. Hanya saja sifatnya yang belum massal, maka efeknya pun masih terbatas dan tak serentak.
Lewat internet manusia memang tengah 'memperkecil' dunia. Tentu aktivis pers mahasiswa tidak ingin ketinggalan dalam proses tersebut. Paling tidak, mereka, dengan internet, bisa 'menyatukan' dunia mahasiswa dan kampus yang bertebaran di berbagai kota. Bukankah hal ini merupakan cita-cita setiap aktivis (pers) mahasiswa? Dalam proses inilah para aktivis pers mahasiswa bisa menjalankan tugasnya secara maksimal, tanpa dihantui oleh perasaan takut, karena hasil kerjanya tidak bisa diterbitkan karena terbatasnya dana.
Masalahnya adalah bagaimana membuat orang tertarik untuk terus-terusan untuk membuka suatu situs web? Jawabnya, pertama situs ini selalu menampilkan informasi baru. ini artinya harus di-update terus-menerus. Yang kedua, tentu saja menyajikan informasi yang menarik. Tentu ini adalah pekerjaan berat bila hanya dilakukan oleh sekelompok aktivis mahasiswa dari satu atau dua kampus. Karena di samping keterbatasan waktu para aktivis pers mahasiswa untuk membuat karya jurnalistik, kenyataannya tidak setiap hari terjadi peristiwa yang menarik di satu kampus.
Untuk mengatasi masalah ini. maka lembaga-lembaga pers mahasiswa yang ada, bisa secara bersama-sama membuat satu situs yang berisi tentang berita kampus. Dengan banyaknya lembaga yang terlibat dalam pengisian situs tersebut, maka updating berita bisa terjaga. Masalahnya apakah lembaga-lembaga pers mahasiswa mau secara bersama-sama membangun satu situs web buat menyalurkan berita-berita kampus yang mereka bikin sendiri? Sejauh pantauan penulis, keinginan untuk itu sudah ada, namun tetap jangan berharap bahwa semua lembaga pers mahasiswa akan terlibat dalam proses ini

KONTRIBUSI PERS KAMPUS BAGI PENDIDIKAN HUKUM

Dengan melihat perkembangan dan peran pers kampus sepanjang sejarahnya, maka sudah tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa pers kampus merupakan suatu sarana bagi pengembangan daya pemikiran dan intelektualitas bagi masyarakat Indonesia. Berbagai tema dan topik yang diangkat sangat kental dan dekat dengan kebutuhan informasi yang diinginkan oleh setiap orang, terlepas dari cara dan etika penulisan yang kurang profesional. Lalu bagaimanakah dengan peran Pers Kampus itu sendiri dalam pencerahan bagi mahasiswa maupun masyarakat dalam bidang hukum? Penulis menyadari bahwa porsi dan muatan berita-berita pers kampus mengenai topik yang bersinggungan dengan hukum sangat lah sedikit.
Untuk menemukan majalah hukum yang benar-benar dikelola dan dicetak oleh mahasiswanya sendiris sebenarnya telah ada, seperti “Mahkamah” yang dibuat oleh Mahasiswa FH-UGM, namun di kampus Universitas Indonesia yang menjadi parameter mahasiswa nasional justru tidak keliahatan tanda-tanda kelahirannya. Padahal materi-materi hukum mulai dari yang ringan sampai yang berat benar-benar sangat dibutuhkan oleh seluruh elemen bangsa ini, mengingat negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Memang sangat disayangkan, bahwa mahasiswa sebagai kasalisator dan agent of change bangsa ini tidak banyak memberikan kontribusinya bagi pengembangan pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat. Penulis mengangap salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah sangat minimnya tingkat keinginan dan inisiatif dari penulis mahasiswa yang mau untuk memberikan tulisan hukumnya untuk digulirkan ditengah-tengah masyarakat. Kemudian yang menjadi kendala berikut adalah sedikitnya tingkat kemampuan dan pengetahuan komunitas pers mahasiswa mengenai berita-berita hukum, mengingat bidang hukum dianggap sebagian kalangan adalah bidang “ekslusif” dari komunitas hukum saja. Sehingga bagi mereka yang berada di luar komunitas tersebut (outgroup) akan segan untuk menulis berita-berita mengenai bidan hukum bahkan cenderung untuk tidak berani. Lalu apa yang sekarang dilakukan oleh mahasiswa hukum itu sendiri? Mereka lebih senang untuk menulis mengenai hal-hal yang berbau bidang sosial-politis, dikarenakan pendapat mengenai hal yang demikian adalah hal yang tidak terlalu terkoridor dengan tatanan-tatanan hukum yang ada, sehingga untuk dikritisi atau didebat sekalipun sangat luas batasannya.
Namun apa yang terjadi setelah mereka menjadi Sarjana Hukum, justru mereka yang sebelumnya tidak pernah sekalipun menggoreskan penanya untuk Pers Kampus menjadi penulis-penulis yang berani mengutarakan opini dan argumentasinya. Penulis coba mengambil contoh di Fakultas Hukum Univerisitas Indonesia, di kalangan mahasiswanya memang terdapat lembaga yang bergerak di bidang pers namun apa yang dihasilkannya barulah berupa selebaran dan bulletin saja, itu pun lebih banyak persentase diluar kerangka hukumnya. Tetapi lembaga hukum di lingkup fakultasnya mampu menghasilkan majalah dan jurnal hukum yang isinya selalu dihiasi oleh mahasiswa yang belum lama menjadi Sarjana dan justru kerap diburu oleh komunitas hukum nasional, seperti Teropong (MaPPI), Hukum dan Pembangunan (Tim Pengajar Bidang Tata Negara), Indonesian Journal of International Law – IJIL (LKHI) dan lain sebagainya.
Refleksi bagi kita semua atas dinamika pers kampus dan dialektika mahasiswanya yang saat ini belum mampu banyak memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan hukum Indonesia, sebab Pers Kampus sebagai media alternatif sebenarnya juga dapat menjadi media advokasi dan transformasi pendidikan hukum bagi masyarakat yang seringkali terbuai dari sistem yang pada hakikatnya sedikit mengkebiri hak-hak mereka sebagai seorang citizen.

