Sunday, January 31, 2010

Liputan Berita: "Kebekuan Hukum"

KEBEKUAN HUKUM

JAKARTA - Pemberlakuan mekanisme pengaduan konstitusi atau constitutional complaint di Mahkamah Konstitusi dinilai bisa menjamin hak asasi manusia. Warga negara atau kelompok yang dilanggar haknya yang selama ini tidak bisa menuntut karena terhalang prosedur perundang-undangan, dapat menuntut melalui mekanisme tersebut.

Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ridha Saleh, Peneliti dari Institute of Indonesian Law and Governance Development (IILGD), Pan Mohamad Faiz, dan pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Isharyanto, ketika dihubungi Koran Jakarta, Rabu (27/1). Mereka mengatakan hal itu menanggapi rencana Komisi III DPR yang akan mempertimbangkan memberikan kewenangan mengadili pengaduan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, untuk memberikan tambahan kewenangan itu, harus dilakukan revisi Undang-Undang MK. Pengaduan hukum atau constitutional complaint adalah hak konstitusional warga negara yang dilanggar akibat kebijakan penyelenggara negara. Hak itu dijamin dalam UUD 45. Komnas HAM, kata Ridha, mendukung pemberian tambahan kewenangan MK tersebut. Bahkan, setahun lalu, pihaknya sudah mengusulkan ke parlemen, agar mekanisme constitutional complaint melekat pada kewenangan MK. Alasannya, dari fungsi dan kegunaannya, mekanisme tersebut bisa menjadi terobosan ketika ada kebuntuan dalam menyelesaikan pelanggaran hak konstitusi seorang warga negara atau suatu kelompok ma syarakat.

Contitusional complaint itu sangat penting. Karena banyak hak konstitusi warga negara yang notabene adalah hak asasi manusia tak bisa dikomplain, karena terhalang oleh sebuah Undang-Undang yang tak mungkin dilakukan complaint,” kata Ridha. Selain itu, lanjutnya, contitutional complaint adalah bentuk akomodasi terhadap hak asasi manusia. Sehingga, jika hal itu benar-benar diberlakukan, kasus pelanggaran HAM bisa ada titik terang penyelesaiannya. “Setidaknya ada akses konstitusi untuk menyelesaikan ber bagai pelanggaran hak asasi dan konstitusi dari warga negara,” ujarnya.

Perkuat Sistem

Sementara itu, Mohamad Faiz mengatakan dengan adanya kewenangan contitutional complaint di MK, akan memperkuat sistem perlindungan terhadap warga negara, terutama hak konstitusi dan hak asasi manusia. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) itu mengungkapkan harus diakui dalam tataran praktis di Indonesia saat ini, belum menerapkan sistem konstitusi total atau total constitution. Padahal, sambungnya, sistem konstitusi yang total, adalah manifestasi dari bentuk penghargaan yang tinggi terhadap konstitusi. Isharyanto menambahkan mekanisme contitutional complaint bisa menjadi alat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. “Ini penting, agar kehidupan berbangsa dan bernegara lebih ramah terhadap HAM,” kata dia. (ags/P-2)

Sumber: Koran Jakarta (http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43779)

Thursday, January 21, 2010

Kolom Opini: "Reformasi Birokrasi Lembaga Peradilan"

REFORMASI BIROKRASI LEMBAGA PERADILAN

Oleh: Pan Mohamad Faiz

(Sumber: Kolom Opini Seputar Indonesia – Selasa, 19 Januari 2009)

Langkah awal di Tahun Macan kali ini terasa semakin berat bagi dunia penegakan hukum. Tidak saja karena wajah buram keadilan yang terekam jelas pada tahun sebelumnya, namun juga akibat beberapa peristiwa hukum yang cukup menghentak publik akhir-akhir ini. Kasus Anggoro-Anggodo, kasus sel mewah, kasus Bailout Century, dan berbagai kasus hukum yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, dipredikasi akan menjadi prolog panjang yang terus menyedot energi publik. Kereta tua yang membawa agenda pembenahan hukum seakan kian bergerak pada rel bercabang, tidak jelas arah, dan terkesan reaktif. Anehnya, dua minggu sebelum berakhirnya program seratus hari kerja pemerintah, program pada sektor polhukham justru diklaim telah berjalan 100 persen (Antara, 14/1).

Masyarakat tentunya tidak boleh dibiarkan terlena dengan evaluasi yang terkesan bagai “politik gincu” tersebut, sebab apabila mengacu pada tiga program utama –prosperity, democracy, dan justice– pada kenyataannya banyak hal yang secara substantif bak api jauh dari panggang. Tidak boleh dibiarkan pula program pembangunan hukum yang telah disusun lama menjadi tenggelam dan hilang fokus akibat banyaknya pihak yang terlalu asyik menari pada pusaran dinamika politik kala ini. Sebutlah salah satunya program reformasi birokrasi di lembaga peradilan yang sesungguhnya masih berjalan tertatih-tatih.

Tak dapat disangkal, selama ini reformasi birokrasi lembaga peradilan seringkali kurang mendapat perhatian lebih, mulai dari sisi komitmen kebijakan hingga sisi penganggarannya. Padahal, agenda ini menjadi penting mengingat pengadilan merupakan benteng terakhir dari upaya penegakkan hukum dan keadilan di tanah air. Tulisan singkat ini setidaknya hendak menarik kembali fokus publik pada track hukum yang seakan terlewati.

Court Excellent

Pedoman umum reformasi birokrasi telah ditetapkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemeneg PAN) berupa sembilan program yang meliputi kurang lebih 23 kegiatan. Program ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai grand design dan roadmap awal dalam pembenahan di lingkungan peradilan yang meliputi: (1) Arahan strategis, (2) Manajemen perubahan, (3) Penataan sistem, (4) Penataan organisasi, (5) Penataan tata laksana, (6) Penataan sistem manajemen SDM, (7) Penguatan unit organisasi, (8) Penyusunan peraturan perundang-undangan, dan (9) Pengawasan internal.

Menuntaskan agenda reformasi birokrasi lembaga peradilan tentu tidak sama sepenuhnya dengan melakukan reformasi birokrasi pada sektor, lembaga, atau departemen di ranah eksekutif. Kendati demikian, pedoman umum yang telah ada dapat dimanfaatkan dengan cara menyinergikan nilai-nilai khusus yang tertanam dalam lembaga peradilan.

Walaupun belum terdapat keseragaman bentuk dan program reformasi lembaga peradilan secara nasional yang berada pada dua puncak kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, setidaknya reformasi lembaga peradilan di Indonesia dapat dilakukan dengan mengacu pada International Framework for Court Excellent (IFCE)..

Berdasar hasil identifikasi IFCE, setidaknya terdapat 7 (tujuh) area utama yang memerlukan peningkatan dalam lembaga peradilan agar kelak membawa dampak positif terhadap budaya organisasi pengadilan dalam membentuk nilai-nilai istimewa yang memengaruhi pola kinerja. Ketujuh area tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) Court management and leadership sebagai pengendali utama; (2) Court policies dan Human, material and financial resources, serta Court proceedings sebagai satu kesatuan sistem; dan (3) Client needs and satisfaction, dan Affordable and accessible court services, serta Public trust and confidence sebagai keluaran yang akan dihasilkan.

Sementara itu, sedikitnya terdapat 11 (sebelas) nilai teristimewa yang harus pula dibangun dalam sebuah lembaga peradilan, yaitu: kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), keadilan (fairness), tidak memihak (impartiality), merdeka dalam membuat putusan (independence of decision-making), keahlian (competence), kejujuran (integrity), keterbukaan (transparency), aksesibilitas (accessibility), akuntabilitas (accountability), ketepatan waktu (timeliness), dan kepastian (certainty).

Bak mengurai benang kusut, umumnya banyak pihak yang kesulitan untuk mencari titik mulai (starting point) reformasi birokrasi lembaga peradilan. Terlebih lagi, pekerjaan ini menjadi berat ketika masih tingginya ketidakkepercayaan masyarakat (high distrust) terhadap dunia peradilan.

Untuk itu, agar reformasi birokrasi lembaga peradilan dapat berjalan efektif, maka pengadilan memerlukan perhatian dan dukungan penuh tidak saja dari pemerintah namun juga dari masyarakat luas. Selanjutnya, jika pengadilan dapat bekerja secara imparsial, berintegritas, dan berlaku adil dalam memutus perkara, maka pada akhirnya secara otomatis masyarakat akan memahami dan menerima apapun putusan yang dikeluarkan. Sementara itu, pengadilan yang menerapkan prinsip keterbukaan, aksesibilitas, dan akuntabilitas, tentunya pada akhirnya akan memperoleh penghargaan dan kepercayaan tinggi dari masyarakat secara alamiah.

Quick Wins

Salah satu program utama dalam reformasi birokrasi yang cukup penting dan relevan dalam membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap wajah dan watak lembaga peradilan adalah melalui program percepatan (quick wins) dan manajemen perubahan (change management). Quick wins akan menjadi gerbang terdepan yang menyentuh kebutuhan para pencari keadilan dengan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, dan jelas target pencapaiannya, serta memiliki daya ungkit (key leverage). Dengan kata lain, apa yang dibutuhkan dan dirasakan langsung oleh para pencari keadilan terhadap pengadilan dapat dipenuhi dengan pelayanan prima sesuai dengan service charter principles.

Dalam konteks ini, pembenahan terhadap proses permohonan perkara, kejelasan biaya berperkara, informasi dan penjadwalan sidang, ketepatan waktu persidangan, keterbukaan dalam persidangan khususnya pada saat pembacaan putusan, merupakan sebagian kecil yang harus menjadi prioritas akselerasi dalam mengubah wajah terluar lembaga peradilan guna membangun kembali kepercayaan publik (rebuilding public trust).

Contoh sederhana dalam program quick wins ini adalah dengan optimalisasi terhadap fasilitas laman pengadilan (court website) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas melalui sistem one click service terhadap informasi aktual yang selalu diperbaharui dengan memuat setidak-tidaknya prosedur berperkara, jadwal persidangan, putusan perkara, statistik perkara, peraturan perundang-undangan terkait, publikasi kegiatan, laporan rutin, dan transparansi anggaran. Lembaga pengadilan yang dapat dijadikan percontohan dalam program percepatan melalui penerapan sistem ICT (Information and Communication Technologies), misalnya Pengadilan Negeri Simalungun atau Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, untuk merubah watak dan budaya kerja lembaga peradilan dibutuhkan program manajemen perubahan (change management). Pola perilaku, etika, dan integritas aparat lembaga pengadilan dan hulu ke hilir harus diubah sesuai dengan nilai-nilai istimewa dalam IFCE. Akan tetapi, pencapaian program ini tentu menjadi sulit tatkala terdapat resistensi yang tidak menginginkan adanya perubahan baik secara organisasi maupun individu (John P. Kotter, 1996). Untuk itu, perubahan tidak dapat dipaksakan selesai dalam waktu singkat, bahkan secara ekstrem ada yang mengatakan harus menunggu berakhirnya satu generasi dengan alasan perubahan sulit tercapai ketika aparatur peradilan telah tersandera oleh perilaku kelamnya sendiri yang pernah dilakukan pada masa lalu.

Satu hal yang pasti, kemauan pimpinan (political will) akan menjadi faktor terpenting dalam implementasi reformasi birokrasi lembaga peradilan, terlepas dari tingginya hiruk-pikuk dan dinamika hukum ataupun politik yang menjadi mainstream saat ini. Pun teladan atas ucapan dan tindakan pimpinan akan turut jua memengaruhi komitmen seberapa kuat reformasi tersebut akan dan mau dilaksanakan.

* Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)


Mengawal Demokrasi Melalui Constitutional Review (Bagian II)

MENGAWAL DEMOKRASI MELALUI CONSTITUTIONAL REVIEW:

Sembilan Pilar Demokrasi Putusan Mahkamah Konstitusi[1]

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]

(Disampaikan dalam Buku ”UI untuk Bangsa 2009”) – BAGIAN II

… Sambungan dari Bagian I …


6. Mengubah Sistem Keterpilihan Nomor Urut menjadi Suara Terbanyak

Dalam Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008, di satu sisi MK telah memperkuat alas hukum atas Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 terkait penentuan bakal calon perempuan, dan di sisi lain mencabut Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 terkait sistem keterpilihan calon anggota legislatif berdasarkan nomor urut caleg yang ditetapkan oleh partai politik.

Pada perkara ini MK menegaskan bahwa Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang menentukan setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan merupakan kebijakan dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi.[3] Menurut MK, affirmative action yang juga disebut sebagai reverse discrimination akan memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki.

Bagi MK, pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di DPR, DPD, dan DPRD. Namun demikian, MK juga menegaskan bahwa untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam bidang politik tidak semata-mata tergantung pada faktor hukum, melainkan juga faktor budaya, kemampuan, kedekatan dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta kesadaran yang semakin meningkat atas peranan perempuan dalam bidang politik.

Sementara itu, MK menilai inkonstitusional terhadap Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu.

Ketentuan tersebut menurut MK bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ditegaskan pula bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif, maka akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan. Sebab menurut MK, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil.[4]

Lebih tajam lagi, MK menilai bahwa ketentuan tersebut akan menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif, karena tidak ada rasa dan logika yang dapat membenarkan bahwa keadilan dan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat dilanggar dengan sistem keterpilihan berdasar nomor urut. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut bagi MK sama saja dengan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.[5]

Dalam Putusan ini, Maria Farida Indrati sebagai satu-satunya Hakim Konstitusi perempuan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Maria Farida menilai bahwa MK tidak konsisten menyatakan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 konstitusional, namun menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 adalah inkonstitusional. Menurutnya, Pasal 53, Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 yang mengatur mengenai kuota perempuan merupakan tindakan afirmatif bagi keterwakilan perempuan yang merupakan desain “dari hulu ke hilir”, dalam arti mengkombinasikan antara proteksi dalam mekanisme internal partai (pencalonan dan penempatan dalam daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang diraih calon anggota dewan DPR atau DPRD melalui perjuangan di daerah pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan penggantian dengan “suara terbanyak” menurutnya akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut.[6]

Hakim Maria juga mengingatkan bahwa walaupun sebenarnya penggunaan mekanisme “suara terbanyak” dalam pemilihan umum adalah merupakan cara terbaik dan memenuhi asas demokrasi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kehendak masyarakat pemilih, akan tetapi apabila mekanisme tersebut tidak diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu undang-undang, hal tersebut justru akan menimbulkan dampak yang negatif. Tanpa adanya peraturan yang menyeluruh dan terpadu, lanjutnya, maka mekanisme “suara terbanyak” hanya akan digunakan sebagai alat untuk melegalkan strategi internal partai politik untuk meraih suara pemilih sebanyak mungkin dengan mengabaikan kompetensi calon dan reformasi internal partai politik yang komprehensif, serta mengabaikan tindakan afirmatif yang sudah disepakati bersama.[7]

7. Menghapuskan Sanksi Pers dan Pelarangan Survey, Quick Count, serta News dalam UU Pemilu

Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi bagi pers yang diatur dalam Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2008 dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 32/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Februari 2009. Alasannya, ketentuan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945.

Tiga pertimbangan utama dari MK yang melatarbelakangi Putusan tersebut, yaitu: Pertama, pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda; Kedua, rumusan ketentuan tersebut juga mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu; dan Ketiga, penjatuhan sanksi bagi lembaga penyiaran seharusnya tidak dilakukan oleh KPI, melainkan oleh Pemerintah (Menkominfo) setelah memenuhi due process of law, sedangkan terhadap media massa cetak tidak mungkin dijatuhkan sanksi pencabutan karena UU 40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media massa cetak, sehingga merupakan norma yang tidak diperlukan lagi karena kehilangan kekuatan hukum dan raison d’ĂȘtre-nya.