Fiat Justitia Et Pereat Mundus!

[1] Disampaikan dalam Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerjasama dengan KOPMA FHUI pada tanggal 30 Maret 2005 di Fakultas Hukum Universitas Indoenesia.

[2] Penulis adalah Mantan Aktivis Universitas Indonesia, pernah menjabat sebagai Ketua Senat dan juga Ketua Dewan Pers Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] “Pers Kampus & Tumbangnya Orba”, <http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/20/ 1101.htm>, diakses 28 Maret 2005.

[4] “Geliat Baru Pers Mahasiswa (Kompas, Minggu, 3 Mei 1998),” <http://pipmi.tripod.com/ berita_geliat_baru_pers_mahasiswa.htm>, diakses 29 Maret 2005.
[5] “Pers Mahasiswa”, <http://pipmi.tripod.com/artikel_persma_persemaian_public_sphere_ civil_society.htm>, diakses 29 Maret 2005.
[6] Sunarto, “Pers Mahasiswa: Persemaian Public Sphere Civil Societ.”Makalah disampaikan pada Seminar Pers Nasional 'Quo Vadis Pers Mahasiswa" dalam rangka Ulang Tahun Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro ke-19 dan pertemuan pertama forum komunikasi pers mahasiswa Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2000 bertempat di Auditorium Undip Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1 Semarang.
[7] Lihat De Fleur dan Dennis, 1985:157; Shoemaker dan Reese, 1991: 24‑25.

[8] Deni Adndriana, “Pers Kampus.” <http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/01/ 1103.htm>, diakses 29 Maret 2005.

[9] “Modalnya Cuma Keberanian dan Loyalitas (Kompas, Minggu 3 Mei 1998),” <http://pipmi.tripod.com/ berita_modalnya_cuma_keberanian_dan_loyalitas.htm>, diakses 29 Maret 2005.

[10] Didik Supriyanto, “Menggagas Media Kampus Online.” Makalah disampaikan pada Seminar Cyber Media : Menuju Media Campus Online, 24 Februari 2000 di Kampus UGM Bulaksumur yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan Majalah Mahasiswa UGM Balarung.

2 comments:

  1. kader, kader, dan kader... terutama transformasi informasi antar kader. ini persoalan yang berulang dari tahun ke tahun. masalah juga, barometer persma sampai saat ini melulu terbitan berbentuk cetak. ya majalah, tabloid, koran, jurnal. kalaupun media online hanya sampingan. jadinya ya susah serius. padahal kampus dah pada online gratis tuh.

    salam kenal om... :)

    ReplyDelete