Sementara itu, pelarangan jajak pendapat (survey) dan penghitungan cepat (quick count) dalam UU Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK secara berturut-turut melalui Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009 dan Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009. Menurut MK, meskipun tidak dilakukan oleh akademisi atau sivitas akademika perguruan tinggi, kegiatan survei (survey) atau perhitungan cepat (quick count) tentang hasil Pemilu merupakan kegiatan berbasis ilmiah yang juga harus dilindungi dengan jiwa dan prinsip kebebasan akademik-ilmiah dan kebebasan mimbar akademik-ilmiah karena hal tersebut dijamin bukan saja oleh Pasal 31 Ayat (1), Ayat (3), dan Ayat (5) UUD 1945 tetapi juga oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang memuat jaminan kebebasan untuk menggali, mengolah, dan mengumumkan informasi, termasuk informasi ilmiah.[8]

Lebih lanjut dipertimbangkan bahwa jajak pendapat, survei, ataupun penghitungan cepat hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam proses penyelenggaran negara termasuk pemilihan umum. Pertimbangan MK lainnya yaitu sejak awal sudah diketahui oleh umum (notoir feiten) bahwa quick count bukanlah hasil resmi sehingga tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui, sehingga penghitungan cepat sudah tidak akan memengaruhi kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebab menurut MK, pemungutan suara sudah selesai dan suatu penghitungan cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya pemungutan suara.[9]

Terhadap Putusan survey dan quick count ini diwarnai dissenting opinions dari 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi, yaitu (1) Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar yang sama-sama berpendapat hanya mengabulkan sebagian kecil permohonan; serta (2) M. Arsyad Sanusi yang menolak keseluruhan permohonan Pemohon.

Sedangkan terhadap ketentuan sepanjang kata “berita” pada Pasal 47 ayat (5) UU 10/2008 yang pada pokoknya melarang pemberitaan seputar pasangan calon Presiden/Wakil Presiden di masa tenang Pemilu, MK menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Menurut MK, menyiarkan berita adalah bagian dari hak asasi setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia yang dilindungi oleh konstitusi. Lebih dalam dipertimbangkan oleh MK bahwa penyiaran berita mengenai pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru akan membantu memberikan informasi seluas-luasnya kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas dari pasangan calon Presiden/Wakil Presiden yang semuanya terpulang pada penilaian subjektifitas dari pendengar atau pembaca berita yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dari pesta demokrasi yang merupakan hak dari rakyat.

8. Menjembatani Pemilih Pilpres Bermodal KTP atau Paspor

Salah satu landmark decision MK dalam konteks pengawalan demokrasi yaitu Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 yang menerobos kebuntuan hukum UU Pilpres terkait dengan permasalahan calon pemilih yang tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).[10] Dengan merujuk Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

Hal tersebut secara tegas menurut MK telah dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh karenanya, MK memberikan pertimbangan hukumnya dengan menyatakan bahwa hak-hak warga negara untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum.

MK memandang bahwa solusi terbaik mengatasi permasalahan atas masih banyaknya pemilih yang tidak tercantum dalam DPT adalah dengan memperbolehkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih di dalam Pilpres. Namun demikian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, MK juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:[11]

  1. Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
  2. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
  3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) harus mendapat persetujuan dan penunjukkan tempat pemberian suara dari PPLN setempat;
  4. Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
  5. Bagi Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS LN setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 28 dan Pasal 111 UU Pilpres adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara memilih sebagaimana disebutkan di atas (conditonally constitutional).

9. Menyelamatkan Suara Pemilih dalam Pemilu Legislatif

Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengawal demokrasi tentu tidak bisa dilepaskan dari penanganan proses sengketa hasil pemilihan umum, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Sebagaimana telah diuraikan secara sekilas sebelumnya, kewenangan tersebut masuk dalam kewenangan MK dalam menangani sengketa Perselishan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), namun terdapat satu perkara pengujian undang-undang yang sangat berkaitan erat dengan hasil pemilihan umum legislatif dan menjadi putusan ”penyelamat” demokrasi.

Adalah Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7 Agustus 2009 yang akhirnya memberikan ketegasan bagi para caleg legislatif terpilih yang hampir kehilangan kursi legislatifnya. Hal ini terjadi pasca keluarnya Putusan MA Nomor 15P/HUM/2009,[12] Nomor 16 P/HUM/2009, dan Nomor 18 P/HUM/2009, yang menjadikan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 memiliki banyak tafsir tentang penghitungan kursi tahap kedua, sehingga membuka potensi terjadinya penghitungan ganda (double counting) dan bergesernya ratusan kursi caleg DPR/DPRD terpilih, serta menimbulkan kontroversi yang sangat tajam di tengah-tengah masyarakat. [13]

Dalam perkara ini, MK hanya fokus dalam mengadili hal-hal yang menyangkut konstitusionalitas dan penafsiran dari Pasal 205 ayat (4) serta Penjelasan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 yang menurut para Pemohon rumusan pasal-pasal tersebut bersifat multitafsir karena ketidakjelasan frasa “suara” dalam Pasal 205 ayat (4) dan frasa “sisa suara” dalam Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008, terutama dalam kaitan untuk mengimplementasikan sistem Pemilu yang dianut oleh UU 10/2008 sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.

Setelah memeriksa dan mengadili perkara ini, akhirnya Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara yang sesuai dengan penafsiran MK yaitu cara penghitungan yang tidak terlampau jauh berbeda dengan substansi yang sebenarnya telah terdapat dalam ketentuan Peraturan KPU, akan tetapi ketentuan tersebut sebelumnya dicabut oleh Mahkamah Agung.[14]

Terdapat dua hal yang sangat menarik dalam Putusan ini. Pertama, sifat putusannya yang baru pertama kali diberlakukan secara retroaktif atau berlaku ke belakang agar pembagian kusi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 tanpa ada kompensasi atau ganti rugi atas akibat-akibat yang terlanjur ada dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. MK menilai bahwa prinsip non-retroaktif akibat hukum satu putusan MK bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, sebagaimana juga secara tegas dimuat dalam UU MK berbagai negara yang memiliki MK. Untuk bidang undang-undang tertentu, menurut MK, pengecualian dan diskresi yang dikenal dan diakui secara universal dibutuhkan karena adanya tujuan perlindungan hukum tertentu yang hendak dicapai yang bersifat ketertiban umum (public order).

Kedua, walaupun dalam putusan tersebut MK tidak menilai atau menguji baik Putusan Mahkamah Agung maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum, namun karena Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah dinilai oleh Mahkamah sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), maka semua isi peraturan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan tersebut bagi MK menjadi tidak berlaku karena kehilangan dasar pijakannya.

E. PRO KONTRA PUTUSAN MK

Berdasarkan uraian mengenai kesembilan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, maka kita dapat melihat bahwa di antara putusan tersebut banyak diwarnai oleh pendapat berbeda (dissenting opinions) dari para Hakim.[15] Artinya, peraduan argumentasi hukum dan konstitusi di kalangan hakim sendiri benar-benar terjadi dan menunjukkan terdapatnya berbagai macam cara tafsir, metode, dan mahzab hukum yang berbeda-beda. Oleh karenanya bagi para Hakim Konstitusi, putusan yang menimbulkan pendapat pro-kontra di tengah-tengah masyarakat menjadi pemandangan yang lumrah, karena dalam pembuatan putusannya pun terjadi hal yang demikian, bahkan menurut beberapa Hakim Konstitusi hal tersebut justru dapat ”menyehatkan” iklim akademis di ranah demokrasi dan konstitusi apabila dilakukan dalam cara-cara dan koridor yang tepat.[16]

Selain 9 (sembilan) putusan di atas dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang mengabulkan, terdapat juga putusan terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ditolak atau tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, sehingga menimbulkan silang pendapat di tengah-tengah masyarakat.[17] Salah satu putusan tersebut yang cukup menyita perhatian publik, misalnya yaitu, pengujian UU Pilpres terkait dengan persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang harus diajukan oleh Partai Politik atau Gabung Partai Politik atau lebih dikenal dengan nama perkara ”calon Presiden Independen”.

Melalui Putusannya Nomor 56/PUU-VI/200 bertanggal 17 Februari 2009, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 secara tegas memiliki makna hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR.[18]

Oleh karena itu menurut Mahkamah Konstitusi, UU Pilpres hanya merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Hal demikian menjadi lain penafsirannya apabila terjadi perubahan UUD 1945 di masa yang akan datang. Terhadap perkara ini, terpecahnya pendapat di kalangan para ahli hukum dan masyarakat sebenarnya juga dapat terefleksikan dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinions) dari 3 (tiga) Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara tersebut, yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar, sehingga putusan tersebut jatuh pada posisi 5 (lima) suara berbanding 3 (tiga) suara.[19]

F. PENUTUP

Melalui uraian panjang di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu undang-undang pun yang kini dapat dibentuk sesuka hati atau kehendak pribadi para legislator, melainkan substansi undang-undang tersebut harus pula tunduk dan patuh kepada norma-norma konstitusi. Jika tidak, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme pengujian undang-undang (constitutional review) di hadapan Mahkamah Konstitusi. Di sinilah makna tersirat mengapa antara democracy (kedaulatan rakyat) dan nomocratie (kedaulatan hukum) harus dapat berjalanan secara beriringan, saling menopang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.

Jarum sejarah enam tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi telah menunjukan bahwa lembaga ini memiliki andil dan kontribusi penting dalam menentukan arah dan jalan pembangunan demokrasi konstitusional di Indonesia. Tentunya tulisan ini tidak semata-mata untuk mendeskripsikan terhadap apa yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya selama ini. Akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pendedahan secara terbuka terhadap peran, tugas, dan fungsi Mahkamah Konstitusi yang ternyata sangat memiliki arti penting dan andil nyata bagi perkembangan dan arah demokrasi Indonesia yang baru saja tumbuh dan berkembang pasca terbukanya pintu reformasi.

Dengan demikian, tanpa menyadari adanya kesempatan dan peluang luas bagi pengawalan demokrasi tersebut, maka niscaya kehidupan berdemokrasi akan berjalan lambat atau bahkan dapat berakibat stagnan. Terlebih lagi, sesuai dengan sifat suatu pengadilan, sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi bersifat pasif dan tidak dapat secara aktif mengadili suatu undang-undang atau sengketa atas inisiatifnya sendiri.

Oleh karena itu, masyarakat madani harus dapat lebih terlibat aktif untuk turut mengawal demokrasi dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, selain diharapkan dapat menjaga performanya, Mahkamah Konstitusi tentunya juga harus didorong untuk meningkatkan kualitas putusannya yang mampu menjangkau cakrawala kepentingan dan kebutuhan demokrasi masyarakat Indonesia di masa-masa mendatang. (*)


[1] Tulisan disampaikan dalam Buku “UI untuk Bangsa” Tahun 2009. Pendapat Pribadi.

[2] Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

[3] Beberapa konvensi internasional yang dimaksud, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984; (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik; dan (3) Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW).

[4] Sebelum menjatuhkan Putusannya ini, MK juga telah mempertimbangkan kebersiapan dan kesedian KPU secara teknis administratif yang telah disanggupinya dalam persidangan, seandainya KPU memang harus menjalankan sistem keterpilihan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.

[5] Putusan ini disambut baik oleh sebagian kalangan karena dapat meruntuhkan oligarki calon yang memiliki kedekatan dengan pimpinan Partai Politik semata, namun mereka jarang atau tidak pernah menemui konstituennya. Akan tetapi sebagian juga mengkhawatirkan konsekuensi dari putusan ini dengan menyatakan akan tercipta liberalisasi pemilihan karena para pemilih akan cenderung memilih calon yang mereka kenal atau populer tanpa banyak mempedulikan banyak terhadap track record dan kontribus dari yang dipilihnya terhadap partai pengusung, apalagi jika para pemilih mudah tergiur dengan money politics.

[6] Jumlah anggota DPR perempuan pada periode 1999-2004 sejumlah 45 orang (9%), periode 2004-2009 sejumlah 66 orang (12%). Sementara itu dalam Pemilu 2009 terakhir, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR yaitu sebanyak 101 orang (18%). Walaupun belum mencapai 30% sesuai harapan undang-undang, namun dari periode satu ke periode berikutnya menunjukan statistik peningkatan dari segi kuantitas yang tentunya harus pula diimbangi dengan peningkatan kualitasnya.

[7] Salah satu konsekuensi dari sistem keterpilihan berdasarkan suara terbanyak, yaitu MK akhirnya menerima puluhan permohonan dari Partai Politik yang terkait dengan sengketa antarcalegnya sendiri. Sebagai contoh, Partai Golongan Karya yang mengajukan 49 kasus ternyata 30 kasus di antaranya merupakan sengketa sesama caleg Partai Golkar sendiri. Terhadap polemik sengketa antarcaleg ini, MK berpendirian bahwa sengketa antarcaleg tersebut dapat diperiksa sepanjang memenuhi 2 (dua) persyaratan berikut: (1) syarat subjectum litis yaitu permohonan tersebut harus tetap diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik atau nama yang sejenisnya, bukan oleh masing-masing caleg yang bersangkutan secara otonom; dan (2) syarat objectum litis yaitu objek yang dipermasalahkan haruslah tetap Keputusan KPU tentang perolehan suara hasil Pemilu yang berkaitan dengan perolehan suara setiap caleg dalam satu parpol. Akhirnya, dari keseluruhan permohonan antarcaleg ini, sejumlah 14 (empat belas) kasus yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat partai-partai politik dikabulkan oleh MK karena selain telah memenuhi 2 (dua) persyaratan tersebut, dalil-dali permohonan yang diajukan terbukti beralasan di dalam persidangan.

[8] Pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 tidaklah jauh berbeda dengan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, karena pada pokoknya ketentuan yang diuji memiliki substansi norma yang sama. Akan tetapi dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 MK memberikan tambahan pertimbangan hukumnya sebagai berikut: Pertama, oleh karena survei dan penghitungan cepat pada dasarnya didasarkan pada keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk mempengaruhi pemilih, maka netralitas survei dan penghitungan menjadi sangat penting; Kedua, apabila survei dan penghitungan cepat dilakukan untuk kepentingan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, maka publik memiliki hak untuk mengetahui bahwa kegiatan tersebut dilakukan atas pesanan atau dibiayai oleh pasangan calon Presiden/Wakil Presiden tertentu serta menjadi kewajiban pelaksana kegiatan survei dan penghitungan cepat untuk mengungkapkannya kepada publik secara jujur dan transparan. Pertimbangan tambahan ini muncul dikarenakan pada masa itu terjadi kekhawatiran dari publik luas bahwa banyak survei dan penghitungan cepat disinyalir dibiayai dan dilakukan untuk kepentingan pasangan-pasangan calon tertentu, sehingga sulit bagi publik untuk menilai atau membandingkan mana yang murni akademis atau untuk kepentingan tertentu. Lihat misalnya Koran Tempo, “LSI: SBY Diperkirakan Menang dalam Satu Putaran”, Minggu, 5 April 2009; Kompas, ”LSI Kembalikan Dana Fox Indonesia”, Senin, 29 Juni 2009; dan Kompas, ”Denny JA: Iklan Satu Putaran Dibiayai Seseorang”, Jumat, 3 Juli 2009.

[9] Berdasarkan pengalaman selama ini, banyak hasil quick count yang menunjukan akurasi ketepatan yang tidak jauh berbeda dengan hasil resmi yang diumumkan oleh KPU atau KPUD dalam penyelenggaran Pemilukada, Pemilu Nasional, ataupun Pilpres. Lembaga penyelenggara quick count yang dinilai masih memiliki catatan baik, misalnya, Lingkaran Survey Indonesia (LSI – Denny J.A.) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI – Saiful Mujani). Data lengkap dapat dilihat di http://www.lsi.co.id/ dan http://www.lsi.or.id/.

[10] Persidangan dalam perkara ini merupakan yang tercepat dalam pengambilan putusannya sepanjang sejarah berdirinya MK. Sidang pertama dibuka pada hari Senin, 6 Juli 2009 Pukul 10.00 WIB untuk dilakukan pemeriksaan selama kurang lebih 30 menit. Kemudian pada hari yang sama pada Pukul 17.00 WIB, Majelis Hakim langsung membacakan Putusan akhirnya. Putusan progresif ini menjadi penting maknanya karena dianggap oleh banyak pihak mampu mencegah terjadinya degradasi proses demokrasi karena adanya desakan pengunduran waktu Pemilu serta terbukanya kemungkinan pengunduran diri dua dari tiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden karena merasa tidak puas terhadap tindakan yang dilakukan oleh KPU menghadapi karut-marutnya penyusunan DPT yang diklaim oleh kedua pasangan tersebut sangat berpotensi merugikan perolehan suaranya. Lihat misalnya Tempo Interaktif, ”MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Desember 2009 dan tersedia pada http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706-185409,id.html.

[11] Walaupun MK telah memutuskan bahwa KTP atau Paspor dapat digunakan untuk memilih, namun sebagian kecil pihak menganggap Putusan ini dikeluarkan agak terlambat dan terkesan tidak sepenuh hati. Pasalnya, menurut mereka, Putusan tersebut dijatuhkan hanya kurang 2 (dua) hari dari pelaksanaan Pilpres, serta tidak mengakomodasi para pemilih yang tidak berada di tempat tinggalnya karena alasan dinas, kuliah, berpergian, dan lain sebagianya. Sementara itu, pedoman MK menyatakan bahwa penggunaan KTP hanya dapat dilakukan sesuai dengan domisilinya masing-masing. Berdasarkan data akhir yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih yang menggunakan KTP untuk memilih dalam Pilpres di seluruh Indonesia berjumlah 382.540 orang. Lihat juga Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 bertanggal 12 Agustus 2009 mengenai permohonan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto serta Megawati dan Prabowo.

[12] Mengenai analisa singkat terhadap Putusan MA Nomor 15P/HUM/2009, lihat Pan Mohamad Faiz, “Quo Vadis Putusan MA?”, Seputar Indonesia, Kamis, 30 Juli 2009.

[13] Hasil penelitian dari Center for Electoral Reform (CETRO) menunjukkan bahwa akibat dari Putusan MA tersebut telah terjadi penambahan kursi yang signifikan bagi tiga partai besar, yaitu Demokrat, Golkar, dan PDIP. Akan tetapi sebaliknya akan terjadi pengurangan jumlah kursi terhadap partai-partai menengah dan kecil, yaitu PKS, PAN, PPP, Gerindra, dan Hanura. Jumlah kursi di DPR RI yang diperkirakan akan berubah menurut penghitungan CETRO dapat mencapai hingga 66 kursi.

[14] Conditionally Constitutional (konstitusional bersyarat) merupakan salah satu terobosan hukum yang dilakukan oleh MK dalam putusannya yang berarti suatu norma di dalam undang-undang akan dianggap konstitusional sepanjang dimaknai dan dijatuhkan sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan oleh MK, dan ketentuan sebaliknya disebut sebagai conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat). Putusan konstitutional bersyarat ini pertama kali diterapkan oleh MK ketika memutus pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Setelah putusan tersebut, beberapa undang-undang yang diuji oleh MK juga berhujung pada putusan conditionally constitutional, seperti misalnya UU PPTKI, UU Pemilu, UU Perfilman, dan KUHP.

[15] Sebagian besar Hakim Konstitusi generasi pertama yang telah pensiun telah membukukan pendapat-pendapat hukumnya (legal opinions) yang pernah digunakan sebagai bahan pertimbangan hukum dalam pembuatan setiap putusan, termasuk pendapat-pendapatnya yang berbeda (dissenting opinions). Lihat misalnya Achmad Roestandi, Mengapa Saya Berbeda Pendapat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, 2008.

[16] Berdasarkan berbagai pendapat para sarjana, mulai dari Utrecht Visser’t Hoft, Ronald Dworkin, Arif Sidharta, hingga Jazim Hamidi, penafsiran terhadap konstitusi dapat dibagai menjadi 23 (dua puluh tiga) jenis penasfiran. Oleh karena itu, potensi bermacamnya tafsiran konstitusi terhadap suatu norma di dalam peraturan perundang-undangan juga cukup besar. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, hal. 273-314.

[17] Baik Jimly Asshiddiqie maupun Mahfud MD. pada saat menjadi Ketua MK seringkali mengatakan bahwa dirinya bersama para Hakim Konstitusi lainnya tidak akan heran apabila menemukan pemohon yang akan memuji MK apabila permohonannya dikabulkan, dan sebaliknya akan mempertanyakan putusan MK apabila permohonannya ditolak atau tidak dapat diterima. Alasannya, ketika bereaksi para Pihak mempunyai kepentingannya masing-masing yang bisa saja diuntungkan atau dirugikan atas Putusan MK.

[18] Perdebatan lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara” Jilid 1, hal. 165-360.

[19] Pada saat itu, Hakim Konstitusi hanya berjumlah 8 (delapan) orang, karena belum terdapat Hakim Konstitusi yang baru untuk menggantikan posisi Hakim Jimly Asshiddiqie yang mengundurkan diri. Kini posisi tersebut diisi oleh Harjono (Hakim Konstitusi periode 2003-2008) yang dipilih kembali setelah melalui proses fit and proper test di DPR RI.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_________, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

_________, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan (Buku I), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.

Mahfud MD., Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

_________, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

_________, “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town , Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.

Roestandi, Achmad, Mengapa Saya Berbeda Pendapat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, 2008.

Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959.

Kompas, ”LSI Kembalikan Dana Fox Indonesia”, Senin, 29 Juni 2009;

Kompas, ”Denny JA: Iklan Satu Putaran Dibiayai Seseorang”, Jumat, 3 Juli 2009.

Koran Tempo, “LSI: SBY Diperkirakan Menang dalam Satu Putaran”, Minggu, 5 April 2009;

Pan Mohamad Faiz, “Quo Vadis Putusan MA?”, Seputar Indonesia, Kamis, 30 Juli 2009.

Tempo Interaktif, ”MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Desember 2009 dan tersedia pada http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706-185409,id.html.

DOWNLOAD FULL PAPER: Click here.


Mengawal Demokrasi Melalui Constitutional Review (Bagian I)

MENGAWAL DEMOKRASI MELALUI CONSTITUTIONAL REVIEW:

Sembilan Pilar Demokrasi Putusan Mahkamah Konstitusi[1]

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]

(Disampaikan dalam Buku ”UI untuk Bangsa 2009”) – BAGIAN I

A. PENDAHULUAN

Perubahan sistem politik dan kekuasaan negara pasca terjadinya amandemen UUD 1945 telah membawa angin segar bagi perkembangan cita demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia yang salah satunya menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan supremasi parlemen (parliament supremacy) menuju supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Kedaulatan rakyat (people’s sovereignty) yang dahulu berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini pun telah berubah menjadi terletak di tangan rakyat.

Penguatan mekanisme kontrol saling jaga dan menyimbangkan (checks and balances mechanism) antarcabang kekuasaan negara juga menjadi agenda utama dalam proses amandemen UUD 1945.[3] Salah satu lembaga negara utama (main state organ) yang dibentuk berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 untuk menjalankan mekanisme checks and balances tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.[4]

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mengatasi dan mengelola perkara-perkara yang erat kaitannya dengan konstitusionalitas penyelenggaraan dan praktik ketatanegaraan serta politik di Indonesia. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman ini diberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban, yaitu:[5]

  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik; dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; serta
  5. Kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mengawal nilai-nilai konstitusi dan demokrasi, sehingga fungsi dan tugasnya seringkali diposisikan sebagai: (1) pengawal konstitusi (the guardian of constitution); (2) penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution); (3) pengawal demokrasi (the guardian of democracy); (4) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights); dan (5) pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).

Sejak pembentukannya pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi setidak-tidaknya telah mengadili 384 perkara dengan perincian 228 perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (revewing laws against the constitution), 11 perkara sengketa kewenangan lembaga negara (dispute over the authorities of state institutions), dan perselisihan hasil pemilihan umum (disputes of the general election results) sejumlah 45 perkara Pemilu 2004 yang terdiri dari 274 kasus dan 71 perkara Pemilu 2009 yang terdiri dari 657 kasus, serta 27 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (disputes of the head regional election results). Mahkamah Konstitusi juga menerima permohonan sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004 dan 2009 masing-masing satu perkara.[6]

Tulisan ini hendak mengupas lebih tajam terhadap peran Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi melalui pelaksanaan salah satu kewenangannya, yaitu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review).[7]

B. MENYELARASKAN DEMOKRASI DENGAN NOMOKRASI

Perdebatan klasik mengenai apakah undang-undang merupakan produk hukum atau politik hingga saat ini masih terus berlangsung. Akan tetapi terlepas dari hal tersebut, telah menjadi suatu fakta yang tidak terbantahkan bahwa proses pembentukan suatu undang-undang –walaupun masih dalam koridor dan proses demokrasi– acapkali sarat dengan muatan-muatan politis dan kepentingan tertentu.[8] Kepentingan atau motif-motif politik tersebut seringkali bertabrakan dengan norma-norma konstitusi (constitutional norms). Padahal, konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (the supreme law of the land) tidak boleh disimpangi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya.[9]

Democracy (kedaulatan rakyat) juga dinilai oleh sebagian kalangan memiliki ”cacat bawaan”, karena proses dan mekanisme yang ditempuh lebih berdasar atas besar-kecilnya suara atau lemah-kuatnya dukungan. Oleh karenanya, proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis tidak menjamin akan membawa hasil yang sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh UUD 1945. Ketika telah disepakati bahwa Indonesia menggunakan prinsip demokrasi konstitusional (constitutional democracy), maka apapun cara, sistem, dan penerapan berdemokrasinya tentu tidak boleh juga bertentangan dengan konstitusi.[10]

Dengan demikian, harus ada kontrol agar proses demokrasi yang dilaksanakan baik itu di dalam parlemen maupun di luar parlemen sejalan dengan nilai-nilai konstitusi (constitutional values). Adalah nomocracy (kedaulatan hukum) yang dipandang dapat menjaga keluhuran demokrasi agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh UUD 1945 sebagai dokumen tertulis yang dibentuk atas kesepakatan bersama seluruh rakyat Indonesia.[11]

Akan tetapi, bukan berarti demokrasi harus selalu dipertentangan satu sama lainnya, sebab antara demokrasi dan nomokrasi bagaikan dua sisi keping mata uang yang saling membutuhkan. Syahdan, darimana kita dapat menentukan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia menggunakan prinsip demokrasi konstitusional? Secara sederhana dapat ditemukan bahwa Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menganut prinsip-prinsip demokrasi dengan menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sementara itu, Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 memuat prinsip-prinsip nomokrasi dengan menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Untuk itu, salah satu cara yang dinilai cukup efektif untuk mengawal demokrasi agar tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi adalah dengan mekanisme pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mekanisme ini lazim disebut sebagai judicial review atau lebih tepatnya adalah constitutional review yang saat ini kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.[12]

C. MEMAKNAI CONSTITUTIONAL REVIEW

Sesungguhnya keinginan untuk menerapkan mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review) telah mengemuka pada saat penyusunan UUD 1945 di era kemerdekaan. Pada saat itu Muhammad Yamin mengusulkan agar Balai Agung –sebutan untuk Mahkamah Agung pada masa itu– diberikan kewenangan untuk “membanding” (menguji) undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi, Soepomo menentang gagasan tersebut dengan 2 (dua) alasan, yaitu: Pertama, Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni (separation of powers) yang diusung oleh Montesquieu dengan konsep trias politikanya, sehingga tidaklah diperbolehkan kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang; Kedua, pada saat itu belum banyak para sarjana atau ahli hukum yang menguasi teori dan ilmu tentang pengujian suatu undang-undang.[13]

Oleh karena itu, akhirnya gagasan constitutional review tidak diatur sedikitpun di dalam UUD 1945 sebelum terjadinya perubahan. Namun demikian, wacana tersebut muncul kembali pada tahun 1970 dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya ditegaskan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi,“MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dan Ketetapan MPR”.[14]

Akhirnya pada tahun 2002, the second founding parents yang terlibat dalam proses perubahan kedua UUD 1945 bersepakat bahwa diperlukan suatu mekanisme constitutional review yang dilakukan oleh lembaga yudisial terpisah agar produk-produk hukum tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, mekanisme ini juga dimaksudkan agar terdapat upaya hukum untuk melindungi dan mengembalikan hak-hak konstitusional warga negara (constitutional citizen’s rights) yang mungkin terenggut akibat kehadiran undang-undang yang inkonstitusional.[15]

Tatkala hak-hak konstitusional warga negara terlindungi, telah terjadinya keteraturan praktik ketatanegaraan antarlembaga negara, terciptanya ruang demokrasi yang subur dengan berpedoman pada norma-norma konstitusi, maka cita konstitusionalisme dan demokrasi di Indonesia diharapkan akan tumbuh dan berkembang dengan sehat. Dengan dibukanya kemungkinan setiap warga negara untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka akan terjadi kesimbangan antara peran negara dan rakyat dalam proses demokrasi.

D. SEMBILAN PILAR DEMOKRASI PUTUSAN MK

Sebagaimana telah diuraikan di atas, hingga saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengadili sedikitnya 228 perkara pengujian undang-undang. Dari keseluruhan perkara tersebut, 195 perkara telah diputus dengan rincian 55 perkara dikabulkan, 66 perkara ditolak, 52 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, dan 22 perkara ditarik kembali. Dengan demikian, berdasarkan 98 jenis undang-undang yang pernah diuji oleh MK, sekitar 30% di antaranya memiliki ketentuan yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional).

Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian atau keseluruhan dari suatu undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen masih sangat banyak yang tidak sesuai dengan UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Bahkan undang-undang yang memegang rekor paling banyak diuji konstitusionalitasnya di hadapan MK adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008), yaitu sebanyak 20 (dua puluh) kali.[16]

Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK tersebut pada dasarnya adalah untuk melindungi hak konstitusional (constitutional rights) dan hak asasi manusia (human rights) yang sangat penting bagi tumbuh dan tegaknya demokrasi. Dari puluhan putusan tersebut, setidaknya kita dapat menemukan 9 (sembilan) putusan MK yang cukup penting (landmark decisions) dan menjadi tonggak sejarah (milestone) pembangunan demokrasi di Indonesia terkait dengan fungsinya selaku pengawal demokrasi.[17] Adapun kesembilan putusan tersebut akan diulas secara rinci sebagai berikut.

1. Mengembalikan Hak-Hak Politik bagi Mantan Anggota PKI

Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK membatalkan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR, yang berbunyi, “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya”.

Alasan utamanya, MK menilai bahwa ketentuan tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik. Padahal UUD 1945 tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.[18] Oleh karenanya, Pasal 60 huruf g UU a quo bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (1), Ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Hal ini sesuai pula dengan Article 21 Universal Declration of Human Rights (UDHR) dan Article 23 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

MK juga menilai bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Apabila terdapat pembatasan hak pilih, baik aktif maupun pasif, dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan seperti faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility), misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.[19]

Lagipula, menurut MK, suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung. Dari aspek kepentingan nasional, MK juga menilai bahwa ketentuan tersebut tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.[20]

Dalam putusan ini terdapat satu Hakim Konstitusi, Achmad Roestandi, yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan mayoritas pendapat hakim lainnya.[21] Menurut Roestandi, adanya ketentuan pembatasan tersebut masih konstitusional karena tidak termasuk dalam kategori pengecualian pembatasan yang tercantum dalam Pasal 28I UUD 1945.

2. Menghapus Ketentuan Penghinaan terhadap Kepala Negara

Setelah perdebatan yang cukup tajam di dalam ruang persidangan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), akhirnya MK mengeluarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bertanggal 6 Desember 2006 dengan perbedaan tipis 5:4 (lima suara berbanding empat suara) untuk membatalkan Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP yang terkait dengan ketentuan pidana atas penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.[22]

MK menilai bahwa pasca perubahan ketiga UUD 1945, konsep kedaulatan (sovereignty) telah berpindah dari parlemen kepada rakyat. Dengan demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, haruslah bertanggung jawab kepada rakyat. Lebih lanjut dipertimbangkan bahwa walaupun martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun keduanya tidak dapat diberikan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak yang menyebabkan Presidan dan/atau Wakil Presiden memperoleh kedudukan dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Hal ini menurut MK secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Ketentuan tersebut menurut MK juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini dinilai secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap ketika ketiga pasal pidana tersebut selalu digunakan oleh aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal demikian secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.

Keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 terkait dengan proses pemakzulan (impeachment).

Sementara itu, 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinions), yaitu: I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan H. Achmad Roestandi.[23] Menurut I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono, ketentuan yang diuji materiilkan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Sedangkan menurut H.A.S. Natabaya dan Achmad Roestandi ketentuan tersebut perlu ada perubahan baik dalam sifat deliknya maupun dalam ancaman hukumannya serta penempatan tempat pengaturan yang merupakan legal policy dari pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah). Bagi kedua hakim tersebut, apabila pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan tidak mengikat secara hukum, maka akan timbul kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).

3. Mencabut Pasal Penebar Kebencian kepada Pemerintah

Pada tanggal 17 Juli 2007, MK mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait dengan ketentuan pidana apabila seseorang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan Pemerintahan, karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) serta Ayat (3) UUD 1945.[24]

Setidaknya terdapat empat pertimbangan hukum utama yang melatarbelakangi dijatuhkannya putusan tersebut oleh MK. Pertama, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa karena kualifikasi delik atau tindak pidananya adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Kedua, Pasal 154 dan 155 KUHP juga dapat dikatakan tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali dalam hal makar. Akan tetapi, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di dalam KUHP.

Ketiga, sejak tahun 1946 pembentuk undang-undang sesungguhnya telah menyadari bahwa ada ketentuan dalam KUHP yang tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Ketentuan Pasal 154 dan 155 KUHP menurut sejarahnya memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga telah nyata pula bahwa kedua ketentuan tersebut oleh MK dinilai bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, sebagaimana dimaksud Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Keempat, konsep rancangan KUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana yang serupa, formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formil melainkan diubah menjadi delik materiil. Hal itu menunjukkan telah terjadinya perubahan sekaligus pembaharuan politik hukum pidana ke arah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.

Dalam perkara kali ini, tidak terdapat perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi dalam menjatuhkan putusannya.

4. Membuka Calon Independen untuk Maju dalam Pemilukada

Salah satu Putusan yang memperoleh perhatian luas dari publik yaitu Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007 yang membuka peluang bagi calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).[25] MK menilai bahwa sebagian frasa pada Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) serta ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bertentangan dengan UUD 1945, sebab ketentuan tersebut hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pemilukada.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa ketika terdapat ketentuan di dalam UU Pemerintahan Aceh yang memberikan kesempatan bagi calon perseorangan dalam Pemilukada, namun di dalam UU Pemda tidak terbuka kesempatan yang sama, maka akan mengakibatkan adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

MK menegaskan bahwa membuka kesempatan bagi perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa melalui parpol, bukan suatu hal yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan bukan pula merupakan suatu tindakan dalam keadaan darurat (staatsnoodrecht). Untuk itu, MK berpendapat pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah dibuka agar tidak terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945.

Sementara itu, untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), MK berpendapat bahwa sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, KPU berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf f UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum berwenang mengadakan pengaturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggaraan Pemilukada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan.

Terhadap Putusan tersebut, terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yang mengemukakan pendapat berbeda, yakni Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan H.A.S. Natabaya. Roestandi berpendapat bahwa alternatif manapun yang dipilih dalam tata cara pengisian jabatan kepala daerah adalah konstitusional dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang, sedangkan Palguna menambahkan bahwa ketentuan tersebut tidak mengandung rumusan diskriminasi baik dalam pengertian UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) UU HAM, maupun menurut Article 2 ICCPR. Sementara itu, Natabaya menyatakan pembatasan terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah dapat dibenarkan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dan apabila mengaju pada Putusan MK Nomor 006/PUU-V/2005 yang telah diputus sebelumnya, seharusnya permohonan tidak dapat diterima.[26]

5. Menjamin Perlakuan yang Sama bagi Partai Politik Peserta Pemilu

Dengan suara bulat dalam Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008, MK membatalkan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) terkait dengan persyaratan keikutsertaan partai politik dalam Pemilu 2009.

Pada kasus ini, dengan dibentuknya UU 10/2008 yang menggantikan UU 12/2003, maka terjadi perubahan prinsip electoral threshold (ET) menjadi parliamentary threshold (PT). Prinsip PT yang dianut dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 menentukan bahwa partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya (Pemilu 2004) dapat menjadi Peserta Pemilu berikutnya (Pemilu 2009 dan seterusnya) apabila memenuhi persyaratan untuk mendudukkan wakilnya di DPR dengan memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5% (dua koma lima per seratus) dari jumlah suara sah secara nasional.[27]

Kemudian untuk mengatur masa transisi akibat perubahan dari prinsip ET ke prinsip PT, berdasarkan Ketentuan Peralihan (Bab XXIII) dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 ditentukan partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang dapat menjadi peserta Pemilu sesudah tahun 2004 salah satunya adalah partai politik yang “… d) memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Ketentuan inilah yang menurut MK dianggap tidak jelas ratio legis dan konsistensinya apabila dikaitkan dengan pengaturan masa transisi dari prinsip ET ke prinsip PT.

Selain itu, MK juga menyimpulkan dalam pertimbangan hukumnya bahwa parpol-parpol peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi ataupun tidak memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [vide Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 dan Pasal 315 UU 10/2008].

Oleh karena itu, MK menilai bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008. Dengan demikian, para Pemohon yang terdiri dari beberapa partai politik peserta Pemilu 2004 memiliki landasan hukum untuk berkesempatan ikut serta kembali dalam Pemilu 2009.[28]

… (Bersambung pada Bagian II) …


[1] Tulisan disampaikan dalam Buku “UI untuk Bangsa” Tahun 2009. Pendapat Pribadi.

[2] Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

[3] Perubahan UUD 1945 ini terjadi dalam 4 (empat) tahapan selama kurun waktu 1999 s.d. 2002. Sebelum dimulainya proses perubahan UUD 1945 tersebut, terdapat 5 (lima) kesepakatan dasar terkait dengan cara dan substansi perubahan, yaitu: (1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Mempertegas sistem presidensiil; (4) Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal-pasal; dan (5) Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”. Lihat Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[4] Lembaga negara utama lainnya yang juga dihasilkan melalui rahim perubahan UUD 1945 yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY). Lihat Pasal 22C dan Pasal 24B UUD 1945.

[5] Apabila dibandingkan dengan banyak negara dunia yang memiliki Mahkamah Konstitusi, terdapat kewenangan-kewenangan sejenis yang hingga saat ini tidak dimiliki namun patut untuk dipertimbangkan menjadi kewenangan bagi Mahkamah Indonesia di masa yang akan datang, seperti misalnya pengaduan konstitusi (constitutional complaint) dan pertanyaan konstitusi (constitutional question).

[6] Jumlah rinci perkara diolah dari data Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi sampai dengan pertengahan Oktober 2009.

[7] Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa hasil pemilihan umum sebenarnya juga sangat terkait erat dengan perannya dalam mengawal nilai dan proses demokrasi di Indonesia, namun kewenangan tersebut tidak akan dibahas secara rinci dalam tulisan kali ini.

[8] Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

[9] Lihat Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

[10] Lihat Moh. Mahfud MD., “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town, Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.

[11] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 152.

[12] Istilah “judicial review” (toetsingsrecht) memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah “constitutional review” (staatsgerichtsbarkeit), sebab judicial review memiliki pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas pada pengujian konstitusionalitas saja, namun juga meliputi legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Sementara itu, constitutional review hanya terkait dengan pengujian konstitusionalitas atau pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam konteks tulisan ini akan digunakan istilah constitutional review. Lihat Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Lebih mendalam lihat juga Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

[13] Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959, hal. 332-344.

[14] Pada masa itu, Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD karena selain UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak mengenal dan tidak mengatur tentang constitutional review, sistem kekuasaan yang dianut Indonesia adalah distribusi kekuasaan yang mengarah pada supremasi parlemen (parliament supremacy). Dalam prinsip tersebut, maka tidak dibenarkan di antara lembaga kekuasaan negara saling menilai atau mengontrol satu dengan lainnya, kecuali dari lembaga kekuasaan yang memberikan atau mendelegasikan kekuasaan itu sendiri. Lebih lengkap lihat Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

[15] Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan dalam hal objeknya, yaitu: (1) Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 24A UUD 1945); sedangkan (2) Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (Pasal 24C UUD 1945). Penjelasan mendalam mengenai hierarki peraturan perundang-undangan lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan (Buku I), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.

[16] Pemohon pengujian UU 10/2008 ini tidak saja berasal dari peorangan warga negara, namun juga berbagai partai politik dan badan hukum yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU tersebut.

[17] Penentuan jumlah sembilan putusan ini lebih dikarenakan kesamaan jumlah pilar yang terpancang di muka gedung Mahkamah Konstitusi sebagai simbol penyanggah konstitusi dan demokrasi serta jaminan independensi dari kesembilan Hakim Konstitusi.

[18] Putusan ini menjadi salah satu yurisprudensi penting bagi Mahkamah Konstitusi dalam memberikan pertimbangan hukum pada putusan-putusan selanjutnya apabila dihadakan dengan pengertian dan ruang lingkup dari tindakan diskriminatif, yaitu meliputi perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Lihat misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-VII/2009 bertanggal 10 Juli 2008 yang memutuskan bahwa Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 terkait dengan syarat pencalonan dalam Pemilu 2009 adalah ”konstitusional sepanjang tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis) dan kejahatan politik dalam pengertian perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa.

[19] Putusan terbaru yang memiliki substansi serupa dengan perkara ini yaitu terdapat dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009. Dalam hal ini, MK menilai bahwa norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 terkait dengan persayaratan pencalonan seseorang dalam Pemilu merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi 5 (lima) syarat komulatif sebagai berikut: (1) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (3) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur; (4) mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan (5) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

[20] Aspek kepentingan nasional juga beberapa kali telah dijadikan pertimbangan bagi MK dalam menjatuhkan putusannya. Lihat misalnya Putusan Nomor 012/PUU-III/2005 mengenai pengujian UU APBN Tahun 2004 terkait anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD yang telah dijamin dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945.

[21] Dalam memberikan pertimbangan hukum untuk suatu perkara yang akan diputus, Hakim Konstitusi diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan pikirannya. Apabila pendapat putusan akhirnya tersebut tidak sama atau berbeda dengan hakim lain hingga tidak ditemukan titik temu, maka diberikan keleluasaan apakah Hakim yang berbeda putusan tersebut akan menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) di dalam Putusan MK. Namun demikian, Hakim tersebut tetap harus tunduk dan menghormati Putusan dari mayoritas hakim lainnya dan secara etik tidak diperkenankan untuk mempertentangkan kembali perbedaan pendapatnya tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan setelah Putusan dijatuhkan.

[22] Putusan yang dijatuhkan dengan komposisi 5:4 (lima berbanding empat) hingga saat ini jumlahnya dapat dihitung dengan jari, contoh lainnya yaitu Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 bertanggal 30 Oktober 2007 terkait dengan pengujian ketentuan mengenai hukuman mati dalam UU Narkotika dan Putusan Nomor 6/PUU-VII/2009 bertanggal 10 September 2009 terkait dengan pengujian ketentuan mengenai diperbolehkannya iklan rokok dalam UU Penyiaran. Terhadap komposisi perbedaan pendapat 5:4 yang demikian timbul pro-kontra di kalangan pakar hukum, karena putusan tersebut dianggap tidak memiliki pertimbangan hukum yang kuat, padahal hal-hal yang diputuskan umumnya terkait dengan masalah penting di bidang ketatanegaraan. Oleh karena itu muncul usulan agar dilakukan revisi UU MK yang menentukan keabsahan putusan dapat berlaku jika putusan diambil minimal dengan 6 (enam) suara mayoritas atau minimal 6 (enam) suara berbanding 3 (tiga) suara sebagaimana diterapkan oleh MK Korea Selatan. Namun demikian, sebagian kalangan berpendapat hal tersebut justru dapat menyulitkan pengambilan keputusan bagi para Hakim Konstitusi di dalam praktiknya.

[23] Keempat Hakim Konstitusi dikenal sebagai Hakim Konstitusi “generasi pertama” (2003-2005) yang turut menanamkan budaya perdebatan akademis bersama-sama dengan para hakim lainnya di dalam setiap pembuatan rancangan putusan.

[24] Pemohon dalam perkara ini adalah dr. R. Panji Utomo selaku seorang warga negara Indonesia yang telah diadili dan dijatuhi pidana penjara 3 (tiga) bulan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 232/Pid.B/2006/PN-BNA bertanggal 18 Desember 2006 karena dinilai telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 154 dan 155 KUHP.

[25] Istilah “Pemilukada” (Pemilihan Umum Kepala Daerah) muncul menggantikan istilah “Pilkada” (Pemilihan Kepala Daerah) secara bergantian setelah pemilihan kepala daerah dinyatakan sebagai rezim dalam Pemilu (Pemilihan Umum). Berdasarkan UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan memutus perselisihan hasil Pemilu yang semula menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung kemudian dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian merupakan konsekuensi dari masuknya Pemilukada ke dalam rezim Pemilu berdasarkan UU 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Pengalihan wewenang tersebut secara resmi dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2008 yang menyebabkan mulai pada saat itu sengketa hasil Pemilukada menjadi kompetensi absolut dari MK. Lihat juga Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK Pemilukada) yang untuk pertama kalinya menggunakan istilah “Pemilukada” sebagai peraturan resmi.

[26] Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi, , ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (penebalan kata oleh penulis).

[27] Sementara itu Electoral Threshold (ET) menentukan bahwa dalam pemilihan Pemilu Legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% (tiga perseratus) jumlah kursi anggota di DPR.

[28] Partai Politik yang menjadi Pemohon dalam perkara ini yaitu: (1) Partai Persatuan Daerah (PPD); (2) Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB); (3) Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); (3) Partai Patriot Pancasila; (4) Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD); (5) Partai Sarikat Indonesia (PSI); dan (6) Partai Merdeka.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_________, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

_________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

_________, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan (Buku I), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.

Mahfud MD., Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

_________, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

_________, “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town , Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.

Roestandi, Achmad, Mengapa Saya Berbeda Pendapat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, 2008.

Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959.

Kompas, ”LSI Kembalikan Dana Fox Indonesia”, Senin, 29 Juni 2009;

Kompas, ”Denny JA: Iklan Satu Putaran Dibiayai Seseorang”, Jumat, 3 Juli 2009.

Koran Tempo, “LSI: SBY Diperkirakan Menang dalam Satu Putaran”, Minggu, 5 April 2009;

Pan Mohamad Faiz, “Quo Vadis Putusan MA?”, Seputar Indonesia, Kamis, 30 Juli 2009.

Tempo Interaktif, ”MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Desember 2009 dan tersedia pada http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706-185409,id.html.


DOWNLOAD FULL PAPER: Click here.